Dari fakta sosial di atas jelas sekali bahwa kehidupan pluralisme di Desa Cikeukeuh sebelum reformasi berjalan dengan baik, bahkan menjadi ciri khas dari
kehidupan beragama di pedesaan. Kehidupan pluralisme di desa ini tidak hanya dilihat pada adanya perbedaan dua kepercayaan keagamaan antara non
Ahmadiyah dan Ahmadiyah, melainkan terjadinya keterlibatan aktif di antara mereka dalam kehidupan pedesaan yang sama-sama memiliki komitmen bersama
untuk kemasyarakatan dan saling memahami satu sama lain Ali; 2003; Eck 2006; Misrawi 2007; Safi 2003.
Sikap pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan keyakinan dan kepercayaan tersebut tidak harus selalu diartikan sebagai bentuk pembenaran
terhadap teologi mereka yang minoritas atau teologi yang dipeluk oleh mayoritas warga. Dalam sistem pengetahuan dan praktik keberagamaan masyarakat Desa
Cikeukeuh yang pro pluralisme keberagamaan tersebut, bahwa pengakuan dan penghargaan terhadap variasi keyakinan dan kepercayaan yang berkembang di
tengah masyarakat harus dipisahkan dari ranah teologis. Artinya, mereka tidak asal melakukan pluralisme keberagamaan, tetapi berangkat dari sistem
pengetahuan mengenai tata kelola kehidupan beragama dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah digali dari tata aturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia. Mengutip pendapat Richard J. Mouw dan Sandra Griffioen 1993, Lutfi
Mustofa 2010 membedakan pluralisme ke dalam dua tipologi. Pertama, pluralisme deskriptif, yang sekadar mengakui dan menghargai keragaman. Dalam
pengertian ini biasanya diistilahkan juga dengan toleransi. Kedua, pluralisme normatif-preskriptif,
yang tidak
sekadar mengakui
tetapi juga
mau memperjuangkan keragaman. Pada tipologi yang pertama, pluralisme adalah
realitas sosial yang tidak terelakkan, karena kondisi awal masyarakatnya sudah majemuk maupun karena proses pluralisasi kehidupan yang dibawa oleh arus
modernisasi. Sedangkan pada tataran normatif-preskriptif, terdapat tiga konteks pluralisme, yaitu konteks budaya contextual pluralism, asosiasi kelembagaan
associational pluralism, dan sistem nilai yang memberi arahan pada kehidupan manusia directional pluralism.
Beradasarkan pembedaan pluralisme yang disajikan oleh Mouw dan Griffioen di atas, maka pluralisme keberagamaan dalam masyarakat Cikeukeuh
dapat dijelaskan, bahwa secara umum masih berada pada tipologi pluralisme deskriptif, karena pada bagian besarnya masyarakat masih pada tahap mengakui
dan menghargai keragaman. Sekalipun belum pada tahap memperjuangkan pluralisme, namun pluralisme keberagamaan yang terjadi di Desa Cikeukeuh
sudah pada tahap keterlibatan aktif demi komitmen bersama.
6.3 Konstruksi Masyarakat terhadap Ahmadiyah
Konstruksi masyarakat terhadap Jemaat Ahmadiyah tidak lepas dari, meminjam konseptual Berger dan Luckmann 1966, tiga momen, yaitu momen
adaptasi eksternalisasi, momen interaksi obyektivasi dan momen identifikasi internalisasi. Secara konseptual, momen adaptasi diri masyarakat Cikeukeuh
dengan lingkungan sosio-kulturalnya dalam merespon keberadaan Jemaat Ahmadiyah dapat dijelaskan sebagai berikut.
6.3.1. Eksternalisasi: Momen Adaptasi Diri
Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terus- menerus ke dalam dunia, baik dalam aktifitas fisik maupun mental Berger
Luckmann 1966. Eksternalisasi merupakan keharusan antropologis karena keberadaan manusia tidak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan yang
tertutup dan tanpa gerak. Keberadaan manusia harus terus-menerus mencurahkan kediriannya dalam aktifitas.
