BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Perkawinan merupakan salah satu tahap dalam sepanjang siklus hidup manusia atau dalam ilmu antropologi disebut dengan stage a long life cycle.
Tahap-tahap yang ada di sepanjang hidup manusia seperti masa bayi, masa penyapihan, masa anak-anak, masa remaja, masa pubertas, masa sesudah
menikah, masa tua dan sebagainya Koentjaraningrat, 1985:89. Perkawinan juga merupakan media budaya dalam mengatur hubungan antar sesama
manusia yang berlainan jenis kelamin. Perkawinan bertujuan untuk mencapai suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa dan pada beberapa kelompok
masyarakat kesukuan perkawinan dianggap sebagai alat agar seorang mendapat status yang lebih diakui di tengah kelompoknya Koentjaraningrat, 1988: 92.
Dalam suatu perkawinan, setiap suku bangsa memiliki konsep dan aturan mengenai acara adat perkawinan. Tiap-tiap aturan acara perkawinan tersebut
berbeda satu sama lainnya. Perbedaan ini berdasarkan bagaimana setiap suku bangsa memaknai dan menilai setiap rangkaian upacara adat perkawinan baik
itu berdasarkan unsur-unsur budaya setiap suku bangsa, waktu dan biaya yang dibutuhkan, ataupun kepentingan - kepentingan dari fihak keluarga yang
melangsungkan perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Nias juga memiliki salah satu upacara adat yang menjadi ciri khasnya. Menurut konsep masyarakat Nias, perkawinan
Falőwa pada dasarnya merupakan tanggung jawab orang tua untuk memilih teman hidup bagi
anak laki-lakinya.¹ Upacara tentang perkawinan di Nias merupakan upacara terbesar
dibanding upacara lainnya yang dijalani oleh seseorang sejak lahir sampai meninggal. Laki-laki dan perempuan mendapatkan keutuhannya sebagai
manusia dalam perkawinan. Laki-laki yang belum kawin belum dapat diperhitungkan dalam sistem adat. Dalam perkawinan laki-laki dihubungkan
dengan “pihak bawah soroi tou” atau hilir sungai, dan perempuan dihubungkan dengan “pihak atas ngofi atau hulu sungai” ². Pihak perempuan
dihubungkan dengan dewasa dunia atas Tuhan Lowalagi, sumber kehidupan, ulu asal atau uwu, atau baya sumber, dan karena itu kemurnian perempuan
sebagai sumber hidup sangat dihargai. Terdapat seperangkat sanksi dari hukum adat yang melindungi kemurnian perempuan.
-----------------------------------------
1. Masyarakat Nias menganut garis keturunan pihak ayah patrilineal, sehingga segenap garis
keturunan ayah turut serta mencari calon istri dan juga membantu pembiayaan pesta perkawinan anak laki-laki mereka.
2. Pihak bawah atau Soroi tou, merupakan status pihak pengantin pria, keluarga dan kerabat
dekatnya meski tidak satu marga asal memiliki hubungan status keluarga yang dekat. Dikatakan di bawah karena pihak keluarga laki-lakilah yang mencari atau membutuhkan seorang wanita
sebagai pendamping anak laki-lakinya. Sedangkan pihak atas atau ngofi adalah status pihak keluarga pengantin wanita dan kerabat dekatnya karena di anggap sebagai pemberi atau yang
membantu memenuhi kebutuhan keluarga pihak laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
Laki-laki dihubungkan dengan “dewa dunia bawah laturedanő”,
akhir dari kehidupan dunia tanpa kehidupan. Laki-laki datang dari hilir menyongsong arus
manőső untuk sampai pada hulu tempat dimana ada sumber hidup yaitu perempua
n Gulő. 1983: 30. Pada upacara perkawinan ini di sertai dengan
sinunő falőwa yang artinya adalah nyanyian pada waktu perkawinan. Nyanyian pada waktu perkawinan ini ,
terdiri dari tiga jenis, yakni: bőlihae, fangowai, dan hendri-hendri, ketiga jenis
nyanyian ini biasanya didapati dalam setiap perkawinan di Nias bagian utara. Pengertian ketiga jenis nyanyian tersebut, dalam konteks kebudayaan Nias
bagian utara adalah sebagai berikut : 1
Bőlihae adalah nyanyian yang dibawakan disepanjang perjalanan saat pihak tome keluarga pengantin pria menuju desa atau rumah pihak keluarga
sowatő keluarga pengantin wanita. 2 Fangowai adalah ungkapan rasa hormat pihak
sowatő terhadap pihak tome, dan 3 Hendri-hendri adalah nyanyian pujian yang dinyanyikan saat penyampaian olola mbawi. Olola mbawi ini berisi
ceritera tentang seorang pemuda yang mencari teman hidup atau istri. Ketiga jenis nyanyian di atas mengunakan syair-syair tertentu,
khususnya bőlihae dan hendri-hendri yang berisikan pujian-pujian dari tome
kepada sowatő dan sebaliknya, sikap merendahkan hati dan ungkapan peristiwa
suka cita saat itu; sedangkan syair pada fangowai berisi penghormatan terhadap pihak tamu. Ketiga nyanyian vokal ini dinyanyikan tanpa menggunakan alat
musik, sehingga menitik beratkan pada medium suara manusia.
