Ekonomi Politik Awal Orde Baru
1 Ekonomi Politik Awal Orde Baru
1.1 Kondisi Ekonomi Politik Pasca G.30 S. Seperti telah disebutkan sebelumnya, pada masa awal kekuasaan rezim Orde Baru, Indonesia tengah berada ditengah keterpurukan ekonomi yang sangat parah. Berbagai pendapat menyebutkan bahwa jika melihat tingkat inflasi ekonomi Indonesia pada saat itu, sudah dapat dikatakan bahwa telah terjadi hiperinflasi. Hal Hill mencatat tingkat inflasi Indonesia sampai menjelang akhir dekade 1960an telah berada diatas
500%. 77 Sedangkan Arief Budiman menyebutkan antara tahun 1964-1965 tingkat inflasi Indonesia telah mencapai angka 732%. 78 Tingginya tingkat inflasi ini jelas sangat tidak
akan menguntungkan bagi sebuah rezim baru yang akan menitikberatkan program- programnya pada pembangunan dan peningkatan di bidang ekonomi.
77 Lihat tabel 1.2 indikator pembangunan ekonomi pertengahan 1960an sampai awal 1990, dalam Hal Hill, The Indonesia Economy Since 1966, Southeast Asia's Emerging Giant, Melbourne, Cambridge University
Press, 1996, hal:5. 78 Arief Budiman, Negara…opcit, hal:48.
Setelah diangkatnya Jendral Suharto secara resmi sebagai Presiden Republik Indonesia pada Maret 1968, maka dimulailah rencana pembangunan dibidang ekonomi. Rencana pembangunan ekonomi jangka panjang yang kemudian dikenal dengan REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) ini, secara jelas memiliki perbedaan yang sangat tajam dengan berbagai program pembangunan ekonomi yang pernah diajukan pada masa pemerintahan rezim Sukarno. Warna dan gaya ekonomi kapitalistis lebih nyata terlihat dalam program pembangunan ekonomi Orde Baru ini.
Sebagai sebuah rezim yang anti komunis, pada saat itu Orde Baru jelas banyak mendapat dukungan dan kemudahan dari negara-negara Barat. Untuk membiayai perbaikan ekonomi pada tahap awal, seperti pengendalian terhadap tingkat inflasi dan sebagainya. Pihak Indonesia juga mendapat bantuan dari IMF, diadakannya penjadwalan ulang (rescheduling) terhadap pembayaran hutang luar negeri serta diikuti dengan pembentukan sebuah lembaga donor internasional IGGI (Inter-Govermental Group for Indonesia).
Dalam pengembangan sistem ekonomi model kapitalistis pada masa awal Orde Baru, investasi asing menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang paling signifikan. Ketika itu pemerintah Orde Baru menilai bahwa pembukaan kesempatan dalam skala besar bagi para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk dapat memutar kembali roda perekonomian. Oleh sebab itu, pemerintah Orde Baru kemudian mengeluarkan kebijakan undang-undang tentang penanaman modal asing (PMA) pada bulan Januari 1967. Mengenai UU tentang PMA tersebut, M. Sadli menyatakan bahwa,
“...untuk memenuhi kebutuhan yang menyangkut pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, dalam undang-undang PMA pemerintah Indonesia menawarkan perangsang dan jaminan. Misalnya, bebas pajak, penurunan tarif pada faktor-faktor produksi yang diimpor dan lain sebagainya. Meski demikian UU tersebut juga tidak secara tegas memberikan jaminan bahwa pemerintah
Indonesia tidak akan menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.” 79
Di sisi lain Jeffry A.Winters, seorang pakar ekonomi politik dari NorthWestern University juga melihat bahwa, pada masa itu hanya ada dua kelompok investor swasta yang mempunyai sumber daya paling besar dan berpengalaman dalam produksi, yaitu Di sisi lain Jeffry A.Winters, seorang pakar ekonomi politik dari NorthWestern University juga melihat bahwa, pada masa itu hanya ada dua kelompok investor swasta yang mempunyai sumber daya paling besar dan berpengalaman dalam produksi, yaitu
permusuhan terhadap etnis Cina masih sangat tinggi. 80 Sebagai aktor sentral dalam bidang ekonomi, negara pada masa itu juga
mengeluarkan kebijakan ekonomi yang lebih menitikberatkan pada pembangunan sektor industri nasional yang didasarkan pada sumber-sumber utama, seperti baja, gas alam, pengeboran minyak dan alumunium. Selain itu juga dikembangkan berbagai industri substitusi impor. Keterlibatan negara yang besar dalam penentuan kebijakan perbaikan dan pembangunan ekonomi pada masa awal Orde Baru secara langsung ternyata menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tersendiri dalam struktur ekonomi nasional. Posisi negara yang menjadi relatif lebih kuat tersebut, juga telah memberikan keuntungan ekonomis yang besar kepada para pejabat negara.
