melakukan  tindakan  kekerasan  sikap  fundamentalisme  terhadap  Jemaat Ahmadiyah  sebagai  bentuk  jihad  melawan  orang  kafir.  Jackson  1990
mengatakan bahwa selain faktor internal doktrin syariah yang dipandang baku dan sakral,  sikap  fundamentalisme  juga  bersumber  dari  pola  hubungan  diadik  elit-
umat  yang  membentuk  klientalisme  syariah.  Hal  ini  terjadi  sejak  syariah diberlakukan  sebagai  hukum  tunggal  dan  baku  pada  abad-abad  pertama  Islam
Rahman,  1984.  Syariah  kemudian  berubah  sebagai  dasar  ideologi  perubahan semua  aspek  kehiduapn  sosial  Garaudy  1993;  Abdullah  1987.  Pada  tahap  ini
peran dominan elite agama akan berfungsi secara aktual Mulkhan 2000. Di  satu  sisi,  fundamentalisme  adalah  fungsi  dominasi  ahli  syariah  yang
memiliki  kebebasan  menafsir  doktrin  Islam  sesuai  kondisi  obyektif  yang mengitarinya. Pada sisi lain, keberadaan ahli syariah  elit agama  merupakan pra
syarat  bagi  realisasi  aturan  syariah  dan  untuk  memelihara  identitas  diri  sebagai “orang  Islam”.  Dari  sini,  kebutuhan  saling  tukar  kepentingan  elit  dan  pengikut
Jackson, 1990 memunculkan elite “orang saleh”. Elite ini tetap memegang peran
penting  dalam  dinamika  sosial  pemeluk  Islam.  Dalam  perspektif  Weber  1972 dan  Turner  1984  dominasi  patrimonialisme  elit  agama  ini  menyebabkan
subyektivisme elitis hubungan sosial Muslim. Masyarakat
tidak punya
keberanian untuk
menyanggah atau
mempertanyakan  ulang  apa  yang  disampaikan  oleh  elit  agama.  Tidak  hanya  itu, bagi siapa saja yang berani me
lawan “arus” elit agama, maka orang tersebut akan mendapat celaan dan akan dikucilkan. Momen itu pernah dialami oleh Sekretaris
Desa  IZ  yang  mencoba  mengingatkan  masyarakat  untuk  tidak  sampai  pada tindakan  anarkis  dalam  menghadapi  masalah  Ahmadiyah  ketika  pertemuan  elit
agama dengan tokoh-tokoh masyarakat. Usai mengingatkan masyarakat agar tidak bertindak  anarkis,  elit  agama  tradisional  langsung  berkomentar  dengan  kata-
kata,  “Sekdes  naon  eta  Sekdes  apaan  itu?”.  Himbauan  Sekdes  ini  tentu  saja berseberangan dengan suasana emosional masyarakat yang sedang geram dengan
Ahmadiyah. Pada  lain  kesempatan  elit  agama  juga  memerintahkan  kepada  masyarakat
untuk tidak lagi mengadakan pengajian bersama dengan  Jemaat Ahmadiyah yang selama ini sudah terlembagakan dan menjadi salah satu bukti jalannya kehidupan
pluralisme  keagamaan  di  desa.  Masyarakat  menerima  keputusan  itu  termasuk kepala  desa  tidak  bisa  berbuat  apa-apa  dengan  keputusan  itu  karena  kepala  desa
menyerahkan  masalah  pengajian  kepada  tokoh  agama.  Sejak  saat  itu,  hingga sekarang, tidak pernah ada lagi pengajian bersama antara  Jemaat Ahmadiyah dan
non Jemaat Ahmadiyah, bahkan juga berimbas pada kehidupan sosial lainnya. Elit agama di desa ini terbagi ke dalam dua tipologi,  yaitu elit agama yang
moderat  mereka  yang  cara  pandang  keagamaannya  terbuka  dan  bisa  menerima perbedaan dan elit agama tradisional mereka yang cara pandang keagamaannya
tertutup  dan  tidak  bisa  menerima  perbedaan.  Dalam  konteks  keberadaan Ahmadiyah,  elit  agama  moderat  dapat  hidup  bersama  dalam  perbedaan,  baik
secara kegiatan keagamaan, seperti pengajian bersama, maupun dalam  kehidupan bermasyarakat.
