Masuknya Ahmadiyah ke Indonesia

Merasa perlu mengembangkan Jemaat Ahmadiyah ke Indonesia, dalam sebuah acara jamuan teh yang juga dihadiri oleh Khalifah II sekembalinya dari London, pelajar Indonesia minta kepada Khalifah berkunjung ke Indonesia seperti kunjungan-kunjungannya ke Eropa. Atas permintaan tersebut beliau menunjuk Maulana Rahmat Ali sebagai muballigh untuk Sumatera dan Jawa, yang ketika itu dia sebagai guru di Ta`limul Islam High School, Qadian. Di sinilah titik awal masuknya Ahmadiyah Qadian ke Indonesia, yaitu atas permintaan para pelajar Indonesia. Sebelum berangkat Rahmat Ali belajar bahasa Indonesia dari para pelajar Indonesia dengan menggunakan buku Empat Serangkai yang dipesan dari Sumatera. Rahmat Ali berangkat dari Qadian akhir Juli 1925 dan tiba di Tapaktuan Aceh pada 2 Oktober 1925, melalui Penang, Medan dan Pulau Weh Sabang. Sebagaimana di tempat-tempat lain yang mempercayai akan datangnya Imam Mahdi, maka ratusan penduduk menunggu Rahmat Ali sesuai dengan pesan pelajar Indonesia kepada mereka lewat surat yang dikirim dari Qadian. Pada tahun 1926 Rahmat Ali meninggalkan Tapaktuan menuju Padang, Sumatera Barat. Sesampainya di Padang, seperti ketika di Tapaktuan, dia melakukan tabligh dakwah dan menimulkan kehebohan kota Padang hingga ke daerah lain seperti Padangpanjang, Bukittinggi dan daerah lainnya. Dakwah Rahmat Ali mendapat tantangan dari para ulama Sumatera Barat termasuk ayah Hamka, Dr. H. Abdul Karim Amarullah yang menganggap Ahmadiyah berada di luar Islam, bahkan dikatakan kafir. Pada waktu itu juga berdiri Komite Mencari Hak dibawah pimpinan Tahar Sutan Marajo yang bertujuan mempertemukan mubaligh Ahmadiyah dengan ulama yang ada di Sumatera Barat. Reaksi dari para ulama bersumber dari doktrin-doktrin yang disampaikan Rahmat Ali yang berseberangan dengan keyakinan yang selama ini mereka yakini. Pada tahun 1931 Rahmat Ali meninggalkan kota Padang menuju Pulau Jawa untuk melanjutkan misinya, yang menurut Hamka dalam Zulkarnain 2006 karena kuatnya tekanan dari ulama Sumatera Barat. Langkah awal yang dilakukan Rahmat Ali adalah mengadakan kursus bahasa Arab. Karena semakin bertambahnya jumlah pengikut Rahmat Ali, maka pada tahun 1932 mereka sepakat membentuk Ahmadiyah cabang Betawi dengan susunan kepengurusan Abd. Razak ketua, Simon Kahongia sekretaris, kommissarissen Th. Dengah, Ahmad Jupri, Murdan, dengan anggota 27 orang. Ahmadiyah cabang Betawi merupakan cabang pertama di pulau Jawa. Menurut Zulkarnain 2006, ada perbedaan tanggapan masyarakat Islam pada masa-masa awal gerakan Ahmadiyah Qadian di Sumatera dan Ahmadiyah Lahore di Jawa di Indonesia. Gerakan Ahmadiyah Lahore setahun lebih dahulu masuk Indonesia tahun 1924 dan pertama kali berada di Yogyakarta. Aktivitas Ahmadiyah Qadian di Sumatera mendapat tantangan keras dari tokoh-tokoh Islam, sementara Ahmadiyah Lahore diterima dengan baik khususnya di Yogyakarta, bahkan direspon baik oleh Muhammadiyah Deliar Noer 1996. Hal ini disebabkan oleh mubaligh Ahmadiyah Qadian sejak awal agak agresif menyampaikan secara terang-terangan ajaran Ahmadiyah dan siap melakukan perdebatan dengan tokoh agama. Sementara itu, mubaligh Ahmadiyah Lahore lebih menampakkan kerendahan hati dan sasaran awalnya adalah pemuda yang jumlahnya tidak banyak melalui pengajaran bahasa Inggris, sementara ajaran Ahmadiyah tidak ditampakkan dengan jelas. Dengan cara ini, tokoh-tokoh Islam merespon dengan baik tanpa menaruh kecurigaan, meski pada akhirnya mengambil jarak bahkan menentangnya. Di samping itu, ajaran Ahmadiyah Lahore tidak begitu kontroversial bila dibandingkan dengan ajaran Ahmadiyah Qadian. Peran Ahmadi dalam kemerdekaan juga tidak bisa dilupakan hingga Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Tidak sedikit kaum Ahmadi Indonesia yang ikut berjuang untuk meraih kemerdekaan. Misalnya, R. Muhyiddin. Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1946 karena menjadi salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia. Ada juga beberapa Ahmadi yang bertugas sebagai prajurit di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan mengorbankan diri mereka untuk negara. Sementara para Ahmadi yang lain berperan di bidang masing-masing untuk kemerdekaan Indonesia, seperti Maulana Abdul Wahid dan Maulana Ahmad Nuruddin yang berjuang sebagai penyiar radio; menyampaikan pesan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara itu, mubaligh yang lain, Maulana Sayyid Syah Muhammad merupakan salah satu tokoh penting sehingga Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, di kemudian hari menganugerahkan gelar veteran kepada beliau untuk dedikasinya kepada negara. Tidak hanya itu pencipta lagu Indonesia Raya, W.R. Supratman, pernah bergabung dan menekuni ajaran Ahmadiyah selama beberapa bulan Winarno tt Pada tahun 1953, Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendapatkan legalitas menjadi satu organisasi keormasan di Indonesia. Yakni dengan dikeluarkannya badan hukum oleh Menteri Kehakiman RI No. JA. 52313 tanggal 13-3-1953. Ahmadiyah tidak pernah berpolitik, meskipun ketegangan politik di Indonesia pada tahun 1960-an sangat tinggi. Pergulatan politik pada masa itu berakhir dengan jatuhnya presiden Soekarno yang memakan banyak korban. Satu simbol era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, yang tidak lain adalah seorang Ahmadi. Dia terbunuh di tengah ketegangan politik masa itu dan menjadi simbol bagi era baru. Ia pun diberikan penghargaan sebagai salah satu Pahlawan Ampera. Era 1990-an menjadi periode pesat perkembangan Ahmadiyah di Indonesia bersamaan dengan diluncurkannya Muslim Television Ahmadiyyaa MTA. Ketika Pengungsi Timor Timur yang membanjiri wilayah Indonesia setelah jajak pendapat dan menyatakan bahwa Timor Timur ingin lepas dari Indonesia, hal ini memberikan kesempatan kepada Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia untuk mengirimkan tim Khidmat Khalq untuk berkhidmat secara terbuka.

