namun memberi sesuatu yang lebih tinggi dari itu, sebagai realisasi kedermawanan ?. Ulama-ulama yang menyamakannya dengan jenis jual beli yang
pertama, mereka mengatakan kalau jual beli suatu barang yang tidak diketahui ciri-cirinya dilarang, maka begitu pula dengan pernikahan seperti itu. Dan ulama-
ulama yang menyamakannya dengan jenis yang kedua, mereka mengatakan bahwa pernikahan seperti itu boleh.
37
Pangkal silang pendapat soal penentuan maskawin ini ada dua. Pertama, ketidakjelasan apakah fungsi akad nikah sebagai sarana tukar menukar
berdasarkan kerelaan menerima ganti, baik sedikit atau banyak, sebagaimana yang berlaku dalam akad jual beli, atau sebagai ibadah yang sudah ada ketentuannya.
Sebab dari satu aspek, berkat adanya maskawin seorang lelaki dapat memiliki manfaat-manfaat pada seorang wanita untuk selamanya, sehingga dengan begitu
ini mirip dengan kompensasi. Dari dari aspek yang lain, adanya larangan mengadakan persetujuan untuk menafikan maskawin, sehingga dengan begitu ini
mirip dengan ibadah.
38
F. Kehalalan Istimta’: Sebab Akad atau Mahar
Untuk mengetahui lebih lanjut penyebab utama dihalalkannya wath’ dengan
akad ataukah dengan mahar, maka dari itu perlu kita tinjau kembali definisi pernikahan menurut para mujtahid, sebagai berikut;
1. Nikah berarti mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan sebuah
hubungan intim dan akad sekaligus, yang di dalam syariat dikenal dengan
37
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah AR. Shiddiq, h. 86
38
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah AR. Shiddiq, h. 87
akad nikah. Sedangkan secara syariat berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan
berhubungan intim, menyentuh, dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga. Bisa juga
diartikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang telah ditetapkan oleh syariat yang berfungsi untuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki
untuk bersenang-senang dengan perempuan, dan menghalalkan seorang perempuan bersenang-senang dengan lelaki. Maksudnya, pengaruh akad
ini bagi lelaki adalah memberi hak kepemilikan khusus, maka lelaki lain tidak boleh memilikinya. Sedangkan pengaruhnya terhadap perempuan
adalah sekedar menghalalkan bukan memiliki hak secara khusus. Lebih gamblangnya, syariat melarang poliandri dan membolehkan poligami.
39
2. Para ulama hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah sebuah akad
yang memberikan hak kepemilikan untuk bersenang-senang secara sengaja. Artinya, kehalalan seorang lelaki bersenang-senang dengan perempuan
yang tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat, dengan kesengajaan. Sebagian ulama hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah akad yang
dilakukan untuk memberikan hak milik segala manfaat dari kemaluan.
40
3. Adapun Muhammad Abu Zahrah berpendapat, bahwa sebagian ulama
mengartikan nikah
dengan sebuah
akad yang
mengakibatkan
39
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, h. 29
40
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, h. 30
dihalalkannya istimta ‟.
41
Jadi halalnya wath ‟ disebabkan oleh telah terjadinya akad pernikahan, namun
berbeda dengan Imam Abu Hanifah dalam salah satu pendapatnya berpendapat bahwa mahar adalah yang menjadikan halal menikmati kemaluan wanita.
42
41
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Kairo: Daar al-Fikr al- „Arabi, t.th.,
h. 18
42
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah AR. Shiddiq, h. 81
BAB III BUDAYA MASYARAKAT BUGIS
DI BULUKUMBA SULAWESI SELATAN
A. Potret Kabupaten Bulukumba
Kabupaten Bulukumba terletak di bagian selatan jazirah Sulawesi dan berjarak kurang lebih 153 kilometer dari ibukota Provinsi Sulawesi Selatan,
terletak antara 05 20‟ - 05
40‟ lintang selatan dan 119 58‟-120
28‟ bujur timur. Berbatasan dengan Kabupaten Sinjai di sebelah utara, sebelah timur dengan Teluk
Bone, sebelah selatan dengan Laut Flores, dan sebelah barat dengan Kabupaten Bantaeng. Luas wilayah Kabupaten Bulukumba sekitar 1.154,7 km
2
atau sekitar 2,5 persen dari luas wilayah Sulawesi Selatan yang meliputi sepuluh kecamatan
yang terbagi kedalam 27 kelurahan dan 109 desa. Wilayah Kabupaten Bulukumba hampir 95,4 persen pada ketinggian 0 sampai dengan 1000 meter diatas
permukaan laut dpl dengan tingkat kemiringan tanah umumnya 0-40 . Terdapat
sekitar 32 aliran sungai yang dapat mengairi sawah seluas 23.365 hektar, sehingga merupakan daerah potensi pertanian. Curah hujannya rata-rata 152 mm
perbulan dan rata-rata hari hujan 10 hari per bulan.
1
Peresmian Bulukumba menjadi sebuah nama kabupaten dimulai dari terbitnya Undang
–Undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang Pembentukan Daerah–daerah Tingkat II di Sulawesi yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kabupaten
Bulukumba Nomor 5 Tahun 1978, tentang Lambang Daerah. Akhirnya setelah
1
Badan Pusat Statistik Bulukumba, Statistik Kabupaten Bulukumba 2014, Bulukumba: BPS Bulukumba, 2014, h. 3