Sementara itu, elit agama tradisional yang sangat kuat dengan paham Sunni sulit  menerima  perbedaan  teologis  dengan  Ahmadiyah  karena  dianggap
membahayakan keimanan masyarakat. Menurut mereka, Ahmadiyah sudah keluar dari  Islam  bahkan  sudah  mengacak-acak pemahaman al-Quran.  Meski  tidak  bisa
menerima  perbedaan  dengan  Ahmdiyah,  namun  mereka  secara  kehidupan  sosial tidak mempermasalahkannya.
6.1.2 Aswaja Sebagai Tuntunan Hidup
Masyarakat  desa  Cikeukeuh  adalah  masyarakat  yang  taat  beragama, sekalipun  sangat  beragam  dalam  tingkat  implementasi  nilai-nilai  religiusnya.
Mesjid-mesjid dan mushala di desa menjadi ciri lestari keberagamaan masyarakat. Di  tempat  ini  masyarakat  menampakkan  keberagamaannya  dalam  bentuk  ibadah
ritual maupun pengajian-pengajian yang sudah terjadual. Ritual-ritual keagamaan yang  berkembang  dan  bertahan  di  masyarakat  adalah  ritual-ritual  yang  secara
teologi berafiliasi kepada  Ahlu Sunnah Wal Jamaah  Aswaja dan secara  islamic yurisprudence  hukum  Islam  berafiliasi  kepada  Syafi`iyyah.  Semua  doktrin  ini
dianggap  sebagai  acuan  yang  baku  dan  standar  yang  mempunyai  otoritas  dalam melaksanakan praktek-praktek keagamaan.
Kedua  praktek  keyakinan  secara  teologi  dan  keagamaan  secara  hukum Islam  tidak  saja  menjadi  tuntunan  masyarakat  desa,  melainkan  juga  menjadi
pegangan mayoritas umat Islam Indonesia. Bagi masyarakat, terutama elit agama, paham Aswaja adalah paham yang dianut banyak ulama di Indonesia dan menjadi
paham  yang  kurang  lebih  paling  bisa  diterima  dari  paham-paham  yang  lain. Sikap-sikap  intoleransi akan muncul  ketika  ada  orang  yang  mempraktekkan atau
memperlihatkan  paham-paham  keagamaan  yang  berada  di  luar  yang  diyakini masyarakat.  Ini  dibuktikan  dengan  dilarangnya  orang  yang  mengikuti  paham
Jemaat  Ahmadiyah  Indonesia  di  desa  ini  karena  tidak  sejalan  dengan  paham Aswaja.
Aswaja, secara historis, adalah golongan yang berpegang pada Sunnah Nabi dan  merupakan  mayoritas  sebagai  lawan  bagi  kelompok  Mu`tazilah  kelompok
rasionalis yang minoritas dan tidak begitu  berpegang pada Sunnah Nabi. Paham Aswaja  dianggap  sebagai  paham  tradisional  dalam  pemikiran  Islam  dan  tidak
terbuka terhadap pemikiran rasional. Setiap  yang tidak sejalan dengan paham ini maka  akan  dianggap  keluar  dari  tradisi  dan  praktek-praktek  orisinil  para  ulama
terdahulu,  bahkan  dianggap  keluar  dari  ajaran  Islam.  Dalam  sejarah  Islam, kelompok  rasionalis  minoritas  seperti  Mu`tazilah  kerapkali  dikucilkan  oleh
kelompok  tradisional  ini  karena  dianggap  rasional  dan  liberal.  Bahkan  tidak sedikit  dari  mereka  menganggap  Mu`tazilah  sebagai  kelompok  yang  sesat,  kafir
dan bid`ah praktek keagamaan yang tidak pernah ada dalam tradisi kenabian. Praktek-praktek  keagamaan  yang  berkembang  di  masyarakat  Cikeukeuh
tidak  berbeda  dengan  tradisi  yang  ada  di  masyarakat  NU,  meski  secara organisatoris  NU  tidak  ada  di  desa  ini.  Berkembangnya  paham  Aswaja  dapat
dilacak  dari  pendidikan  para  ulama  yang  mengembangkan  Islam  di  daerah  ini. Para ulama generasi pertama, seperti KH. MH, KH. MM, KH. MB, KH. FR, KH.
