Memasuki Krisis Ekonomi Asia.

1 Memasuki Krisis Ekonomi Asia.

1.1 Akhir Dari Sebuah Era. Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar bahwa abad ke-21 adalah abad Asia Pasifik. Namun pada tahun-tahun terakhir abad ke 20, negara-negara di Asia seakan dikejutkan oleh sebuah krisis ekonomi yang menimpa beberapa negara di kawasan tersebut. Serangan krisis ekonomi tersebut nampaknya tidak main-main. Bahkan Korea Selatan yang seringkali dikatakan sebagai negara industri baru, juga turut merasakan

krisis ekonomi tersebut. Seperti sebuah efek domino, negara-negara yang terkena krisis juga terus bertambah, tidak terkecuali Indonesia.

Indonesia yang secara geopolitik merupakan sebuah negara besar di kawasan Asia Tenggara, ternyata secara ekonomi tidak cukup “besar dan kuat” untuk mampu menahan arus krisis tersebut. Justru sebaliknya, Indonesia kini merupakan sebuah negara yang paling menderita apalagi kalau dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang juga terkena krisis ekonomi. Jika demikian adanya, lantas yang mungkin pertanyaan muncul dibenak kita adalah bagaimana krisis ekonomi Asia tersebut bisa terjadi.

Untuk dapat memahami penyebab krisis ekonomi Asia tersebut, hal pertama yang kita harus cermati ialah pertumbuhan ekonomi regional Asia, terutama selama dekade 1990an. Pertumbuhan ekonomi regional yang pesat inilah yang kemudian memunculkan sebuah istilah “The Asian Miracle”. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Asia, terutama Asia

137 Lihat prediksi Econit yang menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia akan pulih dalam jangka waktu setahun. Dalam “Ekonomi Indonesia Pulih akhir 1998”, Kompas, 28 Oktober 1997.

Timur tersebut ternyata di sisi lain dikatakan sebagai sebuah pertumbuhan yang negatif. Karena sejak awal pertumbuhannya pada awal 1990an, yaitu ketika pertumbuhan tersebut mulai memasuki tahap tinggal landas, pertumbuhan tersebut dibiayai secara besar- besaran dengan dasar pay-as-you-go, yaitu pembiayaan pertumbuhan ekonomi yang melampaui jumlah tabungan pada tiap-tiap negara. Investasi asing yang masuk kebanyakan berbentuk “foreign direct investment”, seperti pembangunan berbagai

industri untuk ekspor. 138 Krugman sendiri tidak secara tegas menyebutkan penyebab terjadinya krisis Asia

tahun 1997. Namun lebih lanjut ia menggambarkan bahwa, awal penyebab terjadinya krisis yang dialami oleh negara-negara di Asia dapat dicermati dari beberapa fenomena yang muncul selama dekade 90an. Pertama adanya fenomena berfluktuasinya nilai Yen terhadap Dollar AS, antara tahun 1995-1997. Karena sebagian besar produk-produk ekspor Asia dinilai dengan Dollar AS, maka hal ini menyebabkan produk-produk tersebut menjadi mahal di pasar Jepang, apalagi jika bersaing dengan produk Jepang. Kedua, devaluasi Yuan Cina tahun 1994. Ketiga, terjadinya persaingan buruh murah antara Cina, Malaysia dan Thailand. Keempat, turunnya permintaan barang elektronik umumnya dan semikonduktor pada khususnya di pasaran dunia. Padahal produk-produk tersebut merupakan spesialisasi barang-barang ekspor Asia. Selain itu resesi ekonomi antara tahun 1990-91, sedikit banyak juga turut memberikan kontribusi pada penurunan ekspor Asia.

Meski demikian, dari berbagai penjelasan Krugman, ada dua hal yang merupakan pokok penyebab terjadinya krisis Asia, terutama Asia Tenggara. Pertama kecenderungan terjadinya bubble economy di beberapa negara Asia Tenggara tersebut, seperti Thailand dan Indonesia. Kedua ialah terjadinya kepanikan ekonomi terutama dalam persoalan mata uang. Di Thailand hal tersebut dapat mulai terlihat ketika pada tahun 1997 bank sentral Thailand mengadakan devaluasi baht. Hal ini mengakibatkan permintaan baht meningkat,

dan sekaligus pula meningkatkan pembelian mata uang asing. 139 Kepanikan serupa juga terjadi di Indonesia. Terutama setelah munculnya kebijakan untuk melikuidasi 16 bank

tanggal 1 November 1997.

