Munculnya Konflik Komunal MEMUDARNYA PLURALISME DI PEDESAAN JAWA

terhadap identitas kelompok. Dalam konteks Desa Cikeukeuh, pecahnya konflik justru berawal dari persoalan keagamaan perbedaan teologi dan diperkuat lagi dengan rasa kecewa masyarakat kepada pemerintah yang tidak tanggap dengan keinginan masyarakat untuk menyelesaikan masalah Jemaat Ahmadiyah. Jadi, Bertrand benar di satu sisi lemahnya legitimasi terhadap pemerintah dan ancaman terhadap identitas non Ahmadiyah, namun tidak tepat di sisi lain seolah bukan persoalan keagamaan. Munculnya konflik komunal ini tidak bisa juga dilepaskan dari memudarnya pluralisme di desa yang pernah berjalan sebelum era reformasi akibat regulasi dan fatwa terkait Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh pemerintah dan MUI. Fatwa MUI dan SKB Kabupaten melahirkan segregasi-segregasi dalam masyarakat. Akibatnya hubungan dan interaksi sosial juga sangat terbatas diantara kedua masyarakat tersebut. Bagi Jemaat Ahmadiyah, meski secara sosial tidak begitu masalah, menjalin hubungan lebih erat seperti dahulu sangat beresiko bagi kehidupan bermasyarakat di desa karena dikuatirkan akan direspon negatif oleh masyarakat lain. Jemaat Ahmadiyah lebih baik menjaga dan berhati-hati daripada harus menerima resiko yang tidak diinginkan. Sementara itu, bagi masyarakat pada umumnya menimbulkan ketakutan-ketakutan jika berinteraksi lebih jauh dengan Jemaat Ahmadiyah karena kuatir akan diklaim sebagai orang yang dekat dan pro dengan mereka. Seorang Sekretaris Desa pun harus mengalami kekuatiran yang sama ketika akan masuk Kampung Ciladong hanya untuk mengantarkan surat undangan desa. Dia tidak berani masuk Kampung Ciladong ketika di pertigaan menuju Ciladong banyak warga Mekarsari yang lalu-lalang. Kekuatiran itu sangat beralasan karena sensitifitas warga Sukasari dan Mekarsari sangat tinggi. Warga kedua kampung ini akan bereaksi jika ada warga yang sering keluar-masuk Ciladong karena dianggap dekat dan pro terhadap Ahmadiyah. Kekuatiran-kekuatiran inilah yang dijaga oleh warga di Desa Cikeukeuh termasuk aparat desa sendiri. Buka tanpa dasar, reaksi warga kedua kampung itu pernah dibuktikan ketika seorang aparat desa AS yang dekat dan sering keluar-masuk Kampung Ciladong. Dalam pandangan warga, AS dianggap sebagai mata-mata Ahmadiyah bahkan dituduh sebagai orang yang memberikan informasi saat penyerangan ke Ciladong karena sebelum penyerangan warga Ciladong sudah tahu terlebih dahulu dan siap melawan. Meski secara pribadi AS sudah buktikan kalau dia bukan mata-mata atau pembela Ahmadiyah, namun warga tidak peduli dengan alasan yang diberikan AS. Masyarakat minta kepada Kepala Desa agar AS diberhentikan dari aparat desa dengan dukungan sekitar 800 tanda tangan, kemudian diajukan ke KUA karena dia aparat desa yang menangani pernikahan yang ada di desa amil. Akhirnya, AS secara sosial dikucilkan dari pergaulan masyarakat dan statusnya pun tidak jelas, yaitu tidak diberhentikan dan tidak juga diaktifkan. Di sini elit agama CM sangat berperan karena dialah yang memprovokasi warga hingga bernasib demikian. CM kerapkali memberitahukan warga bahwa AS seringkali keluar-masuk Ciladong. Interaksi sosial yang terjadi saat ini, meski masih ada, adalah interaksi sosial kepura-puraan pseudo social interaction jika tidak dikatakan munafik. Interaksi sosial yang terbangun bagus dan menciptakan sikap toleransi bahkan terwujudnya kehidupan pluralisme di tengah masyarakat sebelum tahun 2005, kini mengalami pemudaran, jika tidak dikatakan hilang sama sekali terutama di kampung- kampung yang berdekatan dengan Ciladong. Bagi kedua