Banyaknya penduduk yang bekerja di bidang wiraswasta dan buruh pabrik ini disebabkan oleh ketiadaan lahan yang dimiliki oleh masyarakat serta minat
masyarakat yang tidak begitu tertarik lagi dengan dunia pertanian. Menurut salah seorang aparat desa IZ, masyarakat sudah menampakkan ketidaktertarikannya ke
dunia pertanian. Di samping tidak punya modal, hasil pertanian sekarang sudah tidak dapat diandalkan bahkan seringkali petani pas-pasan jika tidak dikatakan
merugi. Salah satu indikasi, lanjutnya, hampir tidak ada anak-anak muda yang bekerja di pertanian. Bagi mereka, lebih baik pergi ke kota menjadi buruh,
pelayan toko atau berdagang. Bahkan tidak sedikit warga meninggalkan desa dan migran ke daerah Tangerang dan Jakarta untuk berdagang soto Bogor, sementara
lahan pertaniannya disewakan kepada orang lain atau saudaranya. Panguasaan lahan pertanian pada saat ini tidak lagi sepenuhnya dikuasai
oleh masyarakat melainkan oleh orang-orang di luar desa, seperti dari Jakarta yang umumnya beretnis China. Di Kampung Sadang dari 40 ha luas tanah 24 ha
sudah menjadi milik orang luar Jakarta dan Yogyakarta. Begitu juga dengan
Kampung Cihedang dimana lahan seluas 7 ha sudah menjadi milik orang 4 ha milik mantan Kapolri BS dan 3 ha milik salah satu pengembang asal Jakarta. Di
Kampung Nanggreg juga demikian, lahan seluas 2500 meter per segi sudah dimiliki oleh orang Jakarta. Sementara itu, lahan seluas 1,4 ha sudah berpindah
tangan kepada pengusaha yang tinggal di Jakarta dan dijadikan empang. Sebagian lahan yang dimiliki orang luar desa itu dibiarkan saja dan belum
beralih fungsi, sebagian lagi ada yang digarap dan beralih fungsi empang dimana warga setempat menjadi buruh atau penyewa, bahkan ada juga si pemilik
lahan mendatangkan tenaga kerja dari Tangerang untuk menggarap lahannya. Kebutuhan akan biaya hidup, pengobatan dan membangun rumah serta murahnya
harga tanah rata-rata 50 ribum2 menjadi penyebab kenapa kepemilikan tanah gampang dikuasai oleh masyarakat luar.
Alasan lain adalah banyak juga diantara lahan yang dijual itu harta warisan yang tidak begitu luas sehingga sulit dibagi rata kepada beberapa orang ahli waris.
Untuk memecahkan masalah ini, ahli waris menjualnya untuk memudahkan pembagiannya disamping ada juga ahli waris yang tidak mau mengelola lahan
tersebut. Ada juga warga yang menjual lahannya karena ingin memutarkan modal dengan cara membeli angkot. Warga tergiur dengan setoran harian yang tentu saja
melebihi dari pendapatan harian mereka ketika menggarap sawah. Alih fungsi lahan pernah terjadi pada tahun 1980 hingga 1998 ketika desa
ini menjadi sentra pembesaran ikan Mas se-Kecamatan. Banyak lahan persawahan beralih menjadi empang atau kolam ikan, sehingga ketika itu banyak warga yang
menjadi petani tambak ketimbang petani sawah karena sangat menjanjikan. Pasar utamanya adalah Kota Jakarta, dan keuntungan yang didapat petani ketika itu
masih di atas seratus persen. Puncak pembesaran ikan Mas terjadi pada tahun 1998, yaitu ketika bangsa
Indonesia dilanda krisis moneter yang menyebabkan bibit, pakan ternak dan kebutuhan lainnya naik drastis, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara nilai
jual ikan dengan harga pakan ternak. Krisis moneter bukanlah faktor tunggal,
munculnya virus white spot pada ikan dan membanjirnya ikan laut - warga
menyebutnya dengan ikan moneter karena bersamaan dengan krisis moneter - di pasar hingga ke Desa Cikeukeuh ikut menjadi faktor hancurnya usaha pembesaran
ikan di desa ini. Meski peluang berbisnis ikan tidak sebagus tiga dekade yang lalu, namun
pembesaran ikan hingga sekarang masih dilakukan oleh beberapa warga. Saat ini
Gambar 6. Areal persawahan di Kampung Cihedang.
