Institusi Ekonomi Global: Wajah Baru Imperialisme Ekonomi?

2 Institusi Ekonomi Global: Wajah Baru Imperialisme Ekonomi?

2.1 Menuju Reformasi Ekonomi. Dari berbagai penjelasan diatas tampak bahwa ternyata krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada akhir dekade 90an ini, telah memberikan implikasi yang begitu

luas di berbagai bidang. Tidak saja secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan politik. Hal ini jelas menjadi sangat tidak menguntungkan, terutama apabila dilihat dari kehidupan bernegara dan berbangsa. Karenanya kebijakan dari rezim yang berkuasa untuk segera menyelesaikan berbagai persoalan tersebut menjadi sangat penting untuk segera dilakukan.

Begitu parahnya krisis ekonomi yang tengah melanda Indonesia telah mengakibatkan usaha menyelesaikan berbagai persoalan terutama di bidang ekonomi, tidak lagi dapat menyelesaikannya dengan tanpa melibatkan lembaga internasional. Dalam posisi ekonomi yang sedemikian ini, dapat dipastikan bahwa tingkat ketergantungan Indonesia terhadap hutang luar negeri akan semakin bertambah. Dan dapat dipastikan pula, sebagai akibat lanjutnya keterlibatan pihak asing dalam berbagai kebijakan ekonomi Indonesia juga akan meluas dan mendalam. Keterlibatan pihak asing dalam berbagai kebijakan ekonomi sebagai prasyarat diberikannya bantuan bukannya tidak memberikan efek negatif secara sosial ekonomi. Bahkan jika dicermati secara lebih mendalam, bukan mustahil apabila terjadinya perubahan iklim politik saat ini juga merupakan dampak --meski tidak langsung-- dari adanya keterlibatan yang luas dari pihak asing tersebut.

Keterlibatan pihak asing dalam penanganan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, diawali dengan dilikuidasinya 16 bank pada November 1997, sebagai tindak lanjut ditandatanganinya kesepakatan bersama tanggal 31 Oktober 1997 yang sekaligus prasyarat awal diberikannya bantuan oleh IMF. Keterlibatan institusi keuangan Keterlibatan pihak asing dalam penanganan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, diawali dengan dilikuidasinya 16 bank pada November 1997, sebagai tindak lanjut ditandatanganinya kesepakatan bersama tanggal 31 Oktober 1997 yang sekaligus prasyarat awal diberikannya bantuan oleh IMF. Keterlibatan institusi keuangan

Letter of Intent atau yang dalam dokumennya dinamakan dengan Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) adalah sebuah kesepakatan bersama antara pemerintah Indonesia dengan IMF. Kesepakatan ini sendiri setiap tiga bulan mengalami revisi yang dilakukan oleh kedua pihak. Kesepakatan semacam ini tidak hanya dikenakan pada Indonesia. Tetapi kesepakatan LoI ini merupakan perlakukan umum yang diberlakukan oleh IMF kepada setiap negara yang menjadi “pasiennya”. Letter of Intent ini pada umumnya merupakan hal-hal yang menjadi orientasi utama pemerintah negara kreditor dalam kebijakan makroekonomi dan penanganan hutang untuk kemudian diidentifikasi oleh IMF. Agar pada proses selanjutnya IMF dapat memberikan garis kebijakan (policy guidelines) dan technical advice kepada pemerintah yang bersangkutan dalam membenahi perekonomiannya. Proses identifikasi inilah yang kemudian sering

dikenal dengan nama “IMF Shadow Programme”. 152

Bila dicermati, dalam kesepakatan tersebut ada 7 bidang yang menjadi inti dari program pemulihan ekonomi Indonesia, yang diatur dalam kesepakatan ini. Pertama adalah penyehatan kerangka makroekonomi. Ada 2 program yang menyangkut penyehatan kerangka makroekonomi ini, yaitu pengendalian inflasi sampai 20% serta penghapusan defisit transaksi berjalan menjadi surplus sehingga mampu digunakan untuk pembayaran hutang. Kedua, revisi APBN, yang terdiri dari penekanan defisit anggaran menjadi 1% dari produk domesti bruto (PDB) dan dimulainya pengurangan subsidi energi minyak dan listrik. Ketiga, transparansi kebijakan fiskal. Misalnya dengan

152 Michael Chossudovsky, The Globalisation of Poverty, Impacts of IMF and World Bank Reform, Penang, Zed Books Ltd, 1997, hal:53.

memasukan dana-dana dan investasi (misal: dana reboisasi) yang sebelumnya merupakan dana non-budgeter ke dalam RAPBN. Keempat, penanganan proyek swasta. Program ini terdiri dari: pembatasan pengeluaran negara hanya untuk proyek-proyek yang dianggap vital, penjadwalan kembali 12 proyek infrastruktur, penghentian pendanaan bagi IPTN dan pencabutan berbagai previlege bagi proyek mobil nasional.