5.2.2 Doktrin Kenabian

Doktrin kenabian merupakan salah satu doktrin pokok dalam Islam sehingga sangat sensitif jika ada kelompok atau golongan dalam Islam yang memperdebatkannya atau berbeda satu sama lainnya. Dalam ajaran Islam yang mapan, Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan tidak ada lagi nabi sesudahnya. Namun demikian, di sini letak kenapa Ahmadiyah ditolak dan dihujat, Ahmadiyah Qadian berpendapat bahwa konsep kenabian itu terus menerus berlangsung hingga akhir zaman, dan tidak sependapat kalau setelah Nabi Muhammad itu tidak ada nabi lagi. Menurut Ahmadiyah Hakim 2005, bahwa Nabi Muhammad adalah nabi penutup yang membawa syari`at, namun bukan penutup nabi-nabi yang tidak membawa syari`at. Dengan demikian, tetap terbuka diutusnya nabi yang tidak membawa syari`at setelah Nabi Muhammad. Dalam konteks ini, Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya menerima wahyu yang diturunkan di India, kemudian wahyu-wahyu itu dikumpulkan sehingga menjadi sebuah kitab yang bernama Tazkirah. Ahmadiyah Qadian Zulkarnain 2006 memberikan tiga klasifikasi mengenai konsep kenabian: Pertama, Nabi Shahib asy-Syari`ah dan Mustaqil. Shahib asy-Syari`ah adalah nabi pembawa syari`at hukum-hukum untuk manusia. Sementara Nabi Mustaqil adalah hamba Allah yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti nabi sebelumnya, seperti Nabi Musa dan Nabi Muhammad. Nabi semacam ini lazim juga disebut sebagai Nabi Tasyri`i dan Mustaqil sekaligus. Kedua, Nabi Mustaqil Ghair at-Tasyri`i, yaitu hamba Tuhan yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti nabi sebelumnya, hanya saja dia tidak membawa syari`at baru, namun dia ditugaskan oleh Allah untuk menjalankan syari`at yang dibawa nabi sebelumnya. Para nabi yang masuk dalam golongan ini adalah Nabi Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Nabi Isa a.s. Mereka secara langsung dianggkat menjadi nabi dan ditugaskan menjalankan syari`at Nabi Musa yang ada dalam Kitab Taurat. Ketiga, Nabi Zhilli Ghair at-Tasyri`i,yaitu hamba Tuhan yang mendapat anugerah dari Allah menjadi nabi semata-mata karena hasil kepatuhan kepada nabi sebelumnya dan juga karena mengikuti syari`atnya. Dengan demikian, tingkatannya berada di bawah nabi sebelumnya dan dia tidak membawa syari`at baru. Hamba Tuhan yang masuk ke dalam golongan ini adalah Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syari`at Nabi Muhammad. Berangkat dari penjelasan di atas, menurut Ahmadiyah, hanya nabi-nabi yang membawa syari`at saja yang sudah berakhir, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa syari`at akan terus berlangsung. Lebih jauh Ahmadiyah berpendapat bahwa Nabi Zhilli Ghair at-Tasyri`i hanya muncul dari seorang ummati, yaitu seorang pengikut Nabi Muhammad, bukan dari umat lain. Bagi Ahmadi yang mengaku dirinya Islam Ahmad 1996, mempercayai rukun iman dan rukun Islam, sangat tidak mungkin mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir khaatama al-nabiyyiin seperti yang tertera dalam al-Quran al-Ahzab: 40. Jemaat Ahmadiyah Ahmad 1996 mengartikan khaatama al-nabiyyin merujuk pada penggunaan umum dalam bahasa Arab seperti yang diperkuat oleh ucapan-ucapan Siti Aisyah, Ali dan para sahabat lainnya. Makna khaatama al- nabiyyiin yang populer di kalangan umat Islam dewasa ini tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh ayat tersebut karena tidak menampakkan kemuliaan dan keagungan Nabi Muhammad. Bagi Ahmadiyah, makna khaatam dalam al-Quran dan Hadits adalah cincin, stempel dan yang paling mulia, sehingga khatama al-nabiyyin berarti cincin para nabi, stempel para nabi atau Nabi Muhammad adalah nabi yang paling mulia, bukan penutup para nabi yang tidak membawa syariat. Pemahaman ini didasarkan pada ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya Kami yang mengutus para Nabi” QS Ad-dukhan: 5. Menurut Ahmadiyah, hanya Allah yang mengutus para nabi dan rasul, sehingga hanya Allah jugalah yang berhak menutupnya. Oleh karena itu, adanya nabi dan rasul yang tidak membawa syariat sangat terbuka dan akan terus berlanjut untuk memperbaiki akidah manusia yang terus mengalami degradasi. Bagi Ahmadiyah Ahmad 1996; IIP 2002, keyakinan akan Nabi Muhammad sebagai nabi penutup yang membawa syariat adalah harga mati. Mereka tidak menegasikan keimanan ini sebagaimana muslim lainnya. Ahmadiyah berbeda pendapat dengan kebanyakan muslim mengenai nabi yang tidak membawa syariat, dimana kebanyakan muslim berpendapat bahwa baik nabi yang membawa syariat maupun tidak sudah tidak ada lagi setelah Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan penamaan nabi ini, tokoh Ahmadiyah Qadian Syafi R. Batuan dalam Zulkarnain 2006 mengatakan bahwa ahmadi lebih suka menggunakan istilah nabi zhilli atau buruzi yang berarti bayangan. Nabi ini menjadi nabi bayangan dari nabi sebelumnya karena dia tunduk, mengikuti, dan mencontoh sifat-sifat dan perintah-perintah nabi sebelumnya. Selain menyebut dengan istilah nabi zhilli atau buruzi, mereka juga menyebutnya dengan nabi ummati, nabi majazi, dan nabi kiasan. Bagi Ahmadiyah Qadian, Mirza Ghulam Ahmad dipandang sebagai nabi dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya, sebagaimana nabi dan rasul yang lain. Menurut paham golongan ini, seorang ahmadi tidak boleh membeda-bedakan antara nabi yang satu dengan nabi yang lain. Meski demikian, Ahmadiyah Qadian dan Lahore memiliki kesamaan, yaitu mereka sepakat tentang berakhirnya nabi tasyri`i atau nabi mustaqil sesudah Nabi Muhammad. Mereka juga sepakat dengan penggunaan terma wahyu selain al-Quran yang diturunkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya sesudah Nabi Muhammad meninggal. Akan tetapi mereka tidak sepakat dengan penggunaan terma nabi bagi sesorang setelah Nabi Muhammad meskipun seseorang tersebut mendapat wahyu dari Tuhan Zulkarnain 2006. Dengan pemahaman teologi semacam itu, kebanyakan umat Islam mainstream memposisikan pengikut Ahmadiyah Qadian itu sudah sesat dan menodai Islam. Dari persoalan teologi inilah muncul berbagai persoalan sosiologis di tengah masyarakat di tanah air dan beberapa negara lainnya di dunia. Kebanyakan umat Islam dan pengikut Ahmadiyah sulit menemukan kata sepakat karena cara pandang dalam cara menginterpretasikan teks-teks keagamaan sudah berbeda sehingga perbedaan dalam memahami doktrin agama tidak terelakkan. Bagi sebagian kalangan, Ahmadiyah Qadian sudah tidak tergolong Islam lagi karena sudah menyalahi dan menyimpang dari sistem teologi yang dipercayai selama ini, yaitu bahwa nabi terakhir itu adalah Nabi