Struktur ekonomi Indonesia awal Orde Baru juga ditandai dengan lahirnya sebuah kelompok teknokrat ekonomi. Kelompok teknokrat ekonomi yang kemudian banyak dikenal dengan nama "Mafia Berkley" ini, memiliki peran yang sangat besar dan penting dalam penentuan kebijakan ekonomi Orde Baru. Ketika Jendral Suharto masih menjadi ketua presidium kabinet pada tahun 1966, orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok teknokrat ini duduk menjadi anggota dalam Staf Pribadi (SPRI) bersama-sama dengan beberapa orang jendral kepercayaan Suharto. Mereka bertugas untuk menyusun rencana-rencana kebijakan pembangunan ekonomi yang akan dilakukan. Dalam perencanaan kebijakan ekonomi yang akan diambil oleh pemerintah Orde Baru, sebagian dari mereka menduduki jabatan-jabatan penting dalam kabinet yang dibentuk. Sedangkan sebagian lainnya duduk dalam lembaga negara yang dikenal dengan nama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang dibentuk tahun 1973.
Ketika berada pada awal-awal tahun keberadaannya sebagai pembuat kebijakan ekonomi, seringkali kebijakan yang dibuat oleh BAPPENAS berlawanan dengan keinginan atau rencana yang dibuat oleh IMF. Pihak IMF dan IBRD sendiri melihat bahwa ekonomi pasar bebas dengan diikuti pembatasan peran negara terutama dalam
79 Jeffry A. Winters, Power in Motion: Modal Berpindah, Modal Berkuasa, Jakarta, Sinar Harapan, 1999, hal:88.
80 Ibid, hal:76-77.
kebijakan moneter dan fiskal serta mempercayakan akumulasi modal kepada pasar, merupakan jalan keluar bagi Indonesia untuk dapat kembali menstabilkan perekonomiannya. Sedangkan di sisi lain para teknokarat BAPPENAS justru berpandangan sebaliknya. Perekonomian yang didasarkan pada ideologi pasar bebas tersebut akan dapat menimbulkan social cost yang besar. Mereka yang pada waktu itu lebih mengkonsentrasikan pada pertumbuhan ekonomi, stabilisasi mata uang dan perbaikan infrastruktur, berpendapat bahwa, kapitalisme di satu sisi memang merupakan energi dalam kekuatan pasar untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Tetapi secara bersamaan kapitalisme juga dianggap seringkali mengabaikan rasa keadilan sosial.
Setelah dibukanya kesempatan secara luas bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, kemudian pada Juli 1968 dikeluarkan sebuah undang-undang yang mengatur tentang penanaman modal dalam negeri (PMDN). Namun dalam perjalanannya justru hanya para pemodal domestik yang memiliki kedekatan hubungan dengan pusat-pusat kekuasaan politik yang mampu terus mengembangkan bisnisnya. Karena dari adanya hubungan kedekatan dengan para pejabat negara dan para birokrat, para pemodal dalam negeri tersebut mendapatkan berbagai kemudahan dan keistimewaan dalam menjalankan bisnisnya. Hal ini terjadi semenjak tahun 1968, terutama bagi para pemodal yang bergerak di bidang industri substitusi impor yang saat itu merupakan perhatian utama kebijakan para teknokrat BAPPENAS.
