Dari status-status yang telah disebutkan di atas, maka tuhenöri adalah merupakan status tertinggi yang dimiliki oleh seseorang di lingkungan masyarakat
sekitarnya. Boleh dikatakan hanya orang-orang tertentu yang dapat menjadi tuhenöri, yaitu telah memenuhi dua belas tingkatan atau bosi seperti telah dijelaskan di atas.
Dengan masuknya kekristenan di Nias tahun 1865 melalui missionaris Jerman lihat halaman 48, maka lambat laun penduduk mulai meninggalkan
kepercayaan sukunya dan beralih ke agama Kristen. Agama Kristen mengajarkan bahwa manusia di hadapan lowalangi Tuhan
sama derajatnya, sedangkan dalam agama suku tidak demikian halnya. Secara bertahap konsep bosi ini mulai ditinggalkan oleh penganut agama Kristen. Pada masa
kini semua orang dianggaptemasuk golongan orang biasa dengan bosi VII niha mbanua. Hal ini disebabkan bukan hanya akibat peralihan agama penduduk, namun
faktor lain juga turut menentukan, antara lain sistem pemerintahan, kemajuan zaman dan semakin terbukanya jalur komunikasi dari dan ke Pulau Nias, yang
memungkinkan pendudukan pulau Nias dapat berhubungan dengan penduduk di luar pulau Nias.
2.5. Sistem Religi
2.5.1 Sebelum Kekristenan
Masyarakat Nias memiliki kepercayaan suku yang disebut Sanömba Adu. Sanömba berarti menyembah, dan Adu adalah patung ukiran yang terbuat dari kayu
atau batu sebagai media tempat roh bersemayam. Adu untuk dewa-dewa ditempatkan
Universitas Sumatera Utara
di osali börönadu
7
Pada masa lampau adu selalu dibuat untuk kejadian penting, misalnya saat mendirikan rumah, anak lahir, sunat, perkawinan, kematian dan sebagainya. Adu
untuk rumah dibuat agar rumah tersebut kuat, membawa keberuntungan dan kesehatan; adu untuk anak lahir dibuat agar anak tersebut dilindungi oleh dewa dan
roh nenek moyang dari penyakit dan marabahaya; adu saat sunat dibuat agar anak tersebut dapat memasuki masa dewasa dengan baik, orang tua dan persekutuan
banua; adu saat perkawinan dibuat dengan tujuan pengantin kelak mejadi keluarga yang baik, memiliki keturunan dan murah rezeki; saat kematian seorang bangsawan
dibuat sebuah adu dan disamping itu beberapa orang budak sengaja dibunuh dan dikubur bersama-sama dengan orang mati yang menurut kepercayaan, budak-budak
ini nantinya akan melayaninya di dunia lain seperti halnya ketika masih hidup di dunia
yaitu bangunan sebagai tempat ibadah agama Sanömba Adu. Biasanya osali ini ditempatkan di dekat omo hada rumah adat besar.
8
Pembuatan sebuah adu tidak dapat dilepaskan dari campur tangan ere yakni imam agama sanömba adu. Ere merupakan orang yang bertugas menempatkan roh
tertentu ke dalam patung adu, yang walaupun tidak kelihatan dengan mata biasa, dipercaya dapat menjadi roh pelindung. Bila sebuah adu telah selesai diukir, misalnya
adu zatua adu untuk roh orang tua maka ere memanggil roh orang tua tersebut .
7
Setelah munculnya kekristenan, osali telah berubah arti sebagai gedung gereja, yakni gedung tempat beribadah bagi umat kristiani.
8
Kebiasaan ini sudah hilang dan digantikan dengan menanam bunga-bungaan pada kuburan orang mati.
Universitas Sumatera Utara
melalui upacara retual disebut fo’ere dengan mantra-mantra yang dinyanyikan sambil memukul fondrahi gendang satu sisi.