Muhammad SAW dan tidak ada nabi setelah beliau. Bagi mereka yang mempercayai adanya nabi setelah Nabi Muhammad, berarti mereka sudah menyalahi teks-teks utama dalam Islam Al- Quran dan Hadits, dimana Nabi Muhammad adalah nabi penutup dari sekalian nabi khatama al-nabiyyiin. Ketika sudah menyalahi teks-teks utama, maka pada saat itu, siapapun orangnya, sudah dianggap kafir. Bagi sebagian kalangan, persoalan Ahmadiyah ini masih bisa ditoleransi karena masalah ini berada pada tataran pemahaman dan penafsiran teks-teks agama. Filsuf asal Pakistan, Muhammad Iqbal, berpendapat 1991 bahwa paham Ahmadiyah Qadiani tidak lebih daripada sekedar penampilan ajaran agama menurut pandangan-pandangan pemikiran modern. Oleh sebab itu, lanjutnya, selama batasan-batasan teologi masih tetap terjaga, maka tidak ada salahnya memberikan ruang kebebasan dalam menginterpretasikan teks-teks agama. Memang saling tuduh-menuduh melakukan penyimpangan bid`ah karena perbedaan-perbedaan pendapat mengenai hal-hal kecil furu` dalam bidang hukum fikih dan teologi akidah di kalangan beberapa mazhab dalam Islam agak umum terjadi. Menurut Iqbal, sejarah teologi Islam menunjukkan bahwa saling tuduh-menuduh melakukan penyimpangan mengenai perbedaan pendapat dalam hal-hal yang kecil, yang sama sekali tidak merupakan dorongan perpecahan, sebenarnya telah memberikan semangat untuk tampilnya pemikiran sintetik dalam teologi itu. Oleh sebab itu, perbedaan pendapat tentang penafsiran pemahaman agama yang dapat menimbulkan perpecahan dapat diminimalisir hanya dengan memberikan kepada para pengkaji teologi Islam dan umat Islam suatu pandangan mengenai adanya semangat sintetik dalam Islam. Iqbal menyebut semangat perbedaan dalam sejarah pemikiran Islam sebagai suatu prinsip gerak 10 dalam dialektika teologik. Problem utama dalam masalah Ahmadiyah terletak pada pemahaman verstehen dan bagaimana menginterpretasikan teks-teks agama. Pemahaman bahasa agama yang diyakini oleh umat Islam tidak lepas dari persoalan hermeneutik 11 itu sendiri. Komaruddin Hidayat 1996 menulis bahwa tugas pokok hermeneutik adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atau teks yang asing sama sekali menjadi milik kita yang hidup di zaman dan tempat serta suasana kultural yang berbeda. Dalam tradisi hermeneutik, lanjutnya, sebuah teks menawarkan berbagai kemungkinan untuk ditafsirkan berdasarkan sudut pandang serta teori yang hendak dipilihnya. Sebuah teks, termasuk teks agama, akan dipahami oleh orang secara berbeda bergantung pada sudut pandang, pendidikan, lingkungan sosial dan budaya tempat orang memahami teks itu sendiri. Dengan kata lain, makna teks atau bahasa agama yang dipahami orang merupakan konstruksi berdasarkan aspek sudut pandang, pendidikan, lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian, makna yang dikandung dari sebuah teks tidak tunggal melainkan plural. Di sini kita bisa paham kenapa pengikut Ahmadiyah dan non 10 Prinsip gerak principle of movement adalah istilah yang digunakan oleh Iqbal untuk istilah ijtihad. Uraian selengkapnya adapat dibaca dalam bukunya Reconstruction of Religious Thought in Islam. 11 Hermeneutik adalah sebuah teori yang berusaha mencapai pemahaman kaitannya dengan interpretasi teks lihat Ricoeur 1995. Ahmadiyah berbeda pendapat tentang beberapa masalah dalam doktrin Islam. Oleh sebab itu, hemat penulis, yang paling penting adalah biarkan saja pemaknaan-pemaknaan itu muncul berdasarkan, meminjam istilah Iqbal, sistem gerak dalam Islam ijtihad masing-masing orang yang memahaminya. Yang perlu kita hindari adalah memaksakan pemaknaan atau pemahaman kita kepada orang lain yang berbeda apalagi dengan jalan kekerasan dan sikap-sikap radikal. Persoalan apakah Ahmadiyah termasuk golongan Islam atau tidak kita serahkan saja kepada doktrin yang ada dalam Islam itu sendiri, dimana dalam sebuah hadis dikatakan, Diriwayatkan dari Umar bin Khathab ra, beliau berkata: di kala kami sedang duduk di samping Nabi saw, tiba-tiba datang seorang laki-laki di tengah- tengah manusia, keadaannya seperti seorang musafir dan dia bukan termasuk penduduk negeri ini, lalu dia duduk tawarruk di depan kedua tangan Rasulullah SAW, sebagaimana salah seorang dari kita duduk dalam shalat, kemudian meletakkan tangannya di atas kedua lutut Rasulullah SAW, sambil berkata: Wahai Muhammad, apakah Islam itu? Beliau menjawab, Islam itu jika kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan umrah, mandi karena junub, menyempurnakan wudhu dan puasa ramadhan. Laki-laki tersebut berkata: jika aku telah melaksanakan ini apakah aku menjadi seorang muslim? Nabi menjawab, ya. Laki- laki itu berkata: Engkau benar……HR. Bukhari dan Muslim. Dalam hadis ini dinyatakan bahwa selama orang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan lain-lainnya, maka selama itu pula orang dinyatakan Islam. Kalaupun ada perbedaan penafsiran keagamaan antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah tidak menyebabkan kelompok tertentu keluar dari Islam selama kelompok tertentu itu menjalankan ajaran-ajaran yang disebutkan dalam hadis di atas. Jadi, hemat penulis, tidak proporsional dan tidak logis rasanya menyatakan kelompok tertentu sesat dan menodai agama tertentu jika hanya berawal dari masalah perbedaan penafsiran, sementara kelompok tertentu itu masih taat menjalankan prinsip-prinsip ajaran agama. Menjadi lebih runyam lagi kalau sebuah penafsiran tertentu, padahal ada banyak kemungkinan penafsiran lain sesuai dengan semangat dari prinsip gerak ijtihad dalam Islam, dibakukan dan diinstitusionalisasikan sehingga akan menutup penafsiran lainnya. Bahayanya lagi, jika penafsiran yang sudah terinstitusionalisakan menjadi rujukan satu- satunya, dan di sinilah sering muncul konflik seperti dalam Undang-undang PNPS No. 1 Tahun 1965 Tentang Penodaan Agama dan SKB Tiga Menteri No. 3 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI dan Warga Masyarakat. Sesungguhnya Ahmadiyah, dalam konteks yang lebih besar, adalah termasuk golongan Islam seperti golongan-golongan lainnya. Ahmadiyah adalah bagian kecil dari bangunan besar yang bernama Islam. Perbedaan penafsiran adalah hal yang wajar selama prinsip-prinsip ajaran masih terjaga, dan tidak menyebabkan harus sesat dan keluar dari Islam. Selama orang masih bersungguh- sungguh mencari kebenaran selama itu pula orang akan mendapat reward dari Tuhan, bahkan Tuhan akan tetap memberikan reward meskipun pada akhirnya keliru dalam proses kesungguhan mencari kebenaran ijtihad tersebut, demikian Nabi Muhammad mengingatkan.