Kelima, pembenahan kebijakan moneter. Dalam pembenahan kebijakan moneter ini Bank Indonesia menjadi relatif lebih otonom. BI juga diberi keleluasaan dalam penetapan suku bunga. Selain itu juga diharapkan adanya dukungan dari pemerintah dalam merger bank-bank, baik swasta maupun bank pemerintah. Keenam, restrukturisasi sektor perbankan dan swasta. Dan ketujuh ialah restrukturisasi struktural. Ada beberapa hal yang harus dibenahi berkaitan dengan restukturisasi struktural tersebut. Seperti pembatasan monopoli yang dilakukan oleh Bulog, deregulasi perdagangan domestik terutama produk pertanian, penghapusan berbagai bentuk kartel-kartel, penghapusan peraturan tentang perdagangan grosir, pemotongan pajak produk pertanian dan

pemusatan perhatian pada usaha kecil terutama oleh Bank Pembangunan Asia. 153 Meski telah menandatangani kesepakatan dengan pihak IMF, stabilitas ekonomi

yang terus melemah telah memunculkan ide baru tentang penerapan CBS (Currency Board System) atau sistem dewan mata uang. Sebagai kelanjutannya Suharto sendiri telah mengeluarkan idenya tentang program IMF plus. Karena ketidakjelasan tentang apa yang dimaksud dengan “plus” tersebut, maka yang justru terjadi kemudian adalah munculnya perdebatan tentang program apakah yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi krisis yang mulai berkepanjangan tersebut. Di sisi lain dengan munculnya berbagai pemikiran baru tersebut justru mendapat tanggapan negatif dari dunia internasional terutama AS dan IMF, yang pada intinya menginginkan agar pemerintah Indonesia tetap konsisten dalam menjalankan kesepakatannya dengan IMF. Dan sebagai tindak lanjutnya IMF sendiri akhirnya menghentikan sementara bantuan yang akan diberikan.

Sementara itu kesepakatan dengan IMF tersebut bukannya tidak mendapat tantangan dan reaksi negatif, terutama dari para pengusaha yang selama Orde Baru terutama yang telah mendapat keuntungan besar dari sistem yang ada sebelumnya. Reaksi

153 “Isi Nota Kesepakatan IMF-Pemerintah Indonesia”, Kompas 16 Januari 1998. Lihat pula lampiran tentang LoI.

seperti itu nampaknya merupakan hal yang wajar. Karena dengan demikian berbagai previlege yang sebelumnya banyak dinikmati para pengusaha tersebut akan segera hilang. Sedang apabila para pengamat seringkali membagi periodesasi liberalisasi ekonomi

Indonesia menjadi tiga periode 154 , maka bagi penulis mungkin inilah saat dimulainya liberalisasi ekonomi Indonesia periode keempat.

Kesalahan dalam penanganan krisis ekonomi ini nampaknya juga menjadi hal yang perlu untuk dicermati lebih mendalam. Karena berlarutnya krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia saat ini bukannya mustahil juga disebabkan adanya kesalahan dalam teknis penanganannya. Hal Hill menunjuk setidaknya ada tiga persoalan yang dapat dikatakan sebagai penyebab semakin parahnya krisis ekonomi Indonesia. Pertama ialah adanya rentetan kesalahan kebijakan penanganan krisis. Dengan ditutupnya 16 bank pada 1 November 1997, ternyata membawa dampak yang sangat luas dan fatal. Selain implikasi yang ditimbulkannya, seperti telah dijelaskan sebelumnya, ketidakjelasan kriteria mengapa sebuah bank sampai perlu dilikuidasi juga menjadi hal yang perlu untuk dicermati secara lebih mendalam lagi. Meski demikian kemunculan persepsi bahwa kebijakan penutupan 16 bank tersebut dan kesepakatan dengan IMF tanggal 31 Oktober 1997 sebagai usaha untuk tetap dapat melindungi bisnis keluarganya, secara langsung juga berdampak pada makin menurunnya kepercayaan publik pada pemerintah.Celakanya lagi penurunan tingkat kepercayaan tersebut makin bertambah ketika dalam kabinet yang dibentuk Suharto muncul sejumlah nama kontroversial.

Persoalan kedua yang dianggap Hill sebagai indikator kesalahan atau kegagalan manajemen krisis ialah masih banyaknya terjadi praktek-praktek KKN di dalam pemerintahan. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Orde Baru peran Suharto sebagai presiden di pemerintahan sangat dominan. Kekuasaaan yang terlalu tersentralistis tersebut pada akhirnya melahirkan berbagai praktek-praktek KKN terutama di lingkungan sekitar Suharto. Meluasnya praktek-praktek KKN inilah yang kemudian sangat mempengaruhi makin merosotnya kepercayaan publik pada rezim. Karenanya dapat dipahami ketika Suharto turun pada akhir 1997, maka sistem politik yang ada sebelumnya secara cepat segera ambruk.

