1
BAB I PENDAHULUAN
I. A. Latar Belakang
Bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada tanggal 24 Desember 2004 telah memporak-porandakan negara-negara di pesisir Samudra Hindia. Sebagai
lokasi terdekat dari episentrum gempa, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, provinsi terbarat Indonesia, merupakan lokasi yang paling parah mengalami
dampak kehancuran. Dua kota besar di Aceh, ibukota Banda Aceh dan kota pesisir Meulaboh, menjadi saksi besarnya kehancuran yang ditimbulkan oleh
bencana alam ini. Rumah-rumah di sepanjang bibir pantai hingga beberapa kilometer ke daratan, rata dengan tanah. Tidak terkecuali dengan vegetasi, yang
banyak mengalami kerusakan Rokhadi, 2005. Kehancuran sungguh dahsyat dilihat dari segala aspek: skala gempa,
gelombang air pasang, tingkat kerusakan fisik, jumlah korban tewas, arus pengungsi, trauma psikologis para korban, dan luas wilayah bencana yang
melampaui batas-batas negara dan benua. Oleh karena itu, timbul sebutan terhadap bencana di Aceh sebagai the most terrifying catastrophe for human
beings Alhumami, 2007. Tidak mengherankan bila bencana tsunami ini kemudian melahirkan simpati kemanusiaan yang luar biasa bukan saja di
lingkungan masyarakat domestik tetapi juga komunitas internasional. Segera setelah bencana ini terjadi, pernyataan duka dan belasungkawa
mengalir dari segenap penjuru dunia Alhumami, 2007. Media elektronik, yang segera meliput dampak bencana, berhasil menggugah masyarakat Indonesia dan
Universitas Sumatera Utara
2 dunia untuk menggalang dana kemanusiaan Dharmawan, dkk, 2005. Bantuan
dalam berbagai bentuk dari berbagai negara pun tiba di provinsi itu. Bantuan tersebut berupa bantuan nyata, seperti kebutuhan standar yaitu tenda untuk tempat
tinggal sementara, ditambah pangan dan obat-obatan. Ada pula bantuan pemenuhan kebutuhan nonfisik seperti pemulihan psikososial. Lima bulan setelah
bencana, Pemerintah Indonesia kemudian membentuk Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi BRR Aceh-Nias. Berbagai organisasi nasional maupun
internasional pun kini menjadi suatu pemandangan umum di provinsi yang sebelumnya sangat tertutup bagi orang asing ini Rokhadi, 2005.
Lembaga swadaya masyarakat atau non government organization LSM atau NGO nasional dan internasional tersebut kini telah mendirikan
perwakilannya di Aceh untuk kelancaran proses pemulihan yang mereka jalankan.
LSMNGO tersebut merekrut pekerja sosial untuk mendukung kinerja dan pencapaian tujuan bantuan secara sempurna. Aceh pun lalu kebanjiran pekerja
sosial yang bergabung dengan berbagai LSM di Aceh, baik pekerja sosial yang berasal dari Aceh maupun non Aceh, dari dalam maupun luar negeri, baik yang
terlatih maupun nekat Pitaloka, 2005. Pekerja sosial adalah pihak-pihak yang melaksanakan usaha kesejahteraan
sosial baik yang berasal dari pemerintahan birokrasi maupun dari kalangan masyarakat atau LSM Hidayat, 2004. Usaha kesejahteraan sosial merupakan
kerja kemanusiaan yang berupa upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi pada populasi masyarakat yang menderita akibat bencana atau
kekerasan berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan, imparsialitas, dan netralitas Dharmawan, dkk, 2005.
Universitas Sumatera Utara
3 Pekerja sosial melalui proses pengembangan masyarakat membantu
korban agar dapat memperbaiki kehidupannya maupun masyarakat melalui tindakan-tindakan kolektif Suharto, dalam Twelvetrees, 1991. Payne 1986
menyatakan, ketika seorang pekerja sosial mencoba untuk menolong seseorang, ia akan mulai dari posisi dimana terdapat suatu hal positif dan berguna dalam
kehidupan dan lingkungan kliennya yang akan membantu mereka maju kedepan, sebagaimana masalah atau halangan yang coba mereka lewati. Bagian dari
pekerjaan sosial adalah menemukan hal baik, dan membantu klien mengambil manfaat darinya.
