Elit Agama dan Paham Keagamaan

melakukan tindakan kekerasan sikap fundamentalisme terhadap Jemaat Ahmadiyah sebagai bentuk jihad melawan orang kafir. Jackson 1990 mengatakan bahwa selain faktor internal doktrin syariah yang dipandang baku dan sakral, sikap fundamentalisme juga bersumber dari pola hubungan diadik elit- umat yang membentuk klientalisme syariah. Hal ini terjadi sejak syariah diberlakukan sebagai hukum tunggal dan baku pada abad-abad pertama Islam Rahman, 1984. Syariah kemudian berubah sebagai dasar ideologi perubahan semua aspek kehiduapn sosial Garaudy 1993; Abdullah 1987. Pada tahap ini peran dominan elite agama akan berfungsi secara aktual Mulkhan 2000. Di satu sisi, fundamentalisme adalah fungsi dominasi ahli syariah yang memiliki kebebasan menafsir doktrin Islam sesuai kondisi obyektif yang mengitarinya. Pada sisi lain, keberadaan ahli syariah elit agama merupakan pra syarat bagi realisasi aturan syariah dan untuk memelihara identitas diri sebagai “orang Islam”. Dari sini, kebutuhan saling tukar kepentingan elit dan pengikut Jackson, 1990 memunculkan elite “orang saleh”. Elite ini tetap memegang peran penting dalam dinamika sosial pemeluk Islam. Dalam perspektif Weber 1972 dan Turner 1984 dominasi patrimonialisme elit agama ini menyebabkan subyektivisme elitis hubungan sosial Muslim. Masyarakat tidak punya keberanian untuk menyanggah atau mempertanyakan ulang apa yang disampaikan oleh elit agama. Tidak hanya itu, bagi siapa saja yang berani me lawan “arus” elit agama, maka orang tersebut akan mendapat celaan dan akan dikucilkan. Momen itu pernah dialami oleh Sekretaris Desa IZ yang mencoba mengingatkan masyarakat untuk tidak sampai pada tindakan anarkis dalam menghadapi masalah Ahmadiyah ketika pertemuan elit agama dengan tokoh-tokoh masyarakat. Usai mengingatkan masyarakat agar tidak bertindak anarkis, elit agama tradisional langsung berkomentar dengan kata- kata, “Sekdes naon eta Sekdes apaan itu?”. Himbauan Sekdes ini tentu saja berseberangan dengan suasana emosional masyarakat yang sedang geram dengan Ahmadiyah. Pada lain kesempatan elit agama juga memerintahkan kepada masyarakat untuk tidak lagi mengadakan pengajian bersama dengan Jemaat Ahmadiyah yang selama ini sudah terlembagakan dan menjadi salah satu bukti jalannya kehidupan pluralisme keagamaan di desa. Masyarakat menerima keputusan itu termasuk kepala desa tidak bisa berbuat apa-apa dengan keputusan itu karena kepala desa menyerahkan masalah pengajian kepada tokoh agama. Sejak saat itu, hingga sekarang, tidak pernah ada lagi pengajian bersama antara Jemaat Ahmadiyah dan non Jemaat Ahmadiyah, bahkan juga berimbas pada kehidupan sosial lainnya. Elit agama di desa ini terbagi ke dalam dua tipologi, yaitu elit agama yang moderat mereka yang cara pandang keagamaannya terbuka dan bisa menerima perbedaan dan elit agama tradisional mereka yang cara pandang keagamaannya tertutup dan tidak bisa menerima perbedaan. Dalam konteks keberadaan Ahmadiyah, elit agama moderat dapat hidup bersama dalam perbedaan, baik secara kegiatan keagamaan, seperti pengajian bersama, maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara itu, elit agama tradisional yang sangat kuat dengan paham Sunni sulit menerima perbedaan teologis dengan Ahmadiyah karena dianggap membahayakan keimanan masyarakat. Menurut mereka, Ahmadiyah sudah keluar dari Islam bahkan sudah mengacak-acak pemahaman al-Quran. Meski tidak bisa menerima perbedaan dengan Ahmdiyah, namun mereka secara kehidupan sosial tidak mempermasalahkannya.

