D. Gambaran Stres Kerja Pada Pekerja Sosial Suku Non Aceh di Aceh

26 lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional yang telah mendirikan perwakilannya di Aceh. Ditinjau dari teori Korten dalam Zaim, 1995, terdapat empat generasi strategi lembaga swadaya masyarakat, yaitu relief and welfare, self reliance local development, sustainable system development, dan people movement. Dari 4 generasi tersebut, ditemukan 2 pendekatan konvenen untuk LSM, yaitu konvenen politik dan konvenen sosial ekonomi sosial budaya. Hal ini sesuai dengan fungsi utama pelayanan LSM menurut Kamerman dan Kahn dalam Moroney, 1991 yaitu pengembangan sosial dan kontrol sosial. Dari data yang diperoleh dari BRR, diketahui terdapat 114 yang masih aktif di Aceh terhitung hingga tanggal 10 April 2007 dan kebanyakan dari LSM yang berkegiatan di Aceh bergerak dalam pendekatan konvenen kedua, yaitu sosial ekonomi budaya. Organisasi- organisasi tersebut menjalankan program yang berhubungan dengan pemulihan dan pencapaian kesejahteraan sosial di Nanggroe Aceh Darussalam, baik individual maupun kolektif.

II. D. Gambaran Stres Kerja Pada Pekerja Sosial Suku Non Aceh di Aceh

Krisis yang disertai bencana hebat seringkali memiliki dampak yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Bencana dahsyat tsunami yang menerjang Aceh telah menghancurkan sekaligus melahirkan drama horor kemanusiaan yang luar biasa Yudha, 2006. Data kehancuran yang diperoleh dari BAKORNAS 24 Januari 2005 adalah kematian 170.000 jiwa, hilangnya 30.000 jiwa, terlukanya 8.500 jiwa, dan 394.285 menjadi Internally Displaced Persons di 10 distrik di Aceh. Universitas Sumatera Utara 27 Aceh pasca tsunami menjadi daerah dimana kini berbagai organisasi nasional maupun internasional telah menjadi suatu pemandangan umum di provinsi yang sebelumnya sangat tertutup bagi orang asing ini Rokhadi, 2005. Aceh pun kebanjiran pekerja sosial yang bergabung dengan berbagai LSM di Aceh, baik pekerja sosial yang berasal dari Aceh maupun non Aceh, dari dalam maupun luar negeri, baik yang terlatih maupun nekat Pitaloka, 2005. Pekerja sosial adalah siapa saja yang bekerja memberikan bantuannya atau menjadi pendamping untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang paling mendasar, hakiki, dan mendesak kepada anggota komunitas atau populasi yang memiliki keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip kerja kemanusiaan Dharmawan, dkk, 2005. Pekerja sosial yang bekerja melintasi wilayah akan memberikan kontribusi personal pada tingkat global, untuk memperoleh pengalamanan belajar langsung mengenai negara dan budaya lain, serta untuk bertukar pikiran dengan orang-orang yang sebelumnya belum pernah ditemui Collins, dkk, 2002. Ketika bencana terjadi, ratusan bahkan ribuan orang akan mulai menghubungi berbagai organisasi untuk mencoba menjadi relawan pada lokasi bencana. Gambaran dan cerita juga akan memotivasi orang-orang ini untuk membantu secepatnya, secara personal Cravens, dkk, 2007. Namun pelaksanaan pekerjaan sosial ini tidaklah semudah yang dibayangkan. Apa yang seirngkali tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah pekerja sosial dadakan yang tidak memiliki bekal dan pengalaman sebenarnya dapat menyebabkan lebih banyak masalah daripada yang dapat mereka atasi di situasi bencana Cravens, dkk, 2007. Selain itu, kesejahteraan bagi para Universitas Sumatera Utara 28 pekerjanya sendiri merupakan isu penting yang sering terlupakan dalam bidang bantuan sosial dan kemanusiaan Dharmawan, dkk, 2006. Pekerjaan sosial kerap pula dikarakteristikkan dengan berbagai gangguan dan hambatan yang tidak dapat diperkirakan Scholte, 2006. Menyusul trauma akibat suatu kejadian tunggal yang amat menggoncang, dapat timbul kemungkinan terjadinya stress pascatrauma Dharmawan, dkk, 2005. Orang yang bekerja memberi bantuan atau dukungan bagi orang lain, khususnya korban trauma, sangat mungkin mengalami masalah-masalah khusus akibat pekerjaannya Dharmawan, dkk, 2005. Salah