AMM, H. AM, H. OG, HB, dan generasi kedua, seperti KH. CM, KH. NS, H. MQ adalah  mereka  yang  pernah  santri  di  beberapa  pesantren  yang  tersebar  di  Jawa
Barat dan Banten yang notabene pesantrennya berpaham Aswaja. Di  antara  pesantren  tempat  tokoh  agama  menimba  ilmu  agama  adalah
pesantren  di  Menes,  Kananga  Banten,  tipar  Sukabumi  dan  Sadeng  Bogor. Bahkan  hubungan  pesantren  Kananga  dengan  desa  masih  terjalin  dengan  baik
hingga  sekarang  dibuktikan  dengan  pengajian  bulanan  yang  disampaikan  oleh
tokoh-tokoh  agama  pesantren  Kananga,  masyarakat  menyebutnya  pengajian  abi turien.
Jadi, paham Aswaja yang berkembang di masyarakat sangat ditentukan oleh apa  dan  bagaimana  paham  yang  dimiliki  oleh  elit  agama.  ketika  sudah
ditransformasikan  kepada  masyarakat,  dan  masyarakat  menerimanya  sebagai suatu  keyakinan  dan  praktek  keagamaan,  pada  saat  itu  juga  terjadi  pelembagaan
paham Aswaja sehingga sangat tertutup kemungkinan bisa diterimanya paham dan corak pemikiran keagamaan lainnya. Hal yang senada juga dikatakan oleh Sekdes
IZ sebagai berikut: “Paham  keagamaan  di  desa  ini  bersifat  tradisional  dan  semuanya  terpusat
pada  tokoh  agama.  Orang  tidak  bisa  membantah  apa  yang  dikatakan  oleh tokoh  agama  sehingga  pemahaman  keagamaan  seperti  apa  yang
disampaikan  tokoh  agama.  Saya  sering  dicap  Muhammadiyah  meski  saya bukan  Muhammadiyah  karena  seringkali  berseberangan  dengan  paham
kebanyakan  yang  dianut  masyarakat.  Konsekuensinya,  setiap  saya berpendapat  tentang  masalah agama,  tokoh  agama  kerapkali  curiga  kepada
saya”. Wawancara, 8 Juni 2012. Menurut  Ahmad  Ali  Riyadi  2005,  terma  tradisional  dalam  pengertian
bahwa  masyarakat  tetap  bertahan  pada  khasanah  intelektual  dan  tradisi peninggalan pendahulu. Para ulama terdahulu dianggap mempunyai otoritas yang
lebih  dibandingkan  masyarakat  yang  ada  sekarang  dalam  hal  pemikiran  dan praktek keagamaan. Sehingga, dalam prakteknya, masyarakat sangat tidak toleran
jika ada perbedaan praktek-praktek keagamaan yang masuk ke desa. Memaksakan praktek  keagamaan  yang  berbeda  dengan  praktek  keagamaan  yang  berlaku  di
tengah  masyarakat  sama  saja  menentang  dan  melawan  masyarakat.  Menurut kebanyakan masyarakat, agak sulit menerima praktek keagamaan yang berada di
luar yang sudah menjadi praktek masyarakat selama ini. Bagi masyarakat, praktek keagamaan  adalah  seperti  yang  dicontohkan  oleh  tokoh-tokoh  agama  desa  dan
para ulama terdahulu.
6.1.3 Kepemimpinan dan Pengaruh Elit Agama
Northouse  2007  menulis  bahwa  kepemimpinan  adalah  proses  dimana individu  mempengaruhi  suatu  kelompok untuk  mencapai  tujuan  bersama.  Dalam
hal ini, elit agama adalah sosok yang mempengaruhi masyarakat kaitannya dengan
masalah-masalah  keagamaan.  Masyarakat  dituntut  menerima  apa  yang  menjadi himbauan  atau  perintah  elit  agama  karena  elit  agama  merasa  memiliki  otoritas
dalam  masalah  keagamaan.  Di  sini  proses  kepemimpinan  berjalan  tidak  baik karena prosesnya satu arah bukan berjalan secara interaktif antara masyarakat dan
elit agama. Keberadaan elit agama sangat berpengaruh terutama yang berkaitan dengan
masalah-masalah  agama,  bahkan  juga  dalam  kehidupan  sosial.  Hampir  semua persoalan-persoalan  keagamaan  dipegang  oleh  elit  agama,  misalnya  menentukan
boleh tidaknya mengadakan pengajian di Kampung Ciladong yang masyarakatnya menganut paham Ahmadiyah, menentukan jadual-jadual pengajian, menegur dan
menasehati masyarakat yang menyimpang dari paham Aswaja, dan lain-lain. Peran elit lokal terlihat suburnya pengajian di tingkat desa dan di kampung-
kampung,  sebagai  media  komunikasi  dan  pembinaan  anggota.  Pengajian berkembang menjadi tempat rakyat dan kaum awam mengikat diri secara taqlid di
dalam  kesatuan  “orang  saleh”  Mulkhan  2000.  Dalam  pengajian-pengajian  ini terjadi  transformasi  pengetahuan  agama  yang  diterima  oleh  masyarakat  secara
mentah-mentah  tanpa  pernah  mempertanyakan  kenapa  pemahaman  keagamaan seperti itu.
