Potret Kabupaten Bulukumba BUDAYA MASYARAKAT BUGIS

c. Ata’, artinya budak atau hamba sahaya. 5. Setelah agama Islam masuk serta berkemabang di Sulawesi Selatan ditambah dengan satu hal lagi, yakni syara ‟ undang-undang Islam. H.J. Friederecy pernah menulis sebuah disertasi sebagaimana dikutip oleh Mattulada, ia menggambarkan pelapisan masyarakat Bugis-Makassar dari zaman sebelum pemerintah kolonial Belanda menguasai langsung daerah Sulawesi Selatan. Salah satu sumber yang dipakai untuk melakukan rekonstruksinya adalah buku kesusasteraan Bugis-Makassar asli La Galigo. Menurut Friedercy dulu ada tiga lapisan pokok, ialah: Anakarung ana’ karaeng dalam bahasa Makassar ialah lapisan kaum kerabat raja-raja, To-maradeka adalah lapisan orang merdeka yang merupakan sebagian besar dari rakyat Sulawesi Selatan, dan Ata ’ ialah lapisan orang budak, ialah orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar hutang, atau orang yang melanggar pantangan adat. 6 Usaha untuk mencari latar belakang terjadinya pelapisan masyarakat itu, Friederecy berpedoman kepada peranan tokoh-tokoh yang disebut dalam La Galigo dan berkesimpulan bahwa masyarakat Bugis Makassar pada mulanya terdiri dari dua lapisan, dan lapisan ata’ merupakan suatu perkembangan kemudian yang terjadi dalam zaman perkembangan dari organisasi-organisasi pribumi di Sulawesi Selatan. Pada permulaan abad ke-20, lapisan ata’ mulai hilang, karena larangan dari pemerintah kolonial dan desakan dari agama. 7 6 Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1979, h. 269 7 Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, h. 269 Sesudah perang dunia ke-2, arti dari perbedaan antara lapisan anak karung dan to maradeka dalam kehidupan masyarakat juga mulai berkurang dengan cepat. Adapun gelar-gelar ana karung seperti Karaenta, Puatta, Andi dan Daeng, walaupun memang masih dipakai, tidak lagi mempunyai arti seperti dulu dan sekarang malah sering dengan sengaja diperkecilkan artinya dalam proses perkembangan sosialisasi dan dalam demokratisasi masyarakat Indonesia. Stratifikasi sosial lama sekarang sering dianggap sebagai hambatan untuk kemajuan; namun suatu stratifikasi sosial baru yang condong untuk berkembang atas dasar tinggi rendahnya pangkat dalam sistem birokrasi kepegawaian, atau dasar pendidikan sekolahan, belum juga berkembang dan mencapai wujud yang mantap. Suatu hal yang nyata adalah bahwa sikap ketaatan lahir terhadap penguasa itu, masih ada sebagai akibat suatu rasa takut dan curiga-curiga terhadap tindakan kekerasan militer yang telah diderita oleh rakyat Sulawesi Selatan sejak zaman Jepang sampai sekarang. Yang perlu ditumbuhkan secepat-cepatnya adalah suatu sikap ketaatan, baik lahir maupun batin, yang bersumber dari kepercayaan kepada penguasa, yang sejauh mungkin menghindarkan tindakan- tindakan kekerasan dan tekanan kepada rakyat. 8

C. Prosesi Perkawinan Dalam Adat Istiadat Bugis

Perkawinan dalam pandangan masyarakat adat, bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membangun, membina dan memelihara hubungan keluarga serta kekerabatan yang rukun dan damai. Dikarenakan nilai-nilai yang hidup dalam 8 Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, h. 270 masyarakat adat yang menyangkut tujuan perkawinan tersebut serta menyangkut terhadap kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan dalam masyarakat, maka proses pelaksanaan perkawinan harus diatur dengan tata tertib adat agar dapat terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang memalukan yang akhirnya akan menjatuhkan martabat, kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan. 9 Menurut Van Dijk sebagaimana dikutip oleh Tolib Setiady, perkawinan menurut hukum adat sangat bersangkutan dengan urusan keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi. Berbeda dengan perkawinan masyarakat Barat Eropa modern bahwa perkawinan hanya merupakan urusan mereka yang akan kawin saja. 10 Bagi masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala “saling mengambil satu sama lain”. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal-balik. Walaupun mereka berasal dari status sosial berbeda, setelah menjadi suami-istri mereka merupakan mitra. Hanya saja, perkawinan bukan sekadar penyatuan dua mempelai semata, akan tetapi suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya untuk mempereratnya ma’pasideppe’ mabelae atau mendekatkan yang sudah jauh. Hal ini juga sering ditemukan dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan turunan mereka, atau menjodohkan anak mereka sejak kecil. 11 9 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia: Dalam Kajian Kepustakaan, Bandung: Penerbit Alfabeta, 2013, h. 225 10 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia: Dalam Kajian Kepustakaan, h. 222 11 Christian Pelras, The Bugis, Penerjemah Rahman Abu dkk.. Jakarta: Nalar, 2006, h. 180