154 Lihat periodesasi liberalisasi ekonomi Indonesia oleh Hadi Soesastro “A Review…opcit.

Ketiga ialah keterlibatan pihak IMF. Keterlibatan pihak IMF dalam pemulihan krisis ekonomi Indonesia menjadi faktor yang paling signifikan. Karena seperti telah dijelaskan diatas, IMF dengan letter of intent-nya dapat dengan mudah untuk ikut serta dalam penentuan kebijakan ekonomi Indonesia. Besarnya peran IMF dalam rangka pemulihan kondisi ekonomi Indonesia pasca krisis, ternyata juga menyebabkan munculnya pemikiran lain bahwa lambannya pemulihan ekonomi Indonesia ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari keterlibatan pihak IMF. Di satu sisi mungkin munculnya pemikiran seperti diatas ada benarnya. Karena dengan prinsip one-size-fits-all (satu ukuran untuk semua) seperti seringkali digunakan selama ini, bukan tidak mungkin akan terjadi mis-diagnosis. Meski demikian bukan berarti hal tersebut kemudian membuat IMF menjadi penyebab utama berlarutnya krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia. Karena seperti juga telah disebutkan sebelumnya, banyak persoalan lain diluar persoalan finansial semata yang juga menjadi penyebab mengapa krisis yang dialami Indonesia menjadi berlarut. Misalnya saja dengan adanya situasi politik yang tidak stabil. Selain ketiga hal tersebut, Hill juga menambahkan beberapa contoh penyebab lain mengapa pemulihan krisis ekonomi di Indonesia dan Asia umumnya tidak secepat Meksiko. Ia menambahkan persoalan-persoalan seperti fenomena alam El Nino, kerusuhan rasial pada Mei 1998 dan Jepang yang juga tengah mengalami kesulitan finansial dengan bangkrutnya sejumlah bank, merupakan penyebab lain lambannya pemulihan ekonomi Asia. Sehingga sebagai akibatnya Jepang sebagai pemimpin ekonomi di Asia tidak dapat banyak berbuat seperti apa yang telah dilakukan Amerika Serikat pada Meksiko di tahun

1994-95. 155 Persoalan lain yang juga patut menjadi perhatian kita dalam mencermati usaha

pemulihan ekonomi Indonesia ialah rekapitalisasi perbankan. Persoalan ini menjadi penting karena parahnya krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia saat ini juga banyak disebabkan oleh lemahnya sistem perbankan di masa lalu. Rekapitalisasi ini sendiri menjadi sangat penting karena membaiknya sektor perbankan juga dapat dijadikan salah salah satu indikator kembalinya kepercayaan bisnis yang telah hilang selama krisis ekonomi terjadi. Karenanya dapat dipahami jika rekapitalisasi perbankan ini mendapat perhatian serius dari pemerintah Indonesia dan IMF melalui kesepakatan yang telah

155 Lihat Hal Hill, The Indonesian…opcit, hal:70-80.

dibuat oleh kedua belah pihak. Lebih lanjut lagi, sebagaimana juga terjadi Thailand, faktor hilangnya kepercayaan ini, terutama pasca penutupan 16 bank, juga merupakan salah satu penyebab awal keruntuhan sektor finansial Indonesia.

Meski demikian, patut menjadi catatan bahwa dalam mencermati kasus restrukturisasi perbankan ini ternyata usaha rekapitalisasi tersebut tidak lebih dari sekedar memperpanjang umur bank-bank yang ada di Indonesia. Bank-bank yang kini mengalami kebangkrutan akibat banyaknya kredit macet, membengkaknya jumlah hutang dan sebagainya, kini dengan mengikuti program rekapitalisasi tersebut mendapat suntikan modal dari pemerintah yang berupa obligasi. Tetapi hal tersebut bukan berarti bank-bank tersebut serta merta langsung dapat beroperasi seperti sebelum krisis terjadi. Sehingga dapat dikatakan bahwa program rekapitalisasi tersebut akan terus dilakukan sampai bank- bank tersebut bisa mendapat cash inflow dari masyarakat dan terutama kalangan bisnis.

2.2. IMF, World Bank dan Institusi Internasional Lain. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam proses pemulihan ekonomi ini, Indonesia jelas tidak bisa lagi melepaskan keterlibatan masyarakat internasional. Telah menjadi kebijakan pemerintah Indonesia, bahwa dalam program pemulihan dan stabilisasi ekonomi ini akan melibatkan institusi-institusi internasional yaitu IMF dan World Bank. Namun sebenarnya apakah IMF dan World Bank itu, sehingga diharapkan mampu menjadi “dokter ekonomi” dalam mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia?