satu survei yang dilakukan oleh Davies 1998 menemukan bahwa dari 524 pekerja sosial yang disurvei, 96 menyatakan bahwa pekerjaan mereka penuh tekanan, 77 menyatakan bahwa mereka menyadari adanya simptom fisik yang berhubungan dengan stres, dan 58 menyatakan bahwa mereka memang merasakan simptom fisiologis dari stres. Stres kerja merupakan ketidakmampuan untuk memahami atau menghadapi tekanan, dimana tingkat stres tiap individu dapat berbeda-beda dan bereaksi sesuai perubahan lingkungan atau keadaan Cooper, 1988. Kebanyakan stres yang terjadi di kalangan pekerja sosial adalah hasil tekanan pekerjaan setiap hari Scholte, dkk, 2006. Ehrenreich Elliot 2004 menggambarkan stresor pekerja sosial, yaitu tuntutan fisik berat dan kondisi kerja tidak menyenangkan, beban kerja berlebihan dan jangka waktu lama, berkurang atau hilangnya ruang pribadi, jauh dari keluarga, adanya bahaya mengancam, kemungkinan melakukan evakuasi berulang, kemungkinan menyaksikan kemarahan dan berkurangnya rasa syukur korban, pengalaman trauma pribadi, Universitas Sumatera Utara 29 kurangnya dukungan, beban manajemen organisasi, konflik interpersonal, perasaan sakit dan tidak berdaya ketika tidak bisa memenuhi tuntutan, serta dilema etika. McFarlene 2004 juga menyatakan adanya konsekuensi kesehatan yang berhubungan dengan pekerja sosial, yakni mencakup kematian, sakit fisik, dan distres psikologi. Eriksson dkk dalam McFarlane, 2004 menyebutkan bahwa 10 sampel dalam penelitian yang mereka lakukan yaitu pekerja sosial yang berasal dari Amerika ditemukan mengalami post-traumatic stress disorder setelah 3 tahun kembali ke rumah. Holtz dkk dalam Ehrenreich dan Elliot, 2004 menemukan bahwa pekerja sosial di Kosovo mengalami depresi dan kecemasan yang berhubungan dengan lamanya mereka bekerja. Di Indonesia, seperti yang tercantum pada Harian Media Indonesia edisi 11 Juli 2006, terdapat seorang sukarelawan asing dirawat di instalasi jiwa Rumah Sakit Sardjito karena mengalami stres berat. Relawan yang negara asalnya dirahasiakan itu adalah seorang dokter umum. Kemungkinan sukarelawan itu tertekan melihat kondisi yang ada. Disebabkan sejak kedatangannya dua hari pascagempa, sukarelawan tersebut berulang kali turun langsung ke lapangan, melihat ribuan korban gempa dan ribuan rumah hancur. Laporan dari sumber yang beragam juga telah berulangkali menyatakan hubungan stres, culture shock, dan kelelahan yang dialami pekerja kemanusiaan Danieli, dalam McFarlane, 2004. Untuk pekerja lintas wilayah, isolasi sosial, kultur, dan geografi seringkali menjadi bagian dalam pengalaman mereka. Pekerja lintas wilayah ini seringkali terisolasi dari masyarakat, jauh dari keakraban budaya, dan jika mereka mereka tinggal di daerah yang sulit dijangkau, maka Universitas Sumatera Utara 30 mereka akan terisolasi secara geografi McFarlane, 2004. Pekerja sosial sering pula menemukan diri mereka bekerja secara minoritas, berbeda dengan komunitas atau kelompok yang ada. Adanya perbedaan budaya dan bahasa akan menyebabkan terhambatnya penciptaan komunikasi interpersonal bahkan kepercayaan terhadap para pekerja sosial ini McFarlane, 2004. Bagi pekerja sosial suku non Aceh yang melakukan pekerjaan pendampingan komunitas di Aceh, tantangan yang ada akan lebih berat. Hal ini dikarenakan masuknya para pekerja sosial non Aceh dalam kehidupan masyarakat Aceh dengan membawa serangkaian gagasan, budaya, dan pola pikir yang asing mungkin saja akan ditanggapi dengan penolakan Dharmawan, dkk, 2005. Aceh sendiri adalah daerah yang penduduknya secara kultural dipengaruhi oleh kebudayaan Islam yang tampak dalam tata cara berpakaian, tari-tarian, bahasa dan perilaku yang dipraktikkan sehari-hari Usman, 2003. Dari segi kehidupan, Aceh merupakan daerah yang jauh “lebih tertib” dibanding daerah-daerah lain di Indonesia Muldya, 2005. Dalam bidang kerja kemanusiaan, peraturan dan prosedur yang mempunyai tingkat formalitas tinggi biasanya tidak diharapkan, dan hal ini biasanya menjadi permasalahan