BAB III BUDAYA MASYARAKAT BUGIS
DI BULUKUMBA SULAWESI SELATAN
A. Potret Kabupaten Bulukumba
Kabupaten Bulukumba terletak di bagian selatan jazirah Sulawesi dan berjarak kurang lebih 153 kilometer dari ibukota Provinsi Sulawesi Selatan,
terletak antara 05 20‟ - 05
40‟ lintang selatan dan 119 58‟-120
28‟ bujur timur. Berbatasan dengan Kabupaten Sinjai di sebelah utara, sebelah timur dengan Teluk
Bone, sebelah selatan dengan Laut Flores, dan sebelah barat dengan Kabupaten Bantaeng. Luas wilayah Kabupaten Bulukumba sekitar 1.154,7 km
2
atau sekitar 2,5 persen dari luas wilayah Sulawesi Selatan yang meliputi sepuluh kecamatan
yang terbagi kedalam 27 kelurahan dan 109 desa. Wilayah Kabupaten Bulukumba hampir 95,4 persen pada ketinggian 0 sampai dengan 1000 meter diatas
permukaan laut dpl dengan tingkat kemiringan tanah umumnya 0-40 . Terdapat
sekitar 32 aliran sungai yang dapat mengairi sawah seluas 23.365 hektar, sehingga merupakan daerah potensi pertanian. Curah hujannya rata-rata 152 mm
perbulan dan rata-rata hari hujan 10 hari per bulan.
1
Peresmian Bulukumba menjadi sebuah nama kabupaten dimulai dari terbitnya Undang
–Undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang Pembentukan Daerah–daerah Tingkat II di Sulawesi yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kabupaten
Bulukumba Nomor 5 Tahun 1978, tentang Lambang Daerah. Akhirnya setelah
1
Badan Pusat Statistik Bulukumba, Statistik Kabupaten Bulukumba 2014, Bulukumba: BPS Bulukumba, 2014, h. 3
dilakukan seminar sehari pada tanggal 28 Maret 1994 dengan narasumber Prof. Dr. H. Ahmad Mattulada ahli sejarah dan budaya, maka ditetapkanlah hari jadi
Kabupaten Bulukumba, yaitu tanggal 4 Februari 1960 melalui Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1994. Secara yuridis formal Kabupaten Bulukumba resmi
menjadi daerah tingkat II setelah ditetapkan Lambang Daerah Kabupaten Bulukumba oleh DPRD Kabupaten Bulukumba pada tanggal 4 Februari 1960 dan
selanjutnya dilakukan pelantikan bupati pertama, yaitu Andi Patarai pada tanggal 12 Februari 1960.
2
Paradigma kesejarahan, kebudayaan dan keagamaan memberikan nuansa moralitas dalam sistem pemerintahan yang pada tatanan tertentu menjadi etika
bagi struktur kehidupan masyarakat melalui satu prinsip Mali’ siparappe, Tallang
sipahua.
3
Ungkapan yang mencerminkan perpaduan dari dua dialek bahasa Bugis-Makassar tersebut merupakan gambaran sikap batin masyarakat
Bulukumba untuk mengemban amanat persatuan didalam mewujudkan keselamatan bersama demi terciptanya tujuan pembangunan lahir batin, material
spiritual, dunia akhirat. Nuansa moralitas ini pula yang mendasari lahirnya slogan pembangunan Bulukumba Berlayar yang mulai disosialisasikan pada bulan
September 1994 dan disepakati penggunaannya pada tahun 1996. Konsepsi Berlayar sebagai moral pembangunan lahir batin mengandung filosofi yang
2
Artikel diakses pada 04 Mei 2014 Pukul 22.00 WIB dari http:www.bulukumbakab.go.id
3
Mali berarti hanyut atau tenggelam, siparappe ‟ berarti saling tolong, kalimat tersebut
merupakan sebuah ungkapan dalam Bahasa Bugis yang berarti “saling tolong menolong jika ada
yang terkena musibah”, sedangkan dalam dialek Bahasa Makassar kalimat tersebut dikenal dengan ungkapan tallang tenggelam atau hanyut sipahua saling tolong atau dibantu untuk muncul ke
permukaan.