IMF (International Monetary Fund) adalah sebuah lembaga keuangan internasional yang dibentuk dengan bertujuan untuk memantau dan menstabilkan sistem finansial internasional melalui penyediaan dana-dana jangka pendek guna menanggulangi defisit neraca pembayaran suatu negara. Selain itu, seringkali dikatakan bahwa IMF dibentuk untuk bertindak sebagai bank sentral bagi bank-bank sentral negara-negara

anggotanya. 156 Dengan demikian ia (IMF) diharapkan dapat memberikan dukungan finansial untuk menghindari persaingan mata uang akibat adanya devaluasi, yang dapat

menciptakan ketidakstabilan aliran dana internasional. Karenanya institusi keuangan internasional yang terbentuk sebagai hasil konfrensi Bretton Woods ini, memiliki

156 Helen Hughes, “International Cronyism --the Role of the International Monetary Fund and the World Bank” dalam The Indonesian Quarterly, Vol:XXVII, no:3, 3 rd Quarter, Jakarta, CSIS, 1999, hal:195.

pengaruh yang sangat besar dalam kebijakan makro ekonomi dan pengucuran dana-dana pinjaman bagi suatu negara. Misalnya saja dalam memberikan pinjaman (hutang). IMF seringkali mengaitkan bantuan yang akan diberikannya dengan prasyarat-prasyarat tertentu, seperti mengharuskan negara-negara debitur mengikuti apa yang menjadi kehendak pihak IMF. Karenanya pembiayaan yang berasal dari IMF tersebut bersifat

kondisional (bersyarat). 157 Dengan kata lain bantuan hutang baru akan diberikan setelah prasyarat-prasyarat yang terdapat dalam kesepakatan bersama tersebut telah dipenuhi.

Dan hal seperti inilah yang harus dialami oleh Indonesia. “Pemaksaan kehendak” IMF melalui berbagai kesepakatan yang dibuatnya bersama dengan negara-negara penghutang, bukannya tidak menghasilkan implikasi negatif bagi negara-negara tersebut. Dengan berbagai kebijakan neoliberalisme dengan dilandasi oleh falsafah laissez faire, IMF secara langsung atau tidak telah menciptakan kondisi yang kondusif untuk terjadinya “economic genocide”. Selain itu, restrukturisasi ekonomi dunia yang dilakukan berdasarkan petunjuk IMF, dimana akan menciptakan kebijakan ekonomi yang lebih terbuka di seluruh dunia, disadari atau tidak secara teratur juga telah menghancurkan kekuatan ekonomi nasional negara-negara tersebut. Karena dengan semakin banyaknya negara dunia ketiga yang menerapkan kebijakan ekonomi terbuka, bukannya mustahil bahwa yang terjadi justru adalah terciptanya sistem perdagangan dunia yang semakin tidak seimbang. Dimana negara-negara dunia ketiga sekali lagi berada pada posisi yang dirugikan.

Namun jika melihat kembali kepada awal pembentukannya, ada beberapa tujuan umum yang menjadi dasar pembentukan institusi keuangan (IMF) ini, seperti tercakup dalam Article 1 dari Articles of Agreement. Pertama, untuk dapat mengembangkan kerjasama keuangan internasional yang berkelanjutan di dalam sebuah institusi yang permanen. Dimana instutusi tersebut juga menyediakan alat konsultasi dan kerjasama dalam memecahkan berbagai persoalan keuangan. Kedua, untuk memfasilitasi ekspansi dan penyeimbang pertumbuhan perdagangan internasional, dan memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan dan membangun sumber-sumber produktif dari semua negara anggota yang merupakan obyek utama kebijakan ekonomi. Ketiga, untuk

157 , Michael P Todaro, Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, Jilid 2, Jakarta, Erlangga, 1998, hal:136- 137.

meningkatkan stabilitas nilai tukar. Untuk memelihara posisi nilai tukar diantara tiap anggota. Dan untuk mencegah terjadinya deprisasi. Keempat, untuk membantu dalam pembentukan sebuah sistem pembayaran multilateral yang dapat diterima semua pihak sehingga tidak menghambat pertumbuhan perdagangan dunia. Kelima, untuk memberikan kepercayaan kepada tiap anggota dengan cara membuat sumber-sumber (baca:pendanaan) yang dapat digunakan sewaktu-waktu sehingga dapat membantu negara-negara yang sedang mengalami kesulitan dalam keseimbangan pembayaran tanpa merusak kemakmuran yang telah ada. Keenam, dalam mempersingkat durasi dan

mengurangi tingkat disequilibirium pembayaran internasional tiap-tiap anggota. 158 Tetapi persoalan yang muncul kemudian menunjukan bahwa peran IMF sebagai