5.2.3 Menanggapi Ahmadiyah melalui Fatwa MUI

Doktrin-doktrin agama yang diyakini Ahmadiyah, seperti pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi dan sekaligus penjelmaan Isa al-Masih yang menerima wahyu secara berulang-ulang, mendapat tantangan dan penolakan yang keras dari umat Islam mainstream aliran utama yang menamakan dirinya sebagai kelompok Sunni yang menjadi penganut mayoritas masyarakat Islam Indonesia. Kondisi ini menyebabkan kegelisahan sebagian umat Islam sehingga Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya dituduh sebagai pembawa ajaran baru bid`ah bahkan menodai ajaran Islam. Menurut Hasani Naipospos 2011, ternyata menurut MUI, LPPI dan ormas-ormas Islam lainnya, Ahmadiyah dianggap melanggar 12 butir kesepakatan bersama. Atas dasar itu, sejumlah organisasi Islam kembali menuntut jemaat Ahmadiyah dibubarkan. Pada bulan Februari tahun 2008, FPI, Hizb At-Tahrir, Abu Bakar Ba’asyir dan lain-lain secara terbuka menyerukan perang terhadap Ahmadiyah. Tim pemantauan Bakorpakem juga kemudian mengumumkan bahwa Ahmadiyah telah mempraktekkan ajaran yang menyimpang dari 12 butir yang pernah disepakati. Namun demikian, dilihat secara historis keindonesiaan, meskipun ada penentangan ajaran Ahmadiyah antara sejumlah ulama mainstream dengan tokoh Ahmadiyah, praktis tidak ada diskriminasi apalagi kekerasan yang berarti terhadap pengikut Ahmadiyah sampai menjelang berakhir kekuasaan Orde Baru. Ketika itu tradisi diskusi dan dialog masih menjadi wadah mempertemukan perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Ketika Majelis Ulama Indonesia MUI mengeluarkan fatwa pada tahun 1980 terkait ajaran Ahmadiyah, juga tidak ada protes atau kekerasan terbuka yang diarahkan terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah. Kondisi ini menjadi berubah setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 seiring mulai terbukanya ruang kebebasan politik. Sikap intoleransi juga muncul dan terus menguat bahkan berujung pada kekerasan terbuka. Pada bulan Januari 2005, Kejaksaan Agung dan instansi pemerintah lainnya, seperti Kementerian Agama, MUI, BIN, mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa organisasi Ahmadiyah, kegiatan, ajaran dan kitab-kitab rujukannya agar dilarang dengan Keputusan Presiden. Menurut Hasani Naipospos 2011, Amin Djamaluddin, pimpinan Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam LPPI dan salah satu pengurus MUI, adalah aktor dan kekuatan pendorong di belakang rekomendasi ini. Selain MUI dan institusi pemerintah yang tergabung dalam Badan Koordinasi Pengawas Agama dan Kepercayaan Masyarakat Bakorpakem, organisasi besar Islam semacam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama juga menganggap ajaran Ahmadiyah sebagai sesat, namun dua organisasi ini selama ini memilih jalur dakwah dan dialog dalam menyikapi persoalan Ahmadiyah. Kedua Ormas Islam terbesar ini menghindari jalan kekerasan dalam menyikapi Ahmadiyah. Pada tahun 2005 adalah awal bagi persekusi-persekusi serius terhadap Ahmadiyah. Pada tahun ini, tepatnya pada tanggal 15 Juli, Kampus Mubarak Parung sekaligus pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia diserang oleh massa dari berbagai kelompok Islam. Persekusi yang awalnya dilakukan oleh kelompok- kelompok tertentu seperti Front Pembela Islam FPI yang secara terbuka menentang Ahmadiyah, kemudian menyebar ke kelompok-kelompok lainnya dan bahkan menyebar ke sebagian masyarakat. Pada Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia melalui Musyawarah Nasional MUI VII mengeluarkan fatwa yang berisi tentang penilaian Ahmadiyah yang berada di luar Islam serta sesat dan menyesatkan. MUI minta kepada pemerintah Indonesia untuk melarang penyebaran doktrin Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. Fatwa tersebut mengacu pada fatwa MUI tahun 1980 serta keputusan muktamar Organisasi Konferensi Islam di Jeddah, Arab Saudi pada Desember 1985. Fatwa ini juga menegaskan bahwa penerapan ajaran-ajaran Ahmadiyah telah mengakibatkan perpecahan di antara masyarakat Islam dan membahayakan stabilitas sosial dan keamanan negara. Majelis Ulama Indonesia MUI sendiri telah menyatakan bahwa ajaran Ahmadiyah sebagai ajaran yang sesat. Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia LSI tahun 2010 menyatakan bahwa mayoritas publik 66,9 menyatakan persetujuan dengan fatwa MUI ini. Yang menarik, dibandingkan dengan survei tahun 2005, terjadi kenaikan sebesar 15, yaitu mereka yang setuju terhadap fatwa MUI. Survei yang sama yang dilakukan oleh LSI pada Agustus 2005 memperlihatkan sebanyak 51,7 setuju dengan fatwa MUI. Pada Oktober 2010, angka ini naik menjadi 66,9. Mereka yang tidak setuju dengan fatwa MUI itu juga mengalami penurunan dari 18,1 pada Agustus 2005 menjadi 5,4 pada Oktober 2010 lihat Gambar 13. Gambar 13 Penilaian terhadap Fatwa MUI mengenai Ajaran Ahmadiyah. 