Universitas Sumatera Utara
Selain untuk acara pesta perkawinan, bőlihae, fangowai, dan hendri-
henri juga dinyanyikan dalam pesta Owasa, yaitu pesta peningkatan derajat bosi pada tradisi orang Nias. Owasa ini sendiri jarang sekali diadakan pada
masa sekarang ini. Untuk melaksanakan acara ini harus melalui beberapa rangkaian acara sebelum mencapai acara puncak yakni owasa itu sendiri. Di
samping memerlukan waktu yang cukup lama, owasa juga jelas menghabiskan banyak biaya.
Ketiga sinunő falőwa ini merupakan suatu nyanyian rakyat yang
diaplikasikan pada suatu upacara perkawinan orang Nias. Kebutuhan akan pentingnya suatu nyanyian pada suatu perkawinan orang Nias membuat
bőlihae, fangowai, dan hendri-hendri diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke
generasi hingga sekarang meskipun saat ini sinunő falőwa ini mengalami
perubahan oleh kerena kebutuhan masing-masing orang yang mengunakannya. Akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi dari makna yang sesungguhnya.
Menurut Jan Harold Brunvand dalam buku James Danandjaja, nyanyian rakyat Folksongs adalah suatu genre atau folklor yang terdiri dari kata-kata
dan lagu yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, bentuk tradisional, serta banyak mempunyai varianJames 1982: 141.
Bőlihae, fangowai, dan hendri-hendri ini merupakan sebahagian dari budaya Nias bagian utara yang masih hidup hingga saat ini. Namun kenyataan
menunjukan bahwa pada umumnya hanya orang-orang tua saja yang mampu menyanyikan ketiga jenis nyanyian ini, sementara generasi berikutnya tidak
Universitas Sumatera Utara
mewarisi tradisi ini dengan baik kurang minat generasi muda untuk mempelajarinya. Apabila mereka para orang tua nantinya telah tiada, maka
kemungkinan besar “hilanglah” nyanyian tradisi ini. Tentu saja kita tidak menginginkan hal ini terjadi.
Keberadaan kota Gunung Sitoli sebagai kota terbesar di pulau Nias saat ini, membuat kota ini menjadi salah satu tujuan orang Nias yang selama ini
tinggal di pelosok desa atau perkampungan di pulau Nias untuk pergi bermigrasi ke kota Gunung Sitoli, dengan harapan kota tersebut dapat
memberikan kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan tetap hidup menetap di pelosok desa atau perkampungan di pulau Nias.
Di samping itu karena kota ini memiliki daya tarik tersendiri sebagai kota terbesar di pulau Nias, membuat kota Gunung Sitoli memiliki penduduk
yang beragam heterogen. Hal ini ditandai dengan bayaknya orang-orang kota Gunung Sitoli yang tinggal menetap bukan hanya berasal dari Nias itu sendiri
melainkan dari luar pulau Nias seperti orang Padang, Batak, Aceh dan orang- orang keturunan Tiong Hoa.
Perubahan budaya Nias yang paling besar terjadi di karenakan masuknya aliran agama Kristen Protestan yang di bawakan oleh para missionaris. Oleh
karena keberhasilan dari Missionaris menyiarkan ajaran agama Kristen maka sebagian besar orang Nias sekarang menganut agama Kristen Protestan,
penganut agama Islam di Nias sebagian besar adalah orang Nias Keturunan
Universitas Sumatera Utara
Minangkabau, Aceh dan bugis, sedangkan umat Budha adalah orang Nias keturunan Cina dan Cina Asing. Koentjaraningrat 1988; 50
Akibat dari beragamnya penduduk kota Gunung Sitoli baik dari agama maupun suku bangsanya mengakibatkan masyarakat Nias kota mengalami
perubahan pandangan mengerjakan yang praktis dan itu dapat terjadi baik itu dalam kurun waktu cepat maupun lambat ketika mereka meninggalkan
kampung halamannya. Hal tersebut dapat terjadi karena mau tidak mau orang Nias dari desa-
desa yang merantau ke kota Gunung Sitoli, akan mengalami proses adaptasi oleh karena pengaruh dari luar.
Pada umumnya dalam suatu proses adaptasi seorang individu yang memasuki suatu lingkungan yang baru maka dengan sendirinya individu
tersebut menyesuaikan diri. Hal ini dilakukan agar setiap individu atau kelompok mengharapkan dapat diterima oleh masyarakat yang dimasukinya.
Adaptasi ini perlu agar manusia itu dapat bertahan lama di lingkungan yang baru. Tetapi adakalanya budaya pendatang mempengaruhi budaya lokal
sehingga terjadi suatu akulturasi. Dampak dari adaptasi tersebut maka terjadilah percampuran budaya,
antara budaya Nias Utara sebagai budaya lokal dengan budaya pendatang, yang pada akhirnya membuat berkurangnya atau bergesernya adat istiadat Nias
sehingga terbentuk kebudayaan baru pada masyarakat Nias yang ada di kota Gunung Sitoli. Akibat dari perubahan tersebut salah satunya terjadi pada pesta
Universitas Sumatera Utara
adat perkawinan orang Nias. Yang menjadi salah satu perubahan perkawinan adat Nias adalah
Sinunő Falőwa, yang semakin jarang dipakai sepenuhnya atau paling tidak
Sinunő Falőwa mengalami pengurangan makna dan isinya. Praktisnya lebih disederhanakan. Dengan alasan inilah peneliti mencoba
mengemukakan hal tersebut di atas menjadi penting untuk diteliti.
1.2 Perumusan Masalah.