Ere menjadi orang penting dalam setiap kegiatan keagamaan baik secara umum, maupun kegiatan keagamaan secara pribadi. Ia menjadi penghubung antara
manusia dan alam gaib Laiya, 1979; 28, penyampai persembahan, pemberkat dan pengutuk, peramal dan tukang obat. Kemampuan ini diperoleh bukan melalui kursus
formil. Menurut Pieper dalam tulisan Bamböwö laiya Laiya, 1979; 29 sebelum memulai jabatan sebagai ere, ia akan lari ke dalam hutan dan bertingkah laku seperti
orang gila. Setelah empat atau lima hari di hutan maka dia akan kembali ke desa lalu mengumumkan tabu, meramal, dan menyembuhkan penyakit.
Menurut mitos
9
Teks hoho: orang Nias di bagian utara mengenai Luo Walangi sebagai
pencipta. Luo walangi menciptakan bumi dari adukan angin dan taufan Zebua, 1984; 56. Adukan inilah yang kemudian berubah menjadi bola bumi. Pada bumi ini
kemudian diciptakan pohon tora’a semacam pohon kehidupan. Syair hoho yakni salah satu musik vokal di Nias ibid menyebutkan:
Artinya: Maoso luo walangi sokhö
maoso luo walangi so’aya ifowa’a ba guli danö ölia
ifalandru ba guli ndrao naya- naya döla dora’a tora’i dila
dora’a tanömö zoya mowa’a hulö rumi zatara molandru
Bangkitlah luo walangi sokho bangitlah luo walangi so’aya
diberinya berakar didalam semesta diberinya berkecambah
di atas tanah pohon döra’i töra’a phon tora’a sumber yang
banyak berakar bagaikan
9
Mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang peursen, strategio kebudayaan, alih bahasa Dick Hartoko, 1985:37. Mitos penciptaan ini di Nias
selatan, pencipta bukanlah Luo Walangi, namun Inada Samihara Luwo Suzuki, op. Cit. 4.
Universitas Sumatera Utara
mofalaölwa alau lehe
sofanikha-nikha alau mbulu sogala-gala
benang sutra berkecambah bagaikan jarum muncullah
pucuk yang berminyak muncullah daun yang melebar
Syair di atas mengungkapkan sebagian dari proses penciptaan pohon tora’a. Dari kuncup pohon inilah luo walangi menciptakan makhluk halus, manusia, dan
dewa-dewa. Adapun manusia pertama yang merupakan nenek moyang manusia sekarang ini adalah Sihai Silo Uwu-uwu atau Sihai Silo Ama-ama dan Sibolowua atau
Buruti. Pasangan manusia inilah yang dapat diartikan sebagai tanah manusia artinya bumi yang menjadi pemukiman manusia.
Dalam kepercayaan Sanömba Adu dikenal beberapa dewa. Adapun dewa- dewa penting bagi penganut agama sanomba adu adalah sebagai berikut:
2.5.1.1. Luo Walangi
Merupakan dewa maha pencipta alam semesta, kemudian dipakai untuk menggantikan nama Tuhan dalam agama Kristen. Istilah Lowalangi dipakai hingga
sekarang di seluruh Nias, meskipun di daerah Nias Selatan dulunya pencipta adalah Inada Samihara Luwo menurut catatan Suzuki. Luo Walangi dipersonifikasikan
sebagai matahari. Matahari merupakan lambang kehidupan dan terang yang menyinari bumi, sehingga dulu matahari disembah sebagai dewa pencipta. Pintu
rumah diupayakan menghadap ke sebelah timur, mengingat matahari terbit dari
Universitas Sumatera Utara
sebelah timur dan akan menerangi rumah. Sinar matahari inilah yang kemudian mendatangkan rejeki atau berkat bagi penghuni rumah tersebut.
