Dasar Hukum Mahar EKSISTENSI MAHAR DALAM PERKAWINAN

jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya. Kemudian berdasarkan jenisnya, mahar dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu; a. Mahar musamma, adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perawan yang disebutkan dalam redaksi akad. 16 b. Mahar mitsil, menurut Hanafi, mahar mitsil ditetapkan berdasarkan keadaan wanita yang serupa dari pihak suku ayah, bukan suku ibunya. Tetapi menurut Maliki, mahar diterapkan berdasarkan kedaan wanita tersebut baik fisik maupun moralnya, sedangkan Syafi‟I menganalogikannya dengan isteri dari anggota keluarga, yaitu isteri saudara dan paman, kemudian dengan saudara perempuan, dan seterusnya. Bagi Hambali, hakim harus menentukan mahar mitsil dengan menganalogikannya pada wanita-wanita yang menjadi kerabat wanita tersebut, misalnya ibu dan bibi. Sementara itu Imamiyah mengatakan bahwa, mahar mitsil tidak mempunyai ketentuan dalam syara ‟. Untuk itu, nilainya di tentukan oleh „urf yang paham ihwal wanita, baik dalam hal nasab maupun kedudukan, juga mengetahui keadaan yang dapat menambah atau berkurangnya mahar, dengan syarat tidak melebihi mahar yang berlaku menurut ketentuan sunnah, yaitu senilai 500 dirham. 17 16 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff., h. 364 17 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muhammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 368. Jenis barang yang dijadikan mahar, wujud dari sesuatu yang dapat dijadikan mahar dapat berupa; 18 a. Barang berharga baik berupa barang bergerak atau tetap; b. Pekerjaan yang dilakukan oleh calon suami untuk calon isteri; c. Manfaat yang dapat nilai dengan uang. Mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan, atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga. Disyaratkan bahwa mahar harus diketahui secara jelas dan detail, misalnya seratus lire, atau secara global semisal sepotong emas, atau sekarung gandum. Kalau tidak bisa diketahui dari berbagai segi yang memungkinkan diperoleh penetapan jumlah mahar, maka menurut seluruh mazhab kecuali Maliki, akad tetap sah, tetapi maharnya batal. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa, akadnya fasid tidak sah dan di-fasakh sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila telah dicampuri, akad dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsil. 19 Syarat lain bagi mahar adalah hendaknya yang dijadikan mahar itu barang yang halal dan dinilai berharga dalam syariat Islam. Jadi, kalau mahar musamma itu berupa khamr, babi atau bangkai dan benda-benda lain yang tidak bisa dimiliki secara sah, maka Maliki mengatakan bahwa bila belu terjadi percampuran, akadnya fasid. Tetapi bila telah terjadi percampuran, maka akad dinyatakan sah 18 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h. 299 19 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muahammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 366 dan si isteri berhak atas mahar mitsil . Sementara itu, Syafi‟I, Hanafi, dan Hambali dan mayoritas ulama‟ mazhab Imamiyah berpendapat bahwa, akad tetap sah dan isteri berhak atas mahar mitsil. Sebagian ulama mazhab Imamiyah member batasan bagi hak isteri atas mahar mitsil denga adanya percampuran, sedangkan sebagian yang lain, sependapat dengan empat mazhab, memutakkannya tidak memberi batasan. 20 Jika mahar tersebut berupa barang rampasan, misalnya suami memberi mahar berupa perabot tumah tangga milik ayahnya atau milik orang lain, maka Maliki berpendapat bahwa, kalau perabot itu barang yang dikenal oleh mereka berdua, sedangkan kedua-duanya dewasa, maka akadnya dinyatakan fasid dan difasakh sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila sudah dicampuri, akad dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsil . Syafi‟I dan Hambali menyatakan bahwa akad tetap sah dan isteri berhak atas mahar mitsil. 21

D. Ketentuan Mengenai Bentuk dan Kadar Mahar

Mahar adalah pemberian sesuatu dari pihak pria sesuai dengan permintaan perempuan dengan batas-batas yang ma’ruf. Besarnya mahar tidak dibatasi. Islam memberikan prinsip pokok yaitu “secara ma’ruf”. Artinya dalam batas yang wajar sesuai kemampuan dan kedudukan suami yang dapat diperkirakan oleh isteri. 22 Syariat tidak menetapkan batasan minimal, tidak pula maksimal atas mahar 20 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muahammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 366, h. 366 21 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muahammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 366-367 22 Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991, h. 78-79