Fundamentalisme dan Konflik Keberagamaan
fundamentalisme dari kelompok Islam tertentu ikut menghiasi wajah keislaman Indonesia. Menurut Abd A`la 2008, peristiwa awal yang melakukan
fundamentalisme keberagamaan adalah ketika meletusnya gerakan Padri yang bukan saja kepada orang di luar Islam, tapi kekerasan juga dilakukan kepada
sesama muslim yang tidak mau mengikuti ajaran mereka. Kekerasan dan tindakan sejenis dapat dirujuk pandangan keagamaan
tertentu yang sampai derajat tertentu melegitimasi atas terjadinya sikap dan tindakan semacam itu. Menurut Azra 1996 dan A`la 2008, sikap
fundamentalisme keagamaan tersebut dapat dilacak dan dipengaruhi oleh pandangan aliran keagamaan Wahabi di Arab Saudi. Menurut Benda 1958 dalam
A`la, 2008, gerakan Wahabi yang lahir di Arab Saudi itu telah memberikan tarikan magnetik kepada muslim Indonesia melampaui perbedaan doktrinal yang
ada. Kaum Wahabi adalah kelompok keagamaan yang sangat tidak toleran
dengan praktek-praktek yang bersifat bid`ah, khurafat dan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Siapa saja yang menyimpang, kelompok
Wahabi siap ”meluruskan,” atau jika perlu diperangai dengan jalan kekerasan. Mereka berusaha melakukan purifikasi keagamaan sesuai dengan prinsip yang
mereka anut dan akan meluruskan ritual keagamaan yang dianggap tidak sesuai melalui cara mereka sendiri. Dalam hal ini, ajaran mereka yang rigid tersebut,
tidak bisa dilepaskan dari pemahaman keagamaan mereka yang literal- skriptualistik.
Gerakan Islam fundamentalisme di Indonesia memiliki genealogi dengan gerakan Islam salafi yang berkembang di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi.
Entah suatu kebetulan atau memang seperti itu, kebanyakan tokoh-tokoh gerakan Islam radikal di Indonesia adalah keturunan Arab, seperti Habieb Riziq Syihab,
p emimpin Front Pembela Islam FPI, Ja’far Umar Thalib Laskar Jihad, Abu
Bakar Ba’asyir Majelis Mujahidin Indonesia, Habieb Husein al-Habsyi Ikhwanul Muslimin, Hafidz Abdurahman Hizbut Tahrir Indonesia.
Terma fundamentalisme, jelas Karen Armstrong 2000, awalnya merujuk kepada sebutan yang dilekatkan kepada kelompok tertentu dari kalangan Protestan
Amerika awal abad kedua puluh. Mereka menyebut diri mereka sebagai kelompok
fundamentalis untuk membedakan dari kaum Protestan liberal yang dalam anggapan mereka telah mengalami distorsi keimanan yang benar. Kaum
fundamentalisme ini menekankan ajaran dan praktek pada tradisi dan prinsip Kristen melalui pemaknaan biblikal yang literalistik.
Sebagai istilah yang diproduksi dalam tradisi Barat, maka istilah ini tidak cukup dikenal dalam tradisi Islam, meskipun gejala dan perilaku yang kurang
lebih sama dapat kita temukan dalam tradisi dan sejarah muslim. Dalam Islam, fundamentalisme biasanya diterjemahkan dengan al-Ushuuliyyah al-Islaamiyyah
fundamentalisme Islam, al-Salaafiyah warisan leluhur, al-Sahwah al- islamiyyah kebangkitan Islam, al-Ihyaa` al-Islami kebangkitan kembali Islam.
Namun, di kalangan intelektual berbeda-beda dalam menggunakannya, seperti ”ekstremisme Islam” oleh Gilles Kepel, ”Islam Radikal” oleh Emmanual Sivan
1990, dan yang lain ada yang menggunakan istilah ”integrisme,” revivalisme,” atau ”Islamisme” Euben 2002. Sebutan-sebutan tersebut oleh kalangan tertentu
juga sering disebut sebagai fenomena ”kebangkitan Islam” atau ”intensifikasi Islam” dalam wajah yang baru.
3
Bagi Azra 1996, karakteristik fundamentalisme adalah paham perlawanan terhadap modernitas, sekularisasi dan tata nilai barat, penolakan terhadap
hermeneutika, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme keberagamaan dan penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis yang membuat mereka
mudah terperangkap dalam tindakan kekerasan. Fundamentalisme Islam, lanjutnya, bisa dikatakan merupakan bentuk ekstrem dari gejala revivalisme.