Undang-undang penanaman modal dalam negeri tersebut dibuat sebagai salah satu cara untuk memobilisasi modal yang dimiliki oleh para penguasa keturunan Cina. Dikatakan oleh Sarbini alasan mengapa UU ini dibuat ialah, agar dana-dana yang didapat oleh orang-orang etnis Cina tersebut melalui pertukaran mata uang ilegal, penyelundupan atau cara-cara ilegal lainnya bisa kembali dibawa masuk ke Indonesia dengan tanpa rasa takut. Dengan tujuan serupa juga dibentuk undang-undang tentang deposito berjangka, yang diharapkan bisa memacu investasi domestik tanpa menanyakan
asal usul uang tersebut. 81 Meski merupakan penanggung jawab utama perencana pembangunan ekonomi
Indonesia pada awal Orde Baru, para teknokrat BAPPENAS ini bukan berarti tidak mendapat halangan dalam menjalankan tugasnya. Di sisi lain mereka ini juga harus
81 Jeffry A.Winters, Power… opcit, hal:101-102.
berhadapan dengan dominasi militer. Karena bagaimanapun juga militer juga merupakan salah faksi politik yang sangat signifikan dalam konstelasi politik maupun ekonomi awal Orde Baru. Sebagaimana telah digambarkan pada bab sebelumnya, semenjak awal kekuasaan demokrasi terpimpin, militer telah menjadi satunya-satunya kelompok yang menguasai dan mengendalikan aset-aset utama negara (perusahaan-perusahaan negara). Dengan dikuasainya aset-aset negara tersebut, militer juga menjadi lebih leluasa dalam pemberian lisensi perdagangan dan produksi, kredit serta kontrak untuk membangun
perusahaan-perusahaan berskala besar, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Sutowo. 82 Hal ini kebanyakan diberikan pada para pengusaha keturunan Cina yang menjadi partner
mereka. Karenanya wajar jika dalam perkembangan konglomerasi di Indonesia lebih banyak didominasi oleh pengusaha keturunan Cina.
1.2. Konstelasi dan Aktor-Aktor Politik Awal Orde Baru. Pelaksanaan program stabilisasi ekonomi Indonesia awal Orde Baru secara umum tidak mungkin dipisahkan begitu saja dari kondisi dan situasi politik yang berkembang. Dalam konstelasi politik tahun-tahun pertama pasca kudeta dan awal kekuasaan Orde Baru, militer merupakan kekuatan sentral dalam konstelasi politik di Indonesia. Dominasi yang kian meluas dari pihak militer selama Orde Baru di bidang politik dan bidang- bidang lainnya dimulai secara "resmi" semenjak diadakannya seminar Angkatan Darat II tahun 1966 di Bandung. Dalam salah satu keputusan seminar tersebut disebutkan bahwa,
“Angkatan Darat, yang lahir dalam Revolusi dan dengan demikian mempunyai hak dan kewajiban untuk memikul tanggung jawab diluar bidang militer, telah terpaksa memperluas kegiatan non militernya. Selain itu mereka juga berkeyakinan bahwa harapan rakyat agar tercipta pemerintahan yang lebih baik berada di tangan Angkatan Darat. Karena itu mereka wajib memenuhi keinginan
dan harapan rakyat tersebut”. 83
Keyakinan seperti tersebut yang menjadi salah salah satu alasan mengapa dalam perkembangan politik Orde Baru Militer terutama Angkatan Darat, menjadi sebuah kekuatan politik yang dominan. Hasil lain yang didapat dari seminar tersebut ialah adanya konsep dwifungsi ABRI. Secara teoritis terlihat bahwa konsep ini hampir sama dengan kebijakan darurat militer yang pernah dikeluarkan pada masa Sukarno. Dwifungsi juga dapat dikatakan sebagai sebuah legitimasi bagi pihak militer Orde Baru untuk dapat
82 Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal:140.