masyarakat, hingga saat ini masih ada perasaan “luka” dan trauma dengan kejadian tahun 2010 yang lalu sehingga sangat sulit membangun kembali sikap toleransi dan kehidupan pluralisme seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Segregasi interaksi sosial akibat regulasi yang dikeluarkan pemerintah dan fatwa MUI tentu saja mematikan sikap toleransi dan pluralisme itu sendiri. Pluralisme memungkinkan terjadinya kerukunan dalam masyarakat, bukan konflik. Dalam model nation-state Rahman 2011 diperlukan suatu konsep baru dalam mengelola masyarakat yang heterogen, yakni pluralisme. Pluralisme ini sebenarnya identik dengan paham masyarakat terbuka open society Paham masyarakat terbuka ini memungkinkan tegaknya demokrasi dan mencegah setiap bentuk otoritarianisme keagamaan. Menurut Bhattarai 2004 ada empat pola dasar hubungan dalam masyarakat plural, yaitu penggabungan amalgamation, yaitu munculnya bentuk kebudayaan baru di tengah kebudayaan-kebudayaan lain, asimilasi assimilation, yaitu kelompok minoritas mengadopsi nilai-nilai mayoritas, segregasi segregation, yaitu pemisahan kelompok-kelompok budaya melalui alat pendiskriminasian regulasi, dan pluralisme pluralism, yaitu kelompok budaya masyarakat hidup bersama dalam hubungan dinamis dan punya komitmen untuk kepentingan bersama. Empat pola dasar hubungan ini dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 13 Pola dasar hubungan dalam masyarakat plural Empat Pola Dasar Hubungan dalam Masyarakat Plural Pola Rumusan Penjelasan Penggabungan amalgamation A + B + C = D Munculnya formasi kelompok budaya baru Asimilasi assimilation A + B + C = A Kelompok minoritas mengadopsi nilai-nilai mayoritas hegemoni Segregasi segregation A ≠ B = A ≠ B Pemisahan kelompok budaya melalui alat pendiskriminasian regulasi Pluralisme pluralism A + B + C = A + B + C Kelompokbudaya hidup bersama dalam hubungan dinamis Sumber: Bhattarai 2004 Pola dasar hubungan dalam masyarakat plural yang digambarkan Bhattarai di atas tercermin dari masyarakat di Desa Cikeukeuh. Masyarakat Cikeukeuh yang plural menjadi tersegregasi akibat dari regulasi yang dikeluarkan pemerintah dan juga MUI. Masyarakat yang awalnya hidup bersama dan berkomitmen dalam pembangunan desa berujung pada keterpisahan sosial akibat pembatasan-pembatasan yang terdapat dalam regulasi pemerintah sehingga juga menurunkan makna hidup dan komitmen bersama dalam kerangka pembangunan desa. Bahkan tidak saja sebatas pada pemisahan sosial, yang muncul kemudian adalah konflik baru karena satu pihak mengklaim pihak lain melanggar regulasi tersebut. Tidak ada upaya atau akomodasi yang dilakukan pemerintah dari pemerintahan desa hingga pusat. Konflik berhenti hanya karena upaya pengamanan dari kepolisian selama beberapa bulan. Menurut Kepala Desa, pemerintahan desa tidak bisa menyelesaikan masalah Ahmadiyah karena bukan kewenangan desa, melainkan kewenangan pemerintah pusat. Senada dengan itu, Pemda Kabupaten juga merasa tidak bisa berbuat banyak dalam memecahkan persoalan ini karena kewenangan pemerintah pusat. Masyarakat meminta pemerintah lebih tegas dalam menyelesaikan masalah Ahmadiyah dengan keputusan yang tegas. Mereka menganggap SKB 3 Menteri tidak tegas apakah membiarkannya atau melarang kegiatan Ahmadiyah. Bagi masyarakat yang menentangnya, pemerintah dipersilahkan melegalkannya asal Ahmadiyah tidak membawa-bawa atribut Islam jadi agama tersendiri, atau sekaligus melarang kegiatannya dengan keputusan yang tegas. Masyarakat tidak mau Ahmadiyah mengaku Islam karena ajaran dan praktek-praktek keagamaannya berbeda dengan masyarakat Islam kebanyakan.