Eksternalisasi merupakan proses awal dalam konstruksi sosial. Ia merupakan momen adaptasi diri dengan dunia sosio-kultural. Dalam momen ini,
sarana yang digunakan adalah bahasa dan tindakan. Manusia menggunakan bahasa untuk melakukan adaptasi dengan dunia sosio-kulturalnya dan kemudian
tindakannya juga disesuaikan dengan dunia sosio-kulturalnya Syam 2005. Momen adaptasi eksternalisai masyarakat Cikeukeuh, oleh karena itu,
dapat dipahami sebagai berikut. Pertama, bagi masyarakat yang memiliki kedekatan hubungan dengan elit agama, maka momen adaptasi diri tersebut
dilakukan terhadap sumber-sumber suci agama al- Qur’an dan Hadis. Berbagai
ungkapan teks-teks suci tersebut dijadikan sebagai referensi untuk menilai dan melegitimasi keberadaan Jemaat Ahmadiyah yang ada di Kampung Ciladong.
Penafsiran dan pemahaman mengenai Jemaat Ahmadiyah kerapkali dilakukan oleh elit agama yang dipandang sebagai sosok yang paling otoritatif
dalam mengiterpretasikan teks-teks keagamaan. Berbagai interpretasi terhadap teks-teks keagamaan mengenai Ahmadiyah yang disampaikan dalam setiap
momentum, seperti pengajian bulanan, pengajian hari besar Islam, pengajian tingkat RW, musyawarah atau perkumpulan dan khutbah
Jum’at menjelaskan bahwa teks-teks keagamaan tersebut menjadi rujukan bagi penilaian terhadap
Ahmadiyah. Kedua, penyesuaian diri terhadap paham lama Aswaja dikaitkan dengan
keberadaan Ahmadiyah. Ada dua respon yang diperlihatkan dalam proses penyesuaian tindakan individu dengan nilai-nilai yang ada dalam paham Aswaja,
yaitu penerimaan dan penolakan. Penerimaan terhadap paham Aswaja termanifestasi dalam tindakan berupa penolakan keberadaan Ahmadiyah yang ada
di desa. Banyaknya masyarakat yang terlibat dalam tindakan kekerasan dan penolakan terhadap Ahmadiyah menandakan bahwa secara umum masyarakat
menerima paham Aswaja sebagai tradisi keagamaan lama yang perlu dipertahankan.
Namun demikian, ada juga sebagian masyarakat yang menolak paham lama tersebut. Penolakan tersebut juga merujuk kepada teks-teks keagamaan yang
didasarkan pada cara pandang mereka masing-masing. Penolakan tersebut terwujud dalam bentuk bahasa dan tindakan. Misalnya, tidak mau menghadiri
pertemuan atau rapat-rapat yang membahas persoalan Ahmadiyah, menghindari tindakan kekerasan, mengingatkan warga lain agar tidak melakukan tindakan
anarkisme karena Islam tidak mengajarkan kekerasan kepada siapa pun.
6.3.2. Obyektivasi: Momen Interaksi Diri
Proses obyektivasi dapat dijelaskan bahwa realitas sosial itu seakan-akan berada di luar diri manusia. Dia menjadi realitas obyektif. Karena obyektif, maka
di sini terdapat dua realitas, yaitu realitas diri yang subyektif dan realitas lainnya yang berada di luar diri yang obyektif. Dua realitas ini membentuk jaringan
interaksi intersubyektif melalui proses pelembagaan. Obyektivasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia.