autonomi profesionalisme dan kontrol terhadap pekerjaan mereka. Formalitas yang akan membatasi kebebasan para pekerja sosial untuk berinovasi ini merupakan kondisi yang tidak diharapkan dalam pekerjaan mereka dan disadari sebagai stresor pekerjaan yang signifikan Summers, dkk, dalam Lait dan Wallace, 2002. Selanjutnya, dalam studi yang dilakukan terhadap pekerja sosial, diketahui bahwa beban kerja yang tinggi juga akan menyebabkan berbagai masalah yang Universitas Sumatera Utara 31 akan diderita para pekerja sosial. Beban kerja dilaporkan sebagai stresor yang signifikan Matteson dan Ivancevich, dalam Lait dan Wallace, 2002. Pekerja sosial di Aceh diketahui melakukan pekerjaan yang cukup berat. Alhumami 2007 menyebutkan bahwa pekerja sosial di Aceh bekerja mengevakuasi dan menguburkan mayat, membereskan reruntuhan bangunan, membersihkan kota dari lumpur dan sampah, dan mengurusi penduduk yang hanya dalam hitungan detik menjadi Internally Displaced Persons, lalu tinggal di kamp-kamp pengungsian. Pitaloka 2005 menyatakan daftar kerja utama yang dilakukan para pekerja sosial di Aceh adalah identifikasi tempat-tempat penampungan dan kebutuhan pengungsi, distribusi kebutuhan, distribusi relawan, mendirikan posko, evakuasi korban, memperbarui informasi, mengusahakan logistik, serta bongkar-muat pangan yang diangkat dan disebarkan ke wilayah pengungsian. Selain beratnya tugas yang harus dilakukan, pekerja sosial di Aceh yang bekerja di wilayah konflik dan pascabencana tentunya akan memiliki karakteristik konteks yang berbeda dengan situasi biasa. Kondisi lingkungan kerja akan penuh dengan situasi sulit yang membawa dampak dan konsekuensi tersendiri. Di wilayah pascabencana kelumpuhan infrastruktur, keterbatasan fasilitas dan persediaan logistik maupun akses informasi dan transportasi menuntut pekerja sosial untuk memiliki strategi agar bisa bertahan Dharmawan, dkk, 2005. Keamanan merupakan isu yang penting pula di Aceh, karena wilayah ini pernah mengalami konflik kekerasan Noorsalim, 2006. Aceh sendiri dengan pendekatan militeristik dengan berbagai jenis operasi milter, darurat sipil hingga penetapan sebagai wilayah dengan otonomi khusus Universitas Sumatera Utara 32 ternyata bahkan tidak mampu menyelesaikan masalahnya. Aceh masih dan tetap menjadi wilayah dengan kompleksitas persoalan di dalamnya. Bahkan dari dua puluh satu kabupatenkota yang terdapat di provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam, enambelas diantaranya masuk dalam kategori Daerah Tertinggal Yudha, 2006. Hal ini dapat dikaitkan dengan penelitian McFarlane 2004 yang menyatakan bahwa pekerja sosial yang bekerja pada lingkungan yang kompleks dimana masalah yang ada berhubungan dengan konflik sipil yang berkepanjangan, kemiskinan, dan bencana akan menempatkan pekerja–pekerja tersebut pada resiko terjadinya pengalaman trauma dan kumulasi stres harian. Sehingga keadaan Aceh yang wilayahnya dulu pernah mengalami konflik kekerasan dan sampai sekarang memiliki kabupaten yang masih tergolong daerah tertinggal, akan mempengaruhi keadaan pekerja sosial yang bekerja di daerahnya. Dalam pekerjaan sosial, perhatian yang mendalam mengenai keamanan pribadi, rekan, keluarga, dan teman adalah hal yang umum. Eriksson dalam McFarlane, 2004 menemukan bahwa tingginya frekuensi mengenai kecemasan akan hal ini dapat meningkatkan level stres para pekerja sekembalinya mereka ke rumah. Pekerja sosial suku non Aceh yang bekerja lintas wilayah dan terpisah jauh dari keluarga ini juga kerap diterpa isu-isu kontekstual. Pekerja sosial dihadapkan dengan prasangka yang kadang tertuju pada relawan asing atau mereka yang memiliki keyakinan berbeda dengan mayoritas masyarakat Pitaloka, 2005. Generalisasi mengenai masyarakat Aceh juga telah berkembang di antara pemberi bantuan bahwa masyarakat Aceh bersikap pasif, tidak tahu berterima kasih, dan tidak turut membantu situasi darurat Dharmawan, dkk, 2005. Universitas Sumatera Utara 33

II. E. Permasalahan Penelitian