sebuah institusi keuangan internasional menjadi makin terpinggirkan, terutama terhadap negara-negara industri. Kemunculan berbagai kesepakatan baru diantara negara-negara industri seperti G-7 dan G-3, nampaknya akan semakin meningkatkan jumlah kebijakan makroekonomi internasional yang terbentuk tanpa melakukan koordinasi dengan pihak IMF. Hal tersebut jelas dimungkinkan karena negara-negara tersebut memiliki sumber- sumber keuangan lain yang bahkan cenderung lebih kuat dari IMF. Sebaliknya di negara- negara dunia ketiga, terutama yang terkena krisis, tingkat ketergantungannya terhadap badan internasional ini justru menunjukan peningkatan. IMF sendiri dalam menjalankan fungsinya untuk menciptakan kestabilan ekonomi dunia nampaknya tidak bisa melepaskan diri dari keterkaitannya dengan modal internasional. Percepatan akumulasi modal internasional semenjak tahun 1970an yang ditandai dengan makin berkembangnya fenomena Multi National Corporations (MNCs), ternyata di satu sisi telah pula memberikan kontribusinya dalam penciptaan IMF sebagai alat penjamin keberlangsungan

akumulasi modal tersebut.

Selain IMF, badan dunia lain yang kini juga sangat berperan dalam membantu memulihkan situasi ekonomi Indonesia ialah Bank Dunia (World Bank). Seperti juga IMF, Bank Dunia juga merupakan sebuah institusi keuangan internasional yang terbentuk dari konfrensi Bretton Woods tahun 1944. Dan jika IMF sering dikatakan sebagai bank sentral internasional bagi bank-bank sentral negara-negara anggotanya, maka Bank Dunia

158 Graham Bird, IMF Lending to Developing Countries: Issues and Evidence, London, Routledge, 1995, hal:1-2.

dibentuk sebagai penyedia dana dan untuk membantu proyek-proyek yang mendukung pembangunan. Untuk menjamin kelancaran pembayaran kembali bantuan-bantuan

tersebut, maka Bank Dunia memberikan dana-dananya pada pemerintah pusat. 159 Meski demikian sampai saat ini apa yang telah dilakukan oleh kedua institusi internasional

tersebut menjadi terkesan tidak efektif. Berbagai bantuan yang sering mereka berikan nampaknya juga perlu dipertanyakan lagi. Apakah benar berbagai bantuan tersebut benar- benar dapat membantu negara-negara di dunia --terutama negara-negara dunia ketiga-- dalam melaksanakan pembangunannya, atau justru sebaliknya, turut memberikan kontribusinya dalam menciptakan kemiskinan baru di berbagai negara. Karena seringkali dalam memberikan bantuannya, Bank Dunia menekankan kepada pihak penerima bantuan agar mau mengikuti apa yang menjadi persyaratannya. Misalnya saja dalam pembiayaan suatu proyek Bank Dunia mensyaratkan bahwa produk-produk yang akan digunakan dalam proyek tersebut, harus merupakan barang-barang yang merupakan produk dari salah satu negara donor yang sudah ditentukan oleh pihak Bank Dunia. Selain itu tidak jarang pemerintah Indonesia pada akhirnya juga harus menyediakan dana pendamping agar proyek tersebut dapat terus berjalan.

Di satu sisi memang benar jika dikatakan bahwa kedua badan internasional tersebut telah berhasil menciptakan sebuah iklim investasi yang mendukung terlaksananya perdagangan bebas. Namun di sisi lain, keberhasilan tersebut telah pula membawa keduanya pada sikap yang berlebihan. Sikap yang berlebihan ini dapat ditunjukan ketika bagaimana mereka turut serta dalam berbagai pembuatan kebijakan ekonomi, seperti terlihat dalam berbagai kesepakatan yang dibuat antara IMF dan Indonesia. Sehingga kesan yang muncul kemudian ialah keberhasilan mereka dalam menciptakan perdagangan bebas tersebut merupakan sesuatu yang sangat dipaksakan. Jadi seperti telah disebutkan diatas, bahwa ternyata IMF kini telah berkembang tidak lebih dari sekedar menjadi fasilitator bagi kepentingan akumulasi modal. Bahkan dengan terjadinya krisis ekonomi Asia ini akan semakin menunjukan kepada kita, bahwa mereka telah gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai penasehat reformasi ekonomi di berbagai negara. Hal ini sekaligus pula memperlihatkan bahwa sebenarnya mereka tidak lagi memainkan peran yang berguna bagi menciptakan stabilitas ekonomi Internasional.