10 20 30 40 50 60 70 80 Sangat SetujuSetuju Tidak SetujuaSangat Tidak Setuju Tidak TahuTidak Jawab Agustus 2005 Oktober 2010 Yang lebih penting adalah melihat bagaimana respon publik terhadap langkah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah terkait fatwa MUI tersebut. Hingga saat ini, pemerintah belum memberikan ketegasan sikap terkait keberadaan Ahmadiyah ini. Mayoritas publik meminta agar pemerintah mengikuti fatwa MUI dan melarang keberadaan Ahmadiyah. Sebanyak 53,4 menyatakan pemerintah seharusnya ikut menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat dan 15,6 menyatakan pemerintah tidak perlu menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat. Hal yang menarik adalah terjadi kenaikan sikap dibandingkan dengan survei tahun 2005. Pada Oktober 2005, hanya 35,2 saja yang setuju kalau pemerintan melarang keberadaan Ahmadiyah. Pada Oktober 2010, angka ini naik menjadi 53,4. Jumlah warga yang tidak setuju jika pemerintah tidak ikut menyatakan Ahmadiyah sesat juga mengalami penurunan dari 31,9 di tahun 2005 ke angka 15,6 di tahun 2010 lihat Gambar 14. Gambar 14 Penilaian atas tindakan yang seharusnya dilakukan pemerintah mengenai Ahmadiyah. Ada dua konteks yang harus dilihat untuk menjawab pertanyaan di atas. Pertama, konteks meningkatnya suara penolakan terhadap Ahmadiyah di pentas dunia global, khususnya negara-negara berpenduduk Muslim. Terhitung sejak awal 70-an, suara kritis terhadap Ahmadiyah semakin terdengar keras dari 10 20 30 40 50 60 Pemerintah ikut mengatakan Ahmadiyah sesat dan dilarang Pemerintah tdk perlu menyatakan Ahmadiyah sesat Tidak tahu tidak jawab Agustus 2005 Oktober 2005 Oktober 2010 sejumlah negara berpenduduk Muslim yang berujung pada keluarnya fatwa sesat Ahmadiyah oleh Robithah Alam Islamiy dan pelarangan kelompok ini di beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim. Kedua, konteks nasional terkait dengan menguatnya kelompok-kelompok fundamentalisme. Fatwa sesat Ahmadiyah 1980 bisa dijadikan sebagai cermin yang bisa memperlihatkan “retaknya” kerukunan antarumat beragama yang ditandai dengan munguatnya fundamentalisme di dalam kehidupan umat beragama. Itu sebabnya, tidak mengherankan bila keluarnya fatwa sesat Ahmadiyah tahun 1980 hampir bersamaan dengan keluarnya fatwa haram selamat Natal yang sama-sama berasal dari MUI. Pada tahap tertentu, fatwa sesat Ahmadiyah yang dikeluarkan MUI pada tahun 2005 terlahir dari konteks yang kurang lebih sama. Saat itu Ahmadiyah kerap dijadikan sebagai musuh bersama oleh kelompok-kelompok fundamentalisme yang tersebar di dalam ormas-ormas keagamaan. Mulai dari ormas keagamaan yang hampir identik dengan aksi kekerasan, hingga ormas keagamaan yang selama ini dikenal moderat seperti NU dan Muhammadiyah. Kelompok-kelompok ini kemudian bersatu dalam menghadapi musuh bersama dan berada di belakang fatwa MUI 2005. Inilah kurang lebih yang bisa menjelaskan kenapa fatwa sesat Ahmadiyah yang dikeluarkan MUI pada tahun 2005 untuk mengukuhkan fatwa MUI 1980 bersamaan dengan keluarnya fatwa haram terhadap pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Tak lain karena Ahmadiyah dan kelompok- kelompok pluralis dianggap sebagai musuh bersama. Di Indonesia, fatwa MUI tentang Ahmadiyah berdampak luas. Menurut Ahmad Subakir 2009 dan Platzdasch 2011 fatwa-fatwa MUI selama ini disinyalir telah menyulut aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah di berbagai daerah di tanah air, seperti pengusiran, penutupan tempat ibadah dan kekerasan fisik lainnya. Dampak yang demikian telah mengundang perdebatan dari berbagai kelompok masyarakat dan perorangan. Paling tidak ada tiga kelompok yang merespon fatwa MUI terkait dengan Ahmadiyah. Pertama, mereka yang mendukung keluarnya fatwa yang beralasan bahwa ajaran Ahmadiyah telah menodai Islam. Kelompok-kelompok yang mendukung fatwa, selain MUI, ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia HTI, al- Irsyad al-Islamiyah, Forum Umat Islam Indonesia FUII dan Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam LPPI. Meski mereka sepakat dikeluarkannya fatwa bahwa Ahmadiyah sesat, namun mereka berbeda pendapat dalam hal sikap kelompok-kelompok yang melakukan aksi anarkis terhadap Ahmadiyah. Sebagian mereka menyatakan bahwa aksi-aksi tersebut terjadi karena massa sudah tidak sabar lagi dengan kegiatan-kegiatan Ahmadiyah yang dianggap membahayakan akidah umat Islam. Sebagian lagi berpendapat bahwa tindakan kekerasan tidak bisa dibenarkan karena negara kita bukan negara agama Islam, sehingga sekalipun sudah ada fatwa MUI, namun keputusan itu tidak mengikat. Kedua, mereka yang hanya menyetujui kesesatan Ahmadiyah Qadian saja. Mereka mempertanyakan label “sesat” yang ditetapkan oleh MUI. Menurut mereka tidak semua Ahmadiyah sesat, dan MUI belum melakukan kajian seksama dalam masalah ini. Menurut mereka harus dipisahkan antara Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore. PP Muhammadiyah juga berpendapat bahwa Ahmadiyah Qadian adalah sesat. Meski demikian, Muhammadiyah secara tegas menolak aksi penyerangan terhadap Ahmadiyah. Ketiga, mereka yang menolak fatwa MUI tersebut. Selain JAI sendiri, kelompok yang menolak adalah Komnas HAM dan tokoh-tokoh yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani. Mereka berargumen bahwa Ahmadiyah di Indonesia sudah mendapat ijin legal dari pemerintah sebagai organisasi sosial, sehingga tidak ada alasan untuk memutuskan kesesatan Ahmadiyah. Di samping itu, ditinjau dari segi hukum, fatwa tersebut batal demi hukum sebab dalam UUD 1945 pasal 29 secara tegas dinyatakan: 1 Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, 2 Negara menjamin kebebasan penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Oleh karena itu, penetapan Ahmadiyah sebagai organisasi sesat dan menyesatkan bertentangan dengan UUD 1945 karena adanya unsur pemaksaan kepada pihak lain untuk mengingkari pengakuan dan keyakinan seseorang sebagai pengikut Ahmadiyah.