turut serta secara aktif dalam masalah-masalah sosial politik dan juga ekonomi. Dalam definisi resmi militer, dwifungsi ABRI adalah fungsi-fungsi yang dimiliki dan melekat kepada ABRI sebagai kekuatan Hankam dan kekuatan sosial dalam rangka perjuangan
nasional untuk mencapai tujuan nasional. 84 Namun dalam perkembangan berikutnya keberadaan dwifungsi ini tidak hanya
berimplikasi pada persoalan-persoalan politik. Tetapi lebih jauh lagi keberadaan konsep dwifungsi tersebut selama Orde Baru juga memberikan legitimasi bagi militer untuk turut serta dalam bidang-bidang sosial ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Karena itu sangat wajar jika di sisi lain keberadaan dwifungsi ini juga dianggap sebagai kontra posisi atas paham supremasi sipil. Meski demikian nampaknya rezim Orde Baru belum cukup puas dengan keberadaan dwifungsi tersebut sebagai alat legitimasi peran sosial politik bagi militer. Pada tahun 1982 disahkan pula sebuah Undang-Undang No:20 tahun 1982, yang salah satu pasalnya mengatakan bahwa militer (ABRI) merupakan kekuatan sosial yang bertindak selaku dinamisator dan stabilisator. Sehingga militer memiliki
keabsahan untuk memperoleh posisi di dalam lembaga legislatif dan eksekutif. 85 Konstelasi politik Indonesia awal Orde Baru juga tidak terlepas dari berbagai
konflik intern yang timbul di tingkat elit kekuasaan. Jika dibidang perencanaan ekonomi kita mengenal BAPPENAS, maka secara politik pada awal Orde Baru juga terdapat lembaga-lembaga negara maupun non negara yang juga berperan cukup signifikan dalam politik Indonesia. Dari sisi birokratis, rezim Orde Baru pada awal kekuasaannya menjalankan pemerintahannya dengan didukung oleh dua lembaga utama. Secara finansial pemerintahan Orde Baru didukung oleh keberadaan Pertamina sebagai satu- satunya perusahaan minyak negara dan Opsus (Operasi Khusus), yaitu sebuah lembaga pusat operasi intelijen politik dan ekonomi dibawah pimpinan Jendral Ali Murtopo. Opsus tersebut pada prakteknya mendapat "dukungan" dari sebuah lembaga non pemerintah yang dikenal dengan nama CSIS (Centre for Strategic and International Studies). Lembaga yang didukung oleh beberapa pengusaha dan intelektual keturunan Cina seperti Harry Tjan Silalahi, Liem Bian Koen, Liem Bian Kie dan J.Panglaykim ini,
83 Ulf Sudhaussen, Politik…opcit, hal:422-423. 84 M Najib Azca, Hegemoni…opcit, hal:4. 85 Ibrahim Ambong, "Hubungan ABRI-Golkar", dalam Jurnal Ilmu Politik no:6, Jakarta, PT Gramedia,
1990, hal:35.
pada perkembangan selanjutnya juga menjadi oposisi bagi kebijakan yang dikeluarkan oleh BAPPENAS. 86 Untuk penanganan masalah keamanan dalam negeri, pada awal Orde
Baru juga dibentuk sebuah lembaga yang disebut dengan Kopkamtib (Komando Keamanan dan Ketertiban). Komando yang dipimpin oleh Jendral Sumitro ini pada
perkembangannya juga seringkali terlibat konflik dengan Opsus. 87 Masalah lain yang menjadi persoalan politik awal Orde Baru adalah partai politik.
Harapan untuk bisa kembali menjadikan partai politik sebagai aktor politik yang signifikan seperti pada masa demokrasi parlementer, ternyata tidak bisa tercapai. Militer sebagai kelompok yang dominan dalam masa awal pemerintahan Orde Baru nampaknya tidak terlalu menginginkan hal tersebut. Sedangkan Suharto sebagai presiden justru menginginkan partai-partai politik yang ada tersebut untuk menggabungkan dirinya menjadi tiga golongan, yaitu golongan nasionalis dan non Islam, golongan spiritual (partai-partai Islam) dan golongan karya. Karena itu dalam perkembangan selanjutnya terjadi penyederhanaan partai politik (fusi) menjadi tiga partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya (Golkar). Mencermati peran militer yang besar dalam pembentukan Golkar, dapat dikatakan bahwa kelahiran Golkar merupakan suatu bentuk legitimasi lain bagi militer untuk dapat terus berperan dalam masalah-masalah politik. Maka wajar jika pada awal Orde Baru militer meduduki posisi-posisi penting dalam Golkar. Keterlibatan yang besar dari pihak militer dalam percaturan politik yang dimainkan oleh Golkar jelas memberikan keuntungan yang sangat besar pula pada Golkar. Dengan menjadikan militer sebagai salah satu pilar pendukung utamanya, Golkar selama Orde Baru telah berhasil menjadikan dirinya sebagai mayoritas tunggal di arena politik Indonesia. Sehingga sangat terlihat bahwa Golkar dan kepentingan sosial politik militer merupakan dua hal yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya, terutama dalam kekuasaan politik.