Habermas dalam Borradori 2005 melihat bahwa salah satu karakteristik utama fundamentalisme terletak pada kekakuan sikap yang ditampakkan;
mentalitas, sikap kepala batu yang menekankan pada pemaksaan secara politik keyakinan-keyakinan sepihak, terutama yang berkaitan dengan kepercayaan
keagamaan, kendati hal tersebut tidak dapat diterima secara rasional. Sedikit berbeda dengan penjelasan di atas, Arkoun 1999, menjelaskan
bahwa gerakan fundamentalisme Islam terbentuk secara menyeluruh dari oposisi,
3
Rumadi 2009 menjelaskan bahwa istilah-istilah tersebut digunakan untuk menunjuk gejala “kebangkitan Islam” yang diikuti dengan militansi dan fanatisme yang terkadang sangat ekstrim.
Fundamentalisme lebih banyak berangkat dari literalisme dalam menafsirkan teks agama dan berakhir pada tindakan dengan wawasan sempit yang terkadang menindas dan menyalahkan
kelompok lain.
tuntutan, susunan ideologis dan halusinasi individual yang tidak membawa kita kepada Islam sebagai agama atau warisan pemikiran, tetapi semata-mata kepada
kemampuan setiap ideologinya dalam menggerakkan fantasi kolektif. Fundametalisme Islam yang berkembang di belahan dunia saat ini sama sekali
bukanlah hal yang baru. Brown 2003 mencatat bahwa fundamentalisme merupakan fenomena
global dan tidak saja terdapat di kalangan Islam saja melainkan juga di kalangan kaum Kristen, Yahudi, Hindu, Sikh dan Budha. Faktor-faktor, lanjutnya, yang
melahirkan gerakan fundamentalisme bisa disebabkan oleh ekonomi, politik, militer dan sosial.
Terlepas dari rumusan yang berbeda-beda, namun dapat ditarik benang merahnya bahwa fundamentalisme merupakan pola keberagamaan bukan agama
untuk kembali kepada sumber ajaran secara rigid sebagai respon terhadap segala sesuatu yang dalam anggapan mereka merupakan krisis terhadap kepercayaan
yang mereka yakini. Senada dengan ini, John O. Voll dalam Euben, 2002 menjelaskan bahwa fundamentalisme dalam Islam, tepatnya dalam aliran Sunni,
adalah sebagai penegasan kembali prinsip-prinsip mendasar dan usaha untuk membentuk ulang masyarakat berdasarkan dasar-dasar tadi ke dalam dunia politik
dan sosial kontemporer. Munculnya gerakan-gerakan Islam fundamentalisme berkait erat dengan
kegagalan negara menerapkan pola manajemen keragaman keagamaan religious diversity secara tepat. Dalam ruang sosial yang menghambat tumbuhnya kohesi
sosial dan kesalingpercayaan antarkomponen masyarakat, fundamentalisme agama dapat tumbuh dengan mekar.
Fundamentalisme agama itu sendiri merupakan cerminan dari lemahnya kohesi sosial. Dari sudut pandang sosiologis, gejala ini berhubungan dengan
ekspansi modernisasi yang menciptakan kondisi dunia modern yang sangat paradoksal dan ini menimbulkan tekanan terhadap sistem disposisi berkelanjutan
individual yang mengintegrasikan pengalaman-pengalaman masa lalu dan berfungsi sebagai matriks persepsi dan tindakan.
Dalam kondisi-kondisi tertentu fundamentalisme agama tidak bisa dilepaskan dari sikap-sikap fanatisme dan eksklusifisme beragama yang pada
akhirnya melahirkan sikap intoleransi pada kelompok lain, bahkan menimbulkan konflik. Konflik muncul karena mereka yang memahami doktrin agama secara
literal dan menolak kontekstual teks-teks agama tidak toleran dengan pemahaman dan penafsiran kelompok lain yang berbeda dengan mereka. Sikap eksklusifisme
dalam penafsiran teks-teks agama serta menolak berbagai kemungkinan penafsiran lain berpengaruh pada terciptanya konflik dalam masyarakat.
Hubungan antar umat beragama saat ini berada pada situasi yang cukup pelik. Gambaran ini jelas berbeda jauh jika dibandingkan dengan kondisi sebelum
reformasi di mana hubungan antarumat beragama dianggap jauh lebih rukun dengan sedikit konflik. Berbagai peristiwa mutakhir terkait intoleransi,
diskriminasi, dan kekerasan atas nama agama dimungkinkan telah berkontribusi dalam membentuk persepsi publik dalam menilai situasi mutakhir kondisi
hubungan antar umat beragama Hasani et. al 2011.