Meminjam  istilah  Weber  1964,  tindakan  sosial  dan  tipe  otoritas  yang dilakukan oleh elit agama adalah tipe otoritas tradisional yang berlandaskan pada
suatu  kepercayaan  yang  mapan  terhadap  kesucian  tradisi-tradisi  masa  dulu  serta legitimasi  status  mereka  yang  menggunakan  otoritas  yang  dimilikinya.  Jadi,
alasan  penting  masyarakat  Cikeukeuh  taat  pada  otoritas  tradisional  ini  adalah kepercayaan mereka bahwa hal itu sudah selalu ada.
Jenis otoritas yang berdasarkan tradisi ini masih dapat dibedakan ke dalam jenis  otoritas  yang  disebut  dengan  patriarkhalisme  dan  patrimonialisme.
Patriarkhalisme adalah suatu jenis otoritas di mana kekuasaan didasarkan kepada senioritas. Mereka yang lebih tua dianggap secara tradisional memiliki kedudukan
yang lebih tinggi. Sedangkan  patrimonialisme  adalah  jenis  otoritas  yang  mengharuskan
seorang  pemimpin  bekerja  sama  dengan  kerabat-kerabatnya  atau  dengan  orang terdekat  yang  memiliki  loyalitas  pribadi  kepadanya  Pababbari  2010.  Di  dalam
jenis otoritas yang bersifat patriarkhalisme dan patrimonialisme ini ikatan-ikatan tradisional  memegang  peranan  utama.  Si  pemegang  otoritas  adalah  mereka  yang
dianggap mengetahui tradisi yang disucikan. Kepemimpinan  elit  agama  di  desa  ini  sangat  ditentukan  oleh  pribadi  dan
kedudukan  yang  dipegangnya.  Elit  agama  yang  sangat  dominan  di  tingkat  desa ketika  masalah  Ahmadiyah  menjadi  sorotan  adalah  CM
1
yang  juga  menjabat Ketua MUI tingkat desa. CM adalah keturunan seorang ulama besar FR di desa
ini  yang  juga  sangat  dihormati  oleh  masyarakat.  Dia  memiliki  pesantren  dan merupakan elit agama yang paling senior di desa.
Kepemimpinan CM sangat dominatif dan hampir tidak memberikan peluang dan  kesempatan  masyarakat  berpendapat.  Elit  agama  ini  cenderung  reaktif  dan
tidak toleran dengan perbedaan sehingga keberadaan Ahmadiyah di desa dianggap mengancam akidah  masyarakat.  Sikap  ingin  menjaga  akidah  masyarakat  di jalan
yang  benar  tentu  saja  sangat  berkolerasi  dengan  posisinya  sebagai  Ketua  MUI desa.
Ketika  ingin  merespon  dan  menyelesaikan  masalah  Ahmadiyah,  sikap reaktif  -  dominatif  CM  sangat  terlihat.  Ini  dibuktikan  ketika  pemilihan  anggota
sebuah  kelompok  yang  terdiri  dari  tokoh-tokoh  masyarakat  dari  masing-masing RWRT yang dipilih langsung oleh CM tanpa persetujuan terlebih dahulu kepada
yang  bersangkutan.  Menurut  AS  dan  IZ,  pemilihan  anggota  kelompok  ini  lebih didasarkan  kepada  mereka  yang  dikenal  dekat  dengan  CM  dan  dianggap  berani
kepada Ahmadiyah. CM adalah elit agama yang kerapkali memancing emosi masyarakat. Dalam
pengajian  dia  sering  mengutarakan  masalah  Ahmadiyah  meski  ketika  itu hubungan  masyarakat  dengan  Ahmadiyah  baik-baik  saja.  Dalam  kaitan  dengan
ini, AS mengungkapkan: “Tiga tahun sebelum kejadian penyerangan Kampung Ciladong, yaitu pada
2007,  CM  mencoba  mengungkit-ungkit  masa  lalu  dimana  tokoh  agama  di desa  seringkali  kalah  dalam  diskusi  dan  perdebatan  dengan  Ahmadiyah.
