Agama dan Praktek Keagamaan dalam Masyarakat

Masyarakat juga menganggap bahwa pendidikan keagamaan untuk kalangan anak-anak anggota baru melalui pendidikan formal maupun melalui sosialisasi yang dilakukan oleh para orang tua dalam lingkungan keluarga menjadi penting. Adanya anggota-anggota muda menyebabkan kelompok-kelompok keagamaan tetap lestari, begitu juga keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianut, walaupun proses regenerasi berlangsung secara alamiah – generasi sebelumnya menjadi tua, lalu mati. Dalam konteks ini, banyak warga yang memilih dan menyekolahkan anak- anak mereka ke sekolah agama atau pesantren, meskipun sekarang sudah mulai berkurang bila dibandingkan dengan beberapa waktu yang lalu. Sekolah agama atau pesantren yang menjadi pilihan masyarakat adalah pesantren di Kananga, Menes Banten dan Tipar Sukabumi. Tokoh-tokoh agama yang menjadi penyiar Islam dulu dan sekarang tidak lepas dari ketiga pesantren tersebut. Kelompok-kelompok keagamaan dalam masyarakat tidak hanya melakukan kegiatan-kegiatan peribadatan dan pendidikan saja, tetapi juga melaksanakan berbagai kegiatan sosial dan derma bagi anggota masyarakat yang tertimba musibah atau yang sedang membutuhkan. Melalui kegiatan-kegiatan kelompok tersebut, juga ditanamkan semacam keterikatan dan solidaritas sosial yang terpusat pada doktrin-doktrin agama. Melaui kegiatan-kegiatan kelompok keagamaan tersebut, dan tentu saja implementasi ritual keagamaan secara personal, maka agama dari waktu ke waktu tetap ada dalam struktur kehidupan masyarakat Cikeukeuh. Meski masyarakat percaya kepada makhluk-makhluk gaib, tetapi mereka tidak lazim pergi ke tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti kuburan, untuk meminta sesuatu. Bagi masyarakat tindakan seperti itu dinamakan syirik politeisme dan sangat bertentang dengan ajaran agama. Sesungguhnya di desa ini terdapat sebuah tempat yang dianggap keramat dan banyak didatangi oleh masyarakat di luar desa, seperti dari Tangerang, Jakarta dan Cirebon. Tempat yang dimaksud adalah sebuah kuburan yang dinamakan dengan kuburan Mbah Bayat. Para peziarah luar desa percaya bahwa dengan datang ke kuburan Mbah Bayat dapat menyembuhkan penyakit. Tidak ada yang mengetahui secara persis siapa Mbah Bayat tersebut. Namun, masyarakat hanya dapat cerita secara turun- temurun bahwa kuburan itu adalah kuburan Mbah Bayat dan memiliki sifat kewalian. Bagi masyarakat setempat, mengacu kepada ajaran Islam, ziarah ke kuburan dibolehkan dengan tujuan mendoakan kuburan keluarga dan mencari berkah kuburan wali dan orang-orang soleh. Selain itu, maka tindakannya dianggap syirik. Peran ajaran Islam dan tokoh agama melalui pengajian-pengajian sangat menentukan kenapa masyarakat tidak begitu mengkeramatkan atau mengkultuskan kuburan tersebut. Beberapa praktek-praktek yang dipercaya dari ajaran Hindu sudah tidak ada lagi di desa ini. Dulu kalau orang mau melaksanakan hajatan biasanya ada sesajen berupa bubur nasi, ayam panggang dan ikan panggang. Sesajen ini dihidangkan saat hajatan dengan tujuan agar hajatan yang tengah dilaksanakan lancar, selamat dan tidak turun hujan. Begitu juga dengan orang hendak membangun rumah, mereka biasanya menyiapkan ayam, kelapa dan tiwuh yang kemudian ditempatkan di atas rumah. Ini dilakukan untuk keselamatan dan rumah yang akan ditempati nanti akan aman dari gangguan-gangguan gaib. Kebanyakan petani dulu juga melakukan hal yang sama, yaitu menyediakan lima kepal padi, ayam panggang, cabe, telor, nasi yang diletakkan di pinggir atau di tengah sawah sehari sebelum panen. Bagi petani, ini adalah bentuk hadiah yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Dandayang Sri Pohaci yang dipercaya sebagai sumber atau asal padi. Pada malam hari menjelang panen, petani biasanya membaca kitab atau buku Sulan Janna yang berisi cerita-cerita padi dari Sang Hyang Dandayang Sri Pohaci dalam bahasa Jawa. Masyarakat menyebut praktek-praktek dan kepercayaan terhadap Sang Hyang Dandayang Sri Pohaci yang dilakukan petani ini sebagai kepercayaan atau agama Buhun. Tidak sedikit juga masyarakat yang membuat anyaman dari bambu berukuran 30 cm x 30 cm yang di dalamnya berisi nasi, daging, ikan kemudian ditempatkan di kebun atau di sekitar rumah ngancak dengan tujuan menghindari bahaya. Masyarakat yang melakukan praktek-praktek demikian adalah mereka yang beragama Islam dan sering mengikuti pengajian dimana mereka tahu kalau itu tidak boleh dalam Islam. Mereka masih terpengaruh dan terbiasa dengan praktek- praktek yang sebagian kelompok masyarakat bertentangan dengan ajaran Islam. Tidak ada penolakan keras dari ulama terhadap budaya seperti itu, meski dalam pengajian-pengajian tokoh agama kerap mengingatkan masyarakat agar menghindari praktek-praktek yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akan tetapi hilangnya budaya dan praktek-praktek warisan Hindu itu dipercaya masyarakat sebagai pengaruh atas keberadaan Islam dan himbauan dari tokoh-tokoh agama.

