Makna Mahar dan Paenre’ dalam Masyarakat Bugis di Bulukumba
nepotisme, atau seseorang akan merasa malu dan tidak memiliki harga diri jika ia melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, contoh kecil misalnya:
seseorang akan dinggap tidak memiliki harga diri atau memalukan jika ia melanggar rambu-rambu lalu lintas di jalan-jalan umum.
39
Dalam disertasi Millard, ia menyampaikan bahwa masyarakat Bugis identik degan sosial location atau
onronna. Maksud dari onronna disini adalah dimana seseorang mau menempatkan dirinya, jika memang ia
menganggap bahwa dirinya sebagai orang biasa maka posisinya memang seperti itu. Dalam masyarakat Bugis social location atau posisi sosial menjadi sangat
penting. Salah satu contoh kecenderungan masyarakat Bugis dalam mencari sosial location misalnya; orang-orang Bugis sangat rajin hendak melaksanakan ibadah
haji, karena di satu sisi, jika seseorang memiliki gelar haji maka ia akan diposisikan istimewa di tengah-tengah masyarakat, biasanya ia akan diberikan
tempat duduk khusus untuk kalangan para haji dalam acara-acara perkawinan atau acara lainnya. Salah satu contoh lain juga; ia akan beranggapan bahwa bukan pada
tempatnya jika seseorang hendak meminang anaknya dengan jumlah mahar yang minim sedikit, jika hendak menikah dengan jumlah mahar demikian, mungkin
bukan dengan anak orang tersebut. Jadi perkawinan dalam masyarakat Bugis bisa dikatakan masih merupakan gawe orang tua.
40
Penulis juga menemukan beberapa istilah kebudayaan Bugis yang menjelaskan makna dibalik penetapan jumlah mahar dan paenre
‟ dalam
39
Wawancara Pribadi dengan H.A. Salman Maggalatung Ilmuwan Bugis, Ciputat 19 Oktober 2015
40
Wawancara Pribadi dengan M. Arskal Salim Imuwan Bugis. Ciputat, 09 Oktober 2015.
masyarakat Bugis. Tokoh adat dan tokoh agama yang penulis temui untuk mencari tahu makna filosofis yang terkandung dalam ketentuan adat tersebut menyatakan
bahwa hal itu jumlah mahar dan paenre ‟ berdasarkan strata sosial yang dimiliki
merupakan representasi dari prinsip budaya sipakatau,
sipakale’bi, sipakainge‟ yang dipegang teguh oleh masyarakat Bugis. Makna dari
sipakatau disini, dapat dipahami dengn saling memanusiakan manusia, maksudnya adalah seseorang harus sadar dengan
posisinya, harus tahu diri, karena apabila seseorang tidak tahu diri, ia akan menjadi sombong, ketika ia sombong maka ia tidak akan memanusiakan yang
lain. sipakainge
’ maksudnya ialah saling mengingatkan, maknanya mengarah kepada prinsip solidaritas, jangan sampai seseorang akan
terjebak atau terperangkap dalam suatu hal yang negatif, solidaritas agar saling nasehat menasehati.
s ipakale’bi bisa bermakna memberikan
apresiasi, saling memuji dan tidak merendahkan orang, atau dengan kata lain saling menghargai.
41
Nilai-nilai tersebut melambangkan betapa bagusnya adat istiadat masyarakat Bugis, sebagai contoh; jika seseorang dari golongan ata
‟ golongan bukan keturunan bangsawan datang kerumah seorang Bugis dengan penuh hormat untuk
menjadi menantu maka akan diterima dengan dengan senang hati tetapi tentu dengan prosesi adat istiadat yang berlaku. Nilai-nilai filosofis tersebutlah
sipakatau, sipakale’bi, sipakainge‟ yang kiranya tidak akan hilang dan akan
diwariskan kepada anak cucu masyarakat Bugis karena cakupan dan pemahaman
41
Wawancara Pribadi dengan M. Arskal Salim Imuwan Bugis. Ciputat, 09 Oktober 2015.
mengenai nilai-nilai tersebut sangat luas.
42
Seluruh nilai atau perinsip kebudayaan yang telah disebutkan tercermin dalam 3 falsafah Bugis dengan ungkapan
malilu’ sipakainge‟, mali siparappe
‟, dan rebba sipatokkong, jika diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia, arti dari 3 slogan atau ungkapan tersebut adalah “jika ada yang
lupa maka saling mengingatkan, jika ada yang hanyut maka tahanlah tolonglah, dan jika ada yang jatuh jadilah penopangnya
”. Maksud dan tujuan dari ungkapan tersebut nampak mengarah ke hal yang sama, yang pada intinya yaitu sebuah
prinsip solidaritas agar saling tolong menolong antara satu sama lain. Jika suatu saat ada yang membutuhkan uluran tangan pertolongan, maka sudah menjadi
kewajiban kita untuk membantunya, begitupun sebaliknya, jika diri kita tertimpa sebuah kesusahan atau semacam musibah maka sudah menjadi kewajiban yang
lain untuk memberikan perhatiannya.
43
Adat istiadat bergantung pada konsensus masyarakat, jika ada masyarakat yang masih ingin mempertahankan tradisi tersebut, karena menganggap mahar
dan paenre ‟ merupakan bagian dari sosial location atau dignity yang harus
ditunjukkan, bahwa itu-lah siri ‟ mereka. Jika demikian alasan yang dibangun
maka itu merupakan alasan yang bagus, argumen tersebut menjadi kuat untuk menekankan betapa suatu praktek kebudayaan itu didasari oleh nilai value, value
tersebut berupa martabat kemanusiaan karena Allah telah memuliakan keberadaan
42
Wawancara Pribadi dengan H. Abdul Hafid Tokoh Agama. Bulukumba, 29 Juli 2015.
43
Wawancara Pribadi dengan H.A. Salman Maggalatung Ilmuwan Bugis, Ciputat 19 Oktober 2015.
manusia QS. Al- Isra‟ 17: 70. Hal-hal demikian jelas dapat diterima sepanjang
tidak ada syariat yang dilanggar.
44
Namun ada juga yang menganggap bahwa praktek semacam itu sudah semestinya tidak dipertahankan lagi karena akan menimbulkan efek-efek sosial
seperti terjadi kawin lari akibat seorang pemuda harus mengeluarkan biaya-biaya yang terkadang dianggap tidak masuk akal, mereka menginginkan untuk
mempraktekkan ajaran agama. Tetapi orang-orang yang memiliki pandangan tentang siri
‟ juga menganggap hal demikian mahar dan paenre‟ merupakan praktek agama juga yaitu memuliakan. Bagaimanapun, yang menentukan
dipertahankan atau tidaknya tradisi tersebut tergantung pada konsensus yang ada dalam masyarakat.
45