Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 tiga dirumuskan bahwa perkwainan bertujuan untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang sakinah. Surat Ar-
Rum 30: 4 menjelaskan bahwa keluarga Islam terbentuk dalam keterpaduan dan ketentraman sakinah, penuh rasa cinta mawaddah, dan kasih sayang
rahmah. Ia terdiri dari isteri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang lembut dan berperasaan
halus, putera-dan puteri yang taat patuh dan taat dan kerabat yang saling membina silaturrahim dan tolong menolong. Hal ini dapat tercapai bila masing-
masang anggota keluarga tersebut mengetahui hak dan kewajibannya.
10
Keluarga merupakan tempat fitrah yang sesuai dengan keinginan Allah Swt. bagi kehidupan manusia sejak keberadaan khalifah QS. Ar-
Ra’d 13: 38. Kehidupan manusia secara individu berada dalam perputaran kehidupan dengan
berbagai arah yang menyatu dengannya. Karena sesungguhnya fitrah kebutuhan manusia mengajak untuk menuju keluarga sehingga mencapai kerindangan dalam
tabiat kehidupan. Bahwasanya tiadalah kehidupan yang dihadapi dengan kesungguhan oleh pribadi yang kecil.
11
Perkawinan menurut ajaran Islam terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi diantaranya kewajiban memberikan mahar oleh suami kepada isteri QS. An-
Nisa’ 4: 3. Ayat tersebut menjelaskan bahwa pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapakan atas persetujuan kedua belah pihak, karena
pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas pada dasarnya. Berdasarkan ayat itu
10
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, h. 114.
11
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011, h. 23.
dapat kita pahami bahwa mahar adalah sesuatu yang diberikan oleh pihak suami kepada isteri untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar
merupakan bentuk award yang diberikan seorang pria sebagai ungkapan kesetiaan dan cintanya kepada sang isteri.
As-Sadlan sebagaimana dikutip oleh Abu Malik Kamal mengungkapkan, bahkan mahar boleh saja berupa sesuatu yang memiliki nilai material maupun
immaterial, dan inilah yang disepakati oleh dalil-dalil yang ada sesuai dengan pengertian yang benar dari pensyariatan mahar. Sebab substansinya bukanlah
sebagai kompensasi yang bersifat materi saja, akan tetapi ia lebih merupakan simbolisasi keinginan dan ketulusan niat untuk hidup bersama dalam biduk
rumah tangga sehingga ia boleh diwujudkan dalam bentuk uang atau materi yang sudah berlaku umum, dan dalam bentuk sesuatu yang memiliki nilai immaterial,
selama mempelai wanita ridho atau rela menerima hal tersebut.
12
Mengenai pernikahan, memang banyak adat yang mengatur di setiap daerah. Baik itu yang bertentangan dengan syariat Islam maupun tidak. Tidak dapat kita
pungkiri bahwa pernikahan harus mengikuti adat yang berlaku di daerah tersebut. Pernikahan memanglah salah satu adat yang berkembang mengikuti
berkembangnya masyarakat, namun kepercayaan untuk berpegang teguh kepada hukum adat masih berlaku di dalam sebuah adat pernikahan tersebut. Karena
hukum akan efektif apabila mempunyai basis sosial yang relatif kuat. Artinya hukum adat tersebut dipatuhi oleh warga masyarakat secara sukarela.
13 12
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah. Penerjemah Khairul Amri Harahap dan Faisal Saleh, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, h. 254.
13
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, h. 340
Tata tertib adat perkawinan antara masyarakat adat yang satu berbeda dari masyarakat adat yang lain, antara suku bangsa yang satu berbeda dengan suku
bangsa yang lain, antara yang beragama Islam berbeda dari yang beragama Kristen, Hindu, dan lain-lain. Begitu pula antara masyarakat desa dari masyarakat
kota. Dikarenakan perbedaan tata tertib adat maka seringkali dalam menyelesaikan perkawinan antar adat menjadi berlarut-larut, bahkan kadang-
kadang tidak tercapai kesepakatan antar kedua pihak dan menimbulkan ketegangan.
