6.3.3. Internalisasi: Momen Identifikasi Diri
Internalisasi adalah proses manusia atau individu melakukan identifikasi diri dalam dunia sosio-kulturalnya. Internalisasi merupakan momen penarikan realitas
sosial ke dalam diri atau realitas sosial menjadi kenyataan subyektif. Realitas sosial itu berada di dalam diri manusia dan dengan cara itu maka diri manusia
akan teridentifikasi di dalam dunia sosio-kulturalnya. Masyarakat Cikeukeuh tidak bisa lepas dari organisasi sosial kulturalnya
atau kelompok-kelompok pengajian karena, disamping menjadi bagian dari organisasi sosialnya, juga secara kodrati manusia memiliki kecenderungan untuk
mengelompok yang didasarkan pada kesamaan identitas keagamaan sama-sama berpegang pada paham Aswaja. Sekat interaksi tidak akan ditemukan jika
masyarakat berada dalam identitas yang sama. Jika sesama paham Aswaja atau non Ahmadiyah, maka secara leluasa masyarakat melakukan interaksi yang
intensif. Di sini masyarakat menerima sosialisasi-sosialisasi yang berkaitan dengan
pemaknaan Ahmadiyah yang sesat dan kafir dari elit-elit agama. Individu-individu dalam masyarakat tersebut sangatlah beragam karena kenyataan sosial sebagai
produk plural sehingga menghasilkan respon masyarakat yang beragam juga; menerima dan menolak keberadaan Ahmadiyah. Inilah proses internalisasi sebagai
peresapan kembali realitas oleh manusia dan mentransformasikannya kembali dari struktur-struktur dunia obyektif ke dunia subyektif Berger dan Luckmann 1994.
Objectivation Society
Objective
Externalization Internalization
Subjective
Self
Gambar 15 Konstruksi manusia terhadap realitas sosial.
Berger dan Luckmann 1966 menguraikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi awal yang dialami individu pada saat kecil, saat dikenalkan pada dunia
sosial objektif. Individu berhadapan dengan orang yang sangat berpengaruh orang tua atau pengganti orang tua, dan bertangung jawab terhadap sosialisasi
anak. Batasan realitas yang berasal dari orang lain yang sangat berpengaruh itu dianggap oleh si anak sebagai realitas objektif.
Realitas sebagai produk sosial sesungguhnya bersifat plural, karena bahasa dan pengetahuan individu yang ikut menentukan terhadap konstruksi realitas
tersebut, secara sosial tidak dapat berdiri sendiri serta dibatasi oleh situasi dan kondisi. Atas dasar itu, maka kehidupan sosial sebenarnya secara kodrati
meniscayakan terhadap adanya pluralitas dan diversitas. Itulah sebabnya terdapat penggolongan sosial dalam masyarakat, yaitu Jemaat Ahmadiyah dan non
Ahmadiyah. Penggolongan sosial ini tentunya memiliki basis nilai dan historis. Basis
nilai masyarakat non Ahmadiyah berpijak pada nilai-nilai Aswaja yang diajarkan oleh elit-elit agama. Semua tindakan dan praktek keagamaan harus tunduk dan
sesuai dengan praktek-praktek yang terdapat dalam tradisi Aswaja. Sementara itu, Jemaat Ahmadiyah tidak berpijak pada nilai-nilai Aswaja melainkan atas dasar
pemikiran Islam modern dan rasional seperti yang diajarkan oleh pendiri Ahmadiyah dan khalifah-khalifahnya.
Secara historis masyarakat non Ahmadiyah sangat menjaga tradisi Aswaja sebagai pandangan hidup keagamaan. Sebab dengan cara begitu tradisi Aswaja
yang diyakini sebagai sebuah kebenaran akan tetap terjaga. Sementara itu, Ahmadiyah lebih kepada bagaimana merasionalkan pemahaman keagamaan.
Sebab mereka yakin dengan jalan seperti ini rasionalisasi pemahaman keagamaan akan membantu umat Islam untuk maju setelah tertinggal di semua
aspek kehidupan. Jadi, dalam perkembangannya, kedua masyarakat ini sejak awal memiliki perbedaan-perbedaan dan rentan dengan konflik.
Tabel 10 Dialektika Ekternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi
Momen Proses
Fenomena
Eksternalisasi Adaptasi diri dengan dunia sosio-
kultural Menyesuaikan diri dengan teks
keagamaan sesuai interpretasi para ulama masal lalu, dimana
semua tindakan
kepada Ahmadiyah
memiliki basis
historis dan nilai. Obyektivasi
Interaksi diri dengan dunia sosio- kultural
Penyadaran bahwa
Tuhan adalah Realitas Sakral dan perlu
medium untuk
memahami pesan-pesan-Nya. Memandang
Ahmadiyah sesat dan kafir adalah medium untuk mencapai
pemahaman pesan-pesan-Nya
yang terefleksi dari kehidupan sosial.
