dan si isteri berhak atas mahar mitsil . Sementara itu, Syafi‟I, Hanafi, dan Hambali
dan mayoritas ulama‟ mazhab Imamiyah berpendapat bahwa, akad tetap sah dan isteri berhak atas mahar mitsil. Sebagian ulama mazhab Imamiyah member
batasan bagi hak isteri atas mahar mitsil denga adanya percampuran, sedangkan sebagian yang lain, sependapat dengan empat mazhab, memutakkannya tidak
memberi batasan.
20
Jika mahar tersebut berupa barang rampasan, misalnya suami memberi mahar berupa perabot tumah tangga milik ayahnya atau milik orang lain, maka Maliki
berpendapat bahwa, kalau perabot itu barang yang dikenal oleh mereka berdua, sedangkan kedua-duanya dewasa, maka akadnya dinyatakan fasid dan difasakh
sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila sudah dicampuri, akad dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsil
. Syafi‟I dan Hambali menyatakan bahwa akad tetap sah dan isteri berhak atas mahar mitsil.
21
D. Ketentuan Mengenai Bentuk dan Kadar Mahar
Mahar adalah pemberian sesuatu dari pihak pria sesuai dengan permintaan perempuan dengan batas-batas yang
ma’ruf. Besarnya mahar tidak dibatasi. Islam memberikan prinsip pokok yaitu “secara ma’ruf”. Artinya dalam batas yang wajar
sesuai kemampuan dan kedudukan suami yang dapat diperkirakan oleh isteri.
22
Syariat tidak menetapkan batasan minimal, tidak pula maksimal atas mahar
20
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muahammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 366, h. 366
21
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muahammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 366-367
22
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991, h. 78-79
yang harus diberikan kepada pihak perempuan. Sebab, manusia memiliki keberagaman dalam tingkat kekayaan dan kemiskinan. Manusia pun berbeda-beda
dari segi kondisi sulit dan lapang, serta masing-masing komunitas memiliki kebiasaan dan tradisi yang berbeda-beda. Dari itu, syariat tidak memberi batasan
tertentu atas mahar, agar masing-masing memberi sesuai dengan kadar kemampuannya dan sesuai dengan kondisi serta kebiasaan komunitasnya. Dari
semua teks syariat yang ada mensinyalir bahwasanya tidak ada syariat terkait jenis mahar selain berupa sesuatu yang memiliki nilai tanpa memandang sedikit
maupun banyak. Dengan demikian, mahar boleh hanya berupa cincin dari besi, atau berupa semangkuk korma, atau berupa jasa pengajaran kitab Allah, dan atau
semacamnya, jika kedua belah pihak yang melaksanakan akad nikah saling meridhainya.
23
Adapun benda atau uang pemberian itu adalah milik perempuan. Jika dikehendaki olehnya atau atas inisiatif dari perempuan itu maka bolehlah suami
sekedar ikut memakan dan ikut hidup dari mahar yang ia berikan, yang telah menjadi milik isteri.
24
Mengenai ketentuan mahar, jumlahnya tergantung dari kemampuan calon suami atas persetujuan isteri, namun hendaklah tidak
berlebihan.
25
Jabir ra. menuturkan, Rasulullah bersabda; “Seandainya seorang pria memberi makanan sepenuh dua tangannya saja untuk maskawin seorang wanita,
23
As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Kairo: Dar al- Fath li I‟lam al-„Arabi, 1999, h. 101-102
24
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, h. 68
25
Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, Bogor: Cahaya Islam, 2006, h. 448.
sesungguhnya wanita itu halal baginya .” HR. Ahmad dan Abu Dawud
26
. Para ulama mazhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar tersebut
karena adanya firman Allah QS. An- Nisa‟ 4: 20 yang berbunyi ;
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun
.”
27
T etapi mereka berbeda pendapat tentang batas minimalnya. Syafi‟I, Hambali
dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar. Segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan mahar
sekalipun hanya satu qirsy. Sementara itu Hanafi mengatakan bahwa jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau suatu akad dilakukan dengan mahar
kurang dari itu, maka akad tetap sah, dan wajib membayar mahar sepuluh dirham. Maliki mengatakan, jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Kalau akad
dilakukan dengan mahar kurang dari jumlah tersebut, kemudian terjadi percampuran, maka suami harus membayar tiga dirham. Tetapi bila belum
mencampuri, dia boleh memilih antara tiga dirham dengan melanjutkan
26
Abu Dawud Sulaiman bin al- Asy‟ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadits 5; Sunan
Abu Dawud, Penerjemah Muhammad Ghazali dkk., Jakarta: Almahira, 2013, Cet. I, h. 434
27
Dari ayat ini dipahami bahwa tidak ada batas maksimal dari maskawin. Umar ibn al- Khattab pernah mengumumkan pembatasan maskawin tidak boleh lebih dari empat puluh auqiyah
perak, tetapi seorang wanita menegurnya dengan berkata, “Engkau tidak boleh membatasinya, karena Allah berfirman: Kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka qinthar
harta yang banyak ”. Umar ra. membatalkan niatnyaa sambil berkata, “seseorang wanita berucap
benar dan seorang pria keli ru”. Lihat dalam M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan
dan Keserasian Al- Qur’an, Vol. II, Ciputat: Lentera Hati, 2000, h. 366-367
perkawinan atau fasakh akad, lalu mebayar separuh mahar musamma.
28
Dalam hukum Islam tidak ditetapkan jumlah mahar tetapi didasarkan pada kemampuan masing-masing orang keadaan dan tradisi keluarga. Dengan
ketentuan bahwa jumlah mahar merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang akan melakukan akad nikah. Dalam syariat Islam hanya ditetapkan bahwa
maskawin harus berbentuk dan bermanfaat, tanpa melihat jumlahnya. Walau tidak ada batas minimal dan maksimal namun hendaknya berdasarkan pada
kesanggupan dan kemampuan suami. Islam tidak menyukai mahar yang berlebihan,
29
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: نع
نبا ساّبع
يضر ها
ع لاق
ل سر ها
ىّلص ها
يلع مّلس
: ريخ
ءاسّلا ّن سحا
اً ج ّن صخرا
اًر م ا ر
يق يبلا
30
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a., telah berkata Rasulullah Saw: sebaik-baiknya wanita isteri adalah yang tercantik wajahnya dan termurah maharnya.
HR. Al-Baihaqi. Berkaitan dengan pembayaran mahar terdapat beragam pendapat, Syafi‟I,
Malik, dan Dawud berpendapat suami tidak wajib memberikan mahar seluruhnya, kecuali jika telah diawali dengan persetubuhan, dan jika masih menyendiri belum
melakukan persetubuhan, maka hanya wajib membayar setengahnya.
31
Dalam QS. Al-Baqarah 2: 237 disebutkan;
28
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B. dkk., h. 364-365
29
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h. 301
30
Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., Juz III, h. 13
31
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h. 305.