6.1.2 Aswaja Sebagai Tuntunan Hidup

Masyarakat desa Cikeukeuh adalah masyarakat yang taat beragama, sekalipun sangat beragam dalam tingkat implementasi nilai-nilai religiusnya. Mesjid-mesjid dan mushala di desa menjadi ciri lestari keberagamaan masyarakat. Di tempat ini masyarakat menampakkan keberagamaannya dalam bentuk ibadah ritual maupun pengajian-pengajian yang sudah terjadual. Ritual-ritual keagamaan yang berkembang dan bertahan di masyarakat adalah ritual-ritual yang secara teologi berafiliasi kepada Ahlu Sunnah Wal Jamaah Aswaja dan secara islamic yurisprudence hukum Islam berafiliasi kepada Syafi`iyyah. Semua doktrin ini dianggap sebagai acuan yang baku dan standar yang mempunyai otoritas dalam melaksanakan praktek-praktek keagamaan. Kedua praktek keyakinan secara teologi dan keagamaan secara hukum Islam tidak saja menjadi tuntunan masyarakat desa, melainkan juga menjadi pegangan mayoritas umat Islam Indonesia. Bagi masyarakat, terutama elit agama, paham Aswaja adalah paham yang dianut banyak ulama di Indonesia dan menjadi paham yang kurang lebih paling bisa diterima dari paham-paham yang lain. Sikap-sikap intoleransi akan muncul ketika ada orang yang mempraktekkan atau memperlihatkan paham-paham keagamaan yang berada di luar yang diyakini masyarakat. Ini dibuktikan dengan dilarangnya orang yang mengikuti paham Jemaat Ahmadiyah Indonesia di desa ini karena tidak sejalan dengan paham Aswaja. Aswaja, secara historis, adalah golongan yang berpegang pada Sunnah Nabi dan merupakan mayoritas sebagai lawan bagi kelompok Mu`tazilah kelompok rasionalis yang minoritas dan tidak begitu berpegang pada Sunnah Nabi. Paham Aswaja dianggap sebagai paham tradisional dalam pemikiran Islam dan tidak terbuka terhadap pemikiran rasional. Setiap yang tidak sejalan dengan paham ini maka akan dianggap keluar dari tradisi dan praktek-praktek orisinil para ulama terdahulu, bahkan dianggap keluar dari ajaran Islam. Dalam sejarah Islam, kelompok rasionalis minoritas seperti Mu`tazilah kerapkali dikucilkan oleh kelompok tradisional ini karena dianggap rasional dan liberal. Bahkan tidak sedikit dari mereka menganggap Mu`tazilah sebagai kelompok yang sesat, kafir dan bid`ah praktek keagamaan yang tidak pernah ada dalam tradisi kenabian. Praktek-praktek keagamaan yang berkembang di masyarakat Cikeukeuh tidak berbeda dengan tradisi yang ada di masyarakat NU, meski secara organisatoris NU tidak ada di desa ini. Berkembangnya paham Aswaja dapat dilacak dari pendidikan para ulama yang mengembangkan Islam di daerah ini. Para ulama generasi pertama, seperti KH. MH, KH. MM, KH. MB, KH. FR, KH. AMM, H. AM, H. OG, HB, dan generasi kedua, seperti KH. CM, KH. NS, H. MQ adalah mereka yang pernah santri di beberapa pesantren yang tersebar di Jawa Barat dan Banten yang notabene pesantrennya berpaham Aswaja. Di antara pesantren tempat tokoh agama menimba ilmu agama adalah pesantren di Menes, Kananga Banten, tipar Sukabumi dan Sadeng Bogor. Bahkan hubungan pesantren Kananga dengan desa masih terjalin dengan baik hingga sekarang dibuktikan dengan pengajian bulanan yang disampaikan oleh tokoh-tokoh agama pesantren Kananga, masyarakat menyebutnya pengajian abi turien. Jadi, paham Aswaja yang berkembang di masyarakat sangat ditentukan oleh apa dan bagaimana paham yang dimiliki oleh elit agama. ketika sudah ditransformasikan kepada masyarakat, dan masyarakat menerimanya sebagai suatu keyakinan dan praktek keagamaan, pada saat itu juga terjadi pelembagaan paham Aswaja sehingga sangat tertutup kemungkinan bisa diterimanya paham dan corak pemikiran keagamaan lainnya. Hal yang senada juga dikatakan oleh Sekdes IZ sebagai berikut: “Paham keagamaan di desa ini bersifat tradisional dan semuanya terpusat pada tokoh agama. Orang tidak bisa membantah apa yang dikatakan oleh tokoh agama sehingga pemahaman keagamaan seperti apa yang disampaikan tokoh agama. Saya sering dicap Muhammadiyah meski saya bukan Muhammadiyah karena seringkali berseberangan dengan paham kebanyakan yang dianut masyarakat. Konsekuensinya, setiap saya berpendapat tentang masalah agama, tokoh agama kerapkali curiga kepada saya”. Wawancara, 8 Juni 2012. Menurut Ahmad Ali Riyadi 2005, terma tradisional dalam pengertian bahwa masyarakat tetap bertahan pada khasanah intelektual dan tradisi peninggalan pendahulu. Para ulama terdahulu dianggap mempunyai otoritas yang lebih dibandingkan masyarakat yang ada sekarang dalam hal pemikiran dan praktek keagamaan. Sehingga, dalam prakteknya, masyarakat sangat tidak toleran jika ada perbedaan praktek-praktek keagamaan yang masuk ke desa. Memaksakan praktek keagamaan yang berbeda dengan praktek keagamaan yang berlaku di tengah masyarakat sama saja menentang dan melawan masyarakat. Menurut kebanyakan masyarakat, agak sulit menerima praktek keagamaan yang berada di luar yang sudah menjadi praktek masyarakat selama ini. Bagi masyarakat, praktek keagamaan adalah seperti yang dicontohkan oleh tokoh-tokoh agama desa dan para ulama terdahulu.

6.1.3 Kepemimpinan dan Pengaruh Elit Agama

Northouse 2007 menulis bahwa kepemimpinan adalah proses dimana individu mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini, elit agama adalah sosok yang mempengaruhi masyarakat kaitannya dengan masalah-masalah keagamaan. Masyarakat dituntut menerima apa yang menjadi himbauan atau perintah elit agama karena elit agama merasa memiliki otoritas dalam masalah keagamaan. Di sini proses kepemimpinan berjalan tidak baik karena prosesnya satu arah bukan berjalan secara interaktif antara masyarakat dan elit agama. Keberadaan elit agama sangat berpengaruh terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah agama, bahkan juga dalam kehidupan sosial. Hampir semua persoalan-persoalan keagamaan dipegang oleh elit agama, misalnya menentukan boleh tidaknya mengadakan pengajian di Kampung Ciladong yang masyarakatnya menganut paham Ahmadiyah, menentukan jadual-jadual pengajian, menegur dan menasehati masyarakat yang menyimpang dari paham Aswaja, dan lain-lain. Peran elit lokal terlihat suburnya pengajian di tingkat desa dan di kampung- kampung, sebagai media komunikasi dan pembinaan anggota. Pengajian berkembang menjadi tempat rakyat dan kaum awam mengikat diri secara taqlid di dalam kesatuan “orang saleh” Mulkhan 2000. Dalam pengajian-pengajian ini terjadi transformasi pengetahuan agama yang diterima oleh masyarakat secara mentah-mentah tanpa pernah mempertanyakan kenapa pemahaman keagamaan seperti itu. Meminjam istilah Weber 1964, tindakan sosial dan tipe otoritas yang dilakukan oleh elit agama adalah tipe otoritas tradisional yang berlandaskan pada suatu kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi-tradisi masa dulu serta legitimasi status mereka yang menggunakan otoritas yang dimilikinya. Jadi, alasan penting masyarakat Cikeukeuh taat pada otoritas tradisional ini adalah kepercayaan mereka bahwa hal itu sudah selalu ada. Jenis otoritas yang berdasarkan tradisi ini masih dapat dibedakan ke dalam jenis otoritas yang disebut dengan patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis otoritas di mana kekuasaan didasarkan kepada senioritas. Mereka yang lebih tua dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Sedangkan patrimonialisme adalah jenis otoritas yang mengharuskan seorang pemimpin