159 Helen Hughes, “International Cronyism…”, opcit, hal: 200.

Bukti lain dari kegagalan IMF dalam menciptakan kestabilan ekonomi dunia sebenarnya juga sudah mulai tampak ketika kita kembali melihat pengalaman krisis 1980an yang menimpa negara-negara di kawasan Afrika dan Amerika Latin. Pada masa itu terlihat bahwa pendapatan perkapita negara-negara di kedua kawasan itu justru cenderung memperlihatkan penurunan lebih dari 70%. Seiring dengan itu terjadi pula peningkatan jumlah pengangguran. Misalnya di Chili tingkat pengangguran meningkat

dari 10,4% pada tahun 1981 menjadi 15,4% pada tahun 1984. 160 Berangkat dari berbagai pengalaman tersebut, rasanya tidak mustahil bahwa hal yang sama juga akan dapat

menimpa perekonomian Indonesia di kemudian hari. Karena jika kita cermati berbagai kesepakatan yang dibuat pemerintah Indonesia dengan IMF, nampaknya kecenderungan untuk terciptanya hal-hal seperti dijelaskan diatas sangat besar.

2.3 IMF World Bank dan Patronase Bisnis Militer. Terlepas dari berbagai kelemahan yang muncul di kemudian hari, persoalan yang patut disadari di sini ialah, bahwa institusi-institusi keuangan internasional tersebut memiliki kemampuan yang cukup besar untuk mengendalikan dan mempengaruhi kebijakan ekonomi suatu negara. Dengan berbagai kesepakatan yang dibuatnya bersama dengan pemerintah Indonesia, IMF dapat menentukan proyek-proyek mana saja yang harus dihentikan atau diteruskan. Dengan kemampuan seperti itu, --setidaknya selama krisis-- hampir dapat dipastikan bahwa pada akhirnya IMF juga yang akan menjadi penentu segala kebijakan ekonomi di Indonesia, dimana termasuk di dalamnya mengenai para pelaku bisnis dan ekonomi di Indonesia.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dengan falsafah laissez faire, IMF, World Bank serta institusi-institusi ekonomi dan keuangan internasional lainnya, sangat menginginkan ekonomi Indonesia benar-benar terbebas dari keterlibatan pihak negara. Agar keinginan atau tujuan tersebut dapat tercapai, maka pihak IMF mempergunakan momentum krisis ekonomi ini dengan secara langsung telah memaksa pihak Indonesia untuk menghilangkan intervensi pihak negara melalui letter of intent yang dibuatnya tersebut. Hal tersebut jelas akan menjadi sangat berpengaruh pada bisnis-bisnis yang telah ada selama ini, terutama dalam kaitannya dengan keberadaan patronase bisnis.

160 Khosrow Doroodian, “IMF Stabilization Policies in Developing Countries: A Disaggregated Quantitative Analysis”, dalam International Economic Journal, Vol. 8 No.4 Winter 1994.

Negara melalui para aparatnya yang selama ini telah bertindak sebagai patron bagi bisnis- bisnis yang ada di Indonesia, pada masa pasca Orde Baru ini tampak tidak lagi dapat berbuat banyak. Tidak adanya dukungan finansial yang cukup kuat juga telah menempatkan posisi negara pada posisi yang kian melemah. Dalam hal ini negara telah dipaksa untuk tidak lagi dapat mempergunakan otonomi relatif yang sebelumnya dimiliki, serta menyerahkan semuanya pada mekanisme pasar.

Terjadinya hal yang demikian ini jelas akan sangat berpengaruh pada praktek- praktek patronase bisnis. Negara yang telah kehilangan otonomi relatifnya tadi jelas tidak akan mampu lagi untuk memberikan berbagai kemudahan seperti proteksi, tax holiday, atau bentuk-bentuk kemudahan lainnya kepada para pengusaha. Sebaliknya negara kini justru semakin mendapat tekanan untuk tidak lagi banyak terlibat dalam persoalan- persoalan ekonomi dan bisnis. Hilangnya otonomi relatif ini juga berarti ancaman bagi kegiatan para pejabat negara dan birokrasi yang selama Orde Baru telah menjadi pemburu-pemburu rente. Sebab para pemburu rente yang dahulu dengan mudah mempergunakan dan mengekploitasi kekuasaan politik dan aset-aset negara demi kepentingan pribadinya, nampaknya pada masa pasca krisis ini kegiatannya tersebut menjadi terancam. Meski demikian tidak berarti bahwa dengan diserahkannya kegiatan ekonomi dan bisnis pada mekanisme pasar serta merta akan menghilangkan kebiasaan buruk itu. Meski demikian, sampai di sini yang dapat kita tarik sebagai garis merahnya ialah, bahwa pada masa-masa berikutnya negara tidak banyak berbuat sekalipun hanya sebatas penyeimbang kekuatan ekonomi.

Lebih lanjut lagi hilang atau melemahnya otonomi relatif ini juga berarti ancaman baru bagi konglomerasi yang pernah ada di masa Orde Baru. Konglomerasi yang dibangun juga melalui praktek-praktek patronase bisnis ini selain juga disebabkan oleh adanya krisis ekonomi regional, juga turut runtuh seiring dengan kejatuhan rezim Orde Baru. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa tidak akan ada patronase bisnis yang kekal dalam sebuah kerangka ekonomi yang makin liberal. Namun persoalannya di Indonesia praktek patronase bisnis ini tidak hanya dilakukan oleh pengusaha. Tetapi juga dilakukan oleh institusi atau alat negara itu sendiri, seperti apa yang dilakukan oleh militer.