138 Paul Krugman, The Return of Depression Economics, New York, W.W Norton & Comp, 1999, hal:27. Lihat pula teori ekonomi pembangunan Harrod-Domar tentang tabungan dan investasi dalam Arif

Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta, PT Gramedia, 1995, hal:18-20. 139 Ibid, hal:86-98.

Sementara itu, belajar dari pengalaman krisis yang dialami Amerika Latin tahun 80-90an, Hal Hill memberikan hipotesanya bahwa ada beberapa argumen awal yang dapat menjelaskan mengapa terjadi krisis ekonomi di Asia. Pertama, sifat pasar keuangan internasional yang tidak stabil, dan sentimen pasar cenderung untuk sulit dikendalikan, yang sekaligus merupakan penggambaran dari eforia dan kepanikan. Kedua, penjelasan eksplisit tentang perkembangan di dalam pasar modal internasional di tahun 1990an, telah pula membuat pasar menjadi tidak stabil. Perkembangan tersebut terjadi terutama juga disebabkan adanya faktor dorongan dari OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) kepada para pemodal untuk masuk ke dalam pasar global. Meningkatnya arus modal --yang sebelumnya 9 milyar Dollar ditahun 80an menjadi lebih dari 240 milyar Dollar menjelang krisis--, ternyata di satu sisi juga telah membuat pasar semakin tidak stabil. Persoalan ini sendiri sangat berkaitan dengan kebijakan moneter dari AS dan Jepang.

Argumen ketiga yang dikatakan Hill ialah, bahwa terjadinya krisis ekonomi Asia tersebut ternyata juga dapat dikatakan sebagai salah satu pertanda kelemahan dari para pembuat kebijakan makroekonomi. Keempat ialah sektor keuangan domestik negara. Mengutip Krugman, menurut Hill yang juga patut dicermati ialah, memang benar di satu sisi ada “jaminan” yang diberikan oleh pemerintah, namun di sisi lain pemerintah juga tidak memberikan regulasi yang mendukung kebijakan tersebut. Jadi misalnya saja dalam kasus perbankan di Indonesia. Dalam masa-masa pra-krisis tidak satupun dari operasional sistem perbankan Indonesia yang memiliki jaminan regulasi dan kepastian hukum yang baik. Bahkan laporan dari sektor finansial seringkali menjadi tidak kredibel. Kelima, Hill juga memberi kritik atas apa yang disebutnya dengan “The Asian style”, yaitu tentang kapitalisme kroni (crony capitalism), atau yang dalam wacana reformasi Indonesia dikenal dengan istilah KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Terakhir menurut Hill salah satu penyebab meluasnya krisis ekonomi Asia ini ialah kesalahan dalam penanganan

awal krisis, terutama oleh para pemerintah negara-negara yang terkena krisis. 140 Dari penjelasan keduanya nampak bahwa ada kompleksitas persoalan, yang

muncul dalam mencermati krisis ekonomi Asia di akhir dekade 1990an ini, dimana antara

140 Hall Hill, The Indonesian Economy in Crisis: Causes, Consequences and Lessons, Singapore, ISEAS, 1999, hal:48-52.

satu hal dengan lainnya tidak bisa dipisahkan. Sehingga kita tidak dapat dengan mudah menunjukan apa penyebab utama terjadinya krisis ekonomi Asia. Dari kompleksitas persoalan tersebut penulis melihat, bahwa pada dasarnya ketika kita hendak memahami penyebab krisis ini, kita tidak dapat melihatnya secara umum. Dengan kata lain kita harus melihatnya kasus per kasus. Sebab setiap negara yang terkena krisis memiliki spesifikasi penyebab terjadinya krisis yang berbeda-beda. Jadi rasanya sulit membayangkan apabila dalam penanganannya digunakan prinsip one-size-fits-all (satu ukuran untuk semua). Namun demikian hampir dapat dipastikan bahwa penyebaran yang cepat dari krisis ini sendiri merupakan salah satu implikasi langsung dari makin mengglobalnya ekonomi dunia yang dapat dengan mudah menembus batas-batas negara.