bekerja sama dengan kerabat-kerabatnya atau dengan orang terdekat yang memiliki loyalitas pribadi kepadanya Pababbari 2010. Di dalam jenis otoritas yang bersifat patriarkhalisme dan patrimonialisme ini ikatan-ikatan tradisional memegang peranan utama. Si pemegang otoritas adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan. Kepemimpinan elit agama di desa ini sangat ditentukan oleh pribadi dan kedudukan yang dipegangnya. Elit agama yang sangat dominan di tingkat desa ketika masalah Ahmadiyah menjadi sorotan adalah CM 1 yang juga menjabat Ketua MUI tingkat desa. CM adalah keturunan seorang ulama besar FR di desa ini yang juga sangat dihormati oleh masyarakat. Dia memiliki pesantren dan merupakan elit agama yang paling senior di desa. Kepemimpinan CM sangat dominatif dan hampir tidak memberikan peluang dan kesempatan masyarakat berpendapat. Elit agama ini cenderung reaktif dan tidak toleran dengan perbedaan sehingga keberadaan Ahmadiyah di desa dianggap mengancam akidah masyarakat. Sikap ingin menjaga akidah masyarakat di jalan yang benar tentu saja sangat berkolerasi dengan posisinya sebagai Ketua MUI desa. Ketika ingin merespon dan menyelesaikan masalah Ahmadiyah, sikap reaktif - dominatif CM sangat terlihat. Ini dibuktikan ketika pemilihan anggota sebuah kelompok yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dari masing-masing RWRT yang dipilih langsung oleh CM tanpa persetujuan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Menurut AS dan IZ, pemilihan anggota kelompok ini lebih didasarkan kepada mereka yang dikenal dekat dengan CM dan dianggap berani kepada Ahmadiyah. CM adalah elit agama yang kerapkali memancing emosi masyarakat. Dalam pengajian dia sering mengutarakan masalah Ahmadiyah meski ketika itu hubungan masyarakat dengan Ahmadiyah baik-baik saja. Dalam kaitan dengan ini, AS mengungkapkan: “Tiga tahun sebelum kejadian penyerangan Kampung Ciladong, yaitu pada 2007, CM mencoba mengungkit-ungkit masa lalu dimana tokoh agama di desa seringkali kalah dalam diskusi dan perdebatan dengan Ahmadiyah. Ketika itu CM menyampaikan pada saat pengajian desa yang didengar banyak orang sehingga banyak jamaah yang terpancing termasuk saya”. Wawancara, 4 Juni 2012. 1 CM adalah elit agama yang sangat disegani dan terbilang paling senior di desa. Pada saat penelitian dia sudah meninggal, yaitu sekitar tiga bulan pascakonflik pada Oktober 2010.

6.2 Pluralisme Keberagamaan: Dinamika Gagasan dan Praktek dalam

Historis Dari sisi paham dan praktek keagamaan, Desa Cikeukeuh tidaklah homogen, melainkan terdapat paham dan praktek keagamaan lain di luar aliran utama mainstream, yaitu paham Ahmadiyah Qadian. Secara umum, paham dan praktek keagamaan Ahmadiyah sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan paham dan praktek keagamaan yang dianut oleh masyarakat kebanyakan. Hanya saja ada beberapa prinsip yang oleh masyarakat sangat mengganggu dan bertentangan dengan teologi yang mereka percayai selama ini, seperti masalah kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan menganggap Tadzkirah sebagai kitab suci orang Ahmadiyah. Keberadaan Ahmadiyah di desa ini sejak tahun 1930-an cukup diterima oleh masyarakat. Hal ini dibuktikan terjalinnya hubungan sosial yang kohesif antara masyarakat non Ahmadiyah dengan Ahmadiyah. Meskipun ada resistensi dari sebagian kecil masyarakat, yaitu sebagian kalangan elit agama yang memiliki pengetahuan tentang apa itu Ahmadiyah, namun masih dalam skala yang sangat kecil. Masyarakat kebanyakan justru tidak menampakkan sifat resistensinya kepada Jemaat Ahmadiyah, meski mereka berbeda keyakinan tentang sebagian pemahaman