4.4. Kampung Ciladong dan Jemaat Ahmadiyah

Menurut penuturan tokoh-tokoh masyarakat Ciladong, Kampung Ciladong di jaman penjajahan Belanda dan Jepang menjadi tempat persembunyian dan perkumpulan orang-orang jawara. Pada jaman itu namanya bukan Ciladong tetapi kampung Garuda Ngupuk, diartikan sebagai kampung tempat berkumpulnya para jawara. Warga Ciladong juga terkenal dengan jawaranya sehingga ditakuti warga desa-desa sekitarnya sehingga tidak banyak yang berani masuk kampung ini, disamping karena kampung ini berlokasi jauh dari jalan utama. Ilmu jawara semakin hilang sejalan dengan warganya yang memeluk ajaran Ahmadiyah. Kampung Cisalada terdiri dari dua Rukun Tetangga RT, yaitu RT 01 dan RT 02. Jumlah penduduknya sebanyak 438 jiwa yang terdiri dari 242 jiwa laki- laki dan 196 jiwa perempuan, serta 118 KK. Kebanyakan warga Ciladong bekerja sebagai wiraswasta dan buruh konveksi tas dimana mereka bekerja di rumah masing-masing. Sisanya berprofesi sebagai tani 60 orang, guru PNS 5 orang, dan lain-lain. Petani di kampung ini, seperti di kampung-kampung lain, identik dengan mereka yang sudah tua. Para pemuda, sebagaimana di kampung-kampung lain di Desa Cikeukeuh, tidak menunjukkan daya tariknya untuk terjun di dunia pertanian. Mereka lebih memilih meninggalkan kampung dan mencoba mengadu nasib di daerah lain seperti Jakarta dan Bandung. Keterbatasan lapangan pekerjaan yang tersedia di Desa Cikeukeuh menjadi penyebab kenapa ini terjadi disamping dunia pertanian tidak lagi memberikan harapan dalam memenuhi kebutuhan warga. Kebanyakan petani di kampung yang dihuni oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI ini berstatus petani penyewa dibandingkan petani pemilik. Petani kampung ini biasanya lebih cenderung menanam padi dan kadang-kadang menanam palawija sebagai pengganti tanaman padi. Lahan yang ada di kampung ini masih milik warga Ciladong dan belum ada yang dijual kepada orang luar kampung. Meski ada orang luar Kota Bogor yang punya seluas 4000 m², namun masih keturunan warga Ciladong. Bahkan yang terjadi sebaliknya, lahan yang dulu milik orang luar sekarang sudah menjadi milik warga Ciladong. Sistem pernikahan masyarakat Ciladong hampir dipastikan berasal dari mereka yang beraliran Ahmadiyah, baik dari Ciladong sendiri maupun dari luar Ciladong. Aliran Ahmadiyah adalah suatu keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi bayangan setelah Nabi Muhammad. Bagi Jemaat Ahmadiyah Ciladong, pernikahan sesama Ahmadiyah untuk menghindari perpecahan karena ada perbedaan-perbedaan ajaran dan praktek keagamaan. Diantara perbedaan itu adalah masalah keyakinan ada nabi setelah Nabi Muhammad, yaitu Mirza Ghulam Ahmad dan canda 4 . Jika pernikahan terjadi antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah, dikuatirkan akan terjadi kesalahpahaman karena non Ahmadiyah tidak terbiasa dengan keyakinan dan praktek-praktek keagamaan Ahmadiyah, seperti halnya kepercayaan kepada Mirza Ghulam Ahmad dan masalah canda. Menurut Ketua Jemaat Ahmadiyah Cabang Ciladong MA, pernikahan dengan non Ahmadiyah ghoir tidak sampai diharamkan melainkan dianjurkan menikah dengan sesama Ahmadiyah. Ini dibuktikan beberapa kasus warga Ahmadiyah Ciladong menikah dengan warga kampung lain di Desa Cikeukeuh. Meski tidak diharamkan, namun ada sanksi sosial yang akan diterima oleh mereka yang tetap menikah dengan non Ahmadiyah, seperti pernikahannya tidak akan dihadiri. Kaitannya dengan ini MA berkata: “Saya sendiri sering mengingatkan anak-anak saya, saya tidak akan menjodohkan kalian karena kalian yang akan berumah tangga tetapi carilah pasangan hidup kalian yang sesama Ahmadiyah. Kalaupun kalian menikah dengan orang lain ghoir jamaah, maka kita hidup masing-masing saja tanpa ada ikatan kekeluargaan. Kalian tidak dilarang kerumah saya, tetapi saya anggap kalian sebagai tamu Wawancara, 16 Mei 2012. 