1.2 Krisis Ekonomi Indonesia; Implikasi dan Penyebabnya. Indonesia yang juga merupakan salah satu negara yang berada di kawasan Asia, pada perkembangannya ternyata juga telah menjadi salah satu korban dari krisis ekonomi tersebut. Jadi jika kembali mencermati bagaimana krisis tersebut berkembang dan meluas, maka terlihat bahwa secara khusus negara-negara di Asia Tenggara mulai merasakan serangan krisis tersebut ketika pada Juli 1997 Baht Thailand mengalami fluktuasi. Hal ini terus berlanjut dengan meningkatnya modal yang keluar (capital

outflows). Dengan terjadinya fluktuasi tersebut, maka berakhir pula keberhasilan pemerintah Thailand yang telah mempertahankan posisi nilai tukar selama 13 tahun. 141

Fluktuasi mata uang tersebut nampak mulai menularkan “penyakitnya” di Indonesia ketika Rupiah mengalami kejatuhan sampai 7% pada tanggal 21 Juli 1997, dan mulai berfluktuasi pada bulan-bulan berikutnya. Perlahan tapi pasti nilai Rupiah terus mengalami kemerosotan, dan nilai Dollar AS terus merangkak naik. Dari sebelumnya yang berkisar antara Rp 2400 per 1 Dollar AS pada akhir Juli 1998, jatuh hampir mendekati Rp 16.000 per 1 Dollar AS pada Juli 1998 (lihat grafik IV.I).

Jika dicermati posisi nilai tukar Rupiah yang relatif stabil pada masa sebelumnya menjadi nampak terlihat sebagai sesuatu yang semu atau palsu. Bahkan para pengamat ekonomi sendiri menilai bahwa stabilnya nilai tukar tersebut justru merupakan sebuah indikasi Rupiah telah mengalami overvalue pada tingkat yang tinggi. Overvalue Rupiah

141 Douglas Sikorski, “The Financial Crisis in Indonesia: Explanations and Controversies”, dalam The Indonesian Quarterly, Vol: XXVI. No:4, 4 th Quarter, Jakarta, CSIS, 1998, hal:365.

tersebut terjadi tidak terlepas dari terlalu seringnya pemerintah Orde Baru untuk menciptakan perhitungan-perhitungan “rekayasa”, sehingga hasil yang didapatpun juga merupakan hasil “rekayasa”. Salah satu dari perhitungan rekayasa tersebut adalah perhitungan tentang tingkat inflasi, sehingga menyebabkan angka inflasi yang

dikeluarkan pemerintah seringkali dikatakan tidak mencerminkan angka riil inflasi. 142

Grafik IV.I Fluktuasi nilai Rupiah terhadap Dollar AS

Feb-99 Mar-99 2000

Aug-97 Sep-97 Oct-97 Nov-97

RP/1US$

142 Alexander Irwan, “Bad Governance” dan Keruntuhan Ekonomi di Indonesia”, dalam Alexander Irwan,

Sumber:Tabel 1 dalam Sjahrir, Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal:279-280, dan dalam The World Bank, Indonesia From Crisis to Opportunity, 1999, Figure 1.1, hal:1.2. Ket: nilai tukar Rupiah per bulan dilihat pada nilai tukar terakhir bulan tersebut, yaitu antara tanggal 27-31.

Kenaikan tingkat inflasi ini tersebut jelas akan berhubungan langsung dengan penentuan tingkat deprisiasi Rupiah. Selain itu inflasi juga digunakan sebagai indikator tingkat kemakmuran masyarakat, disamping jumlah penduduk yang hidup berada dibawah garis kemiskinan. Dengan demikian wajar jika pemerintah Orde Baru merasa sangat berkepentingan untuk “mengendalikan” angka tingkat inflasi sampai dibawah dua digit. Terjadinya overvalue Rupiah selama kurang lebih 20 tahun --jika dihitung semenjak berakhirnya boom minyak--, telah menyebabkan harga barang-barang impor menjadi lebih murah, disamping karena adanya hambatan birokratis dalam usaha peningkatan produksi dalam negeri.

Sementara itu dari sisi pertumbuhan ekonomi terjadinya krisis ekonomi ini memiliki implikasi yang lebih mendalam lagi. Untuk pertama kalinya semenjak Orde Baru berkuasa, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi minus 4%. Hal ini dapat diartikan bahwa telah terjadi penurunan produksi nasional yang secara langsung berakibat

pada penurunan jumlah pendapatan. 143 Dengan terjadinya fluktuasi nilai Rupiah tersebut, maka dapat dipastikan bahwa

berbagai implikasi sosial ekonomi akan segera muncul. Implikasi atau efek samping pertama krisis ekonomi ini secara jelas dapat dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi. Misalnya saja dalam RAPBN 1998/1999, pertumbuhan ekonomi diprediksikan tetap berada pada posisi 4%. Sedang kontraksi yang terjadi diperkirakan sebesar 13%-14% di tahun 1998. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Di beberapa sektor, kontraksi yang terjadi telah mencapai 21,4%. Bahkan kontraksi yang terjadi pada sektor konstruksi mencapai 35,4%. Jadi dari sisi pertumbuhan ekonomi terlihat bahwa sektor-sektor non- perdagangan seperti properti, konstruksi dan juga sektor finansial, merupakan sektor- sektor yang paling merasakan efek samping dari terjadinya krisis ini. Selain itu pada sektor manufaktur, terutama yang masih banyak mengandalkan komponen impor, juga