Akhirnya kembali pada persoalan stabilisasi dan perbaikan ekonomi Indonesia, secara jelas terlihat bahwa ternyata para aktor-aktor politik dan situasi serta kondisi politik Indonesia awal Orde Baru juga sangat berpengaruh dalam penciptaan struktur
86 Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal:148. 87 Mengenai persaingan antara kedua institusi tersebut lihat Michael R.J Vatikiotis, Indonesian Politics
Under SuhartoOrder, Development and Pressure for Change, London, Routledge, 1994, hal:75. Mengenai Under SuhartoOrder, Development and Pressure for Change, London, Routledge, 1994, hal:75. Mengenai
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mulai pertengahan 1980an, secara umum militer sudah tidak memiliki pengaruh yang terlalu signifikan seperti masa-masa sebelumnya. Karena semenjak Suharto telah berhasil memantapkan kekuasaannya, maka sedikit demi sedikit peran militer telah mengalami reduksi. Selain itu militer juga telah diposisikan sebagai alat untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan Suharto beserta keluarganya. Diakui oleh kalangan militer sendiri bahwa selama Suharto berkuasa, militer merasa telah dijadikan alat untuk mempertahankan status quo kekuasaan
Suharto. 88 1.3.Oil Boom Dan Implikasinya Pada Perekonomian Indonesia.
Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan dalam perkembangan ekonomi politik Indonesia pada masa Orde Baru adalah masa boom minyak. Boom minyak (oil boom) ini menjadi sangat penting karena implikasi yang ditimbulkan, baik selama sampai pasca oil boom, dalam perekonomian Indonesia sangat besar. Masa oil boom ialah tahun-tahun dimana harga minyak mentah dipasaran dunia meningkat dengan drastis. Sehingga bagi negara-negara pengekspor minyak seperti Indonesia, keadaan seperti ini jelas akan memberikan keuntungan keuangan yang besar. Peningkatan harga minyak ini secara
Malari lihat juga pledoi Sjahrir tanggal 7 April 1975 tentang peristiwa Malari, dalam Sjahrir, Pikiran Politik Sjahrir, Jakarta, LP3ES, 1994, hal:3-24.
88 "Dwifungsi ABRI, Antara Klaim Historis dan Privelese", Kompas 1 Oktober 1998.
periodik terjadi dua kali. Boom minyak pertama terjadi antara tahun 1973-1974, sedang yang kedua antara tahun 1979-1980/1.
Dalam mencermati boom minyak ini yang menarik ialah apa dan bagaimana implikasi yang ditimbulkan oleh adanya boom minyak tersebut, terhadap struktur ekonomi Indonesia. Dari sini akan terlihat perkembangan yang sangat pesat dari apa yang disebut dengan pola patronase bisnis. Keterlibatan militer dalam ekonomi, terutama dalam penguasaan sumber-sumber keuangan negara termasuk Pertamina, jelas telah memberikan keuntungan yang sangat besar bagi pihak militer. Baik secara institusional maupun secara personal. Pertamina sebagai satu-satunya badan resmi pengelola sektor migas di Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Ibnu Sutowo, ketika terjadi boom minyak menjadi "lahan basah" bagi para pejabat negara terutama para pejabat militer dan sekaligus sebagai "sapi perah" bagi proyek-proyek besar lainnya.
