Bosi VIII : Famaoli menjadi anggota adat Bosi IX : Fangai toi mengambil gelar

balö zinali pemegang ujung tali pengukur diberikan satu ringgit; kepada penduduk desa banua diberikan satu balaki emas yang diterima oleh salah seorang pengetua adat. Ini adalah prosedur yang berlaku dimasa lampau, sementara dimasa sekarang pembayaran di atas dapat digantikan dengan uang tunai rupiah.

2.4.7. Bosi VII : Fa’aniha banua memasuki persekutuan desa

Bila rumah telah selesai didirikan, pemilik rumah beberapa waktu kemudian mengadakan jamuan makan kepada penduduk desa sebagai syarat agar dapat diterima secara resmi 6

2.4.8. Bosi VIII : Famaoli menjadi anggota adat

sebagai anggota masyarakat desa naha mbanua. Untuk memasuki kelompok pengetua adat, yakni kelompok elit dalam masyarakat desa, seseorang harus memenuhi syarat antara lain harus keturunan bangsawan, pandai bicara dan berharta. Bila syarat ini telah terpenuhi, maka diadakan musyawarah oleh para pengetua adat untuk menentukan dapat diterima atau tidak. Bila seseorang diterima, maka ia harus mempelajari adat istiadat, yang meliputi hukum adat, bahasa adat dan kesenian. Dalam hal ini kesenian yang harus dikuasai antara lain adalah : hendri-hendri, fangowai dan bölihae. Semakin banyak cabang- cabang kesenian yang dapat dikuasai, maka semakin besar pula kemungkinan orang tersebut diterima sebagai anggota kelompok adat. 6 Pada dasarnya setiap keluarga yang baru menikah berhak mendirikan rumah pada kelompok asalnya. Namun untuk lebih memantapkan kedudukannya, orang tersebut harus mengadakan jamuan makan kepada penduduk sebagai syarat untuk pengakuan secara resmi. Universitas Sumatera Utara

2.4.9. Bosi IX : Fangai toi mengambil gelar

Status sosial yang dianggap tinggi di dalam desa adalah orang-orang yang memakai gelar salawa, balugu dan tuha. Dan untuk memakai gelar salawa biasanya mengorbankan sekitar 50 ekor babi, untuk balugu mengorbankan sekitar 100 ekor, dan untuk tuha mengorbankan sekitar 200 ekor, dengan berat minimal sekitar 50 kg per ekor. Konsep utama pemakaian gelar ini dilandasi oleh religi Nias pada masa lampau yang menganggap bahwa derajat manusia yang hidup di dunia akan sama derajatnya bila ia nanti meningal dan memasuki dunia para dewa di tetehöli ana’a semacam surga. Itulah salah satu sebab mengapa orang Nias jaman dahulu begitu gigih mengumpulkan harta benda agar dapat memperoleh salah satu gelar, meskipun sering sekali hal ini tidak diimbangi dengan kemampuan menyediakan biaya yang cukup besar. Ada kalanya seseorang meminjam uang untuk biaya pesta peningkatan status fangai töi ini, namun setelah pesta dilaksanakan dan gelar sudah disandang adakalanya orang ini akan terlilit hutang yang secara ekonomis tidak terbayar. Dengan demikian utang tersebut akan tetap berkelanjutan menjadi tanggungan keturunannya. Kondisi seperti ini di Nias dapat berlanjut sampai kepada generasi berikutnya, hingga utang terlunasi. Namun demikian walaupun utang tidak dapat di bayar, tetapi status orang tersebut tidak dapat lagi dicabut. Universitas Sumatera Utara

2.4.10. Bosi X : Fa’amokhö kekayaan