Jejak-Jejak Krisis Di Asia: Ekonomi, Politik, Industrialisasi, Jakarta, Kanisius, 1999, hal: 202. 143 Sjahrir, “Makroekonomi Indonesia dalam Krisis:Implikasi bagi Dunia Usaha”, dalam Sjahrir,

Krisis…opcit, hal:97.

turut merasakan hal yang sama. Sementara itu pada sektor-sektor seperti pertanian, perikanan, kehutanan dan sebagainya relatif tetap dapat bertahan di tengah krisis ekonomi seperti ini.

Implikasi kedua dapat dilihat pada kenaikan tingkat inflasi. Sejak terdeprisiasinya rupiah (Desember 97-Januari 98) sampai 500-600%, maka tingkat inflasi juga meningkat sampai 70% dalam 8 bulan pertama. Bahkan ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, inflasi meningkat mencapai sekitar 90%. Peningkatan inflasi ini pada awalnya merupakan efek samping dari terjadinya deprisiasi nilai Rupiah dan berkurangnya suplai bahan makanan. Namun dalam perkembangannya kepanikan masyarakat yang berlanjut dengan terjadinya rush terhadap sejumlah kebutuhan pokok juga turut memicu peningkatan inflasi. Hilangnya kepercayaan terhadap sistem perbankan, yang ditandai dengan terjadinya rush di berbagai bank nasional menyusul dilikuidasinya 16 bank, serta peningkatan jumlah uang beredar sebagai akibat adanya kebijakan untuk mencetak uang baru, merupakan faktor lain yang secara langsung juga berakibat pada peningkatan tingkat inflasi sampai akhir tahun 1998.

Ketiga ialah peningkatan likuiditas dan suplai uang. Karena seperti dijelaskan di atas, untuk mengantisipasi lonjakan permintaan uang yang beredar akibat terjadinya rush, maka bank sentral terpaksa melakukan intervensi untuk mendukung likuiditas sistem perbankan yang ada. Salah satu bentuk intervensi yang dilakukan oleh bank sentral dalam hal ini ialah dengan mengeluarkan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Selain itu untuk menanggapi deprisiasi nilai Rupiah yang cepat tersebut, bank sentral juga menaikan suku bunga rata-ratanya dua kali lipat, dari 15% menjadi 30%. Meski demikian ternyata peningkatan permintaan uang tersebut ternyata tidak hanya terjadi pada Rupiah. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa mata uang asing terutama Dollar AS. Nilai deposito dalam bentuk Dollar AS meningkat dari US$25 milyar menjadi US$30 milyar.

Terakhir, implikasi yang paling jelas ditimbulkan dari adanya krisis ekonomi tersebut ialah terjadinya perubahan besar-besaran pada nilai tukar rata-rata Rupiah terhadap sejumlah mata uang asing. Seperti digambarkan diatas, semenjak terjadinya fluktuasi sejumlah mata uang regional, Rupiah tampak terus mengalami deprisiasi. Meski demikian selain disebabkan adanya faktor fluktuasi mata uang regional yang turut menyebabkan deprisiasi Rupiah, pencetakan uang baru pada Januari dan Februari 1998 Terakhir, implikasi yang paling jelas ditimbulkan dari adanya krisis ekonomi tersebut ialah terjadinya perubahan besar-besaran pada nilai tukar rata-rata Rupiah terhadap sejumlah mata uang asing. Seperti digambarkan diatas, semenjak terjadinya fluktuasi sejumlah mata uang regional, Rupiah tampak terus mengalami deprisiasi. Meski demikian selain disebabkan adanya faktor fluktuasi mata uang regional yang turut menyebabkan deprisiasi Rupiah, pencetakan uang baru pada Januari dan Februari 1998

Implikasi lain yang dapat dilihat dari terjadinya krisis ini ialah dalam penanganan masalah hutang luar negeri. Apabila kita cermati masalah hutang luar negeri ini secara lebih mendalam, maka kita akan segera menyadari bahwa sebenarnya kemapanan dan pertumbuhan tingkat ekonomi yang mungkin dirasakan oleh sebagian masyarakat selama Orde Baru, adalah salah satu bagian dari “keberhasilan” rezim terus untuk menciptakan hutang-hutang baru. Betapa tidak, karena misalnya saja pada kenyataan defisit dalam setiap APBN, selalu berhasil ditutup oleh pengadaan hutang luar negeri. Sebagai akibatnya dari hutang luar negeri yang hampir seluruhnya dinilai dalam Dollar AS, maka secara otomatis dari sisi Rupiah jumlah hutang yang harus dikembalikan akan bertambah.

