satu pau 10 gram emas, untuk anak perempuan pertama ½ setengah pau emas, sedangkan untuk anak-anak yang lahir kemudian, besar pemberian dapat dikurangi
Gulo, 1983;192. Selain emas, orang tua juga menyediakan 5 lima keping uang perak untuk tefetefe idanö pemberkatan dengan air.
Setelah uwu menerima bungkusan dan ömö ndraono, uwu akan memberkati si anak dengan air. Uang perak yang dibawa oleh orang tua si anak tadi dimasukkan ke
dalam piring yang berisi air dan daun zini-zini sejenis tumbuhan cocor bebek. Uwu kemudian mengucapkan berkat dan berdoa untuk keselamatan orang tua dan anaknya,
lalu memercikkan air dari atas piring dengan mempergunakan daun zini-zini tadi. Bila keluarga yang molöwö tadi hendak kembali kerumah, uwu akan memberikan seekor
babi atau ayam dan untuk si anak akan dihadiahkan emas sekedarnya yang dulu di sebut löfö nono löfö berarti rejeki dan nono berarti anak. Di daerah Nias bagian
Timur, uwu juga memberikan periuk tanah liat berisi beras dan sebutir telor ayam dan ditutup dengan daun pisang. Acara ini disebut fangandrö bowoa memohon periuk.
Setelah tiba di rumah, jari si anak akan ditusukkan menembus tutup periuk, kemudian isinya dimasak untuk ibunya, dengan tujuan si anak kelak murah rejeki Gulö,1983:
192.
2.4.4. Bosi IV : Famoto sirkumsisi
Orang Nias memakai garis keturunan secara patrilineal garis keturunan dari ayah. Anak laki-laki diharapkan menjadi penerus garis keturunan secara patrilineal
dan anak laki-laki biasanya memperoleh hak-hak yang lebih banyak dibanding
Universitas Sumatera Utara
dengan anak perempuan. Bosi yang ke empat ini jelas menunjukkan hak istimewa yang menjadi milik anak laki-laki. Sunat ini sendiri bagi orang Nias merupakan hal
penting dan telah ada sebelum kekristenan di kenal di sana. Sunat menjadi alat famago mbawa penutup mulut. Artinya seseorang yang belum disunat tidak dapat
memberikan pendapat atau berbicara dalam kegiatan adat sebab mulutnya “masih tertutup”. Meskipun mayoritas orang Nias tidak lagi menganut religi suku pada masa
sekarang ini, namun kegiatan sunat di Nias, khususnya di Nias Utara masih tetap dilakukan. Sunat pada masa sekarang sudah dilakukan secara modern dengan
menggunakan jasa paramedis dokter atau perawat di rumah sakit. Kegiatan sunat ini dilakukan berdasarkan faktor kebiasaan saja. Seorang anak yang belum disunat akan
menjadi bahan olok-olok bagi teman-temannya, sehingga orang tua secara sadar akan menyunat anaknya untuk mencegah olok-olok tadi di samping faktor kebiasaan yang
sudah berlangsung turun temurun. Menurut bapak Yulius LaoliAma Yuliama petugas gereja BNKP fihak gereja dalam hal ini tidak melarang dan juga tidak
menganjurkan sunat. Penyunatan terhadap anak laki-laki biasanya dilakukan pada usia 8-10 tahun.
Sunat dalam bahasa Nias di sebut laboto yang artinya dibelah. Proses penyunatan dilakukan dengan cara membelah kulit penis dan bukan memotong kulit penis seperti
halnya sunat yang dilakukan pada masa sekarang ini. Di masa lampau sunat dilakukan oleh ere lima dalam kepercayaan Nias
Sanömba Adu. Sebelum melakukan penyunatan, ere membuat adu patung pelindung untuk anak yang akan disunat. Ere menggunakan sebuah pisau dan sebuah
Universitas Sumatera Utara
faso alat pengganjal dari kayu aren, menyerupai pasak kira-kira sebesar jari telunjuk. Setelah pisau diasah sampai tajam pisau tersebut direndam di dalam air
berisi daun zini-zini agar pisau menjadi dingin saat digunakan. Ere yang dibantu oleh dua orang pembantunya akan mengalihkan perhatian si anak dengan berceritera yang
lucu-lucu. Saat sunat hendak dilakukan, Ere berpura-pura mengatakan bahwa ia hendak membuat garis untuk menentukan bagian yang akan disunat. Saat si anak
lengah, ere bukannya membuat garis namun tiba-tiba mengiriskan pisau dengan kuat. Kulit penispun terbelah dan luka ini akan diobati dengan ramuan tumbuh-tumbuhan
sampai luka sembuh. Sunat sebagai salah satu syarat inisiasi dalam proses untuk menuju
kedewasaan secara adat. Disamping sunat masih ada syarat lain yakni pemotongan gigi lahozi.Pemotongan gigi ini berlaku bagi anak laki-laki dan anak perempuan
yang berusia 12-15 tahun Suzuki 1959; 82. Walaupun tradisi pemotongan gigi ini tidak pernah lagi kedengaran di Nias pada masa sekarang.
2.4.5. Bosi V : Falöwa Perkawinan