6.4.2 Kekuasaan Agama dan Kekuasaan Negara

Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan pada agama tertentu dan bukan pula negara sekuler. Namun, dalam prakteknya, kerancuan dan ambiguitas kerapkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dimana negara tidak jarang mencampuri masalah-masalah keagamaan atau mengesahkan peraturan-peraturan yang berbasis agama seperti yang nampak pada Perda Syariah di berbagai daerah di tanah air. Azra 2002 menyebut kondisi pascareformasi tidak lagi mengandung restriksi-restriksi seperti pada masa Orde Baru, bahkan sekarang mendorong kristalisasi kelompok atau komunitas-komunitas tertentu yang berusaha mendapatkan pengakuan dari negara terhadap paham yang mereka yakini. Kuatnya desakan dari kalangan tertentu untuk membubarkan Ahmadiyah dan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang terkait dengan Ahmadiyah adalah bentuk dari bagaimana persoalan agama dan negara menjadi tidak jelas. Negara mengambil alih peran yang semestinya dilakukan oleh agama sebagai institusi yang mengurus masalah-masalah agama, termasuk masalah keyakinan. Salah satu persoalan yang berkaitan dengan Ahmadiyah adalah persoalan teologis. Karena persoalan teologis, maka masalah ini adalah persoalan internal umat Islam, dan umat Islam sendiri yang mesti menyelesaikannya. Menyerahkan masalah ini kepada pemerintah, di samping mengaburkan penanganan masalah, juga merugikan umat Islam itu sendiri. Namun demikian, kalaupun negara diharapkan menangani dan terlibat dalam masalah ini, tugas negara tidak lebih sebagai fasilitator saja dalam mendialogkan kelompok-kelompok yang bertikai CRCS 2008. Jelas sekali, dalam kasus Ahmadiyah, bahwa keluarnya SKB Muspida dan Peraturan Gubernur Jawa Barat mengacu kepada SKB 3 Menteri, dimana SKB 3 Menteri dan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat Bakorpakem juga didasarkan pada fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah keluar dari Islam, sesat dan menyesatkan. Di sini terjadi relasi institusi agama MUI dan institusi negara yang diwakili oleh lembaga negara yang terlibat dalam mengeluarkan SKB 3 Menteri tersebut. Majlis Ulama Indonesia MUI, sebagai wujud dari keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477740541978 yang diantaranya berisi bahwa agama yang diakui pemerintah ada 5 lima termasuk Islam, diberi wewenang mengontrol praktek-praktek dan penafsiran keagamaan di tengah masyarakat. Hasil penafsiran dan pengawasan MUI inilah yang menjadi referensi mana saja praktek-praktek keagamaan yang dianggap murni dan yang dianggap menyimpang atau sesat. Rahardjo 2011 menulis bahwa dalam sejarahnya memang selalu ada relasi kuat antara agama dan negara-negara Nusantara dalam hubungan saling mempengaruhi dan saling membutuhkan. Negara membutuhkan agama dalam mendapatkan legitimasi kekuasaan, dan agama membutuhkan negara untuk melindungi dan menegakkan ajaran-ajaran agama. dengan lahirnya ideologi sekuler sebagai doktrin kenegaraan modern, maka negara sudah mulai meninggalkan agama karena agama dianggap banyak menimbulkan masalah. Dalam reaksinya terhadap situasi ini, agama mengalami ideologisasi, terutama agama-agama monoteistik. Dalam ideologisasi itu doktrin komprehensif keagamaan disesuaikan dengan struktur ideologi yang mencakup visi kenegaraan. Dalam perkembangan pemikiran Islam, timbul wacana dari ulama al Azhar Sheikh Ali Abdul Raziq bahwa Islam itu hanya membawa visi dan misi agama, tidak visi dan misi negara. Oleh sebab itu, agama sesungguhnya membawa pesan dakwah