Jika dicermati, penggelembungan jumlah hutang luar negeri Indonesia sampai November 1998 telah mencapai lebih dari US$110 milyar. Angka ini terdiri dari hutang lama sebesar US$53 milyar, bantuan IMF dan negara-negara donor sebesar US$43 milyar dan hutang dar CGI yang US$8 milyar. Bila dihitung dengan kurs Rp7000, maka jumlah hutang luar negeri Indonesia mencapai Rp 770 trilyun atau 177% dari PDB tahun

1997. 145 Selanjutnya yang juga layak untuk dicermati ialah implikasi sosial dari krisis

ekonomi ini. Sebagai sebuah krisis, nampaknya krisis ekonomi yang tengah melanda Indonesia ini telah semakin memperdalam kesenjangan ekonomi yang telah banyak terjadi sebelumnya. Karena, pada masa krisis seperti ini akan semakin banyak jumlah orang yang kehilangan pekerjaannya. Persoalan ini disebabkan karena perusahaan dimana ia bekerja tidak dapat lagi berproduksi atau bahkan mengalami kebangkrutan. Hal itu berarti akan menambah jumlah angka pengangguran di Indonesia. Jika hal ini terus terjadi, maka jelas akan mempengaruhi tingkat pendapatan dan kehidupan keluarga para pekerja tersebut. Sebagai akibat selanjutannya, bukan mustahil apabila jumlah anak-anak yang kekurangan gizi dan putus sekolah akan terus bertambah. Sehingga munculnya kekhawatiran tentang adanya “generasi yang hilang” (the lost generation) juga kian

144 Tubagus Feridhanustyawan, “Social Impact of the Indonesian Economic Crisis”, dalam Indonesia Quarterly…opcit, hal: 329-337

145 Kwik Kian Gie, “Utang, Utang Dan Kemplang”, dalam Kwik kian Gie, Ekonomi Indonesia: Dalam Krisis dan Transisi Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1999, hal:77-78.

menjadi kenyataan. Selain itu dengan terjadinya krisis ekonomi ini secara langsung juga telah menghentikan berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah.

Mencermati berbagai implikasi yang ditimbulkannya seperti tersebut diatas, maka hal tersebut akan semakin meyakinkan kepada kita bahwa ada ada berbagai kesalahan dan kegagalan oleh pemerintah sebelumnya dalam pengelolaan negara. Sehingga kini kita dapat merasakan sebuah krisis ekonomi yang sangat parah dan berkepanjangan. Secara umum penyebab terjadinya krisis ekonomi di Indonesia dapat dibagi menjadi dua faktor, yaitu eksternal dan internal. Faktor eksternal yang dimaksudkan di sini ialah, bagaimana krisis ekonomi regional yang melanda sebagian negara-negara di Asia seperti dijelaskan diatas, juga telah memicu terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Sedang faktor internal, menunjukan bahwa ternyata parahnya krisis yang melanda Indonesia saat ini juga tidak bisa dilepaskan begitu saja berbagai kebijakan ekonomi yang diambil pada masa sebelumnya. Karena seperti telah disebutkan diatas, kegagalan dalam pengelolaan negara juga menjadi salah satu penyebab mengapa kini Indonesia merupakan negara yang paling menderita dibanding negara Asia lainnya yang juga terkena krisis.

Ketidakseimbangan yang terjadi antara kebijakan makro dan mikroekonomi, yang merupakan kelanjutan dari deregulasi ekonomi di tahun 1980an, seringkali dituduh sebagai penyebab utama parahnya krisis yang terjadi di Indonesia. Dalam mencermati hal tersebut, yang menjadi fokus perhatian kita ialah fundamental ekonomi. Secara mikro, terlihat bahwa dasar ekonomi Indonesia pasca deregulasi sangat lemah. Ada dua hal yang dapat mengindikasikan hal tersebut. Pertama ialah adanya gangguan dalam kebijakan, seperti tidak transparannya berbagai kebijakan yang diambil, tidak terkendalinya hutang luar negeri dan sebagainya. Indikasi kedua ialah tidak adanya kepastian hukum yang berlaku. Hal ini terlihat dengan lemahnya sektor finansial, jaminan dari sistem perbankan dan sebagainya. Sebagai kelanjutannya ialah meningkatnya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan fenomena yang banyak berkembang pasca deregulasi.