Namun pada praktiknya, pelaksanaan pekerjaan sosial tidaklah semudah yang dibayangkan. Salah satu isu penting yang sering terlupakan dalam bidang
bantuan sosial dan kemanusiaan adalah kesejahteraan bagi para pekerjanya sendiri. Dampak ini sering tidak disadari kemunculannya karena pekerja sosial
terlalu sibuk dengan pekerjaannya memberikan pendampingan dan memikirkan kesejahteraan orang lain Dharmawan, dkk, 2006. Pekerjaan-pekerjaan sosial
seringkali dikarakteristikkan dengan berbagai gangguan dan hambatan yang tidak dapat diperkirakaan. Kondisi ini akan mempengaruhi keadaan pelaksanaan
pekerjaan sosial, dan mungkin dapat menimbulkan keadaan stres di kalangan pekerjanya Scholte, dkk, 2006.
McFarlane 2004 dalam The Australasian Journal of Disaster and Trauma Studies menyebutkan bahwa pekerja sosial seringkali mengalami keadaan tidak
menyenangkan dan berbahaya ketika bekerja dalam lingkungan yang kompleks, di mana masalah yang terjadi berhubungan dengan konflik sipil, kemiskinan, dan
bencana. Pada tahun 2007, Institute of Science and Technology University of
Universitas Sumatera Utara
4 Manchester juga telah menyatakan hasil penelitian mereka mengenai jenis profesi
yang paling rentan berhubungan dengan stres kerja, dan ditemukan bahwa dalam skala 0 sampai 10 untuk tingkat stres, pekerja sosial berada pada tingkat nilai 6.
Braithwaite 2007 telah pula menyebutkan bahwa stres adalah masalah terbesar yang muncul dalam masalah pelayanan sosial di masa sekarang, dimana stres
kerja menghabiskan biaya lebih dari 3 juta pound setiap tahunnya, dan pekerja sosial adalah yang paling banyak mengalami stres dalam lingkup pekerjaannyaa.
Dalam situs resmi International Labour Organization 2007, disebutkan bahwa karena stres adalah hal yang sangat menyebar, maka stres memberikan
konsekuensi dan biaya yang sangat tinggi pula bagi individu, perusahaan dan organisasi, juga untuk masyarakat.
Sementara stres diketahui sebagai sesuatu yang umum dalam kehidupan modern, mendefinisikan stres, simptom, serta efeknya, adalah sesuatu yang
kompleks. Pekerjaan sendiri menghasilkan stres karena pekerjaan memainkan peran yang penting dalam kehidupan manusia Dawis, dkk, 1989.
Stres kerja adalah ketidakmampuan untuk memahami atau menghadapi tekanan, dimana tingkat stres tiap individu dapat berbeda-beda dan bereaksi sesuai
perubahan lingkungan atau keadaan Cooper, 1988. Kahn dkk dalam Cooper, dkk, 2003 menyatakan bahwa stres kerja merupakan suatu proses yang kompleks,
bervariasi dan dinamis dimana stresor, pandangan tentang stres itu sendiri, respon singkat, dampak terhadap kesehatan, dan variabel-variabelnya saling berkaitan.
Cooper dkk 1996 yang menyatakan bahwa terdapat sembilan hal yang menjadi faktor stres kerja, yaitu keterkaitan pekerjaan dengan kehidupan sosial atau
keluarga, karir dan penghargaan, keamanan, persoalan manajemen dan hubungan
Universitas Sumatera Utara
5 dengan rekan kerja, lingkungan fisik tempat kerja, lingkungan tempat tinggal,
peran manajerial, ergonomi, serta struktur organisasi. Kebanyakan stres yang terjadi di kalangan pekerja sosial adalah hasil
tekanan pekerjaan setiap hari. Pemicunya adalah terpisah dari keluarga, kondisi kerja dan kehidupan fisik yang sulit, waktu kerja panjang dan tidak teratur,
ancaman bahaya, kelemahan manajemen organisasi, pengalaman pribadi, serta konflik tim kerja Scholte, dkk, 2006. Ehrenreich Elliot 2004 juga
menggambarkan stresor pekerja sosial, yaitu adanya tuntutan fisik, beban kerja, berkurang atau hilangnya ruang pribadi, jauh dari keluarga, bahaya mengancam,
pengalaman trauma pribadi, kurangnya dukungan, beban manajemen organisasi, konflik kelompok, serta dilema etika.