bukan pesan politik. Di Barat, khususnya Eropa, konsep kesatuan agama dan negara ini menimbulkan masalah karena melahirkan asolutisme dan diskrimiminasi. Guna menghapus absolutism itu lahirlah gagasan sekularisme yang memisahkan agama dan negara. Konsep sekularisme menimbulkan proses sekularisasi yang menyingkirkan peranan agama di ruang publik, khususnya ruang publik politik. Kuatnya relasi agama dan negara dalam masalah Ahmadiyah di Indonesia menimbulkan hegemoni agama yang dilakukan oleh negara. Interpretasi MUI yang dijadikan sandaran dan rujukan negara kemudian diinstitusionalisasikan institutionalized melaui peraturan-peraturan negara SKB, Pergub, SK BupatiWalikota. Ketika ini dilakukan, maka yang terjadi adalah negara telah melakukan hegemoni agama yang kemudian melemahkan pluralisme di tingkat masyarakat pedesaan. Dominannya peran negara dalam masalah-masalah keagamaan akan membawa dampak negatif bagi relasi agama-negara maupun relasi antarumat beragama. Kalau kita refleksikan konflik antarumat beragama, seperti konflik Ahmadiyah, yang belakangan ini marak di berbagai daerah adalah bom waktu atas kegagalan dan rapuhnya pengelolaan pluralitas agama oleh negara pasca- institusionalisasi agama-agama melalui regulasi-regulasi yang berkaitan dengan Ahmadiyah. Oleh sebab itu Hadi 2011, untuk menjaga pluralisme tetap terjaga di masyarakat reposisi peran atau hegemoni yang dijalankan negara harus segera dilakukan. Pemerintah tidak lagi berperan sebagai yang mengatur melainkan berperan sebagai fasilitator.

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan uraian di bab-bab sebelumnya ditemukan telah terjadi pemudaran pluralisme di pedesaan. Pemudaran pluralisme ini terjadi terutama di kampung-kampung yang berdekatan dengan kampung tempat Jemaat Ahmadiyah berdomisili. Hal tersebut terjadi dikarenakan sikap sebagian masyarakat elit agama yang reaktif terhadap keberadaan Jemaat Ahmadiyah yang menggunakan dalil-dalil agama, fatwa MUI, SKB 3 Menteri dan SKB Muspida untuk tidak bersikap toleran terhadap Ahmadiyah. Beberapa kesimpulan lainnya adalah: 1. Respon masyarakat atas keberadaan Jemaat Ahmadiyah sangatlah beragam bergantung pada lapisan masyarakat dan domisilinya. Respon negatif dan reaktif diperlihatkan oleh elit agama dan masyarakat yang berdekatan dengan Kampung Ciladong Sukasari dan Mekarsari. Sementara respon positif dan toleran diperlihatkan oleh tokoh agama, aparat desa dan masyarakat biasa di kampung yang berjauhan dengan Kampung Ciladong Sadang dan Nanggreg. 2. Munculnya konflik bersumber dari perbedaan keyakinan. Namun menjadi konflik terbuka ketika pelanggaran Jemaat Ahmadiyah atas SKB Kabupaten yang melarang melakukan kegiatan selain shalat. Pembangunan mesjid oleh masyarakat adalah bentuk kegiatan yang dilarang oleh SKB tersebut. Masalah ini tidak cepat direspon pemerintah kabupaten sehingga menyulut kemarahan warga. Pascakonflik tidak ada upaya-upaya akomodatif yang dilakukan pemerintah. Konflik reda karena pengamanan aparat kepolisian bukan dengan jalan akomodatif yang dilakukan oleh pihak pemerintah. 3. Sebagian masyarakat terpengaruh dengan sikap sebagian elit agama yang mendorong masyarakat menolak segala aktifitas yang dilakukan oleh Ahmadiyah. Hal ini termanifestasi dalam bentuk perubahan pandangan dan tindakan yang mereka tunjukkan kepada Ahmadiyah. Tidak saja sekarang memandang Ahmadiyah sebagai orang yang sesat, kafir, dan menghina Islam, melainkan juga ditunjukkan dengan tindakan-tindakan anarkis berupa penyerangan ke kampung dimana Ahmadiyah tinggal. Peristiwa ini terjadi pada tahun 2010 dimana rumah warga Ahmadiyah dilempar batu dan beberapa rumah dan mesjid juga dibakar massa. Konsekuensi yang ditanggung masyarakat secara keseluruhan adalah hilangnya rasa saling percaya diantara masyarakat non Ahmadiyah dan Ahmadiyah. Hal ini berakibat pada hubungan sosial yang makin renggang sehingga tidak terbentuk kohesifitas masyarakat yang akan membentuk rasa saling pecaya tersebut.

