C. Aceh Gambaran Stres Kerja Pada Pekerja Sosial Suku Non Aceh Di Aceh

23 6. Pengembangan masyarakat respon darurat terhadap gempa dan tsunami, pendidikan kesehatan, pengembangan anak, pemulihan masyarakat. 7. Rehabilitasi lingkungan rehabilitasi batu karang, hutan hujan, hutan manggrove. 8. Pembenahan populasi dan tempat tinggal rekonstruksi desa, penyatuan komunitas.

II. C. Aceh

Dalam situs resmi pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam, dijelaskan bahwa provinsi ini merupakan daerah paling barat pulau Sumatera dengan ibukota Banda Aceh yang luas wilayahnya 56.500,51 Km2. Nanggroe Aceh Darussalam memiliki penduduk yang berjumlah 3.899.290 jiwa dengan suku bangsa Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Jawa, Simeuleue, Kluet, dan Aneuk Jamee. Agama yang tercatat di provinsi ini adalah Islam 98,80 , Kristen Protestan 0,84, Kristen Katolik 0,16, Buddha 0,18, dan Hindu 0,02. Aceh merupakan wilayah yang menarik perhatian masyarakat di Indonesia maupun di dunia internasional pada masa yang lalu, saat ini, ataupun mungkin pada masa yang akan datang. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog Usman, 2003. Kajian sejarah membuktikan bahwa ajaran Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh dan menjadi nilai-nilai yang mengakar kuat dalam Hukum Adat, seperti yang disebutkan oleh Riddel dalam Reid 2006: There was also a set of judicial practices under the direction of the rulers, which drew on traditional local practice and was known as Hukom Adat. Some offences were judged according to Islamic law, others according to the Hukom Adat. Universitas Sumatera Utara 24 Secara kultural dapat dilihat bahwa penduduk Aceh dipengaruhi oleh kebudayaan dari Gujarat dan Timur Tengah yang juga diklaim sebagai Kebudayaan Islam. Hal ini terlihat dalam tata cara berpakaian, tari-tarian, bahasa dan perilaku yang dipraktikkan sehari-hari Usman, 2003. Beberapa antropolog menggunakan agama Islam untuk melihat kebudayaan Aceh. Melalatoa 2005 menyatakan bahwa kajian untuk memahami masyarakat Aceh dapat dipilih dengan melihat agama sebagai fokusnya, karena konfigurasi unsur-unsur kebudayaan sebuah kelompok terjaring oleh akidah dan kaidah agama. Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Aceh. Sebagian orang juga mempercayai bahwa Islam di Indonesia masuk melalui Aceh, dan karena itu, orang Aceh memiliki sejarah keislaman yang lebih lama dibandingkan orang-orang di daerah lain di Indonesia Melalatoa, 2005. Sebagaimana Reid 2006 menyebutkan bahwa Aceh telah lama menjadi pusat berkembangnya penyebaran Islam di nusantara, Acehnese pilgrim visited Arabia in increasing numbers during this time, and Acehnese religion scholars increasingly traveled to Arabia to study at a various centre of Islamic learning. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan Aceh tak bisa dilepaskan dari nilai- nilai Islami. Keislaman orang Aceh dapat dilihat bagaimana cara berpakaian, cara berbicara yang selalu mengucapkan salam, dan perilaku yang menampakkan nuansa “Islami”. Sehingga, wajar jika terdapat kesan bahwa orang Aceh identik dengan ketaatan dan fanatik terhadap ajaran Islam. Bahkan, Aceh dijuluki sebagai “Serambi Makkah” atau terasnya Makkah, tempat kiblatnya umat muslim di seluruh dunia Melalatoa, 2005 Universitas Sumatera Utara 25 Selain itu, sejumlah studi antropologi juga menyatakan bahwa masyarakat Aceh dikenal memiliki watak yang keras. Sebagaimana dinyatakan oleh Reid 2005, hal ini sejak dulu tergambar dari sikap masyarakat Aceh dalam menghadapi pendudukan asing di Nusantara, sehingga dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, Aceh adalah wilayah paling akhir yang berhasil ditaklukkan, dan bahkan penaklukan Belanda pun tidak bisa dikatakan berhasil menduduki seluruh wilayah Aceh. Perpaduan antara nilai-nilai Islami yang kuat dan kecenderungan watak yang keras ini menyebabkan tidak ada perang kolonial lain di Indonesia yang sedahsyat peperangan Belanda di Aceh Alfian, 1977. Hal ini dapat dikaitkan dengan ilmu antropologi psikologi yang telah memperhatikan psikologi dari kolektif-kolektif di berbagai daerah dan watak penduduk, sehingga dapat menjembatani kebudayaan dan kepribadian, yang menjadi fokus dari dua ilmu yang berbeda, menjadi sangat erat hubungannya Barnouw, dalam Danandjaja, 1994. Aceh di masa sekarang merupakan daerah yang sedang berbenah diri setelah diterpa bencana dahsyat Tsunami. Bencana yang menimpa Nanggroe Aceh Darussalam di hari Natal 2004 untuk zona waktu Eropa telah menghancurkan sekaligus melahirkan ketakutan yang hadir secara nyata di Aceh, bahkan dikatakan sebagai bencana paling hebat di abad ini. Sebelumnya Aceh juga merupakan daerah dengan berbagai permasalahan, sehingga pendekatan militeristik, darurat sipil hingga otonomi khusus pernah ditetapkan di daerah ini Yudha, 2006. Sampai akhirnya pada saat ini Aceh dengan segala kompleksitas permasalahan di dalamnya, berusaha membenahi diri melalui bantuan berbagai Universitas Sumatera Utara 26 lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional yang telah mendirikan perwakilannya di Aceh. Ditinjau dari teori Korten dalam Zaim, 1995, terdapat empat generasi strategi lembaga swadaya masyarakat, yaitu relief and welfare, self reliance local development, sustainable system development, dan people movement. Dari 4 generasi tersebut, ditemukan 2 pendekatan konvenen untuk LSM, yaitu konvenen politik dan konvenen sosial ekonomi sosial budaya. Hal ini sesuai dengan fungsi utama pelayanan LSM menurut Kamerman dan Kahn dalam Moroney, 1991 yaitu pengembangan sosial dan kontrol sosial. Dari data yang diperoleh dari BRR, diketahui terdapat 114 yang masih aktif di Aceh terhitung hingga tanggal 10 April 2007 dan kebanyakan dari LSM yang berkegiatan di Aceh bergerak dalam pendekatan konvenen kedua, yaitu sosial ekonomi budaya. Organisasi- organisasi tersebut menjalankan program yang berhubungan dengan pemulihan dan pencapaian kesejahteraan sosial di Nanggroe Aceh Darussalam, baik individual maupun kolektif.

II. D. Gambaran Stres Kerja Pada Pekerja Sosial Suku Non Aceh di Aceh