masyarakat adat yang menyangkut tujuan perkawinan tersebut serta menyangkut terhadap kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan dalam masyarakat,
maka proses pelaksanaan perkawinan harus diatur dengan tata tertib adat agar dapat terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang memalukan yang
akhirnya akan menjatuhkan martabat, kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan.
9
Menurut Van Dijk sebagaimana dikutip oleh Tolib Setiady, perkawinan menurut hukum adat sangat bersangkutan dengan urusan keluarga,
masyarakat, martabat dan pribadi. Berbeda dengan perkawinan masyarakat Barat Eropa modern bahwa perkawinan hanya merupakan urusan mereka yang akan
kawin saja.
10
Bagi masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala “saling mengambil satu
sama lain”. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal-balik. Walaupun mereka berasal dari status sosial berbeda, setelah menjadi suami-istri mereka merupakan mitra.
Hanya saja, perkawinan bukan sekadar penyatuan dua mempelai semata, akan tetapi suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya telah
memiliki hubungan sebelumnya untuk mempereratnya ma’pasideppe’ mabelae
atau mendekatkan yang sudah jauh. Hal ini juga sering ditemukan dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan turunan mereka, atau menjodohkan
anak mereka sejak kecil.
11
9
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia: Dalam Kajian Kepustakaan, Bandung: Penerbit Alfabeta, 2013, h. 225
10
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia: Dalam Kajian Kepustakaan, h. 222
11
Christian Pelras, The Bugis, Penerjemah Rahman Abu dkk.. Jakarta: Nalar, 2006, h. 180
Perkawinan mappabotting bagi masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang sangat sakral dan merupakan simbol status sosial yang dihargai. Diiringi
aturan adat serta agama sehingga membentuk rangkaian upacara yang unik, penuh tata krama, dan sopan santun serta saling menghargai satu sama lain. Dalam
pelaksanaannya terdapat beberapa tahap yang harus dilalui yaitu:
1. Makkapese’-kapese’ dan Mattiro
Makkapese’-kapese‟ maksudnya ialah tahap penjajakan, tahap dimana perwakilan dari kelurga besar pihak laki-laki mulai menjajaki mencari tahu
perempuan mana yang akan disandingkan dengan calon mempelai laki-laki, lalu dilanjutkan dengan mattiro dimana pihak keluarga juga akan mencari
tahu tentang calon pengantin perempuan yang akan dilamar, apakah ia sempurna secara fisik atau memiliki kekurangan tertentu.
Setelah itu bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan laki-laki diteliti secara saksama untuk mengetahui status kebangsawanan mereka
sesuai atau tidak. Jangan sampai tingkat pelamar lebih rendah dari tingkat perempuan yang akan dilamar.
12
2. Ma’duta
Setelah kunjungan resmi pertama untuk mengajukan pertanyaan secara tidak langsung dan halus, apabila keluarga perempuan menyambut baik niat
kunjungan pertama dari pihak laki-laki, maka kedua pihak menentukan hari untuk mengajukan lamaran
ma’duta secara resmi. Selama proses pelamaran
12
Ali Akbarul Falah, “Pandangan Masyarakat Islam Terhadap Tradisi Mattunda Wenni
Pammulang Dalam Perkawinan Adat Bugis Di Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, Skripsi S1 Fakultas Syariah, UIN Malang, 2009, h. 55
berlangsung, garis keturunan, status, kekerabatan, dan kedua calon mempelai diteliti lebih jauh, sambil membicarakan sompa dan jumlah uang antaran
dui’ menre’ yang harus diberikan oleh pihak laki-laki untuk biaya pesta
pernikanan pasangannya, serta hadiah persembahan kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya. Setelah semua persyaratan ini disepakati,
ditentukan hari
pertemuan guna
mengukuhkan ma’pasiarekkeng
kesepakatan tersebut.
13
3. Mapettu Ada’
Mapettu ada ‟ ialah memutuskan dan meresmikan segala hasil pembicaraan
yang diambil pada waktu pelamaran dilakukan, dalam bahasa Bugis dinamakan “mappasiarekkeng” seperti uang belanja, leko, maskawin, hari
akad nikah, dan lain-lain sebagainya. Jika di Bone mapettu ada ‟ ini
dilaksanakan dalam bentuk dialog antara juru bicara pihak pria dengan juru bicara pihak perempuan.
14
Adapun yang dibicarakan dalam rangkaian acara mapettu ada
‟ adalah sebagai berikut;
a. Tanra Esso, penentuan acara puncak atau hari pesta pernikahan sangat
perlu mempertimbangkan beberapa faktor, seperti sewaktu-waktu yang dianggap luang bagi keluarga. Jika keluarga, baik laki-laki atau
perempuan itu petani, biasanya mereka memilih waktu sesudah panen.
15 13
Ali Akbarul Falah, Pandangan Masyarakat Islam Terhadap Tradisi Mattunda Wenni Pammulang Dalam Perkawinan Adat Bugis Di Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba
Sulawesi Selatan, h. 56
14
Abdul Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Makassar: Penerbit Indobis, 2006, h. 140
15
Andi Nurnaga, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, Makassar: CV. Telaga Zamzam, 2001, h. 18