5.2.4 Menanggapi Ahmadiyah melalui SKB 3 Menteri

Keberadaan Jemaat Ahmadiyah semenjak tahun 1925 di Indonesia relatif aman dan tidak menimbulkan persoalan nasional, meskipun fatwa MUI sudah dua kali dikeluarkan tahun 1980 dan 2005. Selama itu juga tidak ada respon dari pemerintah terhadap masalah Ahmadiyah hingga Juni 2008, dan kenapa respon pemerintah baru muncul belakangan? Paling tidak ada empat faktor yang menyebabkannya International Cricis Group 2008; bandingkan juga dengan Platzdasch 2011. Pertama, pengaruh sistematis dari kelompok tertentu yang berlangsung beberapa tahun belakangan terhadap pemerintah, terutama kepada Kementerian Agama untuk melakukan tindakan-tindakan melawan Ahmadiyah. Kedua, kelompok-kelompok garis keras, termasuk Hizbut Tahrir, yang menggunakan isu- isu Ahmadiyah untuk mendapatkan simpati dan keanggotaan yang lebih banyak. Ketiga, dukungan penuh dari Presiden Yudhoyono kepada lembaga-lembaga seperti MUI dan Bakorpakem untuk memantau aliran kepercayaan dan sekte- sekte. Keempat, manuver politik yang dikaitkan dengan pemilu tingkat nasional dan lokal. Faktor kunci International Cricis Group 2008 memahami kenapa pemerintah mengalah hingga merespon persoalan Ahmadiyah adalah keinginan Presiden Yudhoyono untuk mempertahankan koalisi dengan partai-partai Islam yang mendukungnya pada pemilu 2004, terutama mempererat koalisi pada pemilu 2009 yang sudah dekat. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah menghindari gaya pemerintahan Yudhoyono yang dianggap oleh lawan-lawan politiknya sebagai pemimpin yang lemah dan peragu. Pada tanggal 9 Juni 2008, seminggu setelah tragedi Monas, pemerintah melalui Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan Bersama SKB, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan ajaran Islam. SKB tiga menteri ini, oleh banyak kalangan, dianggap sebagai pemicu munculnya surat keputusan atau peraturan gubernur yang berisi pelarangan kegiatan keagamaan Ahmadiyah di daerahnya masing-masing. Bahkan Peraturan Gubernur Sumatera Selatan sudah melampaui SKB tiga menteri yang melarang Jemaat Ahmadiyah Indonesia beraktifitas di daerahnya. SKB tersebut memuat tujuh poin, dua diantaranya adalah peringatan dan perintah kepada seluruh penganutpengurus Jema’at Ahmadiyah Indonesia JAI agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya serta peringatan dan perintah agar semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI. Sejumlah kalangan berpendapat bahwa dua item tersebut cukup adil sehingga diharapkan dapat menghentikan kekerasan demi kekerasan terhadap JAI. Namun sejumlah pihak, terutama dari kalangan pemerhati hak-hak asasi manusia menganggap SKB itu tidak adil, disamping melanggar hak-hak asasi manusia kaum Ahmadiyah, bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia dan tidak realistis sehingga tidak akan mengakhiri masalah. Sementara itu, keputusan ini ditentang oleh kelompok-kelompok radikal karena tidak secara tegas membubarkan Ahmadiyah. Dari tujuh poin tersebut tidak ada kata pembekuan dan pembubaran Ahmadiyah. JAI hanya diminta untuk menghentikan aktifitasnya. Aktifitas apa yang dimaksud juga tidak jelas, apakah aktifitas komunal atau aktifitas individu. Shalat di mesjid bagi JAI, yang menjadi permasalahan di lapangan, juga tidak jelas, apakah dibolehkan atau tidak. Kalau kita pahami poin kedua, sesungguhya tidak semua kegiatan JAI diminta untuk dihentikan, tapi hanya yang terkait dengan penafsiran yang dianggap tidak sesuai dengan Islam pada umumnya. Karena itu, warga Ahmadiyah sebenarnya tetap bisa ibadah sebagaimana biasa. Secara substansial SKB ini multitafsir dan rentan disalahpahami. Terlepas dari itu ada hal penting yang bisa dicatat dari munculnya SKB ini. Menurut The Wahid Institute 2008, munculnya SKB ini merupakan desakan massa yang menuntut pemerintah membubarkan Ahmadiyah. SKB ini secara eksplisit mengakui bahwa persoalan Ahmadiyah adalah soal penafsiran doktrin agama. Di dalamnya poin kedua dari SKB tersebut terdapat kata-kata, “…menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW”. Sejauh menyangkut tafsir agama, sebenarnya pemerintah tidak punya urusan untuk melakukan pemihakan. Tafsir agama adalah bagian dari hak beragama dan berkeyakinan yang tidak bisa dikriminalisasi. Karena itu, dengan SKB itu sebenarnya pemerintah sudah terjebak pada pemihakan soal tafsir agama. Menurut Bagir 2011, SKB tiga menteri sangat berpengaruh pada interaksi masyarakat dengan Jemaat Ahmadiyah. Kekerasan terhadap Ahmadiyah berawal dari adanya klaim beberapa pihak bahwa Jemaat Ahmadiyah telah melanggar SKB atau keputusan bersama di masing-masing daerah. Beberapa daerah pada tingkat provinsi atau kabupaten telah bergerak lebih jauh dengan mengeluarkan SK atau peraturan gubernur yang memperkuat SKB yang terkadang lebih jauh dari SKB, atau usulan memperkuat SKB, baik dari segi status hukumnya maupun isinya, hingga ke tingkat melarang keberadaan Jemaat Ahmadiyah. SKB tiga menteri dan keputusan bersama di masing-masing daerah berakibat pada munculnya segregasi diantara kelompok keagamaan, yaitu antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah. Interaksi sosio-kemasyarakatan dan sosio- keagamaan yang terjalin selama berpuluh-puluh tahun berujung pada pembatasan interaksi masyarakat dengan Ahmadiyah. Akibatnya, secara sosial, sangat merugikan Jemaat Ahmadiyah itu sendiri karena terbatasnya akses yang diberikan. Sejak lahirnya SKB dan fatwa MUI, serangan terhadap masjid dan jemaat Ahmadiyah terus meningkat secara signi fikan. Peningkatan ini sejalan juga dengan peningkatan kekerasan atas gereja-gereja yang dianggap tidak memiliki izin untuk berdiri. Serangan paling tidak manusiawi yang menimpa jemaat Ahmadiyah terjadi pada 6 Februari 2011 di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Tiga orang anggota jemaat dianiaya secara kejam hingga meninggal dunia. Pasca serangan ini ketakutan luar biasa dialami oleh jemaat Ahmadiyah, apalagi sejumlah pemerintah daerah kemudian menerbitkan Peraturan Daerah berupa Peraturan Gubernur, Walikota dan Bupati, yang intinya adalah melarang aktivitas jemaat Ahmadiyah. Bahkan sebuah operasi khusus dilakukan oleh TNI di Jawa Barat dengan sandi Operasi Sajadah. Operasi ini menurut