Pada akhir tahun 1960an Pertamina (Permina--perusahaan minyak negara-- waktu itu) telah menjadi sumber pendanaan terpenting bagi militer. Namun sebenarnya hal ini telah berlangsung dari semenjak tahun 1957, yaitu ketika militer mulai menguasai perusahaan-perusahaan bekas milik Belanda yang dinasionalisasi. Dimulai ketika Nasution selaku Kepala Staf Angkatan Darat memerintahkan Kolonel Ibnu Sutowo untuk mengambil alih sebuah ladang minyak di utara Sumatra dengan dukungan dana dari sebuah kelompok pengusaha dari Jepang dalam pengelolaannya. Dengan dominasi yang besar dari pihak militer pada awal Orde Baru, Pertamina kembali menjadi sumber pendanaan militer. Setelah dikuasai oleh AD dan membeli Shell pada tahun 1965, berbagai kontrak bagi hasil dengan Caltex dan Stanvac mulai dilakukan oleh Pertamina, terutama dalam pengelolaan eksplorasi minyak lepas pantai. Karena banyak bertentangan dengan liberalisasi ekonomi, maka banyak perusahaan-perusahaan minyak internasional tersebut yang mengundurkan diri. Meski sempat menghadapi beberapa masalah dengan kontrak-kontrak tersebut, Pertamina akhirnya kembali mendapat kepercayaan dari beberapa perusahaan minyak internasional setelah Mobil Oil menandatangani kontrak pada bulan Oktober 1968. Sampai 1975 tercatat Pertamina telah melakukan kerjasama dengan 35 perusahaan asing. Dengan hasil yang di dapat dari berbagai kontrak tersebut, Pertamina kemudian melanjutkankan pembangunan pabrik baja Krakatau Steel, menanamkan modal di proyek petrokimia, membangun daerah industri dan turisme di
Batam (tahun 1970an), membangun rumah sakit di Jakarta, stasiun TV di Medan, stadion olahraga di Palembang, mesjid di UI dan Bina Graha. 89
Sebagai sumber pendapatan keuangan utama militer pada awal Orde Baru, Pertamina benar-benar menjadi sumber pembiayaan kebutuhan organisasi militer (Angkatan Darat) dan terutama para pimpinannya. Dalam persoalan pertanggung jawaban, Ibnu Sutowo sebagai presiden direktur Pertamina hanya bertanggung jawab pada pimpinan militer. Jadi meski merupakan perusahaan negara, Pertamina ketika dibawah Ibnu Sutowo dalam prakteknya sudah tidak banyak berbeda seperti layaknya perusahaan-perusahaan milik swasta lainnya. Sumber pendapatan lain yang dimiliki oleh pihak militer pada masa itu ialah Bulog (Badan Urusan Logistik). Bulog dibawah pimpinan Brigadir Jendral Achmad Tirtosudiro sebenarnya telah menjadi sumber pemasukan dana yang juga penting bagi militer. Namun jika dilihat dari segi jumlah yang dapat diberikan pada kas Angkatan Darat, maka Permina merupakan sumber pemasukan terbesar sejak 1960an sampai tahun 1974. Selain kedua badan tersebut, juga ada sebuah PT yang juga disponsori oleh AD, yaitu PT Berdikari. Perusahaan ini sendiri merupakan warisan dari Jend. Achmad Yani, yang kemudian dikelola oleh Brigjen Suhardiman. Meski telah mendapatkan berbagai kemudahan seperti mendapat izin untuk mengimpor mobil mewah dan juga dalam pendirian Bank Dharma Ekonomi, yang akhirnya runtuh
tahun 1969. 90 Selain itu, seperti yang telah disebutkan diatas, Ibnu Sutowo juga mampu
memberikan lisensi perdagangan dan produksi serta kredit untuk mendirikan perusahaan besar pada para pengusaha keturunan Cina. Hal tersebut terjadi selama kurang lebih dua puluh tahun tahun sampai menjelang tahun 1974, ketika mencuatnya kasus korupsi yang
menimpa Pertamina. 91 Di sisi lain, krisis yang menimpa Pertamina ini juga dinilai sebagai pertarungan untuk mendapatkan hak kendali atas keuangan perusahaan minyak milik
negara tersebut, antara para teknokrat BAPPENAS yang merupakan aktor sentral dalam pembuatan strategi pembangunan ekonomi negara pada awal Orde Baru dengan para pimpinan militer yang banyak memegang kendali atas perusahaan-perusahaan milik
89 Harold Crouch, Militer…opcit, hal:311-312. 90 Ibid, hal: 317. 91 Mengenai kasus korupsi yang melanda Pertamina lihat Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit,
hal:153.
negara. 92 Namun yang terpenting ialah, ternyata dengan terjadinya boom minyak telah membawa banyak implikasi dalam struktur ekonomi Indonesia, dan salah satu implikasi
penting yang akan menjadi perhatian dalam bab ini ialah semakin berkembangnya pola patronase bisnis.
