Fanunu Manu Femanga Bawi Nisilahulu

oleh sesuatu hal ternyata perkawinan tidak jadi dilakukan, misalnya bila fihak wanita sebagai penyebab gagalnya perkawinan tersebut, maka emas yang sudah diterima tadi harus dikembalikan sebanyak dua kali lipat; sedangkan bila fihak laki-laki yang menyebabkan gagalnya perkawinan, maka emas tadi dianggap hilang dan tidak menjadi kewajiban fihak wanita untuk mengembalikannya. Keadaan diatas dalam persepsi adat Nias sedapat mungkin dihindari, sebab seandainya terjadi, maka salah satu pihak yang merasa di permalukan bisa saja menjadi emosi dan bisa berkembang menjadi permusuhan antara kedua belah fihak, dan mungkin sampai keturunannya. Itulah sebabnya kedua belah pihak, kalau tidak dengan alasan yang kuat, tidak akan memutuskan hubungan pertunangan seperti yang sudah dijelaskan di atas. Selanjutnya adalah fanunu manu. Tahap ini dapat berlangsung dalam waktu satu atau dua minggu setelah fame’e laeduru, namun dapat pula dalam waktu lama, tergantung kesanggupan fihak laki-laki dalam menyediakan biaya pesta.

3.2.3 Fanunu Manu

Fanunu manu artinya membakar ayam. Ayam adalah simbol perjanjian antara tome fihak laki-laki dan sowatö fihak wanita. Di masa lampau, seekor ayam hidup dibakar sebagai tanda resmi dari perjanjian tersebut. Pada saat ini, fihak tome membawa dua ekor babi seberat 4 alisi 48 kg dan beras sekitar 50 kg. Kedua bawaan ini akan menjadi santapan saat acara berlangsung. Adapun tujuan acara ini adalah untuk mempererat hubungan antara segenap keluarga Universitas Sumatera Utara dari masing-masing fihak dan masyarakat desa. Pada saat acara fame’e laeduru hanya dua keluarga saja yang mengadakan perjanjian, namun pada acara fanunu manu ini sudah melibatkan para pengetua adat, uwu paman dari pengantin laki-laki marafule dan uwu dari pengantin wanita ni’o walu dan ono alawe menantu dari masing-masing fihak. Pengetua adat dan uwu mengadakan perundingan mengenai besarnya jujuran yang menjadi kewajiban fihak laki-laki sedangkan ono alawe bertugas di dapur, mempersiapkan dan menyediakan makanan. Fihak tome pada saat ini menyerahkan jujuran untuk sowatö sebanyak 10-20 keping uang perak dan kepada uwu diberikan 5 sampai 10 keping uang perak. Dengan diadakannya acara ini, maka penduduk desa mengetahui bahwa perkawinan sudah mendekati tahap resmi. Anak gadis desa tersebut tidak dapat dilamar oleh pemuda lain sebab ia telah menemukan jodohnya. Bila ternyata fihak tome mengingkari janji, maka semua biaya yang telah mereka keluarkan dianggap hilang tanpa ganti rugi dari sowatö. Sedangkan bila fihak sowatö mengingkari janji, maka mereka harus mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan fihak tome sebanyak dua kali lipat. Universitas Sumatera Utara

3.2.4 Femanga Bawi Nisilahulu

Acara ini dilakukan beberapa hari setelah acara membakar ayam fanunu manu. Arti dari femanga bawi nisila hulu adalah memakan babi yang dibelah dua. Pada saat ini ditentukan besar jujuran bowö yang menjadi kewajiban fihak laki-laki untuk menyediakannya. Adapun kewajiban tersebut adalah menyediakan empat ekor babi. Dua ekor babi digunakan untuk pesta perkawinan. Sedangkan dua ekor lagi diberikan bila mertua meninggal dunia; seekor untuk bapak dan seekor untuk ibu. Kedua ekor babi untuk mertua ini merupakan hutang dari menantu. Hutang ini bukan hanya diartikan secara materinya saja, namun juga sebagai kewajiban menantu untuk menghargai dan menghormati mertuanya seumur hidupnya. Selain keempat ekor babi ini, jujuran lainnya adalah beras, uang perak dan uang tunai. Jumlah maupun besarnya jujuran bowö ditentukan oleh musyawarah dan kesepakatan kedua belah fihak. Besarnya jujuran pada perkawinan di Kota Gunung Sitoli adalah 35 alisi satu alisis sama dengan 12 kg, maka 35 alisi adalah 420 kg, babi, uang tunai Rp. 2.000.000,- ditambah dengan beras dan uang perak. Jujuran dalam bentuk beras, uang kertas, uang logam atau uang perak dapat diantarkan beberapa hari kemudian, sedangkan kedua ekor babi diantarkan pada acara folohe bawi böwö. Apabila fihak tome, khususnya orang tua si laki-laki merasakan bahwa böwö di atas masih terlalu besar dan merasa sulit untuk menyediakannya, maka fihak laki- laki dapat meminta keringananpengurangan biaya kepada orang tua si wanita. Orang tua si laki-laki akan menyampaikan keluhannya mengenai besarnya jujuran yang Universitas Sumatera Utara sebenarnya telah disetujui pada acara sebelumnya. Bila ternyata orang tua si wanita dapat menerima alasan untuk mengurangi jujuran tersebut, maka ia akan mengabulkan permohonan orang tua si laki-laki. Jujuran Böwö bagi orang Nias bukan hanya berarti benda belaka, namun dapat diartikan juga sebagai kasih dan budi baik yang menyangkut perasaan manusia. Perasaan ini dilandasi oleh pandangan masa depan perkawinan yakni untuk kebahagiaan dan meneruskan keturunan dan bukan menjadi beban menantu yang mesti membayar hutang böwö dalam arti benda yang terlalu besar dan dipenuhi melalui pinjaman dari orang lain. Masalah böwö yang tinggi di Nias, pada saat ini kelihatannya bukan menjadi satu-satunya penghambat perkawinan seperti yang terjadi di masa lampau. Masyarakat sudah mulai belajar dari pengalaman masa lampau. Mereka mulai sadar bahwa hutang perkawinan hanya akan menimbulkan masalah dalam rumah tangga. Sikap ”balas dendam” 3 sudah mulai menipis pikiran orang Nias. Perkawinan bisa saja dilaksanakan dimana fihak wanita tidak terlalu memikirkan untung dan ruginya suatu perkawinan 4 3 Menurut Bapak Elizaro Telaumbanua, seorang tokoh budaya Nias di Gunungsitoli, sikap balas dendam ini dilakukan oleh orang tua. Misalnya, bila dulunya ia kawin dengan biaya Rp. 3.000.000,- maka kelak bila anak gadisnya dilamar orang, ia akan menentukan jujuran sebesar dua kali lipat dari biaya perkawinannya dahulu. 4 Menurut Bapak Orudua Daely, salah seorang tokoh budaya dari Lahomi Nias Barat yang terkenal dengan jujuran yang tinggi, mengatakan bahwa pada saat ini di daerah tersebut orang tua si wanita sudah dapat menerima jujuran yang lebih kecil dibandingkan dengan dulu, asalkan mereka tidak terbeban untuk menambah biaya pesta perkawinan tersebut. . Universitas Sumatera Utara

3.2.5 Fame’e dan Folohe bawi böwö