Internalisasi Identifikasi diri dengan dunia
sosio-kultural Terdapat penggolongan sosial
berbasis nilai dan historis akibat realitas bersifat plural sehingga
memunculkan kelompok
Ahmadiyah dan non Ahmadiyah
Sumber : Hasil Analisis Literatur
6.3.4. Penilaian Masyarakat terhadap Ajaran Ahmadiyah
Seperti yang sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa keberadaan Jemaat Ahmadiyah selalu mendapat tantangan dan penolakan dari Muslim
mainstream. Penolakan tidak saja terjadi di tempat kelahirannya di India, melainkan juga di berbagai negara yang notabene paham dan pemikiran
keagamaannya masih didominasi oleh kelompok Sunni yang terlalu literal dalam menafsirkan teks agama. Sebaliknya, Ahmadiyah justru mendapat respon yang
positif di negara-negara barat yang notabene paham keagamaannya bukan Sunni, disamping negara Barat sangat menjunjung perbedaan agama, keyakinan dan
HAM. Di sini penulis mencoba melihat tiga masalah penting, yaitu bagaimana
penilaian masyarakat tokoh agama, aparat desa dan masyarakat biasa terhadap ajaran Jemaat Ahmadiyah, penilaian terhadap pelarangan atau pembubaran
Ahmadiyah dan penilaian terhadap fatwa MUI dan peraturan lain SKB Muspida mengenai Ahmadiyah di Desa Cikeukeuh, terutama di empat kampung, yaitu
Kampung Sukasari, Mekarsari dekat dengan kampung Jemaat Ahmadiyah,
Sadang dan Nanggrek jauh dari Jemaat Ahmadiyah. Ketiga masalah ini sangat berkaitan dengan toleransi dan intoleransi masyarakat yang pada akhirnya juga
memperlihatkan bagaimana memudarnya pluralisme di desa. Hampir semua masyarakat di Kampung Sukasari dan Mekarsari menolak
ajaran Ahmadiyah yang dinilai sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mereka kenal selama ini. Penolakan ajaran Ahmadiyah terutama berkaitan dengan
persoalan teologi, yaitu menganggap pendiri Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan Kitab Tadzkirah sebagai kitab suci.
Tidak hanya itu, masyarakat menilai negatif Ahmadiyah karena beberapa ajaran dan praktek keagamaannya dianggap berbeda dengan tradisi keagamaan
yang berlaku di desa. Di antara ajarannya itu adalah menganggap kafir mereka yang belum mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi atau mereka yang
belum masuk Ahmadiyah. Kemudian praktek-praktek keagamaan yang juga tidak ada dalam masyarakat desa adalah pembayaran canda
yang dianggap “wajib” bagi anggota Ahmadiyah. Dalam praktek keagamaan seperti shalat, Ahmadiyah tidak
mau menjadi ma`mum jika imamnya bukan dari kalangan Ahmadiyah. Intoleransi masyarakat, bahkan sudah sampai pada tahap tindakan
kekerasan, akan meningkat jika Ahmadiyah memperlihatkan keahmadiyahannya atau melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan Ahmadiyah. Misalnya,
Jemaat Ahmadiyah tidak boleh shalat di mesjid karena penamaan dan bangunan mesjid adalah milik umat Islam, sementara Jemaat Ahmadiyah bukanlah Islam.
Jemaat Ahmadiyah juga tidak diperkenankan melakukakn kegiatan-kegiata lain seperti pertemuan yang dihadiri oleh Jemaat Ahmadiyah luar desa.
Memperlihatkan sikap keahmadiyahannya bermakna dua, yaitu: pertama, bersikap agresif dan berani dalam menunjukkan ajaran-ajaran Ahmadiyah atau
mencoba menyampaikannya kepada masyarakat umum, seperti dalam pertemuan- pertemuan, pengajian, dan lain-lain. Kedua, menunjukkan segala aktifitas yang
berkaitan dengan keagamaan dan sosial secara terang-terangan. Ini terbukti ketika Jemaat Ahmadiyah melakukan pertemuan nasional
beberapa tahun yang lalu di Kampung Ciladong yang berujung pada penghentian paksa dari masyarakat sehingga pertemuan nasional itu gagal dilanjutkan. Semua
umbul-umbul yang dipasang sepanjang jalan desa dicabut dan panitia acara juga
mendapat intimidasi dari masyarakat. Masyarakat marah karena menganggap Jemaat Ahmadiyah menampakkan keahmadiyahannya dan mengancam keyakinan
masyarakat. Kedua kampung ini memiliki resistensi yang kuat terhadap Jemaat
Ahmadiyah. Tidak hanya itu, menurut masyarakat dari kampung lain, masyarakat di dua kampung dinilai sangat sensitif, reaktif dan gampang curiga terhadap
Jemaat Ahmadiyah dan orang luar desa yang masuk ke kampung ini. Penilaian masyarakat dari luar kampung ini terbukti ketika beberapa waktu yang lalu ada
beberapa orang mencoba masuk ke Kampung Ciladong. Salah satu warga Mekarsari menanyakan maksud dan tujuan datang ke Kampung Ciladong serta
surat ijinnya. Ketika pendatang itu tidak bisa menunjukkan surat ijinnya, masyarakat terpancing dan melakukan penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah.