Gambar 7. Alih fungsi lahan dari pertanian menjadi empang.
tercatat 2,7 ha lahan yang digunakan warga lokal dan luar untuk pembesaran ikan. Jenis-jenis ikan pun sudah bervariasi, yaitu ikan Mas, Bawal, Mujahir dan Nila
dengan hasil panen per tahun 235 ton ikan Mas, 250 ton Bawal 1,5 ton Mujahir dan 1,2 ton Nila.
Bangunan sekolah cukup banyak di desa ini. Ada 3 buah SDN 2 di Kampung Sukasari dan 1 di Kampung Ciladong. Sementara itu, terdapat 3 buah
MI Madrasah Ibtidaiyah, yaitu di Kampung Sukasari, Cihedang, dan Cibuluh RW 9 dan 3 Madrasah Diniyah yang berada di Kampung Lampari RW 4,
Sukasari dan Cihedang. Setingkat pendidikan SLTP dan SLTA, di Kampung Mekarsari terdapat Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Keterampilan
MAK yang dikelola oleh sebuah yayasan milik NS. Ada 2 buah TK Islam dan 4 buah pondok pesantren, dan untuk melengkapi pendidikan keagamaan yang
informal, desa ini juga memiliki 9 majlis taklim yang tersebar di masing-masing kampung.
Dari penduduk usia 7 – 15 tahun yang berjumlah 1185 pada tahun 2011,
hanya dua orang yang tidak sekolah. Angka dari warga yang tidak sekolah ini menurun drastis bila dibandingkan pada tahun 2010 yang berjumlah 14 orang.
Dari sekian jumlah penduduk, hanya 10 orang warga yang berpendidikan S1 disusul 6 orang pendidikan D3, 12 orang untuk D2 dan 15 orang D1. Sementara
itu, hanya 10 orang warga yang buta aksara.
Gambar 8. Kantor Desa Cikeukeuh. Gambar 9. Salah satu sekolah agama
yang ada di Desa Cikeukeuh.
4.2. Kehidupan Sosial-Politik
Secara historis, kehidupan sosial di Desa Cikeukeuh tidak mengalami pergolakan dan bersentuhan dengan pemberontakan Darul Islam Tentara Islam
Indonesia DI TII pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 1905-1962. Pemberontakan DI TII kebanyakan berada di desa-desa yang berada di
Keresidenan Priangan Kabupaten Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Cianjur dan Ciamis. Darul Islam di Jawa Barat lebih berkembang karena di
sanalah Kartosuwiryo membangun kekuatan bersenjatanya dan melatih para pemuda dalam lembaga Suffah di Malangboong, Garut. Tak heran jika
karakteristik keislaman di Jawa Barat juga dipengaruhi oleh Gerakan DI Hasani et.al 2011.
Meski Jawa Barat menjadi kantong penting kekuatan DI TII, DI TII tidak sampai masuk desa melainkan di daerah pegunungan yang berjarak sekitar 15 km
dari desa. Desa Cikeukeuh dulu termasuk dan dijadikan sebagai daerah pertahanan tentara Siliwangi. Untuk mengenang sejarah itu, dan sebagai bukti dari jejak
sejarah, jalan masuk ke Kampung Mekarsari dinamakan Jalan Siliwangi. Begitu juga dengan pergolakan sosial yang terjadi pada tahun 1965 yang
lebih dikenal dengan pemberontakan PKI. Desa ini tidak terpengaruh dengan gerakan komunis yang dilancarkan oleh PKI. Secara ideologis, hampir tidak ada
anggota PKI di desa ini, kalaupun ada hanya bersifat ikut-ikutan atau pernah datang pada rapat PKI yang diadakan di Jakarta. Menurut beberapa orang tokoh
masyarakat, jumlahnya juga sangat sedikit 2-3 orang, yaitu mereka yang berasal dari Kampung Mekarsari.