Sementara itu dari sisi makroekonomi, yang terjadi justru sebaliknya. Tingginya angka pertumbuhan, terjadinya booming di sektor finansial serta meningkatnya pendapatan pemerintah, merupakan beberapa indikasi kuatnya fundamental makro Sementara itu dari sisi makroekonomi, yang terjadi justru sebaliknya. Tingginya angka pertumbuhan, terjadinya booming di sektor finansial serta meningkatnya pendapatan pemerintah, merupakan beberapa indikasi kuatnya fundamental makro

aksi spekulatif, collaps-nya sektor finansial --dalam hal ini perbankan--. 146 Dari penjelasan tersebut diatas, nampak bahwa ternyata terjadinya krisis ekonomi regional

tidak lebih dari sebuah faktor pemicu terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Sebaliknya ada ketidak kompakan antara kebijakan makro dan mikro ekonomi Indonesia, yang pada akhirnya menciptakan sebuah krisis ekonomi.

Untuk dapat memahami situasi dan kondisi hal tersebut diatas, mungkin kita dapat kembali mencermati periodesasi industrialisasi yang ditawarkan oleh Mari Pangestu. Oleh Mari disebutkan bahwa, pada periode ketiga industrialisasi Indonesia (1982-1985), merupakan periode kebijakan industrialisasi yang ambivalen. Disebut demikian karena pada satu sisi ada pengurangan dari penekanan dari industri berat dan proyek padat modal oleh pemerintah dengan dijadwalkannya beberapa proyek besar pada tahun 1983. Sementara di sisi lain antara 1983-1986, mulai muncul berbagai kebijakan tentang sistem tata niaga impor, penggunaan instrumen non-tarif, terutama lisensi impor dan

peningkatan upaya penggunaan komponen lokal meningkat. 147 Sementara itu di lain pihak, menurut Hill, dalam mencermati kasus Indonesia, ada

beberapa faktor lain yang telah memberikan kontribusi terjadinya krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor-faktor pra krisis yang oleh Hill distilahkan sebagai faktor-faktor vulnerabilitas (vulnerability factors). Faktor pertama, ialah hutang luar negeri yang besar dan terjadinya mobilitas modal. Sampai akhir tahun 1998, total hutang luar negeri Indonesia telah mencapai US$142 milyar. Hutang yang besar ini nampaknya lebih banyak dipicu adanya kecenderungan peningkatan hutang luar negeri jangka menengah yang dimiliki oleh pihak swasta. Sedangkan dari sisi mobilitas modal, menjelang krisis ekonomi terjadi tampak bahwa jumlah modal yang keluar cenderung meningkat. Misalnya saja pada tahun 1996, jumlah modal yang masuk adalah US$97,1 milyar, sedangkan arus modal yang keluar tahun

146 Ibid, hal:329-337. 147 Lihat periodesasi industrialisasi di Indonesia oleh Mari Pangestu dalam pengantar Thee Kian Wie, Industrialisasi Di Indonesia: Beberapa Kajian, Jakarta, LP3ES, 1996, hal:xx-xxiii.

1997 adalah US$11,9 milyar. Sedang dalam tahun fiskal 96/97, tercatat modal yang masuk mencapai US$13,5 milyar, sedang modal yang keluar mencapai US$11,8 milyar.

Kedua adalah lemahnya manajemen makroekonomi. Hill mencontohkan kelemahan manajemen makroekonomi Indonesia dapat dilihat dari kebijakan yang diambil dalam mempertahankan nilai tukar. Adanya intervensi bank sentral menunjukan bahwa sebenarnya selama ini stabilitas kurs yang didapat pada dasarnya lebih disebabkan usaha dari pihak pemerintah dalam menstabilkan rupiah. Dan bukan didapat dari harga pasar. Ketiga lemahnya regulasi sektor finansial. Hal ini menjadi penting menurut Hill karena dengan lemahnya regulasi sektor finansial, adanya intervensi politik dalam berbagai pinjaman komersial perbankan, liberalisasi finansial yang prematur dan terburu- buru serta laporan modal intenasional yang terbuka merupakan faktor kunci dalam menjelaskan krisis ekonomi Asia. Salah satu alasan yang menyebabkan buruknya regulasi finansial Indonesia adalah terjadinya “bubble economy”. Sebagai salah satu indikasinya, hal ini dapat dilihat dari berkembangnya sektor real estate pada tahun-tahun terakhir menjelang krisis. Selain itu buruknya kesehatan keuangan perusahaan- perusahaan di Indonesia, dimana akan berdampak langsung pada kinerja dari perusahaan- perusahaan tersebut, menurut Hill juga merupakan penyebab lain mengapa regulasi finansial yang terjadi terkesan sangat lemah.