Dalam skala nasional intoleransi beragama di kalangan masyarakat Indonesia semakin meningkat, terutama yang berkaitan dengan Ahmadiyah. Hasil
survei Lingkaran Survei Indonesia LSI memperlihatkan pembenaran terhadap kekerasan pada warga Ahmadiyah makin tinggi. Jika pada tahun 2005, jumlah
warga yang setuju dengan tindakan kekerasan pada Ahmadiyah hanya 13,9, pada tahun 2010 angkanya naik menjadi 30,2.
Kondisi sebaliknya diperlihatkan oleh masyarakat di Kampung Sadang dan Kampung Nanggrek yang memperlihatkan sikap toleransinya kepada Jemaat
Ahmadiyah. Meski mereka tahu ajaran Ahmadiyah ada perbedaan dengan ajaran yang mereka anut, namun mereka tidak serta merta menunjukkan sikap
intoleransinya karena bagi mereka Jemaat Ahmadiyah adalah sama-sama warga desa yang perlu mendapat perlakuan yang sama. Di samping itu, sikap toleransi
yang mereka perlihatkan merujuk pada ajaran Islam yang mengajarkan saling menghargai dan menghormati meski beda keyakinan. Warga Kampung Sadang
MSH malah bersimpati kepada warga Ciladong yang menjadi korban pengrusakan ketika konflik terjadi. Dia dengan rasa kemanusiaan ikut memberi
bantuan semampunya untuk membantu merenovasi rumah warga Ciladong yang terbakar.
Banyak masyarakat yang tidak tahu apa sebenarnya Jemaat Ahmadiyah, khususnya masyarakat biasa. Bagi mereka Jemaat Ahmadiyah adalah organisasi
keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah, meski hanya pernah dengar ada ajarannya yang berlainan dengan ajaran yang mereka ketahui selama ini.
Masyarakat pada umumnya tidak merasa terancam keyakinannya dengan adanya Jemaat Ahmadiyah di desa. Kondisi ini berlainan dengan masyarakat yang ada di
dua kampung di atas dimana mereka kuatir dan merasa terancam dengan keberadaan Jemaat Ahmadiyah. Mereka kuatir pada suatu saat nanti nasib anak-
anak mereka yang bisa saja terpengaruh dengan Jemaat Ahmadiyah yang mereka nilai semakin hari semakin berkembang.
Pengetahuan tentang Jemaat Ahmadiyah di Kampung Sadang dan Kampung Nanggrek hanya dimengerti oleh kalangan elit agama. Namun,
pemahaman itu hampir tidak pernah disosialisasikan melaui pengajian-pengajian kepada masyarakat. Inilah yang menjadi alasan masyarakat kenapa warga di dua
kampung ini tidak mengalami resistensi, reaktif dan sensitif kepada Jemaat Ahmadiyah.
Menurut masyarakat, di samping letak kampung berjauhan dengan Jemaat Ahmadiyah, tokoh-tokoh agama hampir tidak pernah membahas tentang apa dan
bagaimana ajaran-ajaran Ahmadiyah sehingga tidak memancing masyarakat untuk membencinya. Masyarakat juga menilai munculnya resistensi dan sikap reaktif
bahkan tindakan kekerasan tidak bisa dilepaskan bagaimana respon dari tokoh agama. Kalau tokoh agama reaktif dan disosialisasikan melalui pengajian-
pengajian bisa saja masyarakat ikut terpancing.
6.3.5. Penilaian Masyarakat terhadap Pelarangan Ahmadiyah
Pada dasarnya,
sepanjang Ahmadiyah
tidak menampakkan
keahmadiyahannya dalam bentuk ajaran, simbol-simbol, aktifitas dan keorganisasian Ahmadiyah, masyarakat Kampung Sukasari dan Kampung
Mekarsari tidak sampai melontarkan pernyataan pelarangan atau pembubaran Ahmadiyah. Namun, semenjak isu nasional, terutama semenjak penyerbuan
Kampus Mubarak Parung pada 2005 dan penyerangan Kampung Ahmadiyah di Ciladong pada 2010, pernyataan pelarangan dan pembubaran Ahmadiyah gencar
disuarakan oleh masyarakat, terutama kalangan elit agama.
Menurut masyarakat, kecuali kepala desa yang berasal dari salah satu kampung ini yang bersifat netral, pelarangan ajaran dan pembubaran Ahmadiyah
mutlak dilakukan mengingat selain mengancam kepercayaan masyarakat, juga sangat meresahkan dan mengganggu masyarakat. Upaya pelarangan dan
pembubaran tidak sekeras tindakan penyerangan kepada Ahmadiyah karena masyarakat sadar Jemaat Ahmadiyah yang ada di Kampung Ciladong adalah
warga asli Desa Cikeukeuh sehingga dengan jumlah mereka yang sekitar 438 jiwa sulit diusir dari desa. Sebagian masyarakat malah ada yang berkata bahwa
sekiranya jumlah mereka puluhan orang pasti sudah mereka usir seperti yang terjadi di desa tetangga.