2.5.1.2. Lature Sobawi Sihono
Dewa ini merupakan pemilik atau penguasa ”babi”. Yang dimaksud dengan babi disini adalah manusia, sehingga bila ia ingin memakan daging ”babi” maka ia
akan membunuh ”babinya” tersebut. Laiya menulis: Orang Nias mempercayai bahwa manusia itu hanyalah sebagai ciptaan
biasa dari dewa-dewa, sebagian dari ciptaan lainnya. Manusia adalah babi dewa-dewa illah. Bila dewa berselera memakan daging babi
dalam hal ini babi adalah manusia maka secara bebas dewa mengambil dan membunuh satu atau lebih babinya. Oleh karena itu,
maka babi merupakan unsur penting dalam kebudayaan Nias Laiya, Op. Cit. 25.
Kepercayaan ini kemudian menimbulkan ketakutan pada manusia, sehingga
manusia sebagai ”babinya” dewa, akan mempersembahkan babi yang sesungguhnya sebagai gantinya. Oleh karena dewa lature sobawi sihono merupakan ”pemilik babi”,
maka kadang-kadang orang tua bila menegur anaknya akan mengatakan: ”Böi faudu, mofönu dania sobawi” Jangan bertengkar, pemilik babi nanti marah.
2.5.1.3. Uwu Gere
Uwu gere merupakan dewa pelindung dan penguasa para Ere yaitu imam agama Sanömba Adu. Dalam arti bahwa para ere dalam melakukan aktivitasnya
ditentukan atau dikendalikan oleh Uwu Gere, sehingga segala tindakan ere tidaklah ditentukan atas keinginan pribadinya saja.
Universitas Sumatera Utara
2.5.1.4. Uwu Wakhe
Uwu wakhe adalah dewa penguasa tanam-tanaman, khususnya padi. Dahulu dewa ini disembah dengan tujuan memperoleh pemberkatan pada tanaman padi. Pada
saat panen tiba, hasil tuaian yang terbaik akan dipersembahkan kepada dewa uwu wakhe sebagai ucapan terima kasih sekaligus mengharap hasil yang baik untuk panen
yang akan datang.
2.5.1.5. Gözö Tuha Zangaröfa
Gözö merupakan salah seorang putera Sirao Simeziwa Tuha yakni salah seorang nenek moyang orang Nias yang menurut kepercayaan diturunkan dari langit
ke Gomo kecamatan Gomo sekarang. Gözö dipercaya sebagai dewa penguasa air dengan nama Gözö Tuha Banidanö atau Laowö Dödö Nidanö. Kaum nelayan dan
masyarakat yang bermukim di tepi laut atau pinggir sungai percaya bahwa dewa ini dapat memberi rejeki dari isi laut yaitu berjenis-jenis ikan yang menjadi konsumsi
penduduk, sebagai salah satu sumber bahan makanan yang penting. Disamping dewa-dewa tersebut di atas, orang Nias juga percaya bahwa roh
manusia tidak mati, namun berubah dalam bentuk lain yaitu bekhu dan matiana. Bekhu adalah roh orang mati biasa dan matiana adalah roh wanita yang mati ketika
melahirkan atau sekarang sering disebut dengan kuntilanak, roh ini hanya keluar di malam hari dan hanya mengganggu kaum wanita. Menurut kepercayaan matiana
suka memakan daging udang, sehingga bila ada terlihat kulit udang pada aliran mata
Universitas Sumatera Utara
air idanö gumbu, penduduk percaya bahwa matiana telah memakan daging udang tersebut.