Pekerja sosial suku non Aceh yang melakukan pekerjaan pendampingan komunitas di Aceh biasanya memiliki tantangan yang berat. Hal ini dikarenakan
dalam wilayah konflik maupun wilyah pascabencana, struktur sosial masyarakat yang terkena dampak bisa jadi akan bergeser. Pergeseran ini kadang menimbulkan
gesekan baru Dharmawan, dkk, 2005. Masuknya para pekerja sosial suku non Aceh dalam kehidupan masyarakat
Aceh dengan membawa serangkaian gagasan, budaya, dan pola pikir yang asing bukan tidak mungkin akan ditanggapi dengan penolakan Dharmawan, dkk,
2005. Aceh sendiri merupakan daerah yang penduduknya secara kultural dipengaruhi oleh kebudayaan Islam yang tampak dalam tata cara berpakaian, tari-
tarian, bahasa dan perilaku yang dipraktikkan sehari-hari Usman, 2003. Selain itu jika dilihat dari segi kehidupan Aceh jauh “lebih tertib” dibanding daerah-
daerah lain di Indonesia Muldya, 2005. Sejumlah studi turut menyatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
6 masyarakat Aceh dikenal memiliki watak yang keras, yang terlihat dari sikap
masyarakat Aceh dalam menghadapi pendudukan asing di nusantara Reid, 2005. Dari sejarah diketahui bahwa perpaduan antara nilai-nilai islami yang kuat dan
kecenderungan watak yang keras ini menyebabkan tidak ada perang kolonial di Indonesia yang sedahsyat peperangan Belanda di Aceh Alfian, 1977. Kekhasan
ini tidak terdapat di budaya lain, sehingga penyesuaian dan pemahaman karakteristik wilayah, akar permasalahan, dan karakteristik masyarakat
dampingan perlu dilakukan pekerja sosial suku non Aceh yang memasuki daerah kerja barunya di Aceh Dharmawan, dkk, 2005.
Permasalahan-permasalahan mengenai hal di atas tergambar dari hasil wawancara terhadap beberapa orang pekerja sosial suku non Aceh, yang
menyatakan ketidakbetahannya bekerja di Aceh karena alasan-alasan sebagaimana dikutip di bawah ini. Interviewee pertama merupakan seorang
pekerja sosial asal Jawa, yang bekerja di Aceh setahun setelah tsunami pada sebuah LSM internasional.
“Berkegiatan di Aceh membutuhkan kehati-hatian yang ekstra agar tidak diusir oleh masyarakat karena tersangkut pasal pendangkalan akidah. Selain itu Aceh
cuacanya panas sekali.. Makanannya tidak sesuai selera saya, dan perempuan yang saya cintai ada di Jakarta. Jenuh.. Sudah hampir dua tahun kerja di sini.”
Komunikasi Personal, Maret 2007.
Subjek berikutnya yang diwawancara merupakan seorang pekerja sosial suku non Aceh yang bekerja pada salah satu LSM internasional yang berada di
daerah Lamno, Aceh Besar, dan berikut kutipan wawancaranya. “Komunikasi ke masyarakat yang susah, dimana masyarakat susah memahami
bahasa Indonesia. Komunikasi dengan orang luar negeri, bule-bule itu susah memahami apa yang kita maksud. Itu mungkin karena budaya yang berbeda.”
Komunikasi Personal, Februari 2007.
