Islam dan Budaya BUDAYA MASYARAKAT BUGIS

Secara tradisional diin itu dibagi dalam empat bidang kajian: ibadat, mu’amalat, munakahat misalnya hukum nikah, hubungan suami isteri, keluarga, jinayat hukum sipil dan kriminil atau perdata dan pidana. Apabila pembagian ini kita tinjau dari QS. Ali Imran 3: 112, keempat bidang itu dapat dibagi dua: ibadat masuk kedalam hablun min Allah, mu’amalat, munakahat dan jinayat masuk kedalam lapangan hablun min an-naas. Pembahasan tentang isi diin membawa kita kepada kesimpulan, bahwa ia meliputi: hubungn manusia dengan Allah dalam tata ibadat atau agama, hubungan dengan manusia dengan manusia dalam tata mu’amalat atau yang membentuk masyarakat dan berisikan kebudayaan. 22 Ternyata keliru menterjemahkan diin dengan agama, dengan kata lain apakah istilah yang spesifik Islam itu dapat kita terjemahkan? dari kata-kata dalam khazanah bahasa IndonesiaMalaysia tidak ada kata yang sama pengertiannya dengan diin. Karena itu, kata itu kita ambil ke dalam bahasa Indonesia untuk menyesuaikan dengan fonologi bahasa kita menjadi ad-diin. Jadi, Islam itu mengandung dua aspek, yakni segi agama dan kebudayaan. Dengan demikian ada agama Islam dan ada kebudayaan Islam. Dengan pandangan ilmiah antara keduanya memang dapat dibedakan, tapi dengan pandangan Islam sendiri tidak dapat dipisahkan. Yang kedua inheren dengan yang pertama membentuk integrasi. Demikian eratnya jalinan dan integrasinya, sehingga terkadang sukar mendudukkan suatu perkara, apakah masuk agama atau kebudayaan. 23 22 Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, h. 107-108 23 Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, h. 110 Prisip-prinsip kebudayaan yang digariskan oleh ad-diin itu ditujukan kepada kemanusiaan. Kemanusiaan itu merupakan hakikat manusia. Karena itu ia serba- tetap. Dari itulah prinsip-perinsip tersebut ditentukan oleh ad-diin untuk tidak diubah-ubah. Kemanusiaan itu sama saja dahulu, sekarang dan yang akan datang. Tetapi perwujudan kemanusiaan yang disebut aksidensi itu tumbuh, berkembang, berbeda dan diperbarui. Tetapi sementara berlangsungnya perubahan demi peruahan itu, asasnya serba tetap. Asas inilah yang dituntun, ditunjuki, diperingatkan dan diberitakan oleh Qur‟an dan Hadis. 24 Kamajemukan masyarakat Indonesia, hubungan dialogis berbagai aspek kehidupan dan wilayah geografis dalam kasus hubungan keagamaan intensitasnya akan semakin tinggi. Arah dari persoalan tersebut akan berkaitan dengan pertanyaan apakah ia merupakan semata-mata sebagai rekayasa dari suatu kepentingan politik, ataukah rekayasa budaya. Menghadapi kecenderungan itu, perlu dikembangkan konseptualisasi berbagai aktifitas yang fungsional terhadap berbagai persoalan obyektif kehidupan manusia. Oleh karena itu perlu disadari oleh setiap pemeluk suatu agama bahwa pemikiran dan aktifitas keagamaan merupakan dialog budaya yang tumbuh dan berkembang searah dengan daya kritis dan kreatif manusia tanpa harus melepaskan ataupun merelatifikasikan keyakinan agamanya. Dengan demikian dialog agama akan dapat tumbuh dan berkembang secara konstruktif sebagai dialog budaya, sehingga aspek pemikiran ilmiah dan metodologi iptek dapat memainkan peranan fungsionalnya. 25 24 Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, h. 113 25 Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, h. 72-73

E. Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi Selatan

Untuk mengetahui gambaran dan pengetahuan yang lebih luas, tidak ada buruknya, bahkan mungkin sangat besar faedahnya jikalau kita mengetahui beberapa hal tentang Sulawesi Selatan pada umumnya. Jikalau kita melihat peta tanah air kita, maka antara pulau Sunda Besar tampak sebuah pulau yang bentuknya hampir meneyerupai bentuk sebuah huruf “K”, yaitu pulau Sulawesi. Pulau ini mempunyai empat buah jazirah, yakni Jazirah Utara, Jazirah Timur Laut, Jazirah Tenggara, dan Jazirah Barat Daya. 26 Keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal Abad XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari Minangkabau. Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah. Dikenal dengan nama Datuk Tellue Bugis atau Datuk Tallua Makassar, yaitu: Abdul Makmur, Khatib Tunggal, lebih populer dengan nama Datuk Ri Bandang; Sulaiman, Khatib Sulung, lebih populer dengan nama Datuk Patimang; serta Abdul Jawad, Khatib Bungsu, lebih dikenal dengan nama Datuk Ri Tiro. Ketiga ulama tersebut diutus secara khusus oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi Selatan. Namun, inisiatif untuk mendatangkan mubalig khusus ke Makassar sudah ada sejak Anak Kodah Bonang. Ia adalah seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang yang berada di Gowa pada pertengahan Abad XVI 1525. 27 26 Sagimun M.D., Sultan Hasanuddin menentang V.O.C., Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, h. 1 27 Herni Amir, “Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”, artikel diakses pada 29 September 2015 dari http:daerah.sindonews.comread88180329jelajah-tiga-datuk-di-sulawesi-selatan- 1404994262 Setibanya di Makassar, ketiga ulama ini tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi lebih dulu menyusun strategi dakwah. Mereka memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallo Imalingkaan Daeng Mayonri Karaeng Katangka dan Raja Gowa Karaeng Matoaya Tumamenaga Ri Agamanna. Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk Luwu La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaannya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan. 28 Ketiganya Datuk Ri Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk Ri Tiro mengislamkan Datuk Luwu yang kemudian diberi nama Islam Sultan Muhammad Mahyuddin pada bulan Februari tahun 1605, lalu Raja Tallo Imalingkaan Daeng Mayonri Karaeng Katangka diberi nama Sultan Abdullah Awwalul Islam, yang hampir bersamaan dengan raja Gowa Karaeng Matoaya Tumamenaga Ri Agamanna diberi nama Sultan Alauddin pada 22 September 1605. Selain itu Sultan Alauddin pula yang menggelar salat Jumat besar-besaran pada tahun 1607 dan mengumumkan secara formal bahwa agama kerajaan adalah adalah Islam dan menjadikan kerajaan Gowa sebagai pusat penyebaran Islam. Sejak agama Islam menjadi agama resmi di Gowa-Tallo, kedudukan Sultan Alauddin makin kuat. Sultan Alauddin dipandang sebagai pemimpin Islam di Sulawesi Selatan. 29 28 Herni Amir, “Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”. 29 Herni Amir, “Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”. Buku “Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan” oleh H.A. Massiara Dg. Rapi, disebutkan penyebaran Islam dilakukan baik melalui pendekatan struktural maupun kultural. Adapun pendekatan kultural dilakukan dengan cara kerajaan mengutus para mubalig ke seluruh pelosok-pelosok daerah. Sementara, pendekatan struktural dilakukan Kerajaan Gowa-Tallo dengan menyebarkan Islam kepada rakyat Gowa-Tallo dan juga segera menyebarkannya ke kerajaan-kerajaan lainnya. Cara pendekatan yang dilakukan oleh Sultan Alauddin dan pembesar Kerajaan Gowa adalah mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi antara lain: barang siapa di antara kita Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya.Karena itu, dengan dalih bahwa Gowa sudah melihat jalan kebajikan, yaitu agama Islam, Kerajaan Gowa meminta kepada kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut memeluk agama Islam. 30

F. Mahar Dalam Perspektif Budaya-Budaya di Indonesia

Sebelum membahas mahar dalam budaya Bugis, di Indonesia terdapat berbagai macam bentuk mahar yang mengikuti kebiasaan di daerah dan ketentuan adatnya masing-masing, diantaranya adalah; 1. Masyarakat Batak Toba menyebut maskawin itu sebagai pangoli. Pembayaran maskawinnya biasanya terdiri dari uang dan ternak. 31 30 Herni Amir, “Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”. 31 J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, DIY: LkiS, 2004, h. 225 2. Suku Komering di Sumatera Selatan menggunakan emas sebagai maharmaskawinnya. 32 3. Di maluku, mahar biasanya selain kain juga terdiri atas sepasang anting emas dan gading gajah yang ditaruh di dalam wadah sirih yang disebut tola dan kemudian ditempatkan di dalam lumbung di bumbungan rumah, terus digunakan sebagai mahar dalam perkawinan generasi selanjutnya. 33 4. Di Nusa Tenggara Timur NTT proses meminang gadis di kalangan suku Lamaholot sangat unik. Meski penduduk wilayah ini tidak memelihara gajah, gading gajah sudah menjadi mahar kawin sejak ratusan tahun lalu. Dalam masyarakat Lamaholot, ukuran atau jumlah mahar kawin belis atau gading gajah tergantung pada status sosial gadis atau calon mempelai perempuan yang akan dipinang. 34 5. Di masyarakat Bugis, mahar yang dikenal dengan istilah sunrang Bugis atau sompa Makassar. Sompa atau sunrang itu besar kecilnya sesuai dengan derajat sosial dari gadis yang dipinang. Sompa atau sunrang menggunakan nominal uang atau dapat saja terdiri dari sawah, kebun, keris pusaka, perahu, yang semuanya mempunyai makna penting dalam perkawinan. 35 32 Hattama Rosid dkk., ed., Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009, h. 399 33 Shari va Alaidrus, “Mahar Dalam Tradisi Pernikahan Bangsawan Babar”, artikel diakses pada 04 Oktober 2015 dari http:www.antaranews.comberita431398mahar-dalam-tradisi- pernikahan-bangsawan-babar 34 Kornelis Kewa Ama, “Mahar Kawin yang Membebani Keluarga”, artikel diakses pada 04 Otober 2015 dari http:lipsus.kompas.comjejakperadabannttread2010121008361911 35 Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”, h. 269