Ketentuan Mengenai Bentuk dan Kadar Mahar

perkawinan atau fasakh akad, lalu mebayar separuh mahar musamma. 28 Dalam hukum Islam tidak ditetapkan jumlah mahar tetapi didasarkan pada kemampuan masing-masing orang keadaan dan tradisi keluarga. Dengan ketentuan bahwa jumlah mahar merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang akan melakukan akad nikah. Dalam syariat Islam hanya ditetapkan bahwa maskawin harus berbentuk dan bermanfaat, tanpa melihat jumlahnya. Walau tidak ada batas minimal dan maksimal namun hendaknya berdasarkan pada kesanggupan dan kemampuan suami. Islam tidak menyukai mahar yang berlebihan, 29 Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: نع نبا ساّبع يضر ها ع لاق ل سر ها ىّلص ها يلع مّلس : ريخ ءاسّلا ّن سحا اً ج ّن صخرا اًر م ا ر يق يبلا 30 Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a., telah berkata Rasulullah Saw: sebaik-baiknya wanita isteri adalah yang tercantik wajahnya dan termurah maharnya. HR. Al-Baihaqi. Berkaitan dengan pembayaran mahar terdapat beragam pendapat, Syafi‟I, Malik, dan Dawud berpendapat suami tidak wajib memberikan mahar seluruhnya, kecuali jika telah diawali dengan persetubuhan, dan jika masih menyendiri belum melakukan persetubuhan, maka hanya wajib membayar setengahnya. 31 Dalam QS. Al-Baqarah 2: 237 disebutkan;      28 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B. dkk., h. 364-365 29 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h. 301 30 Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., Juz III, h. 13 31 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h. 305.                                   Artinya: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. ” Jika jumlah maharnya belum ditentukan dan isteri belum pernah dicampuri, maka isteri hanya berhak mendapatkan pemberian menurut keadaan suaminya. Pemberian ini sebagai ganti rugi dari apa yang diberikan oleh mantan isterinya, hal ini berdasarkan firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah 2: 236; 32                             Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar mahar atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mutah pemberian kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu ketentuan bagi orang- orang yang berbuat kebajikan.”