Kebanyakan masyarakat menolak penyebaran ajaran Ahmadiyah karena bertentangan dengan kepercayaan yang diyakini masyarakat. Lapisan masyarakat
yang kuat menolak keberadaan ajaran Ahmadiyah adalah dari kalangan agama. kalangan aparat desa sebagian menolak dan sebagian lagi tidak, tetapi lebih
banyak tidak menolaknya asal Jemaat Ahmadiyah tidak mengembangkan ajarannya kepada warga lain. Sementara itu, di kalangan masyarakat umum sama
banyaknya antara setuju menolak dan tidak setuju menolak keberadaan ajaran Ahmadiyah. Masyarakat yang setuju menolak keberadaan ajaran Ahmadiyah
berasal dari kampung yang berdekatan dengan Kampung Ciladong. Sementara masyarakat yang berada jauh dari Kampung Ciladong malah memperlihatkan
sikap toleransinya dan tidak menolak keberadaan ajaran Ahmadiyah. Bagi kebanyakan tokoh agama, Ahmadiyah dipandang sesat atau kafir
karena ajarannya sudah keluar dan tidak sejalan dengan Islam. Lain halnya dengan pandangan aparat desa yang memilih tidak tahu karena keterbatasan ilmu
keagamaan. Bagi mereka masalah apakah Ahmadiyah sesat atau kafir diserahkan kepada tokoh agama karena mereka yang memiliki pengetahuan agama. Hal yang
menarik adalah bagaimana penilaian masyarakat umum di mana kebanyakan mereka juga memandang Ahmadiyah kafir atau sesat. Mereka yang menilai
Ahmadiyah sesat adalah mereka yang berasal dari kampung yang berdekatan dengan Kampung Ciladong. Pemahaman tentang Ahmadiyah banyak didapat
masyarakat dari ceramah-ceramah tokoh agama yang cukup intens di Kampung
Sukasari dan Mekarsari, dua kampung yang berdekatan dengan Kampung Ciladong.
Meski kebanyakan masyarakat menolak keberadaan ajaran Ahmadiyah dan menganggap Ahmadiyah kafir, namun masyarakat baik tokoh agama, aparat desa
dan masyarakat umum tidak setuju memusuhi dan mengusir Ahmadiyah. Faktor yang mendorong mereka tidak memusuhi dan mengusir Ahmadiyah adalah karena
Ahmadiyah adalah warga asli Desa Cikeukeuh yang kebetulan memiliki keyakinan yang berbeda secara turun-temurun serta jumlah Ahmadiyah yang
cukup banyak. Kebanyakan masyarakat, baik tokoh agama, aparat desa dan masyarakat
umum menilai Ahmadiyah melanggar SKB Muspida. Menurut masyarakat, SKB Muspida sudah melarang Ahmadiyah melakukan aktifitas selain shalat, namun
masih melakukan kegiatan-kegiatan lain seperti pembangunan mesjid. Kebanyakan masyarakat juga minta ketegasan pemerintah atas pelanggaran SKB
Muspida yang dilakukan Ahmadiyah. Semenjak pelanggaran SKB ini resistensi terhadap Ahmadiyah semakin meningkat di Desa Cikeukeuh hingga berujung
pada konflik sosial Tabel 11 Penilaian Masyarakat Terhadap Jemaat Ahmadiyah Berdasarkan Lapisan
Masyarakat
Aspek Penilaian
Penilaian Berdasarkan Lapisan Masyarakat
Tokoh Agama Aparat Desa
Masyarakat Umum Setuju Tidak
Setuju Tidak
Tahu Setuju Tidak
Setuju Tidak
Tahu Setuju Tidak
Setuju Tidak
Tahu SesatKafir
5 1
- 1
- 4
3 -
5 Menolak
JAI 5
1 2
3 -
4 4
- Memusuhi
6 -
- 5
- -
8 -
Mengusir 6
- -
5 -
2 6
- Melanggar
SKB Muspida
6 -
5 -
- 6
- 2
Jumlah Informan
6 5
8 Total
Informan 19
Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2012
Gambaran meningkatnya
resistensi masyarakat
terhadap Jemaat
Ahmadiyah, secara nasional, juga diperlihatkan oleh hasil survei LSI dengan membandingkan hasil survei 2005 dan 2010. LSI mencatat bahwa jumlah warga
yang setuju apabila pemerintah melarang ajaran Ahmadiyah di Indonesia juga makin tinggi. Pada tahun 2005, jumlah mereka yang setuju seandainya
pemerintah melarang Ahmadiyah hanya 35,2. Pada tahun 2010 jumlahnya naik menjadi 53,4. Data ini memperlihatkan toleransi terhadap warga yang
mempunyai keyakinan berbeda makin menurun.