Tidak adanya pergolakan sosial dan politik di desa ini menyebabkan muncul dan berkembangnya organisasi sosial keagamaan. Di antara organisasi sosial
keagamaan yang pernah berkembang adalah Persatuan Umat Islam PUI, Persatuan Pemuda Umat Islam PPUI, Gerakan Pemuda Islam Indonesia GPII.
Organisasi yang terakhir GPII berafiliasi kepada Masyumi. PUI yang sangat peduli dan fokus pada dunia pendidikan mendirikan sebuah Madrasah Ibtidaiyah
yang masih berdiri sampai sekarang, dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah PUI. Organisasi keagamaan ini juga seringkali menyelenggarakan pelatihan-
pelatihan bagi para pemuda untuk penggemblengan akhlak dan pemahaman
agama pada masa akhir tahun 1950-an yang berpusat di mesjid terbesar yang ada di desa yang masih ada sampai sekarang. Meskipun sifatnya tidak diwajibkan,
tetapi banyak pemuda yang bergabung ke dalam pelatihan yang dilaksanakan selama seminggu tersebut. Beberapa tokoh agama yang ada sekarang merupakan
mantan peserta pelatihan-pelatihan tersebut. Sementara itu, organisasi sosial keagamaan yang mapan dan besar seperti NU dan Muhammadiyah malah tidak
berkembang di sini meski secara ritual keagamaan masyarakat lebih dekat kepada tradisi keagamaan NU.
Dilihat dari sosio-politik, afiliasi partai politik masyarakat lebih cenderung memilih Partai Golkar. Kondisi ini berlangsung semenjak Orde Baru berkuasa.
Kecuali pada masa awal kekuasaan Orde Baru dimana PPP dan Golar selalu bersaing dalam merebut simpati dan suara rakyat. Sementara PPP dan Golar selalu
bersaing dalam pemilu, Partai Demokrasi Indonesia PDI malah tidak mendapat tempat di hati masyarakat. Persaingan kedua partai tersebut, pada awal-awal
kekuasaan Orde Baru, lebih sering dimenangkan oleh PPP karena menurut masyarakat PPP adalah pengganti Masyumi yang dibubarkan oleh Orde Lama.
Namun, kondisi itu berubah seiring makin kuatnya kekuasaan pemerintah yang diwakili oleh Partai Golkar.
Kemenangan Partai Golkar tidak lebih dari pemaksaan yang sistematis kepada masyarakat terutama kepada mereka yang Pegawai Negeri Sipil PNS.
Kepala Desa dan aparatnya kerap meminta dan memaksa warga untuk memilih Partai Golkar. Fenomena yang berlangsung selama beberapa dekade ini
merupakan hal yang umum terjadi di berbagai daerah di Indonesia. PNS diwajibkan memilih Partai Golkar dan punya konsekuensi tersendiri jika tidak
memilihnya seperti yang dialami dua orang warga, yaitu alm. Hj. MH dan H. AA yang keduanya dimutasi ke Cimanggis, Depok.
Seperti yang ditulis Liddle 1997, Partai Golkar dianggap sebagai partai negara yang mewakili kepentingan penguasa belaka dan tidak mengindahkan
kepentingan masyarakat dalam pemilihan umum. Meskipun, di satu sisi, pemerintahan Orde Baru stabil dan committed kepada pembangunan, namun, di
sisi lain, jauh terasa nuansa demokratisasi sebagai bangsa karena yang lebih dipentingkan adalah stabilitas ekonomi dan politik.