Adapun proses obyektivasi terhadap pemahaman Ahmadiyah di Desa Cikeukeuh dapat dijelaskan sebagai berikut:
Proses obyektivasi dapat dijelaskan bahwa Tuhan sakral dan manusia profan adalah dua entitas yang berbeda. Oleh karena itu, manusia ketika
memahami Realitas Sakral tersebut memerlukan medium gagasan dan pemikiran untuk memamahi pesan-pesan-Nya. Memandang Ahmadiyah sesat dan kafir
adalah medium untuk mencapai pemahaman pesan-pesan-Nya yang terefleksi dari kehidupan sosial. Semua pandangan dan tindakan masyarakat terhadap
Ahmadiyah dalam obyektivasi, menurut Berger dan Luckmann 1966, dapat mengalami proses pembiasaan habitualization yang kemudian mengalami
pelembagaan institutionalization. Gambaran ini sangat tepat ketika melihat respon masyarakat yang negatif terhadap Ahmadiyah, dimana kemudian
pandangan itu tertanam dalam benak masyarakat bahkan berakhir dengan tindakan kekerasan yang terpolakan atau, menurut Syam 2005, akan menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari. Kata kunci dari semua proses ini terletak pada adanya agen yang
memainkan peran sebagai individu atau sekelompok individu untuk proses penyadaran, pelembagaan dan pembiasaan. Hampir semua proses pelembagaan
dan pembiasaan memerlukan peran agen. Oleh karena itu, dalam proses membangun pemahaman dan penilaian terhadap Ahmadiyah juga tidak lepas dari
keterlibatan jaringan agen-agen, termasuk di dalamnya elit agama. Di dalam penolakan keberadaan Ahmadiyah yang ada di Kampung
Ciladong, maka didapati agen-agen yang menyuarakan anti Ahmadiyah dan perlunya masyarakat membentengi keimanan agar tidak masuk ke dalam ajaran
Ahmadiyah. Memerangi Ahmadiyah, menurut agen-agen tersebut, adalah jihad di jalan Allah dan bisa menghapuskan dosa. Bahkan dalam pengajian-pengajian
kerapkali suara-suara agen yang berperan dalam pembentukan pemahaman masyarakat terhadap Ahmadiyah.
6.3.3. Internalisasi: Momen Identifikasi Diri
Internalisasi adalah proses manusia atau individu melakukan identifikasi diri dalam dunia sosio-kulturalnya. Internalisasi merupakan momen penarikan realitas
sosial ke dalam diri atau realitas sosial menjadi kenyataan subyektif. Realitas sosial itu berada di dalam diri manusia dan dengan cara itu maka diri manusia
akan teridentifikasi di dalam dunia sosio-kulturalnya. Masyarakat Cikeukeuh tidak bisa lepas dari organisasi sosial kulturalnya
atau kelompok-kelompok pengajian karena, disamping menjadi bagian dari organisasi sosialnya, juga secara kodrati manusia memiliki kecenderungan untuk
mengelompok yang didasarkan pada kesamaan identitas keagamaan sama-sama berpegang pada paham Aswaja. Sekat interaksi tidak akan ditemukan jika
masyarakat berada dalam identitas yang sama. Jika sesama paham Aswaja atau non Ahmadiyah, maka secara leluasa masyarakat melakukan interaksi yang
intensif. Di sini masyarakat menerima sosialisasi-sosialisasi yang berkaitan dengan
pemaknaan Ahmadiyah yang sesat dan kafir dari elit-elit agama. Individu-individu dalam masyarakat tersebut sangatlah beragam karena kenyataan sosial sebagai
produk plural sehingga menghasilkan respon masyarakat yang beragam juga; menerima dan menolak keberadaan Ahmadiyah. Inilah proses internalisasi sebagai
peresapan kembali realitas oleh manusia dan mentransformasikannya kembali dari struktur-struktur dunia obyektif ke dunia subyektif Berger dan Luckmann 1994.
Objectivation Society
Objective
Externalization Internalization
Subjective
Self
Gambar 15 Konstruksi manusia terhadap realitas sosial.