mereka bertujuan untuk mengajak Ahmadiyah mengikuti Islam mainstream dan memfungsikan masjid-masjid milik Ahmadiyah menjadi fasilitas umum. Pemaksaan pindah keyakinan terhadap jemaat Ahmadiyah juga terjadi di banyak tempat Hasani Naipospos 2011. Dalam beberapa waktu terakhir, tuntutan pembubaran dan pelarangan Ahmadiyah Indonesia semakin menguat dengan menggunakan strategi yang lebih canggih. Bila selama ini mereka kerap menempuh jalur pemerintah pusat untuk mewujudkan tuntutannya, dalam beberapa waktu terakhir mereka justru menempuh jalur daerah. Hal ini terlihat jelas dari banyaknya Perda yang melarang aktivitas Ahmadiyah, seperti Peraturan Gubernur Jawa Timur, Jawa Barat, Banten dan yang lainnya. Pelarangan Ahmadiyah melalui Pemerintah Daerah dianggap lebih realistis dibanding pelarangan melalui pemerintah pusat. Mengingat pelarangan Ahmadiyah melalui pemerintah pusat banyak mendapatkan tantangan dan rintangan. Sedangkan pelarangan Ahmadiyah melalui Pemda hampir tak mempunyai kendala yang berarti. Dalam menyikapi keberadaan Ahmadiyah, Indonesia tak seharusnya ikut- ikutan melakukan apa yang telah dilakukan oleh beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Pakitan, Malaysia, Brunai Darussalam dan yang lainnya. Mengingat ada perbedaan yang sangat mendasar anatara konteks keindonesiaan dengan konteks yang dihadapi oleh negara-negara berpenduduk Muslim tersebut. Setidaknya karena tiga alasan utama. Pertama, Indonesia adalah negara majemuk yang sarat dengan nilai-nilai toleransi. Kemajemukan yang ada telah hadir di Indonesia sebelum negara ini dilahirkan. Sebaliknya, Indonesia sebagai negara-bangsa terlahir justru karena adanya komitmen kemajemukan untuk hidup bersama secara damai dan berdampingan. Dengan kata lain, kemajemukan adalah jati diri sejati bangsa Indonesia. Eksistensi Indonesia sebagai negara bangsa sangat ditentukan oleh kesadaran dan semangat kemajemukan di kalangan segenap warganya. Indonesia tetap akan tegak selama semangat kemajemukan juga tegak. Pun demikian sebaliknya, Indonesia akan berakhir bersamaan dengan runtuhnya semangat kemajemukan. Meminjam istilah yang digunakan oleh almarhum Nur Kholis Madjid 2004, kemajemukan Indonesia bisa menjadi keistimewaan, tapi juga bisa menjadi kerawanan. Menjadi keistimewaan tatkala semua kemajemukan yang ada bisa dipahami dan dikelola secara baik. Menjadi kerawanan tatkala kemajemukan yang ada tidak dipahami secara baik. Hingga kemajemukan menjadi bom waktu yang bisa menimbulkan kon flik sosial di mana-mana. Inilah yang kerap terjadi belakangan dalam kehidupan berbangsa, terutama dalam menghadapi persoalan Ahmadiyah. Kemajemukan tak lagi dipahami sebagai jati diri bangsa ini. Hingga terjadi pelbagai macam aksi kerusuhan dan kon flik sosial yang justru berbasis pada kemajemukan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Sejatinya kemajemukan adalah masa depan gemilang bagi bangsa ini. Karena bangsa ini mempunyai sejumlah undang-undang yang memberi jaminan bagi kebebasan beragama, seperti Amandemen UUD Negara RI 1945 Pasal 28E ayat 1 dan ayat 2; UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik; dan masih banyak lagi lainnya. Dan tentu saja semua ini memuncak pada Bhinneka Tunggal Ika sebagai filofosi berbangsa dan bernegara yang bahkan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Kedua, Ahmadiyah turut berperan dalam proses kemerdekaan dan kelahiran Indonesia. Tak sedikit dari pengikut Ahmadiyah yang turut berdarah-darah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagian dari mereka telah mengorbankan jiwa-raganya demi kemerdekaan bangsa Indonesia dari kekuatan penjajah. Realitas historis di atas menunjukan bahwa Ahmadiyah telah menjadi bagian dari semangat kemajemukan di bawah naungan bangsa Indonesia yang merdeka. Ketiga, Ahmadiyah tidak menjadi ancaman bagi keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Sebagaimana telah disampaikan di atas, Ahmadiyah selama ini tidak terlibat dalam aksi-aksi kekerasan yang harus ditindak oleh negara, walaupun mereka kerap menjadi sasaran aksi kekerasan dan diskriminasi.

BAB VI MEMUDARNYA PLURALISME DI PEDESAAN JAWA

6.1 Elit Agama dan Paham Keagamaan

6.1.1 Sekilas Gambaran Elit Agama

Bagi masyarakat Cikeukeuh, agama menjadi hal yang sentral dalam kehidupan sehari-hari karena berkaitan dengan keyakinan dan bersifat transenden. Keyakinan-keyakinan tersebut diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual keagamaan yang jika dilaksanakan akan mendapat reward pahala dan jika ditinggalkan atau dilanggar akan mendapat punishment dosa. Proses penyadaran religius ini sangat ditentukan oleh keberadaan elit agama sebagai pihak yang mensosialisasikan ajaran agama di tengah masyarakat. Kata elit, secara etimologi, berasal dari bahasa Latin eligere yang berarti memilih. Istilah ini berkembang pada abad ke-14 menjadi a choice of persons orang-orang pilihan. Kemudian pada abad ke-15, dipakai untuk menyebutkan best of the best yang terbaik dari yang terbaik. Istilah elit dipakai untuk menyebut sekelompok orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu masyarakat. Ilmuan sosial yang pertama kali menggunakan kata ini adalah Vilfredo Pareto pada akhir abad ke-19 di Eropa, dan kemudian diikuti Gaetano Mosca pada 1930-an Alfan Alfian 2009, bandingkan juga dengan T.B. Bottomore 1984. Menurut Pareto, yang disebut dengan kelompok elit adalah sekelompok kecil individu yang memiliki kualitas-kualitas terbaik, yang dapat menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Ia menggolongkan masyarakat ke dalam dua kelas, yakni lapisan atas elite dan lapisan bawah non- elite. Lapisan atas atau kelas elit terbagi dalam dua kelompok, yakni elit yang memerintah governing elite dan elit yang tidak memerintah non-governing elite. Antara governing elite dan non-governing elite senantiasa berebut kesempatan untuk mendapatkan porsi kekuasaan sehingga terjadilah sirkulasi elit. Elit agama yang dimaksud di sini adalah kelompok kecil masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pengaruh keagamaan di masyarakat sehingga menjadi rujukan dan tempat masyarakat bertanya yang berkaitan dengan masalah agama, baik mereka itu memiliki pesantren maupun tidak. Dalam kehidupan sehari-hari