bahwa konflik yang terjadi antara Jemaat Ahmadiyah dan masyarakt non Ahmadiyah di Lombok lebih disebabkan karena proses komunikasi yang tidak
efektif komunikator, pesan dan metode, baik dari kalangan Jemaat Ahmadiyah maupun dari masyarakat Lombok.
Penelitian yang terkait dengan pluralisme dan Jemaat Ahmadiyah ditulis oleh Budiwanti 2009. Dalam tulisannya, Budiwanti mengatakan bahwa
pluralisme di Indonesia sudah runtuh melihat perlakuan masyarakat, ormas Islam dan MUI kepada Jemaat Ahmadiyah. Menurut Budiwanti fatwa MUI tentang
Jemaat Ahmadiyah yang sesat menjadi legitimasi bagi organisasi Islam radikal untuk menyerang Jemaat Ahmadiyah.
2.2. Pluralisme Keberagamaan
Pluralism adalah istilah kefilsafatan yang diadopsi dari Bahasa Inggris, plural yang berarti jamak atau banyak dengan implikasi perbedaan, dan ism yang
berarti paham atau aliran. Dengan demikian, istilah pluralisme selengkapnya dapat diartikan sebagai paham atau aliran kefilsafatan yang mengakui secara sungguh-
sungguh terhadap kenyataan bahwa terdapat banyak kelompok manusia yang berbeda-beda dalam suatu negara, baik atas dasar etnis, ras, budaya, agama dan
kepercayaan. Menurut The Oxford English Dictionary, seperti yang dikutip Abdillah
2001 disebutkan, bahwa pluralisme dipahami sebagai: 1 suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis, dan mendukung desentralisasi dan
otonomi untuk organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama-
sama di antara sejumlah partai politik. 2 keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta
keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya. Definisi yang pertama mengandung pengertian pluralisme politik,
sedangkan definisi kedua mengandung pengertian pluralisme sosial atau primordial.
Namun demikian, sebagaimana perhatian utama tesis ini adalah mengenai agama dan interaksi antarkelompok keagamaan, maka istilah pluralisme akan
digunakan dalam konteks agama. Pluralisme keberagamaan di sini diartikan
sebagai gagasan atau paham yang mengandaikan: 1 kelompok keagamaan yang berbeda-beda dapat berkoeksistensi di dalam satu masyarakat di bawah sistem
teologi dan hukum mereka sendiri, dan 2 tidak satu kelompok pun yang dapat memonopoli terhadap keselamatan. Pluralisme di sini juga dibedakan dari
inklusivisme, karena keduanya memiliki kerangka paradigmatiknya sendiri dalam melihat agama. Apabila inklusivisme meniscayakan pemahaman terhadap agama
lain dari segi adanya dimensi kesamaan substansi dan nilai, maka pluralisme justru mengakui dan menegaskan adanya perbedaan-perbedaan. Pluralisme tidak
saja dibedakan dari inklusivisme, tetapi juga dibedakan dari subyektivisme, relativisme, multikulturalisme, dan globalisme Boase 2005, Rahman 2001.
Dengan kata lain, pluralisme hendak membangun pemahaman mengenai agama-agama itu sebagaimana realitas mereka sendiri yang memang berbeda-
beda. Hanya saja, dalam memberikan respons terhadap diversitas tersebut pluralisme menawarkan sesuatu yang baru.
Pertama, ia menghendaki keterlibatan aktif setiap individu untuk menyulam perbedaan-perbedaan tersebut, guna mencapai tujuan kebersamaan. Kedua, ia
tidak sekadar menganjurkan penghargaan terhadap yang lain toleransi, tetapi lebih pada ikhtiar membangun pemahaman yang konstruktif constructive
understanding mengenai orang lain religious others. Ketiga, ia bermaksud menemukan komitmen bersama di antara keanekaragaman komitmen encounter
commitments. Jadi, sangat berbeda dengan relativisme, karena apabila pluralisme hendak mencapai komitmen bersama untuk kemanusiaan, maka relativisme justru
menegasikannya, bahkan mengingkari kebenaran agama-agama itu sendiri Misrawi 2007.
Shihab 1999 juga mengisyaratkan bahwa dalam pluralisme yang terpenting adalah bukan semata-mata berupa pengertian yang merujuk pada
kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun juga keterlibatan aktif dalam kemajemukan tersebut. Partisipasi tersebut ditunjukkan melalui sikap interaktif
secara positif dalam lingkungan yang majemuk, tidak melakukan klaim dan monopoli atas suatu kebenaran, serta bersikap terbuka terhadap perbedaan-
perbedaan yang ada.
Diana L. Eck berpendapat, seperti yang ditulis Omid Safi 2003, Misrawi 2007 dan Ali 2003 bahwa terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan
dalam pluralisme, yaitu: 1 pluralisme sama sekali tidak sama dengan perbedaan diversity, seperti masyarakat yang berlatar belakang agama dan etnik yang
berbeda. Perbedaan latar belakang ini membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lain; 2 tujuan pluralisme sama sekali bukan bersikap ”toleransi” terhadap orang
lain tetapi lebih dari itu ada upaya aktif untuk mencapai pemahaman satu sama lain; 3 pluralisme berbeda dengan relativisme. Jika pluralisme hendak mencapai
komitmen bersama untuk kemanusiaan, maka relativisme justru menegasikan dan mengingkari kebenaran agama-agama itu sendiri.
Pluralisme keberagamaan Banchoff 2008 merupakan konsep yang melampui konteks nasional dan politik. Dalam teologi, terma pluralisme
keberagamaan kerapkali menganjurkan sikap-sikap harmoni, tindakan terlibat di satu tempat, atau kesesuaian dengan orang lain yang melampaui tradisi-tradisi
keberagamaan sebagai lawan dari sikap eksklusivisme keagamaan. Dalam sosiologi, pluralisme keberagamaan mengacu kepada tradisi-tradisi keberagamaan
yang berbeda-beda di dalam ruang sosial atau kultural yang sama. Pluralisme keberagamaan juga mengacu pada pola-pola interaksi damai diantara aktor-aktor
pemeluk agama yang berbeda-beda, yaitu individu dan kelompok yang bertindak menurut cara-cara keagamaan tertentu.
Berdasarkan atas berbagai kajian terhadap gagasan dan praktek pluralisme keberagamaan di berbagai kawasan, para sarjana telah menyusun beragam
pengertian pluralisme keberagamaan yang berbeda-beda. Sebagian pengertian tersebut sekalipun pada intinya dimasudkan untuk memperjelas arti penting etika
global ini dalam menciptakan harmoni antarumat beragama, namun tidak semuanya digunakan sebagai definisi operasional dalam kajian ini. Konsep
pluralisme dalam penelitian ini mengacu pada konsep Diana L. Eck 2006.
2.3. Fundamentalisme dan Konflik Keberagamaan
Ketika Islam datang, sebenarnya kepuluan Nusantara sudah mempunyai peradaban yang bersumber dan pengaruh dari kebudayaan Hindu-Budha dari
India, yang penyebaran pengaruhnya tidak merata. Para sejarawan sepakat bahwa penyebaran Islam di Indonesia dilakukan melalui proses dan pola secara damai