Faktor vulnerabilitas yang keempat menurut Hill adalah korupsi dan pemerintahan. Meski demikian diakui pula oleh Hill sendiri bahwa faktor ini tidak dapat dikatakan penyebab utama timbulnya krisis ekonomi. Karena di negara-negara lain dimana tingkat korupsinya juga tinggi seperti Cina, dan Vietnam, tidak mengalami krisis

ekonomi seperti yang terjadi di Indonesia. 148 Selain itu Hal Hill juga menunjukan ada beberapa hal yang dapat dijadikan

indikasi awal terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang terlalu cepat. Percepatan ini dapat dilihat dari penurunan tingkat penduduk miskin yang sangat tajam di semua propinsi, terutama jika mengacu pada data-data yang dikeluarkan oleh BPS. Misalnya jumlah penduduk miskin tahun 1990 adalah 15,1% turun menjadi 13,7% ditahun 1993 dan terus turun mencapai 11,3% ditahun 1996. Angka penurunan yang sangat tajam ini mengakibatkan data yang dikeluarkan menjadi kurang

148 Hal Hill, The Indonesian…opcit, hal: 54-70.

dapat dipercaya. Karena jika dicermati dari sisi peningkatan pendapatan perkapita yang menjadi ukuran dalam menghitung tingkat kemiskinan, pada kenyataannya terjadi secara tidak merata. Bisa saja ada sebagian kecil kalangan yang memiliki kekayaan begitu besar, dan sebagian besar lainnya justru merasakan sebaliknya. Sehingga bukannya tidak mungkin apabila pendapatan perkapita meningkat di satu sisi, sedang di sisi lain relitas yang terjadi juga memperlihatkan peningkatan penduduk miskin. Kedua, mengutip pendapat Krugman, menurut Hill pembangunan ekonomi Indonesia yang selama ini terlihat pesat tersebut, ternyata lebih disebabkan adanya faktor-faktor lain dan bukan disebabkan meningkatnya faktor total produktivitas (TFP: Total Factor Productivity). Artinya dengan dukungan dana yang tersedia misalnya dari terjadinya oil boom dan

sebagainya, telah memungkinkan Indonesia memiliki kemampuan untuk membangun. 149 Sehingga menimbulkan kesan bahwa pembangunan yang dilakukan selama masa Orba,

bukan merupakan pembangunan yang berkelanjutan dan lebih bersifat temporer. Karena apabila faktor pendukung tersebut telah hilang, maka pemerintah mau tidak mau harus mengubah strategi pembangunan yang dijalankan sebelumnya, sehingga memungkinkan pembangunan seperti yang diinginkan dapat terus berlanjut. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa “pembangunan” semasa Orde Baru pada dasarnya tidak memiliki atau tidak didukung oleh kekuatan modal domestik yang relatif kuat.

Persoalannya, ketika krisis ekonomi Asia 1997 mulai terjadi, dukungan keuangan yang dimiliki pemerintah Indonesia pada saat itu sangat lemah. Hal ini masih ditambah dengan adanya tekanan dari dunia internasional berkaitan dengan proyek mobil nasional serta goyahnya stabilitas politik dalam negeri terutama menjelang pemilu. Dimana hal ini akan sangat berkaitan langsung dengan jumlah investasi asing yang masuk ke Indonesia. Padahal kita tahu bahwa semenjak Orde Baru peran investasi asing telah menjadi salah satu faktor penting dalam perekonomian Indonesia. 1.3Krisis Ekonomi dan Patronase Bisnis Militer.