Ketika  itu  CM  menyampaikan  pada  saat  pengajian  desa  yang  didengar
banyak  orang  sehingga  banyak  jamaah  yang  terpancing  termasuk  saya”. Wawancara, 4 Juni 2012.
1
CM  adalah  elit  agama  yang  sangat  disegani  dan  terbilang  paling  senior  di  desa.  Pada  saat penelitian dia sudah meninggal, yaitu sekitar tiga bulan pascakonflik pada Oktober 2010.
6.2 Pluralisme  Keberagamaan:  Dinamika  Gagasan  dan  Praktek  dalam
Historis
Dari  sisi  paham  dan  praktek  keagamaan,  Desa  Cikeukeuh  tidaklah homogen,  melainkan  terdapat  paham  dan  praktek  keagamaan  lain  di  luar  aliran
utama mainstream, yaitu paham Ahmadiyah Qadian. Secara umum, paham dan praktek  keagamaan  Ahmadiyah  sesungguhnya  tidak  berbeda  jauh  dengan  paham
dan praktek keagamaan yang dianut oleh masyarakat kebanyakan. Hanya saja ada beberapa  prinsip  yang  oleh  masyarakat  sangat  mengganggu  dan  bertentangan
dengan teologi yang mereka percayai selama ini, seperti masalah kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan menganggap Tadzkirah sebagai kitab suci orang Ahmadiyah.
Keberadaan Ahmadiyah di desa ini sejak tahun 1930-an cukup diterima oleh masyarakat.  Hal  ini  dibuktikan  terjalinnya  hubungan  sosial  yang  kohesif  antara
masyarakat  non  Ahmadiyah  dengan  Ahmadiyah.  Meskipun  ada  resistensi  dari sebagian  kecil  masyarakat,  yaitu  sebagian  kalangan  elit  agama  yang  memiliki
pengetahuan  tentang  apa  itu  Ahmadiyah,  namun  masih  dalam  skala  yang  sangat kecil.  Masyarakat  kebanyakan  justru  tidak  menampakkan  sifat  resistensinya
kepada  Jemaat  Ahmadiyah,  meski  mereka  berbeda  keyakinan  tentang  sebagian pemahaman  agama.  Masyarakat  kebanyakan  malah  memperlihatkan  sikap
toleransi dan hidup dalam perbedaan. Resistensi yang dialami Jemaat Ahmadiyah sebelum masa reformasi hanya
sebatas  ucapan  yang  disampaikan  oleh  sebagian  kecil  kalangan  elit  agama  lewat pengajian-pengajian atau pernyataan yang disampaikan di luar pengajian sebagai
bentuk  kewajiban  moral  yang  diembannya  untuk  membimbing  umat.  Tokoh agama  merasa  bertanggung  jawab  menjaga  keimanan  umatnya  dari  gangguan
keyakinan yang menyalahi ajaran Islam. Meski mendapat resistensi dari kalangan agama,  namun  tidak  sampai  pada  konflik  secara  fisik  karena  bisa  didialogkan
melalui  diskusi  dan  debat  terbuka  yang  membahas  inti  kepercayaan  Ahmadiyah antara kyai setempat dan tokoh Ahmadiyah.
Tokoh agama menolak kepercayaan yang dianut Jemaat Ahmadiyah karena bertentangan  dengan  keyakinan  kebanyakan  warga  yang  menganut  paham  ahlu
sunnah  wal  jamaah.  Penolakan  tersebut  tidak  dilakukan  secara  frontal  seperti penolakan  Ahmadiyah  yang  terjadi  sekarang  ini.  Dalam  kehidupan  sosial
masyarakat  Cikeukeuh  berbaur  dan  hidup  bersama  dalam  perbedaan  dengan Ahmadiyah.