Universitas Sumatera Utara
7 Interviewee ke tiga merupakan seorang pekerja sosial di Aceh untuk isu-
isu kebudayaan, terutama menganalisa dampak bantuan terhadap perubahan kebudayaan orang Aceh. Permasalahannya tergambar dalam kutipan wawancara
berikut. “Saya seorang yang bebas, jadi saya tak suka diikat oleh pola kerja
dengan manajemen yang ketat. Katakanlah birokrasi manajemen di kantor saya. Kondisi ini membuat saya bosan dan terasing. Tapi saya memahami
bahwa itu adalah ketentuan yang harus saya penuhi ketika saya bekerja dalam sebuah struktur manajerial. Di tempat lain biasanya ketika berhadapan dengan
situasi ini saya akan mencari hiburan. Di Aceh bisa dikatakan tak ada tempat- tempat hiburan. Ini kemudian menambah kebosanan saya. Selain itu umumnya
masyarakat yang terbuka dan kuat secara psikologis keras kepala dan saya kewalahan dan kadang-kadang membuat saya kehilangan semangat untuk
bekerja.” Komunikasi Personal, Februari 2007.
Interviewee berikutnya yang menyatakan pengalamannya bekerja di Aceh adalah seorang pekerja sosial suku non Aceh yang bekerja pada salah satu non
government organization internasional di Banda Aceh. Perkataannya sebagaimana dikutip sebagai berikut.
“Kadangkala perbedaan budaya berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu cuaca di kota Aceh sangat panas.” Komunikasi Personal, Februari
2007.
Para pekerja sosial suku non Aceh yang bekerja lintas wilayah ini sering pula diterpa isu-isu kontekstual yang berkembang di Aceh. Hal ini menambah hal-
hal yang harus menjadi pemikiran lebih bila ingin bekerja di tanah rencong ini Noorsalim, 2006.
Pekerja sosial harus berhadapan dengan prasangka yang kadang tertuju pada relawan asing atau mereka yang memiliki keyakinan berbeda dengan
mayoritas masyarakat korban bencana Pitaloka, 2005, sebagaimana digambarkan dari perkataan pekerja sosial suku non Aceh yang bekerja di Aceh
dalam kutipan berikut. Interviewee adalah seorang pekerja sosial suku non Aceh
Universitas Sumatera Utara
8 yang bekerja di sebuah lembaga yang fokus menanggulangi penanganan trauma
pasca bencana. Dia bekerja di Aceh setelah tsunami 2004, dan setelah dua tahun bekerja di lembaga itu, ia memilih bekerja free lance, untuk memfasilitasi
beberapa kegiatan sosial di Aceh “Perbedaan agama gue selalu dijadikan faktor diskriminasi. Banyak sekali dari
apa yang gue pikirkan, lakukan dan ajukan sebagai wacana, selalu dipermasalahkan karena gue non-muslim. Gue sering dituduh melakukan
kristenisasi, penganut sekulerisme, atau melakukan pendangkalan akidah, dll. oleh orang-orang tertentu yang diskriminatif tersebut, apa pun yang gue
lakukan pokoknya gak ada yang bener. Tanpa menyaksikan sendiri apa yang gue lakukan, tanpa kesediaan untuk berdialog, gue sudah di-vonis demikian.
Anak-anak yang ikut kegiatan bersama gue dikucilkan, nama gue dijelek- jelekkan di berbagai kesempatan, dll. Gue merasa gue akan lebih produktif bila
di luar Aceh, dimana waktu, tenaga dan pemikiran lebih banyak habis untuk diskriminasi SARA ini daripada melakukan yang lain-lainnya yang gue dan
teman-teman gue maksudkan untuk gue dan teman-teman gue lakukan. Banyak banget orang yang gue lihat hipokrit di Aceh ini. Dan gue gak tahan
berlama-lama berada di tengah-tengah lingkungan hipokrit. Gue juga gak tahan dengan pemaksaan untuk patuh pada uniformitas, pemaksaan perluasan ranah
publik ke ranah-ranah prifat, sanksi-sanksi sosial yang represif dan tidak adil. Ekspresi jujur gue banyak yang harus gue tekan karena gue menghadapi
ancaman serangan balik. Gue gak akan terlalu peduli bila serangan balik itu hanya ditujukan ke gue. Masalahnya adalah, serangan balik juga ditujukan ke
orang-orang terdekat dengan gue dan ke kelompok yang gue layani.” Komunikasi Personal, Januari 2007.