Bermacam-macam ciptaan dan makhluk yang dipersonifikasikan lalu disembah oleh orang Nias. Ciptaan benda-benda alam dan makhluk tersebut antara
lain: matahari, bulan, pohon-pohon besar, buaya, cecak, dan sebagainya. Menurut Laiya, sistem religi sanömba adu bukan hanya politeistis menyembah banyak dewa
namun juga animistis menyembah benda-benda alam. Dalam alam pikiran orang Nias jaman dulu, banua merupakan keseluruhan
alam semesta. Banua dapat berarti langit, sorga, dunia dan seluruh alam semesta. Banua menjadi tempat bemukim manusia dan dewa-dewa menempati alam yang
tidak nyata. Setelah manusia mati, ia akan menuju dunia atau alam yang tidak nyata tadi. Bila semasa hidupnya manusia memiliki derajat bosi tinggi maka derajat tadi
tetap berlaku di alam yang tidak kelihatan. Berdasarkan hal ini manusia berusaha mencapai gelar setinggi mungkin melalui beberapa tahapan pesta sebagaimana telah
disebutkan pada bagian terdahulu. Untuk mengadakan pesta ini harus dengan kerja keras mengumpulkan biaya keperluan pesta selama bertahun-tahun.
Konsep berdasarkan kepercayaan Nias di atas merupakan pemberi semangat langsung. Bila seseorang menginginkan kebahagiaan setelah ia mati, maka ia harus
bekerja keras selama hidup, menghemat penghasilannya sebaik mungkin. Konsep tadi kemudian berubah akibat munculnya agama asing dari luar pulau Nias. Perubahan ini
mengakibatkan penduduk seolah-olah kehilangan semangat mengolah alam.
Universitas Sumatera Utara
Kenyataan menunjukkan bahwa secara ekonomis, penduduk Nias tidak menunjukan kemajuan berarti hingga saat ini.
10
Walaupun mayoritas orang Nias telah beralih agama, namun beberapa kepercayaan lama tidaklah hilang seluruhnya. Sebagian penduduk masih percaya
pada dukun terutama untuk jenis penyakit yang tidak dapat sembuh secara medis, masih mempercayai bekhu hantu, matiana dan masih menggunakan jimat-jimat
penangkal ilmu hitam. Kejadian alam seperti hujan sesaat di tengah hari teu soloi- loi
11
10
Sebagai contoh, Nias pada than 50-an mengirim beras ke Sibolga. Sedangkan akhir 70-an keadaan menjadi terbalik Nias mendatangkan beras dari Sibolga. Demikian pula halnya dengan urbanisasi
khususnya 3 tahun terakhir mulai terjadi dari Nias ke berbagai tempat lain seperti Sibolga, Medan Jakarta dan lain-lain. Hal ini adalah akibat kesulitan ekonomi di daerah asal disamping untuk
memperoleh penghidupan yang lebih baik di tempat tujuan.
11
Ketika penulis sedang di rumah salah seorang penduduk, hujan gerimis turun selama 10 menit. Waktu itu hari cerah. Seorang ibu langsung berkata sambil tertawa: ”Ah, pasti ada orang yang mohoro.
Sore harinya mungkin kebetulan penulis mendengar ada orang yang hamil di luar nikah, dua desa di atas kelurahan Ilir.
dipercaya sebagai tanda ada wanita hamil diluar nikah mohorö atau berzinah, burung hantu yang berbunyi di malam hari dipercaya sebagai pesan kematian atau
penyakit, burung towi-towi kepodang yang berkicau di di dekat rumah dipercaya sebagai pembawa kabar gembira, bila kupu-kupu memasuki rumah dipercaya sebagai
tanda tamu akan datang. Kekepercayaan lama di atas tetap berlangsung, meskipun penduduk sudah
memeluk agama baru. Inilah yang disebut dengan istilah sinkretisme. Sianipar 1989; 7 menulis:
Apabila suatu generasi suka mempraktekkan percampuran nilai-nilai kepercayaan yang saling bertentangan, maka generasi selanjutnya
sangat mungkin mengacaukan pengertain-pengertian dalam agama aslinya”.
Universitas Sumatera Utara
Agama asli yang dimaksud Sianipar barangkali bukan agama suku, tetapi
agama baru setelah agama suku. Kepercayaan secara turun-temurun, apalagi bila menyangkut soal adat seperti perkawinan, tentu tidak dapat hilang begitu saja
walaupun bertentangan dengan agama baru
12
2.6. Sesudah Kekristenan