Di dalam bab 3 telah digambarkan bagaimana di masa Orde Baru praktek patronase bisnis militer ini dijalankan dan dikembangkan dengan banyak melibatkan Di dalam bab 3 telah digambarkan bagaimana di masa Orde Baru praktek patronase bisnis militer ini dijalankan dan dikembangkan dengan banyak melibatkan

Namun dengan semakin lemahnya posisi Indonesia di hadapan lembaga-lembaga internasional tersebut di masa pasca Orde Baru ini, serta mengingat berbagai kemampuan yang dimiliki oleh mereka, tidak mustahil apabila pada akhirnya mereka akan menuntut dihapusnya keterlibatan militer di dalam dunia bisnis melalui berbagai kesepakatan yang dibuat bersama dengan pemerintah Indonesia. Nasib seperti yang telah dialami oleh proyek mobil nasional atau IPTN rasanya dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk terus mempertahankan praktek patronase bisnis militer tersebut. Kalau benar praktek patronase bisnis militer ini akan dihapuskan, lantas bagaimana dengan persoalan anggaran militer Indonesia yang seringkali dianggap kurang memadai dan merupakan alasan utama munculnya fenomena ini. Di dalam konsep militer profesional yang berkembang saat ini, militer benar-benar diletakan pada porsi utamanya, yaitu sebagai alat negara dalam bidang pertahanan. Sehingga kalau selama ini militer Indonesia telah berkembang menjadi kekuatan dominan diluar kekuatan pertahanan, maka jelas bahwa selama Orde Baru militer Indonesia bukan merupakan institusi militer yang profesional. Munculnya militer sebagai sebuah kekuatan ekonomi politik melalui bisnis-bisnis yang dijalankannya, pada akhirnya justru menjadi bukti yang memperkuat tuduhan dan anggapan tentang tidak profesionalnya institusi militer di Indonesia selama ini.

Ketika muncul desakan untuk membangun militer yang profesional, persoalan anggaran akan segera menjadi salah satu bahan pertimbangan utama. Karena, alasan tidak adanya anggaran militer yang dianggap cukup memadai itulah yang seringkali terlontar ketika muncul perdebatan tentang keberadaan bisnis militer. Oleh sebab itu penting pula kiranya untuk melihat sejauh mana implikasi yang kemudian muncul, apabila hendak Ketika muncul desakan untuk membangun militer yang profesional, persoalan anggaran akan segera menjadi salah satu bahan pertimbangan utama. Karena, alasan tidak adanya anggaran militer yang dianggap cukup memadai itulah yang seringkali terlontar ketika muncul perdebatan tentang keberadaan bisnis militer. Oleh sebab itu penting pula kiranya untuk melihat sejauh mana implikasi yang kemudian muncul, apabila hendak

lembaga keuangan internasional dengan anggaran militer. 161 Jika demikian halnya, bagaimana dengan nasib bisnis-bisnis militer yang banyak

dijalankan oleh koperasi atau yayasan-yayasan seperti yayasan Kartika Eka Paksi. Dari penjelasan sebelumnya setidaknya kita telah memahami bagaimana yayasan ini menjalankan unit-unit bisnisnya. Mereka seperti umumnya bisnis militer di masa Orde Baru juga telah banyak melibatkan para perwiranya terutama yang duduk di birokrasi dan pejabat politik lainnya untuk melancarkan bisnisnya. Kalau kemudian di masa pasca Orde Baru ini keterlibatan negara dalam ekonomi terus dicoba untuk direduksi, maka ini juga berarti persoalan baru bagi bisnis-bisnis tersebut. Apalagi hal ini masih ditambah dengan makin gencarnya tuntutan untuk mengakhiri peran militer di bidang politik.

Bisnis militer yang sejak awalnya merupakan sebuah usaha atau upaya pemenuhan anggaran yang kurang, nampaknya akan lebih banyak memiliki persoalan dibandingkan dengan bentuk patronase bisnis lainnya. Tumbuh dan berkembangnya militer sebagai salah satu kekuatan ekonomi politik, yang ditandai dengan makin maraknya bisnis militer di masa Orde Baru, ternyata telah pula mengakibatkan pembangunan ekonomi yang dilakukan selama Orde Baru menjadi tidak sehat. Karena disadari atau tidak, keberadaan bisnis militer juga telah ikut merangsang pembentukan kelas-kelas kapital domestik yang tidak mandiri. Dengan adanya bisnis militer tersebut, maka banyak dari kalangan pengusaha yang kemudian melakukan “kerjasama” agar mereka dapat dengan mudah memperoleh berbagai kemudahan dalam melakukan akumulasi modalnya.