6.3.6. Penilaian Masyarakat terhadap Fatwa MUI dan Peraturan-peraturan
lainnya
Paling tidak ada empat peraturan atau keputusan yang berkaitan dengan Ahmadiyah, yaitu SKB 3 Menteri 2008, Fatwa MUI 1980 dan 2005, Pergub
Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 dan SKB Muspida. SKB 3 Menteri Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri berisi tujuh poin yang isinya
antara lain; Jemaat Ahmadiyah Indonesia dilarang melakukan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. Di samping itu warga
masyarakat juga diminta untuk menjaga kerukunan umat beragama serta menghindari perbuatan melawan hukum terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah.
Fatwa MUI yang dikeluarkan pada 29 Juli 2005 tersebut berbunyi bahwa Ahmadiyah keluar dari Islam, sesat dan menyesatkan. Pergub Jawa Barat berisi
tentang pelarangan kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat. Anggota dan pengurus Ahmadiyah dilarang melakukan aktivitas dan atau kegiatan dalam
bentuk apapun, sepanjang berkaitan dengan kegiatan penyebaran penafsiran dan aktivitas yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran yang menyimpang di
provinsi Jabar. Pergub ini mengacu kepada SKB 3 Menteri meski masih bisa diperdebatkan
karena dalam SKB 3 Menteri memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka
pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini poin keenam. Sementara itu, SKB Muspida Kabupaten juga berisi tentang pelarangan
melakukan aktifitas. SKB ini lahir tidak lama setelah penyerangan Kampus Mubarak Parung pada tahun 2005.
Dari keempat peraturan atau keputusan yang berkaitan dengan Ahmadiyah ini pemahaman dan pengetahuan masyarakat tidaklah sama. Hampir semua
lapisan masyarakat tidak memahami isi SKB 3 Menteri meski mereka, kecuali masyarakat biasa, tahu adanya keputusan tersebut. Ketiga lapisan masyarakat
tokoh agama, aparat desa dan masyarakat biasa mengetahui isi fatwa MUI yang mengatakan Jemaat Ahmadiyah sesat dan menyesatkan. Berkaitan dengan Pergub
Jawa Barat, hanya aparat desa dan beberapa elit agama yang mengetahui dikeluarkannya peraturan tersebut dan memahami isinya. Sementara itu, hampir
semua lapisan masyarakat tahu dikeluarkannya SKB Muspida dan mengetahui inti dari isi SKB tersebut. Pengetahuan tentang SKB ini bisa dimengerti karena
penandatanganan oleh unsur Muspida dan pengurus Ahmadiyah dilakukan di Kampung Ciladong yang kopiannya banyak beredar di kalangan masyarakat.
Tokoh agama dan aparat desa sangat mengetahui dikeluarkannya regulasi berupa SKB 3 Menteri, fatwa MUI, Pergub Jawa Barat dan SKB Muspida terkait
dengan Ahmadiyah. Di antara tiga regulasi dan fatwa MUI tersebut hanya SKB Muspida dan fatwa MUI yang diketahui oleh kebanyakan masyarakat umum.
Masyarakat umum tidak begitu mengetahui SKB 3 Menteri dan Pergub Jawa Barat dikarenakan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Sebaliknya,
kebanyakan masyarakat umum sangat mengetahui fatwa MUI dan SKB Muspida lantaran sosialisasi yang baik kepada masyarakat yang dilakukan oleh
pemerintahan desa SKB Muspida dan elit agama fatwa MUI. Hal yang menarik untuk dicermati adalah bahwa dari ketiga regulasi dan
fatwa MUI tentang Ahmadiyah tersebut kebanyakan dari ketiga lapisan masyarakat setuju dengan dikeluarkannya regulasi dan fatwa tersebut dengan
alasan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masing-masing lapisan masyarakat tersebut. Bagi tokoh agama, keberadaan regulasi dan fatwa MUI
sangat diperlukan untuk menekan keberadaan Jemaat Ahmadiyah yang menyimpang dari ajaran Islam. Dengan adanya fatwa MUI yang mengatakan
Jemaat Ahmadiyah adalah golongan yang sesat dan menyesatkan, maka masyarakat diminta hati-hati untuk tidak mengikuti ajarannya.
Berbeda dengan tokoh agama, aparat desa melihat keberadaan regulasi dan fatwa MUI dari sisi keamanan dan ketertiban masyarakat desa. Selama regulasi
dan fatwa tersebut berisi dan bisa menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat desa, maka regulasi dan fatwa akan didukung penuh. Cara pandang
yang cukup berbeda diperlihatkan oleh kalangan masyarakat umum yang kebanyakan mereka setuju dengan keberadaan regulasi dan fatwa MUI dan lebih
banyak mengikut elit agama atau mereka yang ditokohkan. Masyarakat umum berpendapat bahwa pada dasarnya mereka tidak mengetahui ajaran Ahmadiyah
secara mendalam. Pengetahuan yang sangat dangkal mengenai Ahmadiyah didapat dari elit agama melalui pengajian-pengajian atau informasi sekilas melaui
orang lain yang dianggap tahu tentang Ahmadiyah. Tidak berbeda jauh dengan pengetahuan mengenai Ahmadiyah, sebenarnya
sikap setuju kebanyakan masyarakat tentang regulasi dan fatwa MUI juga banyak dipengerahui oleh keberadaan elit agama atau mereka yang ditokohkan. Elit
agama atau mereka yang ditokohkan di desa banyak berperan memberitahukan secara sekilas kecuali fatwa MUI dan SKB Muspida keberadaan regulasi dan
fatwa MUI kepada masyarakat, namun masyarakat umum tidak memahami isi dari regulasi dan fatwa MUI.