Sebelum melihat lebih jauh keberadaan patronase bisnis tersebut ada baiknya kita lihat dahulu bagaimana kebijakan ekonomi yang diambil serta struktur ekonomi Indonesia pasca boom minyak. Berangkat dari pengertian istilah yang diberikan oleh Yoshihara Kunio tentang ersatz capitalism (kapitalisme semu) yang banyak terjadi di negara-negara Asia Tenggara, terlihat bahwa terjadinya boom minyak telah mengakibatkan peran negara Orde Baru dalam struktur ekonomi Indonesia semakin besar dan kuat. Oleh Arief Budiman disimpulkan bahwa, Kunio melihat ada dua hal yang menyebabkan timbulnya kapitalisme semu tersebut. Pertama ialah karena di negara- negara tersebut peran pemerintah begitu besar sehingga mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis. Hal negatif lain yang ditimbulkan dari besarnya peran pemerintah atau negara ini ialah adanya pencari rente di kalangan birokrat, yang secara langsung dapat menghambat perkembangan para usahawan sejati. Sedangkan di sisi lain justru muncul pengusaha-pengusaha keturunan Cina yang sukses sebagai akibat dari adanya koneksi-koneksi dengan para birokrat untuk mendapatkan fasilitas. Kedua ialah, kapitalisme di Asia Tenggara tidak didasarkan pada perkembangan teknologi yang memadai. Sebagai akibatnya tidak terbentuk industrialisasi yang mandiri.
Sedang industrialisasi sangat dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi. 93 Dalam kasus negara Orde Baru ketika dan pasca boom minyak jelas terlihat
adanya keterlibatan negara yang sangat besar. Namun dengan besarnya peran negara tersebut di sisi lain justru mengakibatkan tidak munculnya kelompok-kelompok pemodal domestik yang mandiri. Kelompok-kelompok pemodal domestik yang justru muncul ialah para pemodal atau pelaku-pelaku bisnis yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi pada negara. Sehingga pada akhirnya kapitalisme yang berkembang adalah kapitalisme semu. Tingkat ketergantungan yang tinggi pada negara serta berkembangnya
92 John Bresnan, Managing Indonesia: The Modern Political Economy, New York, Colombia University Press, 1993, hal:165.
93 Arief Budiman, "Kapitalisme Ersatz: Sebuah Pengantar", dalam Yoshihara Kunio, Kapitalisme…opcit, hal:xiv.
kapitalisme semu tadi, ternyata telah pula menyebabkan negara Orde Baru menjadi sebuah negara yang seringkali dikatagorikan sebagai negara Otoriter Birokratik Rente (OB Rente). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, para pejabat negara telah berhasil mengambil keuntungan ekonomis dari kemunculan patronase bisnis tersebut.
Menyusul jatuhnya harga minyak mentah pada pertengahan dekade 1980an, telah mengharuskan pemerintah Orde Baru untuk segera mengubah strategi pembangunannya. Strategi industri substitusi impor yang dijalankan sebelumnya menjadi terhambat. Hal ini terjadi karena anggaran negara yang sangat tergantung pada minyak mengalami defisit. Oleh sebab itu, Orde Baru kemudian mengganti kebijakan ekonominya dengan strategi yang berorientasi ekspor, terutama mengembangkan industri non minyak. Selain itu negara juga memperbanyak sumber-sumber pendapatan yang berasal dari pajak, seperti pajak pertambahan nilai, pajak perusahaan dan perorangan. Dalam hal investasi, pemerintah Orde Baru kemudian juga mendorong keterlibatan investasi asing dengan
mencabut berbagai pembatasan yang ada sebelumnya. 94 Pada masa-masa inilah yang oleh sebagian kalangan seringkali dikatakan sebagai periode kedua liberalisasi ekonomi
Indonesia.