14
Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya cara paling umum dilakukan oleh
masyarakat adalah melalui peminangan. Dalam hal peminangan pada tiap masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia cara yang digunakan dalam
melakukan pelamaran atau peminangan pada hakikatnya terdapat kesamaan, namun perbedaan-perbedaannya hanyalah kira-kira terdapat pada alat atau
sarana pendukung proses peminangan tersebut.
15
Di Indonesia, terdapat sebuah suku yang bernama Suku Bugis dimana dalam adat istiadatnya, secara garis besar upacara perkawainannya dimulai dengan
mappaenre’ balanca yaitu sebuah prosesi mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabatnya, pria dan wanita, tua maupun muda dengan membawa
macam-macam makanan, seperangkat pakaian wanita, buah-buahan seperti kelapa, pisang, dan lain-lin, dan maskawin. Sampai dirumah mempelai wanita,
14
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, h. 12
15
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberti, 2007, h. 107
maka dilangsungkan upacara pernikahan yang dilanjutkan dengan pesta perkawinan. Pada pesta ini para tamu dari luar diundang, memberi kado atau
uang sebagai sumbangan saloreng.
16
Pada masyarakat Bugis, dalam menetukan mahar mereka mempunyai patokan tersendiri, adat Bugis di daerah Sulawesi Selatan dalam proses perkawinannya
meskipun sudah menggunakan syariah Islam sebagai landasan dasar serta syarat- syarat perkawinan dalam kebiasaanya, tetapi pada tahap prosesi baik menjelang
maupun dalam dan setelahnya masih menggunakan adat istiadat setempat sebagai salah satu syarat pelaksanaan perkawinan. Sebagai contoh, dalam Islam kita
mengenal istilah mahar yang sudah sedikit disinggung sebelumnya, dalam adat Bugis dikenal dengan istilah sunrang atau sompa
’. Sompa atau sunrang itu besar kecilnya, sesuai dengan derajat sosial dari gadis
yang dipinang dan dihitung dalam nilai rella real alah nominal Rp. 2,-. Maskawin yang diberi nilai nominal menurut jumlah rella dapat saja terdiri dari
sawah, kebun, keris pusaka, perahu dan sebagainya yang semuanya mempunyai makna penting dalam perkawinan.
17
Di lain sisi, dalam adat istiadat Bugis sebelum acara pernikahan dalam bahasa Bugis mappabotting terdapat pula beberapa syarat harus dipenuhi oleh
mempelai pria yang disebut paenre ’. Ia adalah sejumlah uang yang ditetapkan
oleh pihak mempelai wanita kepada calon mempelai pria untuk mengetahui kerelaan atau kemampuan sang calon mempelai untuk menjadi bagian keluarga
16
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, h. 235.
17
Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1979, h. 269
mereka. Uang belanja ini digunakan untuk membiayai pesta pernikahan yang digelar pihak wanita. Besaran paenre
’ atau panai’ lagi-lagi sangat beragam dan sangat tergantung pada status sosial si calon mempelai wanita. Semakin tinggi
status sosial calon mempelai wanita maka tentunya akan semakin tinggi.
18
Salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang hingga saat ini menggunakan adat istiadat Bugis tersebut adalah Kabupaten Bulukumba, yang dalam prosesi
perkawinannya baik sebelum maupun di dalamnya masih mempertahankan adat istiadat tersebut. Dari sudut pandang etnografis, adat istiadat yang masih
dipertahankan hingga kini tersebut tentunya mempunyai maksud dan tujuan tertentu, terdapat kebiasaan-kebiasaan yang secara tersirat mempunyai makna
filosofis yang terkandung di dalamnya. Maka dari itu, atas pertimbangan tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian
yang berjudul “MAHAR DAN PAENRE
’ DALAM ADAT BUGIS Studi Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis di Bulukumba Sulawesi Selatan
”