agama. Masyarakat kebanyakan malah memperlihatkan sikap toleransi dan hidup dalam perbedaan. Resistensi yang dialami Jemaat Ahmadiyah sebelum masa reformasi hanya sebatas ucapan yang disampaikan oleh sebagian kecil kalangan elit agama lewat pengajian-pengajian atau pernyataan yang disampaikan di luar pengajian sebagai bentuk kewajiban moral yang diembannya untuk membimbing umat. Tokoh agama merasa bertanggung jawab menjaga keimanan umatnya dari gangguan keyakinan yang menyalahi ajaran Islam. Meski mendapat resistensi dari kalangan agama, namun tidak sampai pada konflik secara fisik karena bisa didialogkan melalui diskusi dan debat terbuka yang membahas inti kepercayaan Ahmadiyah antara kyai setempat dan tokoh Ahmadiyah. Tokoh agama menolak kepercayaan yang dianut Jemaat Ahmadiyah karena bertentangan dengan keyakinan kebanyakan warga yang menganut paham ahlu sunnah wal jamaah. Penolakan tersebut tidak dilakukan secara frontal seperti penolakan Ahmadiyah yang terjadi sekarang ini. Dalam kehidupan sosial masyarakat Cikeukeuh berbaur dan hidup bersama dalam perbedaan dengan Ahmadiyah. Dalam pandangan kebanyakan masyarakat, penganut Ahmadiyah tidak ubahnya dengan masyarakat lain, yaitu sama-sama warga Desa Cikeukeuh. Tidak sedikit masyarakat yang menaruh rasa hormat dan kagum kepada warga Ahmadiyah lantaran sikap, akhlak, religiusitas mereka yang terpuji. Ciri khas Ahmadiyah, yang membedakan dengan warga lain, adalah kerap menyapa orang lain ketika bertemu di jalan sambil mengucapkan kalimat “assalamu`alaikum”. Tidak hanya itu, sikap Ahmadiyah yang patuh kepada pemerintahan desa dan sangat kompak dalam berorganisasi merupakan perhatian tersendiri dari masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat, tidak salahnya kita yang non Ahmadiyah bisa meniru cara berorganisasi model Ahmadiyah demi memajukan umat Islam. Meski ada sebagian prinsip teologi yang berbeda, namun warga non Ahmadiyah dan Ahmadiyah tetap dapat menjalin kehidupan sosial yang toleran. Dalam konteks sosio-kemasyarakatan hidup berdampingan tanpa harus melihat dan mempermasalahkan keyakinan masing-masing. Bagi masyarakat Cikeukeuh, termasuk warga Ahmadiyah, bagaimana hidup bersama dan bisa membangun desa secara bersama-sama adalah tujuan yang paling utama. Terpeliharanya kehidupan pluralisme di desa juga banyak dipengaruhi oleh sistem pemerintahan Orde Baru pada saat itu. Banyak contoh dimana tradisi pluralisme berkembang dan terpelihara dengan baik dalam kehidupan sosio-kemasyarakatan dan sosio-keagamaan lihat tabel 1. Warga non Ahmadiyah dan Ahmadiyah berbaur dan bersatu dalam membangun desa. Mereka terlibat dalam kegiatan sosial seperti gotong-royong, membangun kantor desa, membangun jalan, acara memperingati kemerdekaan RI 17 Agustus dan perlombaan-perlombaan setingkat desa. Begitu juga dengan acara-acara hajatan yang diselenggarakan oleh warga non Ahmadiyah dan Ahmadiyah dimana masing-masing mereka saling mengundang. Masyarakat tidak mempermasalahkan perbedaan-perbedaan keyakinan, yang ada hanyalah hidup bersama sebagai sesama warga desa. Ketika itu, kata Sekdes IZ, tidak ada kebencian satu sama lain bahkan ketika memberikan pengajian di Ciladong seorang ustad asal kampung lain, alm. ustadz HS, memuji ibadah warga Ahmadiyah dan kelebihan ajarannya. Dalam konteks sosio-keagamaan, pluralisme keberagamaan tercermin pada kegiatan pengajian setingkat desa pengajian bulanan dan pengajian dalam rangka memperingati hari besar Islam. Dalam pengajian ini warga non Ahmadiyah dan Ahmadiyah berkumpul dalam satu mesjid, baik pengajian itu diselenggarakan oleh warga non Ahmadiyah maupun Ahmadiyah sendiri. Mereka