Khusus untuk fatwa MUI sebagian masyarakat berpendapat bahwa keberadaan fatwa dengan penanganan di masyarakat tidak sejalan. Bagi
masyarakat, kalau Ahmadiyah dianggap sesat kenapa para ulama tidak melakukan upaya-upaya untuk menghimbau atau melakukan pembinaan terhadap mereka
yang dianggap sesat Ahmadiyah. Bahkan masyarakat juga menilai bahwa elit agama di desa terlalu keras kepada Ahmadiyah dan tidak menunjukkan
pembinaan kepada Ahmadiyah. Lepas dari itu semua kebanyakan masyarakat umum bersikap setuju dengan dikeluarkannya fatwa MUI karena masyarakat
menganggap hasil transformasi pengetahuan yang dangkal dari elit agama bahwa Ahmadiyah sesat. Harus diingat pendapat masyarakat umum ini
kebanyakan terkonsentrasi di Kampung Sukasari dan Mekarsari, dua kampung yang berdekatan langsung dengan Kampung Ciladong.
Ada dua peraturan atau keputusan yang paling akrab dan dikenal di masyarakat, yaitu fatwa MUI dan SKB Muspida. Dalam hal ini, sikap masyarakat
tidak sama dalam menilai keputusan tersebut. Bagi masyarakat Kampung Mekarsari dan Sukasari yang berbatasan dengan Kampung Ciladong menerima
dan mendukung penuh kedua keputusan tersebut. Menurut masyarakat, kedua keputusan tersebut sudah benar dan seharusnya begitu bahkan meminta
pemerintah mengawal terus implementasi kedua keputusan itu. Meski menerima fatwa MUI dan SKB Muspida, namun bagi masyarakat
Kampung Nanggrek dan Sadang tidak mesti melakukan tindakan-tindakan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah apalagi sampai melarang dan
membubarkannya. Dalam hal ini MSH menuturkan: “Menurut saya, penyelesaian masalah Jemaat Ahmadiyah harus dengan
jalan tanpa kekerasan. Kalau ada pengajian-pengajian setingkat desa sebaiknya Jemaat Ahmadiyah diundang dan dirangkul lagi. Ulama dan
tokoh agama harus melakukan itu, dan terkesan tokoh agama selama ini enggan mendekati Ahmadiyah. Meski fatwa MUI menyatakan mereka
Ahmadiyah sesat, tetapi kenapa mereka dijauhi dan bukannya didekati dan
diberi pembinaan”. Wawancara, 10 Juni 2012.
Tabel 12 Penilaian Masyarakat Terhadap PeraturanKeputusan tentang Ahmadiyah
Aspek Penilaian
PeraturanKeputusan yang Berkaitan dengan Ahmadiyah SKB 3
Menteri Fatwa MUI
Pergub Jabar SKB Muspida
TA AD
MU TA
AD MU
TA AD
MU TA
AD MU
Tahu ada aturan
8 4
2 8
3 7
5 5
2 8
5 8
Tidak Tahu
- 1
8 -
2 3
3 -
8 -
- 2
Setuju 8
5 8
8 4
9 7
5 8
8 5
6 Tidak
Setuju -
- 2
- 1
1 1
- 2
- -
4
Jumlah Informan
8 5
10 8
5 10
8 5
10 8
5 10
Total Informan
23
Sumber : Hasil Pengolahan dan Analisis Data Primer, 2012 Keterangan: TA = Tokoh Agama
AD = Aparat Desa MU = Masyarakat Umum
TahuTidak tahu = keberadaan aturan SetujuTidak setuju = keberadaan aturan
6.4 Munculnya Konflik Komunal
6.4.1 Sumber Munculnya Konflik
Konflik merupakan sebuah gejala sosial yang selalu ada dalam setiap masyarakat dalam setiap kurun waktu. Menurut Mawardi Rauf 2001 konflik
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat karena konflik merupakan salah satu produk dari hubungan sosial social relations. Pada
umumnya konflik diakibatkan oleh perbedaan pendapat, pemikiran, ucapan dan perbuatan. William Chang 2003 mengatakan bahwa konflik menjadi saluran dari
akumulasi perasaan yang tersembunyi secara terus menerus yang mendorong sesorang untuk berperilaku dan melakukan sesuatu berlawanan dengan orang lain.