Dalam  pandangan  kebanyakan  masyarakat,  penganut  Ahmadiyah  tidak ubahnya dengan masyarakat lain, yaitu sama-sama warga Desa Cikeukeuh. Tidak
sedikit  masyarakat  yang  menaruh  rasa  hormat  dan  kagum  kepada  warga Ahmadiyah  lantaran  sikap,  akhlak,  religiusitas  mereka  yang  terpuji.  Ciri  khas
Ahmadiyah,  yang  membedakan  dengan warga  lain, adalah  kerap  menyapa  orang lain  ketika  bertemu  di  jalan  sambil  mengucapkan  kalimat
“assalamu`alaikum”. Tidak  hanya  itu,  sikap  Ahmadiyah  yang  patuh  kepada  pemerintahan  desa  dan
sangat  kompak  dalam  berorganisasi  merupakan  perhatian  tersendiri  dari masyarakat.  Sebagian  masyarakat  berpendapat,  tidak  salahnya  kita  yang  non
Ahmadiyah  bisa  meniru  cara  berorganisasi  model  Ahmadiyah  demi  memajukan umat Islam.
Meski  ada  sebagian  prinsip  teologi  yang  berbeda,  namun  warga  non Ahmadiyah  dan  Ahmadiyah  tetap  dapat  menjalin  kehidupan  sosial  yang  toleran.
Dalam  konteks  sosio-kemasyarakatan  hidup  berdampingan  tanpa  harus  melihat dan  mempermasalahkan  keyakinan  masing-masing.  Bagi  masyarakat  Cikeukeuh,
termasuk warga Ahmadiyah, bagaimana hidup bersama dan bisa membangun desa secara bersama-sama adalah tujuan yang paling utama. Terpeliharanya kehidupan
pluralisme di desa juga banyak dipengaruhi oleh sistem pemerintahan Orde Baru pada saat itu.
Banyak  contoh  dimana  tradisi  pluralisme  berkembang  dan  terpelihara dengan  baik  dalam  kehidupan  sosio-kemasyarakatan  dan  sosio-keagamaan  lihat
tabel  1.  Warga  non  Ahmadiyah  dan  Ahmadiyah  berbaur  dan  bersatu  dalam membangun  desa.  Mereka  terlibat  dalam  kegiatan  sosial  seperti  gotong-royong,
membangun kantor desa, membangun jalan, acara memperingati kemerdekaan RI 17 Agustus dan perlombaan-perlombaan setingkat desa.
Begitu  juga  dengan  acara-acara  hajatan  yang  diselenggarakan  oleh  warga non  Ahmadiyah  dan  Ahmadiyah  dimana  masing-masing  mereka  saling
mengundang.  Masyarakat  tidak  mempermasalahkan  perbedaan-perbedaan keyakinan, yang ada hanyalah hidup bersama sebagai sesama warga desa.  Ketika
itu, kata Sekdes IZ, tidak ada kebencian satu sama lain bahkan ketika memberikan
pengajian di Ciladong seorang ustad asal kampung lain, alm. ustadz HS, memuji ibadah warga Ahmadiyah dan kelebihan ajarannya.
Dalam  konteks  sosio-keagamaan,  pluralisme  keberagamaan tercermin  pada kegiatan  pengajian  setingkat  desa  pengajian  bulanan  dan  pengajian  dalam
rangka  memperingati  hari  besar  Islam.  Dalam  pengajian  ini  warga  non Ahmadiyah  dan  Ahmadiyah  berkumpul  dalam  satu  mesjid,  baik  pengajian  itu
diselenggarakan oleh warga non Ahmadiyah maupun Ahmadiyah sendiri.  Mereka saling mengundang satu sama lain, dan mengenyampingkan perbedaan keyakinan.
Bahkan  dalam  waktu  yang  cukup  lama  kehidupan  toleransi  terlembagakan dalam  bentuk  pengajian  bersama  antara  warga  non-Ahmadiyah  dengan  warga
Ahmadiyah.  Setiap  hari  besar  Islam  yang  diadakan  oleh  warga  non-Ahmadiyah warga  Ahmadiyah  selalu  diundang  untuk  mendengarkan  pengajian.  Begitu  juga
sebaliknya, warga Ahmadiyah mengundang warga non-Ahmadiyah ketika mereka menyelenggarakan  peringatan  hari-hari  besar  Islam.  Tidak  ada  prasangka  negatif
yang  berlebihan  dari  masyarakat  ketika  terjadi  interaksi  sosial  keagamaan  pada saat itu.