saling mengundang satu sama lain, dan mengenyampingkan perbedaan keyakinan. Bahkan dalam waktu yang cukup lama kehidupan toleransi terlembagakan dalam bentuk pengajian bersama antara warga non-Ahmadiyah dengan warga Ahmadiyah. Setiap hari besar Islam yang diadakan oleh warga non-Ahmadiyah warga Ahmadiyah selalu diundang untuk mendengarkan pengajian. Begitu juga sebaliknya, warga Ahmadiyah mengundang warga non-Ahmadiyah ketika mereka menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam. Tidak ada prasangka negatif yang berlebihan dari masyarakat ketika terjadi interaksi sosial keagamaan pada saat itu. Kuatnya tradisi saling menghargai dan toleransi kepercayaan juga terlihat dalam dunia pendidikan. Warga Ahmadiyah tidak mendapat resistensi dari warga non Ahmadiyah ketika mengajar dan sekolah di sekolah-sekolah dasar yang muridnya mayoritas berasal dari warga non Ahmadiyah. Begitu juga sebaliknya, warga non Ahmadiyah yang mengajar dan sekolah di kampung Ciladong yang murid-muridnya kebanyakan Ahmadiyah disambut baik oleh warga Ahmadiyah. Tabel 9 Tradisi Pluralisme Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Era Sosio-kemasyarakatan Sosio-keagamaan Orde Lama Orde Baru 1. Hajatan 2. Gotong-royong 3. Pembangunan jalan 4. Perlombaan desa 5. Pendidikan 6. Kesehatan Posyandu 1. Pengajian bulanan 2. Pengajian hari besar Islam 3. Pengajian setingkat RW 4. Buka bersama 5. Tarawih bersama Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2012 Dari fakta sosial di atas jelas sekali bahwa kehidupan pluralisme di Desa Cikeukeuh sebelum reformasi berjalan dengan baik, bahkan menjadi ciri khas dari kehidupan beragama di pedesaan. Kehidupan pluralisme di desa ini tidak hanya dilihat pada adanya perbedaan dua kepercayaan keagamaan antara non Ahmadiyah dan Ahmadiyah, melainkan terjadinya keterlibatan aktif di antara mereka dalam kehidupan pedesaan yang sama-sama memiliki komitmen bersama untuk kemasyarakatan dan saling memahami satu sama lain Ali; 2003; Eck 2006; Misrawi 2007; Safi 2003. Sikap pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan keyakinan dan kepercayaan tersebut tidak harus selalu diartikan sebagai bentuk pembenaran terhadap teologi mereka yang minoritas atau teologi yang dipeluk oleh mayoritas warga. Dalam sistem pengetahuan dan praktik keberagamaan masyarakat Desa Cikeukeuh yang pro pluralisme keberagamaan tersebut, bahwa pengakuan dan penghargaan terhadap variasi keyakinan dan kepercayaan yang berkembang di tengah masyarakat harus dipisahkan dari ranah teologis. Artinya, mereka tidak asal melakukan pluralisme keberagamaan, tetapi berangkat dari sistem pengetahuan mengenai tata kelola kehidupan beragama dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah digali dari tata aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Mengutip pendapat Richard J. Mouw dan Sandra Griffioen 1993, Lutfi Mustofa 2010 membedakan pluralisme ke dalam dua tipologi. Pertama, pluralisme deskriptif, yang sekadar mengakui dan menghargai keragaman. Dalam pengertian ini biasanya diistilahkan juga dengan toleransi. Kedua, pluralisme normatif-preskriptif, yang tidak sekadar mengakui tetapi juga mau memperjuangkan keragaman. Pada tipologi yang pertama, pluralisme adalah realitas sosial yang tidak terelakkan, karena kondisi awal masyarakatnya sudah majemuk maupun karena proses pluralisasi kehidupan yang dibawa oleh arus modernisasi. Sedangkan pada tataran normatif-preskriptif, terdapat tiga konteks pluralisme, yaitu konteks budaya contextual pluralism, asosiasi kelembagaan associational pluralism, dan sistem nilai yang memberi arahan pada kehidupan manusia directional pluralism.