Konflik yang terjadi di Desa Cikeukeuh benihnya bermula dari perbedaan teologi yang dipahami oleh warga non Ahmadiyah dan warga Ahmadiyah.
Teologi yang dimaksud, di antaranya, adalah bahwa Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi bayangan, yang berfungsi untuk
menghidupkan kembali risalah atau ajaran Nabi Muhammad. Bagi masyarakat, keyakinan ini sangat bertentangan dengan keyakinan yang mereka pegang selama
ini. Sehingga para elit agama merasa perlu meluruskan ajaran yang dianggap bertentangan dan keluar dari ajaran Islam ini.
Tidak hanya persoalan kenabian Mirza Ghulam Ahmad saja yang menjadi penolakan masyarakat. Masyarakat juga menolak beberapa hal prinsip, meski
ditolak oleh Ahmadiyah sendiri, seperti menjadikan kitab Tadzkirah sebagai kitab suci Ahmadiyah, naik haji ke Pakistan dan beda syahadat. Dalam hal ini, faktor
agama, atau tepatnya penafsiran agama, lebih menonjol di bandingkan dengan faktor ekonomi dan politik. Akan tetapi ketika terjadi penyerangan masyarakat ke
Kampung Ciladong faktor ekonomi dan politik ikut bermain di dalamnya. Penolakan masyarakat atas keberadaan Jemaat Ahmadiyah puncaknya
terjadi pada 2010 dimana terjadi penyerangan ke Kampung Ciladong oleh warga yang berasal dari kampung-kampung lain. Konflik ini berawal dari
ketidaksetujuan warga atas pembangunan mesjid yang menurut warga sampai tiga lantai. Pembangunan mesjid ini oleh elit agama dipandang sebagai pelanggaran
atas Surat Keputusan Bersama SKB Muspida yang melarang kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI yang ditanda tangani pada Juli 2005. Salah satu
poinnya adalah Jemaat Ahmadiyah tidak boleh melakukan kegiatan apa pun selain shalat, sehingga membangun mesjid, menurut warga, sebagai bentuk pelanggaran
keputusan tersebut. Menurut Ketua Jemaat Ahmadiyah Cabang Ciladong MA, pembangunan
mesjid dilakukan karena kapasitas mesjid sudah tidak memadai lagi dengan ukuran 10m x 20m, disamping mesjid tersebut belum pernah direnovasi sejak
dibangun pada tahun 1953. MA juga membantah kalau pembangunan mesjid hingga tiga lantai, seperti isu yang berkembang di masyarakat, melainkan dua
lantai yang dibangun secara bertahap. Sejak dimulainya pembangunan fondasi mesjid, banyak isu yang berkembang di antaranya, di samping pembangunan
mesjid tiga lantai, Jemaat Ahmadiyah Ciladong akan menjadi pusat Ahmadiyah menggantikan kantor pusat yang berada di Parung dan akan membangun Ka`bah
sehingga Jemaat Ahmadiyah tidak perlu lagi naik haji ke Mekah. Untuk merespon pembangunan mesjid ini, terbentuklah sebuah tim yang
beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat dari masing-masing RW. Tim ini digagas oleh elit agama CM yang juga Ketua MUI Desa, dan dia juga yang menenetukan
siapa-siapa yang masuk dalam anggota tim tersebut. Anggota tim meski mewakili masing-masing RW tetapi asal dimasukkan saja sesuai dengan orang yang
dikehendaki orang-orang dekat dengannya dan berani kepada Ahmadiyah. Tim ini berperan sebagai wadah membicarakan masalah Ahmadiyah,
terutama merespon pembangunan mesjid. Tim ini, dalam prosesnya, tidak saja membahas masalah pembangunan mesjid, melainkan sudah melebar ke masalah
bagaimana membubarkan Ahmadiyah. Bahasa-bahasa yang muncul dalam rapat- rapat tim di atas sudah mengarah kepada rencana tindakan kekerasan,
sebagaimana yang dijelaskan oleh AS berikut ini: “Bahasa yang menonjol dalam rapat-rapat adalah bahasa kekerasan, seperti
bakar saja, pokoknya kita berantas, pokoknya kita hancurkan. Dalam kenyataannya terbukti ada mobil, motor, warung, rumah yang dibakar
warga. Diantara anggota tim ini berpendapat, karena Ahmadiyah sudah tidak bisa diajak damai dan mau masuk ke kita ahlu sunnah waljamaah, ya
sudah kita bakar saja”. Wawancara, 4 Juni 2012. Peran CM dalam menundukkan tokoh masyarakat sangat menentukan
jalannya proses sosial yang berakhir dengan konflik. Inilah yang dimaksud Dahrendorf dengan peran otoritas dalam masyarakat ketika membicarakan
konflik. Menurut Dahrendorf dalam Ritzer Goodman 2004; lihat juga
Poloma 2003, otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analisis konflik serta mereka yang menduduki posisi otoritas akan
mengendalikan bawahan. Otoritas CM sebagai elit agama yang berwenang menentukan mana aliran keagamaan yang benar dan sesat serta posisi dia
sebagai Ketua MUI Desa menjadikannya sosok yang didengar masyarakat. Selanjutnya tim ini mencoba berkoordinasi dengan pihak pemerintahan desa
dan kecamatan untuk membicarakan masalah Ahmadiyah. Untuk menunjukkan dukungan masyarakat yang sudah resah dengan keberadaan Jemaat Ahmadiyah,
tim ini menyediakan sebuah dokumen yang berisi lima ribu tanda tangan dimana di dalamnya tertera kalimat “kalau tidak mau mengikuti ajaran kami dan apa
yang biasa kami lakukan, maka kami akan melakukan kekerasan ”.