4 Canda berasal dari Bahasa Urdu yang berarti infak atau kontribusi religius yang dikeluarkan oleh anggota Jamaah Ahmadiyah Ahmadi untuk kepentingan dakwah Islam sesuai kemampuan ekonomi mereka baik berpenghasilan tetap maupun tidak tetap. Infrastruktur, terutama jalan, termasuk yang paling jelek di kampung ini. Kondisi jalan yang berbatu-batu sangat kontras dengan kondisi jalan yang ada di kampung-kampung lain yang beraspal bahkan ada yang diaspal hotmik, seperti di Kampung Cibuluh. Kondisi jalan yang jelek ini terbentang sepanjang 700 m yang membelah kampung ini. Menurut MA, jalan yang rusak sekarang belum pernah diperbaiki semenjak terakhir kali diaspal pada 1992. Perbaikan jalan di Ciladong sebelumnya pernah dijanjikan oleh Kepala Desa dan Camat Kepada Ketua Rukun Warga RW EH. Kepala Desa pernah menjanjikan bahwa pada Desember 2010 jalan menuju Ciladong akan dibeton. Kemudian janji kedua terlontar dari Camat di sela-sela gotong-royong bersama pihak Polsek, Koramil dan lurah. Ketika itu Camat bilang kepada EH bahwa Desembar 2011 jalan di Kampung Ciladong akan diaspal dari dana Propinsi Jawa Barat dimana dia sendiri yang datang dan mengurus ke propinsi. Kedua janji tersebut belum pernah direalisasikan oleh pemerintahan desa dan kecamatan meski sudah direncanakan di dalam Musrenbangdes tahun 2010. Sebagian besar masyarakat Ciladong malah menilai kalau program pengaspalan jalan sudah dipindahkan ke kampung lain, seperti pengaspalan dan betonisasi jalan di Kampung Cibuluh dan Kampung Cihedang padahal jalan di kedua kampung ini sebelumnya masih bagus. Kesenjangan pembangunan memang terlihat di Kampung Ciladong. Berbagai program banyak terserap di kampung-kampung lain. Di antara program- program desa yang masuk Ciladong adalah infrastruktur jalan desa tahun 1984 Gambar 10. Kondisi jalan di Kampung Ciladong. dan 1992, program Raskin, WC umum dan betonisasi jalan-jalan kecil atau gang 2009. Meski kecewa dengan kesenjangan pembangunan ini masyarakat Ciladong lebih memilih sabar dan tidak mempermasalahkannya. Tabel 6 Realisasi Pembangunan Desa Tahun 2010 Jenis Kegiatan Lokasi Biaya Rupiah Volume Sumber Irigasi Kp. Sadang 50 juta 300 M APBD Kab Jalan lingkungan Mekarsari, Cihedang, Lampari, Bumi Asri, Sadang 63,487 juta 4 unit ADD Mesjid Kp. Sadang 5 juta 1 unit APBD Kab Betonisasi jalan desa 17 RT tanpa Kp. Ciladong 206,5 juta 17 unit APBN Perekonomian 9 RT tanpa Kp. Ciladong 34 juta 9 kelompok APBD Kab Kegiatan Sosial RT 01, Kp. Bumi Asri 6 juta 1 kelompok APBD Kab Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Tahun 2010. Terkesan ada diskriminasi pembangunan yang berlangsung di Desa Cikeukeuh dan warga Ciladong merasa seolah dianaktirikan, terutama pasacakonflik yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Bahkan, menurut penuturan Ketua RW 5 Kampung Ciladong EH, pascakonflik beberapa tahun yang lalu program Raskin sempat terhenti untuk Ciladong selama tiga bulan. Tak hanya itu, demikian EH, bantuan insentif guru ngaji dari kabupaten untuk Desa Cikeukeuh tidak pernah diterima sepersen pun oleh guru ngaji Ciladong. Kekecewaan warga Ciladong juga pernah dialamai pada tahun 1974 ketika mereka sedang membangun penampungan air dengan dana swadaya. Penampungan air ini dibangun untuk mengalirkan air ke rumah-rumah warga. Ketika itu Ketua RT 01 MA mengajukan proposal ke Pemerintahan Kabupaten berupa pipa anti karat berukuran 3 inc. Awalnya usulan itu dikabulkan, namun 30 batang pipa yang semula sudah dikirim dan ditempatkan di puskesmas kecamatan