Setelah mengetahui bagaimana pengaruh terjadinya krisis ekonomi terhadap perekonomian Indonesia secara umum, maka kini kita akan melihat bagaimana krisis yang terjadi tersebut mempengaruhi keberadaan praktek patronase bisnis militer. Kalau

149 Ibid, hal:5-6. Hill sendiri menyebutkan ada 4 ciri yang dapat dikatagorikan sebagai peringatan awal pra krisis. Mengenai TFP, lihat pula Krugman, The Return…opcit, hal:27-35 149 Ibid, hal:5-6. Hill sendiri menyebutkan ada 4 ciri yang dapat dikatagorikan sebagai peringatan awal pra krisis. Mengenai TFP, lihat pula Krugman, The Return…opcit, hal:27-35

Pada bisnis militer hal yang terjadi tidak jauh berbeda. Banyak unit bisnis militer yang sebelumnya diprediksikan memiliki prospek yang relatif baik, ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Contoh dari kenyataan seperti ini dapat dilihat dari perkembangan bisnis-bisnis yang berada dibawah Yayasan Kartika Eka Paksi. Seperti digambarkan dalam perbandingan berikut ini:

Tabel IV.1

Kolektibilitas 150 Perusahaan Bidang Perkebunan dan Kehutanan

Keterangan 1998 1999

Jumlah % Jumlah %

Sehat 4 36,36 6 54,55 Kurang Sehat

Tidak Sehat

3 27,27 Jumlah 11 100,00 11 100,00

Sumber: Lampiran 3, Penjelasan Ketua Bidang Usaha YKEP tentang Organisasi dan Tugas YKEP Serta Peran Organ Perusahaan dalam Mensinergikan Kemampuan Perusahaan, Jakarta 4 Mei 2000.

150 Ada Beberapa kriteria kolektibilitas tersebut: (1) Likuid: mampu memenuhi kewajiban jangka pendek. (2) Solid: mampu memenuhi kewajiban bila perusahaan dilikuidasi, (3) Profitable:mampu mengelola

seluruh sumber daya yang dimiliki untuk memperoleh keuntungan. (4) Sehat:likuid, solid dan profitable. (5) Kurang sehat:satu dari tiga syarat tidak terpenuhi. (6) Tidak sehat:lebih dari satu syarat tidak terpenuhi. Lihat pula lampiran 3, Penjelasan Ketua Bidang Usaha YKEP tentang Organisasi dan Tugas YKEP Serta Peran Organ Perusahaan dalam Mensinergikan Kemampuan Perusahaan, Jakarta 4 Mei 2000.

Tabel IV.2

Kolektibilitas Perusahaan Bidang Jasa Perhotelan dan Properti

Keterangan 1998 1999

Jumlah % Jumlah %

Sehat 0 0,0 0 0,0 Kurang Sehat

Tidak Sehat

2 66,67 Jumlah 3 100,00 3 100,00

Sumber: Lampiran 3, Penjelasan Ketua Bidang Usaha YKEP tentang Organisasi dan Tugas YKEP Serta Peran Organ Perusahaan Dalam Mensinergikan Kemampuan Perusahaan, Jakarta 4 Mei 2000.

Tabel IV.3 Kolektibilitas Perusahaan Bidang Jasa Konstruksi

Keterangan 1998 1999

Jumlah % Jumlah %

Sehat 1 50,00 1 50,00 Kurang Sehat

Tidak Sehat

1 50,00 Jumlah 2 100,00 2 100,00

Sumber: Lampiran 3, Penjelasan Ketua Bidang Usaha YKEP tentang Organisasi dan Tugas YKEP Serta Peran Organ Perusahaan Dalam Mensinergikan Kemampuan Perusahaan, Jakarta 4 Mei 2000.

Jika dicermati, nampak bahwa dalam tabel IV.1 terjadi penambahan jumlah perusahaan yang sehat. Sebaliknya dalam tabel IV.2, dan IV.3 selama krisis terjadi tidak ada satu perusahaan-pun yang mengalami perkembangan. Bahkan yang terjadi justru cenderung menunjukan terjadinya stagnasi. Selain itu secara keseluruhan terjadi penurunan deviden yang diterima oleh pihak yayasan. Pada tahun 1998 berjumlah Rp 53.228.952.070,00. Sementara pada tahun berikutnya (1999), deviden yang diterima oleh

yayasan hanya sebesar Rp 30.767.723.383,00. 151 Dari contoh-contoh tersebut tampak

151 Ibid.

bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia secara langsung juga telah mempengaruhi bisnis-bisnis yang dimiliki oleh militer. Selain itu jika dimasa sebelum krisis sebagian dana tersebut ada yang digunakan untuk investasi lain, maka selama krisis ini dana yang ada digunakan sebagian digunakan untuk memperbaiki keadaan keuangan perusahaan- perusahaan yang hampir bangkrut karena krisis ekonomi ini.