Tidak hanya sebatas kecamatan, sehari sebelum puasa tim ini juga berupaya bertemu dengan bupati tentang pelanggaran yang dilakukan oleh Jemaat
Ahmadiyah. Ketika itu bupati menjawab dan berjanji akan menindaklanjuti masalah Ahmadiyah dua minggu setelah lebaran. Namun, janji itu tidak kunjung
ditepati bupati sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan kemarahan warga. Menurut EK, lambannya pemerintahan kabupaten dalam merespon masalah
Ahmadiyah terutama setelah audiensi dengan bupati menjadi penyebab penyerangan warga ke Kampung Ciladong. Penyerangan tidak begitu saja terjadi
melainkan setelah terjadi penusukan seorang remaja dari Kampung Sukasari yang bersama teman-temannya melihat pembangunan mesjid yang menjadi
permasalahan tersebut. Kondisi ini persis dengan apa yang dikatakan
Dahrendorf dalam Ritzer Goodman 2004 ketika mengatakan bahwa munculnya konflik akibat adanya
konsensus sebelumnya. Jadi, konflik tidak akan muncul kecuali setelah ada konsesus sebelumnya. Dengan kata lain, masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu
konflik dan konsesus. Bertrand 2004 menulis bahwa konflik keagamaan sebagian besar
merupakan ekspresi yang sangat mendalam dari rasa kurang puas yang menggunakan agama sebagai dasar identitas kelompok. Konflik di Indonesia,
lanjutnya, merupakan akibat rendahnya legitimasi politik dan adanya ancaman
terhadap identitas kelompok. Dalam konteks Desa Cikeukeuh, pecahnya konflik justru berawal dari persoalan keagamaan perbedaan teologi dan diperkuat lagi
dengan rasa kecewa masyarakat kepada pemerintah yang tidak tanggap dengan keinginan masyarakat untuk menyelesaikan masalah Jemaat Ahmadiyah. Jadi,
Bertrand benar di satu sisi lemahnya legitimasi terhadap pemerintah dan ancaman terhadap identitas non Ahmadiyah, namun tidak tepat di sisi lain seolah bukan
persoalan keagamaan. Munculnya konflik komunal ini tidak bisa juga dilepaskan dari memudarnya
pluralisme di desa yang pernah berjalan sebelum era reformasi akibat regulasi dan fatwa terkait Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh pemerintah dan MUI. Fatwa MUI
dan SKB Kabupaten melahirkan segregasi-segregasi dalam masyarakat. Akibatnya hubungan dan interaksi sosial juga sangat terbatas diantara kedua
masyarakat tersebut. Bagi Jemaat Ahmadiyah, meski secara sosial tidak begitu masalah, menjalin
hubungan lebih erat seperti dahulu sangat beresiko bagi kehidupan bermasyarakat di desa karena dikuatirkan akan direspon negatif oleh masyarakat lain. Jemaat
Ahmadiyah lebih baik menjaga dan berhati-hati daripada harus menerima resiko yang tidak diinginkan. Sementara itu, bagi masyarakat pada umumnya
menimbulkan ketakutan-ketakutan jika berinteraksi lebih jauh dengan Jemaat Ahmadiyah karena kuatir akan diklaim sebagai orang yang dekat dan pro dengan
mereka. Seorang Sekretaris Desa pun harus mengalami kekuatiran yang sama ketika
akan masuk Kampung Ciladong hanya untuk mengantarkan surat undangan desa. Dia tidak berani masuk Kampung Ciladong ketika di pertigaan menuju Ciladong
banyak warga Mekarsari yang lalu-lalang. Kekuatiran itu sangat beralasan karena sensitifitas warga Sukasari dan Mekarsari sangat tinggi. Warga kedua kampung
ini akan bereaksi jika ada warga yang sering keluar-masuk Ciladong karena dianggap dekat dan pro terhadap Ahmadiyah. Kekuatiran-kekuatiran inilah yang
dijaga oleh warga di Desa Cikeukeuh termasuk aparat desa sendiri. Buka tanpa dasar, reaksi warga kedua kampung itu pernah dibuktikan ketika
seorang aparat desa AS yang dekat dan sering keluar-masuk Kampung Ciladong. Dalam pandangan warga, AS dianggap sebagai mata-mata Ahmadiyah bahkan