Kuatnya  tradisi  saling  menghargai  dan  toleransi  kepercayaan  juga  terlihat dalam dunia pendidikan. Warga Ahmadiyah tidak mendapat resistensi dari warga
non  Ahmadiyah  ketika  mengajar  dan  sekolah  di  sekolah-sekolah  dasar  yang muridnya  mayoritas  berasal  dari  warga  non  Ahmadiyah.  Begitu  juga  sebaliknya,
warga  non  Ahmadiyah  yang  mengajar  dan  sekolah  di  kampung  Ciladong  yang murid-muridnya kebanyakan Ahmadiyah disambut baik oleh warga Ahmadiyah.
Tabel 9 Tradisi Pluralisme Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Era
Sosio-kemasyarakatan Sosio-keagamaan
Orde Lama
Orde Baru 1. Hajatan
2. Gotong-royong 3. Pembangunan jalan
4. Perlombaan desa 5. Pendidikan
6. Kesehatan Posyandu 1. Pengajian bulanan
2. Pengajian hari besar Islam
3. Pengajian setingkat RW 4. Buka bersama
5. Tarawih bersama
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2012
Dari  fakta  sosial  di  atas  jelas  sekali  bahwa  kehidupan  pluralisme  di  Desa Cikeukeuh sebelum reformasi berjalan dengan baik, bahkan menjadi ciri khas dari
kehidupan  beragama  di  pedesaan.  Kehidupan  pluralisme  di  desa  ini  tidak  hanya dilihat  pada  adanya  perbedaan  dua  kepercayaan  keagamaan  antara  non
Ahmadiyah  dan  Ahmadiyah,  melainkan  terjadinya  keterlibatan  aktif  di  antara mereka dalam kehidupan pedesaan yang sama-sama memiliki komitmen bersama
untuk kemasyarakatan dan saling memahami satu sama lain Ali; 2003; Eck 2006; Misrawi 2007; Safi 2003.
Sikap  pengakuan  dan  penghargaan  terhadap  perbedaan  keyakinan  dan kepercayaan  tersebut  tidak  harus  selalu  diartikan  sebagai  bentuk  pembenaran
terhadap teologi mereka yang minoritas atau teologi yang dipeluk oleh mayoritas warga.  Dalam  sistem  pengetahuan  dan  praktik  keberagamaan  masyarakat  Desa
Cikeukeuh  yang  pro  pluralisme  keberagamaan  tersebut,  bahwa  pengakuan  dan penghargaan  terhadap  variasi  keyakinan  dan  kepercayaan  yang  berkembang  di
tengah  masyarakat  harus  dipisahkan  dari  ranah  teologis.  Artinya,  mereka  tidak asal  melakukan  pluralisme  keberagamaan,  tetapi  berangkat  dari  sistem
pengetahuan  mengenai  tata  kelola  kehidupan  beragama  dalam  suatu  kehidupan berbangsa  dan  bernegara  yang  telah  digali  dari  tata  aturan  perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia. Mengutip  pendapat  Richard  J.  Mouw  dan  Sandra  Griffioen  1993,  Lutfi
Mustofa  2010  membedakan  pluralisme  ke  dalam  dua  tipologi.  Pertama, pluralisme deskriptif, yang sekadar mengakui dan menghargai keragaman. Dalam
pengertian  ini  biasanya  diistilahkan  juga  dengan  toleransi.  Kedua,  pluralisme normatif-preskriptif,
yang tidak
sekadar mengakui
tetapi juga
mau memperjuangkan  keragaman.  Pada  tipologi  yang  pertama,  pluralisme  adalah
realitas  sosial  yang  tidak  terelakkan,  karena  kondisi  awal  masyarakatnya  sudah majemuk  maupun  karena  proses  pluralisasi  kehidupan  yang  dibawa  oleh  arus
modernisasi.  Sedangkan  pada  tataran  normatif-preskriptif,  terdapat  tiga  konteks pluralisme,  yaitu  konteks  budaya  contextual  pluralism,  asosiasi  kelembagaan
associational pluralism, dan sistem nilai  yang memberi arahan pada kehidupan manusia directional pluralism.