E. Tujuan dan Hikmah Mahar: Antara Akad Muamalah dan Nihlah

Sehubungan dengan aspek sosial perkawinan, maka hal itu didasarkan pada anggapan bahwa orang yang melangsungkan perkawinan berarti telah dewasa dan 32 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h. 305. berani hidup mandiri, karena itu kedudukannya terhormat, kedudukannya dalam masyarakat dihargai sepenuhnya. Mahar merupakan lambang penghalalan hubungan suami isteri dan lambang tanggung jawab mempelai pria terhadap mempelai wanita, yang kemudian menjadi isterinya. Maka dari itu, tujuan dan hikmah mahar merupakan jalan yang menjdikan isteri berhati senang dan ridho menerima kekuasaan suaminya kepada isterinya, selain itu mahar juga bertujuan; 33 a. Untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan cinta mencintai. b. Sebagai usaha memerhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberikan hak untuk memegang urusannya. Salah satu usaha Islam ialah memerhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberikannya hak untuk memegang urusannya. Di zaman jahiliyah hak wanita itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dapat semena-mena dapat menggunakan hartanya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya dan menggunakannya. Lalu Islam datang menghilangkan belenggu itu, kepadanya hak mahar dan kepada suami diwajibkan memberikan mahar kepadanya bukan kepada ayahnya. Mahar yang telah dibayarkan suami kepada isterinya menjadi hak milik isterinya, oleh karena itu isteri berhak membelanjakan, menghibahkan dan sebagainya tanpa harus izin dari suami atau walinya. 34 Perihal jenis-jenis maskawin ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki, dan bisa 33 H.E. Hassan Saleh dkk, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, h. 299-301 34 H.E. Hassan Saleh dkk, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, h. 309 dijadikan sebagai alat kompensasi atau nilai tukar. Perihal sifat-sifat maskawin, para ulama sepakat sah hukumnya pernikahan berdasarkan penukaran dengan suatu barang tertentu yang dikenal sifatnya, yakni yang tertentu jenis, besar, dan nilainya. Kemudian mereka berselisih pendapat tantang barang yang tidak diketahui cirinya dan tidak ditentukan jenisnya. Contohnya seperti seseorang mengatakan, “Akan aku kawinkan kamu dengannya dengan maskawin seorang budak ”, tanpa menjelaskan ciri-cirinya hingga dapat diketahui berapa harga atau nilainya. 35 Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, membolehkannya. Sementara Imam Syafi‟i melarangnya. Jika terjadi pernikahan seperti itu, menurut Imam Malik, mempelai wanita berhak memperolah maskawin seperti yang disebutkan untuknya. Tetapi menurut Imam Abu Hanifah, mempelai pria dipaksa untuk mengganti nilainya. 36 Silang pendapat ini karena persoalan, apakah pernikahan seperti itu dapat disamakan dengan jual beli yang harus kikir, atau tidak sampai sejauh itu 35 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah Abdul Rasyid Shiddiq, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2013, h. 84-87 36 Kata Imam Syafi‟i dan Ahmad, maskawin harus jelas. Abu Bakar, salah seorang ulama dari mazhab Hanbali setuju pada pendapat ini. Sementara menurut al-Qadhi yang juga dari mazhab Hanbali, maskawin boleh tidak jelas asalkan tidak kurang dari yang standar atau mahar mitsil. Imam Abu Hanifah setuju pada pendapat ini. Lihat al-Mughni VI261. Dan lihat ar-raudhah VII268. Ad-Dardiri dalam kitabnya Syarah Aqrab al-Masalik menuturkan beberapa masalah terkait yang terkait dengan sesuatu yang mungkin ditentukan dan yang tidak mungkin. Katanya, tidak sah maskawin dengan sesuatu yang mengandung unsur gharar atau penipuan. Contohnya seperti maskawin dengan budaknya fulan atau dengan janin atau dengan buah yang belum tampak kepatutannya. Kalau buah tersebut langsung dipetik pada waktu itu juga, maka ditoleransi, meskipun akhirnya tidak sah dijual. Juga tidak boleh maskawin dengan sesuatu yang tidak jelas, seperti misalnya dengan baju atau barang apa saja yang tidak dijelaskan ciri-cirinya, atau dengan beberapa dirham yang tidak dijelaskan nominalnya, atau dengan salah seorang budak miliknya yang ia pilihkan sendiri, bukan dipilih oleh wanita yang hendak dinikahinya. Sebab mungkin yang di pilihkan ialah budak yang nilainya paling rendah atau paling tinggi. Tapi kalau memilih diantara budak itu adalah wanita yang hendak dinikahinya, hukumnya boleh. Lihat asy-Syarh ash-Shaghir II420. Kata imam Abu Hanifah, begitu pula tidak boleh pernikahan dengan menggunakan maskawin sepotong baju atau sebuah rumah atau seekor ternak secara mutlak, karena tidak jelas. Jadi, wanita berhak mendapatkan mahar mitsil, berapapun nilai nominalnya. Atau dengan maskawin seorang budak laki-laki maupun perempuan, seekor kuda, atau seekor unta, atau seekor sapi, dan sebagainya dari jenis yang sudah jelas tetapi berbeda sifat dan nilainya. Maka sang suami boleh memilih; apakah ia akan memberikan dari yang tengah-tengah, atau ia memberikan nilainya. Dan isteri harus menerimanya. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah Abd. Rashad S., h. 86 namun memberi sesuatu yang lebih tinggi dari itu, sebagai realisasi kedermawanan ?. Ulama-ulama yang menyamakannya dengan jenis jual beli yang pertama, mereka mengatakan kalau jual beli suatu barang yang tidak diketahui ciri-cirinya dilarang, maka begitu pula dengan pernikahan seperti itu. Dan ulama- ulama yang menyamakannya dengan jenis yang kedua, mereka mengatakan bahwa pernikahan seperti itu boleh. 37 Pangkal silang pendapat soal penentuan maskawin ini ada dua. Pertama, ketidakjelasan apakah fungsi akad nikah sebagai sarana tukar menukar berdasarkan kerelaan menerima ganti, baik sedikit atau banyak, sebagaimana yang berlaku dalam akad jual beli, atau sebagai ibadah yang sudah ada ketentuannya. Sebab dari satu aspek, berkat adanya maskawin seorang lelaki dapat memiliki manfaat-manfaat pada seorang wanita untuk selamanya, sehingga dengan begitu ini mirip dengan kompensasi. Dari dari aspek yang lain, adanya larangan mengadakan persetujuan untuk menafikan maskawin, sehingga dengan begitu ini mirip dengan ibadah. 38

F. Kehalalan Istimta’: Sebab Akad atau Mahar

Untuk mengetahui lebih lanjut penyebab utama dihalalkannya wath’ dengan akad ataukah dengan mahar, maka dari itu perlu kita tinjau kembali definisi pernikahan menurut para mujtahid, sebagai berikut; 1. Nikah berarti mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang di dalam syariat dikenal dengan 37 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah AR. Shiddiq, h. 86 38 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah AR. Shiddiq, h. 87