elit agama biasanya disebut ulama, kyai, ustadz atau, dalam masyarakat Sunda, ajengan. Hampir dipastikan bahwa setiap kampung atau RW memiliki elit agama, dengan kapasitas yang berbeda-beda, yang secara religius bertanggung jawab mengayomi umat ke arah nilai-nilai agama. Pengayoman tersebut, salah satunya, terlembaga pada pengajian-pengajian yang dilakukan baik di tingkat kampung maupun desa. Masyarakat Cikeukeuh sangat menghormati elit agama lantaran mereka memiliki pengetahuan mendalam tentang ajaran Islam. Masyarakat menilai elit agama berdasarkan pada kriteria-kriteria seperti yang terlihat dalam tabel sebagai berikut: Tabel 8 Elit Agama dalam Pandangan Masyarakat Elit agama Unsur agama 1. Menguasai ilmu agama 2. Tingkat kesalehan yang tinggi 3. Mempunyai pondok pesantren 4. Perilaku yang terpuji 5. Sudah naik haji Unsur akseptabilitas 1. Sering diundang memberikan ceramah 2. Dikenal masyarakat luas 3. Panutan masyarakat Unsur sosial 1. Aktif dalam kegiatan sosial 2. Pengambil keputusan dalam masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2012 Elit agama ini memiliki karisma tersendiri dalam masyarakat karena mereka dianggap sebagai sosok yang paling otoritatif dalam menginterpretasikan ajaran- ajaran agama yang bersumber dari teks-teks suci. Jika Geertz 1960 menjelaskan bahwa yang membuat seorang kyai menjadi karismatik adalah karena perannya sebagai “perantara budaya” cultural broker, maka di Desa Cikeukeuh karismatik elit agama juga dilihat dari peran politik yang dimainkannya. Beberapa elit agama ada yang pernah menjadi pengurus sebuah partai besar dan ada juga yang menjadi anggota legislatif tingkat kabupaten dan propinsi. Meski terlibat dalam dunia politik, elit agama tetap dipandang sebagai elit agama karena dunia politik bersifat sementara dan muncul belakangan dibandingkan dengan keberadaan elit agama itu sendiri yang muncul jauh sebelum terlibat dalam politik. Di samping itu, peran elit agama terlihat suburnya pengajian di semua kampung, sebagai media komunikasi dan pembinaan anggota. Pengajian berkembang menjadi tempat rakyat dan kaum awam mengikat diri secara taqlid di dalam kesatuan orang saleh. Hubungan elit agama dengan masyarakat ibarat hubungan atas dan bawah. Posisi masyarakat menerima apa yang menjadi pilihan dan keputusan elit agama. Hubungan elit agama dengan masyarakat persis apa yang digambarkan oleh Karl D. Jackson ketika menggambarkan hubungan kewibawaan tradisional elit agama dengan masyarakat di Jawa Barat. Menurut Jackson 1990, pada saat tertentu seorang pelaku kewibawaan tradisional atau elit agama mempengaruhi dan mengubah perilaku masyarakat. Kewibawaan tradisional, dalam interaksinya dengan masyarakat, mengirimkan pesan dari teks-teks keagamaan kepada masyarakat, dan masyarakat menerimanya sebagai dasar perilakunya. Elit agama adalah mereka yang menyediakan, melindungi, mendidik, sumber nilai-nilai religius dan memiliki status unggul dari masyarakat yang punya hubungan ketergantungan yang mapan. Perintah-perintahnya diterima masyarakat semata-mata atas dasar siapa dia dan hubungan tertentu yang tersebar dengan tokoh-tokoh lain termasuk Kepala Desa, sehingga ketika ada perintah dan permintaan dari elit agama satu-satunya reaksi adalah mengabulkannya Jackson 1990. Begitulah yang terjadi ketika menanggapi Jemaat Ahmadiyah membangun mesjid yang dianggap masyarakat sebagai pelanggaran Surat Keputusan Bersama SKB Kabupaten. Reaksi berlebihan muncul dari elit agama dan mengumpulkan tokoh masyarakat dari masing-masing RTRW. Elit agama berkumpul bersama tokoh masyarakat membicarakan tentang bagaimana menghadapi Jemaat Ahmadiyah pascapelanggaran yang dilakukannya. Pada saat itu kebencian terhadap Jemaat Ahmadiyah ditransformasikan oleh elit agama kepada tokoh-tokoh masyarakat. Masyarakat menerima bentuk-bentuk pemahaman keagamaan yang ditransformasikan elit agama kepada masyarakat. Berdasarkan ajaran agama, menurut elit agama, masyarakat boleh menyerang dan melakukan tindakan kekerasan sikap fundamentalisme terhadap Jemaat Ahmadiyah sebagai bentuk jihad melawan orang kafir. Jackson 1990 mengatakan bahwa selain faktor internal doktrin syariah yang dipandang baku dan sakral, sikap fundamentalisme juga bersumber dari pola hubungan diadik elit- umat yang membentuk klientalisme syariah. Hal ini terjadi sejak syariah diberlakukan sebagai hukum tunggal dan baku pada abad-abad pertama Islam Rahman, 1984. Syariah kemudian berubah sebagai dasar ideologi perubahan semua aspek kehiduapn sosial Garaudy 1993; Abdullah 1987. Pada tahap ini peran dominan elite agama akan berfungsi secara aktual Mulkhan 2000. Di satu sisi, fundamentalisme adalah fungsi dominasi ahli syariah yang memiliki kebebasan menafsir doktrin Islam sesuai kondisi obyektif yang mengitarinya. Pada sisi lain, keberadaan ahli syariah elit agama merupakan pra syarat bagi realisasi aturan syariah dan untuk memelihara identitas diri sebagai “orang Islam”. Dari sini, kebutuhan saling tukar kepentingan elit dan pengikut Jackson, 1990 memunculkan elite “orang saleh”. Elite ini tetap memegang peran penting dalam dinamika sosial pemeluk Islam. Dalam perspektif Weber 1972 dan Turner 1984 dominasi patrimonialisme elit agama ini menyebabkan subyektivisme elitis hubungan sosial Muslim. Masyarakat tidak punya keberanian untuk menyanggah atau mempertanyakan ulang apa yang disampaikan oleh elit agama. Tidak hanya itu, bagi siapa saja yang berani me lawan “arus” elit agama, maka orang tersebut akan mendapat celaan dan akan dikucilkan. Momen itu pernah dialami oleh Sekretaris Desa IZ yang mencoba mengingatkan masyarakat untuk tidak sampai pada tindakan anarkis dalam menghadapi masalah Ahmadiyah ketika pertemuan elit agama dengan tokoh-tokoh masyarakat. Usai mengingatkan masyarakat agar tidak bertindak anarkis, elit agama tradisional langsung berkomentar dengan kata- kata, “Sekdes naon eta Sekdes apaan itu?”. Himbauan Sekdes ini tentu saja berseberangan dengan suasana emosional masyarakat yang sedang geram dengan Ahmadiyah. Pada lain kesempatan elit agama juga memerintahkan kepada masyarakat untuk tidak lagi mengadakan pengajian bersama dengan Jemaat Ahmadiyah yang selama ini sudah terlembagakan dan menjadi salah satu bukti jalannya kehidupan