Kondisi ini jauh berbeda ketika masa pemerintahan Orde Lama dimana masyarakat lebih dekat dengan Partai Masyumi. Di Desa Cikeukeuh, dan desa-
desa di sekitarnya, Partai Masyumi menjadi partai pilihan masyarakat. Masyarakat Cikeukeuh yang religius menggantungkan harapan dan aspirasinya kepada
Masyumi dalam memperjuangkan kepentingan Islam. Secara historis, seperti yang ditulis Herbeth Feith dalam Hasani 2011,
Masyumi berkembang pesat di Jawa Barat. Hal itu bisa dilihat dari hasil Pemilu 1955 dimana Masyumi mengungguli PNI, yaitu Masyumi memperoleh suara
1.844.442 dan PNI 1.541.927. berbeda dengan Jawa Timur dan Jawa Tengah yang dimenangkan PNI. Keluarnya NU dari Masyumi tidak melemahkan posisi
Masyumi di Jawa Barat. Warga NU di Jawa Barat tidak mau berpaling dari Masyumi sehingga suara NU di Jawa Barat hanya memperoleh 673.552 suara,
jumlah yang kecil dibanding yang diperoleh di Jawa Timur sebanyak 3.370.554 dan di Jawa Tengah 1.772.306 suara. Kuatnya Masyumi di Jawa Barat menjadi
karakter tersendiri dari keislaman politik yang dianut masyarakat muslim Jawa Barat.
Afiliasi partai politik masyarakat kembali berubah pasca reformasi dimana banyak partai-partai baru yang bermunculan sebagai wujud dan indikasi
perkembangan demokrasi di Indonesia. Aspirasi masyarakat yang dulu dipercayakan kepada partai Masyumi ORLA, PPP awal ORBA dan Golkar
ORBA kini pecah ke berbagai partai, seperti PKS, PBB, PAN, PPP, Demokrat, PDI-P dan Golkar, meski sekarang masyarakat lebih dekat dengan partai terakhir
Golkar. Pascareformasi memungkinkan masyarakat untuk lebih leluasa memilih
partai politik ketimbang pada masa sebelumnya Orde Baru yang hanya menyediakan tiga pilihan partai politik, itu pun di bawah tekanan penguasa.
Namun demikian, pilihan partai politik yang lebih variatif berakibat pada kebingungan masyarakat karena mereka terbiasa dengan jumlah partai politik
yang gampang diingat.
Tabel 3 Perolehan Suara Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten Tahun 2004
No Partai
Suara Partai Suara Calon
Anggota DPRD Jumlah
1 Golkar
1933 1648
3581 2
PPP 562
407 969
3 PKS
323 213
536 4
PDI-P 279
102 381
5 PNBK
104 79
183 6
Demokrat 75
41 116
7 PBB
67 42
109 8
PAN 36
28 64
Sumber: Berita Acara Hasil Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu
Anggota DPRD Kabupaten Tahun 2004. Dari tabel di atas mencerminkan bahwa Golkar menjadi partai terbesar
dalam pemilihan umum anggota DPRD Kabupaten disusul PPP dan PKS. Menariknya, pemilihan kali ini PDI-P menempati urutan keempat mengalahkan
PBB yang ideologinya sangat dekat dengan Masyumi yang menjadi pilihan masyarakat era 50-an. PBB tidak hanya dikalahkan oleh PDI-P melainkan juga
Partai PNBK yang terbilang partai kecil. Tidak hanya pemilihan umum di tingkat kabupaten, perolehan suara Golkar juga mendominasi saat pemilihan umum
anggota DPRD Propinsi Jawa Barat dan DPR RI tahun 2009 lihat Tabel 4. Tabel 4 Perolehan Suara Pemilihan Anggota DPRD Prop. Jawa Barat Tahun 2009
No Partai
Suara Partai
Suara Calon Anggota DPRD
Jumlah
1 Golkar
160 2202
2362 2
PDI-P 129
99 228
3 Demokrat
85 102
187 4
PPP 62
88 150
5 PKS
54 80
134 6
PAN 68
61 129
7 PKB
5 54
59 8
PKDB 36
20 56
9 PBB
15 35
50
Sumber: Berita Acara Hasil Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu
Anggota DPRD Prop. Jawa Barat Tahun 2009.