cukup dalam serta memiliki kaitan kesejarahan, kebudayaan dan keagamaan
dengan masyarakat Bulukumba. Berlayar merupakan sebuah akronim dari
kalimat kausalitas yang berbunyi Bersih Lingkungan, Alam Yang Ramah. Filosofi yang terkandung dalam slogan tersebut dilihat dari tiga sisi pijakan, yaitu
sejarah, kebudayaan dan keagamaan. Dari sisi budaya, Bulukumba telah tampil menjadi sebuah legenda modern dalam kancah percaturan kebudayaan nasional,
melalui industri budaya dalam bentuk perahu, baik itu perahu jenis phinisi, padewakkang, lambo,
pa’jala, maupun jenis lepa-lepa yang telah berhasil mencuatkan nama Bulukumba di dunia internasional.
4
B. Sistem Kemasyarakatan Dalam Masyarakat Bugis
Buku La Towa yakni buku yang merupakan kumpulan sabda-sabda dan petuah-petuah atau nasehat-nasehat para raja dan orang-orang cerdik pandai pada
zaman dahulu kala, sering dijadikan pedoman hidup oleh orang-orang Bugis- Makassar. Di dalam buku ini antara lain ditegaskan bahwa kemakmuran dan
kekayaan suatu masyarakat atau sebuah negeri ditentukan oleh empat hal, yakni:
5
1. Ade‟ adat atau kebiasaan dahulu
2. Undang-undang
3. Bicara Peradilan
4. Wari‟ yakni pembagian tingkatan di dalam masyarakat, diantaranya:
a. Anak Karaeng, artinya anak raja-raja.
b. Tumaradeka, artinya orang merdeka, yaitu masyarakat pada umumnya.
4
Artikel diakses pada 04 Mei 2014 Pukul 22.00 WIB dari http:www.bulukumbakab.go.id
5
Sagimun M.D., Sultan Hasanuddin Menentang V.O.C., Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, h. 22
c. Ata’, artinya budak atau hamba sahaya.
5. Setelah agama Islam masuk serta berkemabang di Sulawesi Selatan
ditambah dengan satu hal lagi, yakni syara ‟ undang-undang Islam.
H.J. Friederecy pernah menulis sebuah disertasi sebagaimana dikutip oleh Mattulada, ia menggambarkan pelapisan masyarakat Bugis-Makassar dari zaman
sebelum pemerintah kolonial Belanda menguasai langsung daerah Sulawesi Selatan. Salah satu sumber yang dipakai untuk melakukan rekonstruksinya adalah
buku kesusasteraan Bugis-Makassar asli La Galigo. Menurut Friedercy dulu ada tiga lapisan pokok, ialah: Anakarung
ana’ karaeng dalam bahasa Makassar ialah lapisan kaum kerabat raja-raja, To-maradeka adalah lapisan orang merdeka yang
merupakan sebagian besar dari rakyat Sulawesi Selatan, dan Ata ’ ialah lapisan
orang budak, ialah orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar hutang, atau orang yang melanggar pantangan adat.
6
Usaha untuk mencari latar belakang terjadinya pelapisan masyarakat itu, Friederecy berpedoman kepada peranan tokoh-tokoh yang disebut dalam La
Galigo dan berkesimpulan bahwa masyarakat Bugis Makassar pada mulanya terdiri dari dua lapisan, dan lapisan
ata’ merupakan suatu perkembangan kemudian yang terjadi dalam zaman perkembangan dari organisasi-organisasi
pribumi di Sulawesi Selatan. Pada permulaan abad ke-20, lapisan ata’ mulai
hilang, karena larangan dari pemerintah kolonial dan desakan dari agama.
7
6
Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1979, h. 269
7
Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, h. 269