161 Lihat pula rekomendasi yang diberikan pemerintah AS dalam Financing Military Rule: The Clinton Administration, The World Bank, and Indonesia; A Research Report by the Project on Demilitarization and

Democracy, released April, 19, 1994, hal:4 dan hal:16-18.

Tetapi dengan adanya kesepakatan antara Indonesia dengan IMF, dimana dalam kesepakatan tersebut juga dituntut adanya transparansi kebijakan ekonomi terutama dana- dana non-budgeter ke dalam APBN. IMF dan World Bank sendiri telah meminta kepada

Departemen Pertahanan untuk segera mengaudit dana-dana tersebut. 162 Bagi terutama bisnis militer sebagai salah satu penyedia dana non-budgeter bagi militer, hal ini juga

dapat diartikan sebagai sebuah tantangan. Sebab hal ini juga akan dijadikan salah satu indikator keseriusan pihak pemerintah, terutama militer untuk melakukan reformasi internalnya. Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya sudah terlalu banyak kepentingan yang bermain di dalam bisnis militer tersebut. Sehingga jika dana non-budgeter ini akan dihapuskan (dimasukan ke dalam RAPBN), maka tentu akan banyak mendapat tentangan. Terutama dari kalangan militer sendiri, maupun pihak-pihak lain di luar militer yang sebelumnya telah banyak diuntungkan oleh keberadaan bisnis militer.

Jika pemerintah atau dalam hal ini Departemen Pertahanan tidak mampu melaksanakan permintaan tersebut, maka hal ini akan berpengaruh pada program perbaikan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Karena Indonesia bisa saja kemudian dianggap tidak dapat melakukan transparansi dalam kebijakan ekonominya, yang berarti pula tidak adanya komitmen untuk melaksanakan LoI. Padahal sebagaimana telah diketahui, kebijakan ekonomi yang transparan adalah salah satu cara untuk kembali membangun kepercayaan para investor.

Sebenarnya hal seperti diatas bukan merupakan persoalan yang baru. Dengan rekomendasi pihak AS, pihak World Bank sebenarnya juga telah lama menginginkan penghapusan keterlibatan militer dalam politik dan ekonomi. Seperti telah disebutkan sebelumnya, dalam salah satu rekomendasi tersebut mereka meminta agar militer Indonesia segera mengakhiri keterlibatannya (baik secara individual dan institusi) dalam

berbagai perusahaan baik yang merupakan milik negara maupun milik swasta. 163 Dengan adanya tuntutan dan tekanan seperti ini, akan semakin mempertegas bahwa keberadaan

praktek patronase bisnis militer harus segera diakhiri. Namun persoalannya sekarang ialah bahwa posisi negara Indonesia secara ekonomi sangat lemah dan sangat mengharapkan bantuan dari pihak asing. Hal ini jelas akan sangat berpengaruh pada

162 “Bank Dunia dan IMF Minta Dana Nonbujeter TNI Diaudit”, Kompas, 2 Juni 2000. 163 Ibid.

APBN, terutama bagi anggaran pertahanan. Dalam periode anggaran April-Desember 2000, nilai anggaran pertahanan hanya Rp 10,9 trilyun atau 5,5% dari keseluruhan nilai APBN yang berjumlah Rp 198 trilyun. Dengan jumlah ini anggaran pertahanan Indonesia dinilai sebagai jumlah terendah di ASEAN. Dengan anggaran sekecil ini hanya dapat

memenuhi kebutuhan antara 25-30%. 164 Selain itu untuk melakukan operasi di daerah- daerah rawan kerusuhan Dephan telah menerima anggaran belanja tambahan sebesar Rp

500 miliar. Di mana di dalamnya termasuk pengiriman batalyon tambahan ke Ambon yang besarnya Rp 4 miliar per batalyon. 165

Rendahnya anggaran pertahanan tersebut bukan berarti dapat diartikan sebagai sebuah alasan bagi keberlangsungan praktek bisnis militer. Bisnis militer sebagai salah satu bentuk praktek patronase bisnis tetap harus dihapuskan, meki itu harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan ekonomi negara. Karena sudah terlalu banyak implikasi yang ditimbulkan dari adanya bisnis militer, baik secara politik maupun ekonomi. Secara politik hal ini akan sangat berkaitan dengan keterlibatan militer dalam politik. Sebab seperti telah banyak disebutkan sebelumnya, hampir semua praktek bisnis militer dilakukan dengan didukung oleh para perwiranya yang duduk dalam pemerintahan dan birokrasi. Sementara secara ekonomi, adanya bisnis militer juga telah membentuk kelas-kelas pengusaha domestik yang tidak mandiri (kapitalis semu). Hal ini dikarenakan banyak dari pengusaha domestik yang memanfaatkan bisnis militer ini untuk dengan mudah memperoleh akses-akses ekonomi maupun politik.