Stereotip atau generalisasi mengenai masyarakat Aceh juga telah berkembang di antara pemberi bantuan bahwa masyarakat Aceh bersikap pasif,
tidak turut membantu situasi darurat, dan tidak tahu berterima kasih Dharmawan, dkk, 2005. Hal ini tergambar dari hasil wawancara dengan salah seorang pekerja
sosial suku non Aceh yang bekerja di Aceh setelah tsunami, dan menangani program psikososial untuk anak-anak.
“Orang-orangnya dikasih hati minta jantung, jadi bawaannya waspada melulu.” Komunikasi Personal, Februari 2007.
Bekerja dalam kondisi yang kompleks dan dengan fasilitas serta akses terbatas, perlu melakukan adaptasi yang cepat pada lingkungan baru, jauh dari
Universitas Sumatera Utara
9 sanak keluarga, kehilangan anggota keluarga dan tuntutan pekerjaan yang tanpa
batas waktu karena keadaan darurat, akan mempengaruhi keadaan pekerja sosial dan pelaksanaan pekerjaannya, serta dapat pula menimbulkan stres pada pekerja
sosial Dharmawan, dkk, 2006. Oleh karena itu, melalui peninjuan permasalahan yang telah dipaparkan,
maka penulis ingin melihat gambaran stres kerja pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh. Sebagaimana lahan penggalian dalam bidang ini merupakan hal
yang relatif baru, penelitian ini ditujukan untuk memberikan pandangan umum yang diharapkan dapat memulai kerja selanjutnya.
I.B. Perumusan Masalah
Penulis dalam penelitian ini hendak mengetahui bagaimana gambaran stres kerja pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh, serta menggambarkan stres
kerja dan faktor-faktornya ditinjau dari karakteristik subjek yang berupa usia, status pernikahan, wilayah kerja dan gaji.
I.C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini
bertujuan untuk menguraikan, menggambarkan, dan mendeskripsikan stres kerja pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh,
untuk memberikan pandangan umum yang diharapkan dapat memulai penelitian selanjutnya bagi penanganan masalah stres kerja pada pekerja sosial.
Universitas Sumatera Utara
10
I.D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis yang ingin dicapai adalah untuk memperkaya khazanah ilmu
psikologi khususnya di bidang Psikologi Sosial, mengenai gambaran stres kerja pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh.
2. Manfaat praktisnya dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:
1 Untuk memberi gambaran dan pandangan yang tepat mengenai stres kerja
pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh. 2
Untuk mengetahui bagaimana mengatasi stres kerja pada pekerja sosial dengan tepat, agar dapat memotivasi diri sendiri dan meningkatkan
efisiensi kerja. 3
Bermanfaat bagi kelompok, dengan menyadari dinamika yang ada sehingga dapat dipilih ‘coping’ yang sesuai.
4 Bermanfaat bagi organisasi, dengan adanya review kembali keadaan yang
bisa menimbulkan stres, sehingga dapat mengadakan suatu kebijakan manajemen untuk mengatasi masalah stres.
I.E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut: Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini akan dijelaskan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan serta manfaat penelitian.
Bab II Landasan Teori Dalam bab ini akan diuraikan landasan teori yang mendasari masalah yang
menjadi objek penelitian yang meliputi landasan teori dari stres kerja.
Universitas Sumatera Utara
11 Bab III Metode Penelitian
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan, identifikasi variabel penelitian, definisi variabel operasional
penelitian, subjek penelitian, lokasi penelitian, alat ukur yang digunakan, uji daya beda item, dan reliabilitas serta metode analisis data.
Bab IV Analisa Data dan Interpretasi Bab ini berrisikan uraian hasil penelitian dan analisis data.
Bab V Kesimpulan, Diskusi dan Saran Bab ini membahas mengenai kesimpulan hasil penelitian, diskusi yang
merupakan pembahasan dan perbandingan dengan teori-teori dan hasil penelitian sebelumnya, serta saran, baik untuk penyempurnaan penelitian
atau bahan rujukan penelitian di masa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
12
BAB II LANDASAN TEORI
II. A. Stres Kerja II. A. 1. Pengertian Stres Kerja