7.2 Saran

1. Untuk menjaga tradisi pluralisme dan toleransi dalam kehidupan keagamaan di pedesaan, sebagaimana yang pernah terjadi, diperlukan pemahaman keagamaan yang lebih terbuka dan tidak reaktif kepada golongan yang pemahamannya tidak sejalan. Pemahaman keagamaan yang terbuka perlu diajarkan di sekolah-sekolah dan pengajian-pengajian sebagai basis sosialisasi. Kegiatan-kegiatan keagamaan yang pernah terlembaga selama ini antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah perlu dihidupkan kembali yang difasilitasi oleh aparat desa bersama tokoh agama. 2. Pemerintah dan pihak-pihak terkait perlu membangun dialog guna membangun kepercayaan antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah. Dialog diperlukan untuk menciptakan ruang interaksi sesering mungkin antara dua warga yang berbeda secara teologis. 3. Untuk kajian lebih lanjut, diperlukan kajian khusus tentang regulasi yang berkaitan dengan Ahmadiyah, dan bagaimana dampak sosiologisnya dalam masyarakat. DAFTAR PUSTAKA A`la A. 2008. Genealogi Radikalisme Muslim Nusantara: Akar dan Karakteristik Pemikiran dan Gerakan Kaum Padri dalam Perspektif Hubungan Agama dan Politik Kekuasaan dalam Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Adab, IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Abdillah M. 2001. Pluralisme dan Toleransi. Di dalam: Achmad N ed. Pluralitas Agama: Kerukunan dan Keragaman. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Abdullah T. 1987. Islam dan Masyarakat. Jakarta: LP3ES. Ahmad BM. 1996. Apakah Ahmadiyah Itu? Parung: Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Alfian MA. 2009. Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Alhadar AH. 1977. Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah. Bandung: PT. al-Ma`arif. Ali K. 1980. History of India, Pakistan Bangladesh. Dacca: Ali Publication. Ali M. 1998. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Bandung: Penerbit Mizan. Ali M. 2003. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Penerbit Kompas. Ali MM. 1959. Mirza Ghulam Ahmad of Qodian, His Life and Mission. Lahore: Ahmadiyah Anjuman Isha`at Islam. Assyaukanie L. 2009. Fatwa and Violence in Indonesia. Journal of Religion and Society. Vol. XI. Arkoun M. 1999. Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Postmodernisme. Surabaya: Al Fikri. Armstrong K. 2000. The Battle for God: Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam. London: Harper Collins Publishers. Azra A. 1996. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina. ----------. 1999. Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana Dan Kekuasaan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. ----------. 2002. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat. Jakarta: Buku Kompas Bagir ZA. 2011. Telaah Kasus Ahmadiyah Di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Banchoff T. 2008. Religious Pluralism in World Affairs. Dalam Religious Pluralism, Globalization, and World Politicts. ed Thomas Banchoff. New York: Oxford University Press. Bhattarai HP. 2004. Cultural Diversity And Pluralism In Nepal: Emerging Issues And The Search For A New Paradigm. CNAS Journal. Vol 31. No. 2. Berger PL Luckmann T. 1966. The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociology of Knowledge. England: Penguin Group. Bertrand J. 2004. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. New York: Cambridge University Press. Boase R. 2005. Islam and Global Dialogue: Religious Pluralism and the Pursuit Peace. England: Ashgate Publishing Limited. Bosworth CE 1980. The Islamic Dynasties: A Chronological and Genealogical Handbook. Edinburg: Edinburg University Press. Bottomore TB. 1984. Kelompok Elite dan Masyarakat Dalam Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Penyunting Sartono Kartodirdjo. Jakarta: LP3ES. Brown LC. 2003. Wajah Islam Politik: Pergulatan Agama Negara Sepanjang Sejarah Umat. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Bryman A. 2001. Social Research Methods. New York: Oxford University Press. Budiwanti E. 2009. Pluralism Collapses: A Study of the Jama`ah Ahmadiyah Indonesia and Its Persecution. Jurnal Asia Research Institute: National University of Singapore. Vol. 3. Chang W. 2003. Berkaitan dengan Konflik Etnis-Agama. Dalam Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Jakarta: INIS. Dahrendorf R. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. California: Stanford University Press. Dard AR. 1948. Life of Ahmad. Vol. I. Lahore: Tabshir of Publication. Donohue J Esposito L. 1995. Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah- masalah. Machnun Husein, penerjemah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Terjemahan dari: Islam in Transition: Muslim Perspectives. Eck DL. 2006. On Common Ground: World Religious in America. Columbia University Press. Euben RL. 2002. Musuh dalam Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern. Satrio Wahono, penerjemah. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Terjemahan dari: Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and the Limits of Modern Rationalism, A Work of Comparative Political Theory. Fathoni M. 1994. Faham Mahdi Syi`ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Fauzi S. 2007. Respon Ormas Islam terhadap Aliran Ahmadiyah di Indonesia. Tesis pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Garaudy R. 1993. Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya. Bandung: Pustaka. Geertz C. 1973. The Interpretation of Cultures: New York: Basic Books. -----------.1968. Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia. Chicago: The University of Chicago Press. ----------- .1960. “The Javanese Kijaji: The Changing Roles of A Cultural Broker” dalam Jurnal Comparative Studies in Society and History, Vol. 2, No. 2. 1960 Hadi S. 2011. Relasi dan Reposisi Agama dan Negara: Tatapan Masa Depan Keberagamaan Di Indonesia. Jurnal Millah. Vol. X. No. 2. Yogyakarta: Pascasarjana FIAI UII. Hakim M. 2005. Kenapa Ahmadiyah Dihujat. Jakarta: SDM Bina Utama. Hasani I, Naipospos BT, ed. 2011. Ahmadiyah Dan Keindonesiaan Kita. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara. Hasani I. et. al. 2011. Radikalisme Agama di Jabodetabek Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama Berkeyakinan. Jakarta: Publikasi SETARA Institute. Hefner R.W. 2005. Remarking Muslim Politics, Pluralism, Contestation, Demo- cratization. Princeton: Princeton University Press. Hidayat K. 1996. Memahamai Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina. ------------. 2012. Agama Punya Seribu Nyawa. Jakarta: Noura Books.