Patronase Bisnis Militer Orde Baru

3 Patronase Bisnis Militer Orde Baru

3.1 Anggaran Pertahanan dan Patronase Bisnis Militer. Selama kekuasaan Orde Baru pola patronase bisnis mengalami masa kejayaannya. Salah satu bentuk patronase bisnis yang berkembang dengan baik ialah bisnis militer. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, militer Indonesia selama lebih dari lima puluh tahun keberadaannya, ternyata selain menjalankan fungsi utamanya di bidang pertahanan dan keamanan, telah banyak pula melakukan aktifitas bisnis dan ekonomi lainnya. Dalam perjalanannya tersebut, ternyata bisnis yang dijalankan oleh pihak militer sangat terkait erat dengan keterlibatannya di bidang sosial politik. Karena itu tak heran jika dwifungsi ABRI saat itu seringkali juga dianggap sebagai alat legitimasi militer Orde Baru dalam menjalankan fungsi-fungsi diluar masalah pertahanan keamanan.

Namun demikian hal terpenting yang patut pula menjadi perhatian utama sebelum mengamati keberadaan patronase bisnis militer di masa Orde Baru ini ialah, persoalan

106 Untuk menyiasati hal ini biasanya para investor asing kemudian melakukan kerjasama dengan para investor lokal yang telah memiliki akses ke pejabat-pejabat pemegang kekuasaan politik, atau langsung

kepada Presiden Suharto, keluarga dan kroni-kroni dekat lainnya. Hal ini jelas akan makin memperluas ekonomi biaya tinggi yang sebelumnya telah banyak terjadi.

anggaran pertahanan yang diberikan dalam APBN. Hal ini menjadi penting untuk terlebih dahulu dicermati, karena sebagaimana kita ketahui militer seringkali menggunakan alasan kurangnya anggaran militer dalam APBN sebagai legitimasi bagi pengembangan bisnis- bisnisnya. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk terlebih dahulu memberikan sedikit gambaran tentang jumlah anggaran pertahanan yang ditetapkan dalam APBN, dan mencoba untuk membandingkannya dengan biaya yang dianggarkan dalam APBN kepada sektor lain.

Sampai dengan tahun 1991, dilaporkan bahwa anggaran militer yang disediakan dalam APBN sebesar US$ 1,7 Juta atau sekiar 7,4 % dari keseluruhan pengeluaran pemerintah (lihat tabel III.1). Sedangkan apabila kita melihat grafik anggaran militer dari tahu 1983 sampai dengan tahun 1992, tampak bahwa ada kecenderungan peningkatan jumlah anggaran (lihat lampiran grafik World Bank Loans & Military Budget). Namun demikian bukan berarti hal ini akan menutup kemungkinan bahwa militer juga akan menerima berbagai sumber pendanaan lain yang sebenarnya juga menjadi bagian dari APBN atau anggaran resmi lainnya.

Tabel III.1

Perbandingan Jumlah Anggaran Militer Regional Sampai Dengan Tahun 1991.

POPULASI

US$/ GNP/ (JUTA)

PRAJURIT ORANG

US$ 6077 US$ 577 Filipina

US$ 8455 US$ 694 Malaysia

US$ 1,0

US$ 14.482 US$ 2,506 Australia

US$ 1,7

US$ 108,824 US$16,600 Singapura 3

17 68 US$ 7,4

US$ 38,309 US$14,840 Sumber: Financing Military Rule: The Clinton Administration, The World Bank, and Indonesia .

55 US$ 2,1

Sedangkan jika dilihat pada pengeluaran rutin APBN 1997/1998, anggaran militer (pertahanan dan keamanan), mencapai Rp 6.277.700.000,00dan itu terus mengalami peningkatan pada setiap APBN berikutnya (lihat tabel III.2).

Tabel III.2

Perkembangan Pengeluaran Rutin Berdasarkan Sektor

1997/1998-1999/2000

(dalam miliar rupiah) Uraian

1997/1998 1998/1999 1999/2000 APBN Realisasi APBN Realisasi APBN Perkiraan

Realisasi (1)

(sementara)

(2) (3) (4) (5) (6) (7) Sektor Pertahanan 6.277,7 6.280,2 7.628,2 8.174,1

9.909,7 152.989,9 dan Keamanan Sumber:Departemen Keuangan

Dari data-data tersebut diatas, terlihat bahwa pada dasarnya anggaran yang diberikan kepada sektor pertahanan keamanan sendiri di dalam APBN selama Orde Baru cukup besar. Apalagi jika kita coba perbandingkan dengan berbagai sektor lain. Bahkan pada APBN 1997/1998 saja anggaran untuk sektor hankam merupakan anggaran terbesar

ketiga setelah sektor ekonomi dan pembangunan daerah. 107

3.2 Perkembangan Bisnis Militer Orde Baru. Peran sosial politik militer yang semakin luas dan mendomisasi kehidupan sosial politik serta perekonomian di Indonesia, akan semakin terlihat setelah kita mencermati perilaku militer Indonesia, terutama dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi yang ada di Indonesia dan mengolahnya menjadi sumber-sumber pemasukan diluar anggaran yang telah di sediakan oleh pemerintah (pendapatan non-budgeter). Dalam menjalankan bisnisnya tersebut, pihak militer seringkali menggunakan para perwira yang duduk dalam jabatan-jabatan politis atau struktural birokratis lainnya untuk mendapatkan kemudahan- kemudahan atau privelege, sehingga memudahkan kelancaran bisnis mereka. Dengan demikian apa yang kemudian dikenal dengan tugas kekaryaan menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari perkembangan bisnis militer di Indonesia masa Orde Baru.

Selain mengandalkan para perwiranya tersebut, kedekatan hubungan dengan Presiden Suharto dan keluarga serta kroni-kroni dekatnya juga dapat dijadikan sebagai sarana pengembangan bisnisnya. Pada umumnya mereka melakukan berbagai kerjasama,

107 Lihat lampiran Perkembangan Pengeluaran Rutin Berdasarkan Sektor 1997/1998-1999/2000 107 Lihat lampiran Perkembangan Pengeluaran Rutin Berdasarkan Sektor 1997/1998-1999/2000

Darat dengan kelompok Humpuss. 108 Karena kemudahan-kemudahan seperti inilah, maka bisnis militer dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk patronase bisnis. Namun

bagaimanapun juga meski bisnis militer Orde Baru memiliki banyak keistimewaan dan kelebihan lain terutama di bidang politik, tetapi peran aktif dari para pengusaha Cina tidak bisa diabaikan atau hilang begitu saja.

Mencermati keterlibatan militer Orde Baru dalam bisnis atau ekonomi ini, setidaknya telah memunculkan dua pandangan tentang orientasi bisnis militer. Pertama militer "berbisnis" untuk menghidupi dirinya sendiri secara kelembagaan. Kurangnya dana anggaran taktis terutama dalam masalah-masalah sosial politik yang tidak bisa diprediksikan serta peningkatan kesejahteraan merupakan alasan pertama mengapa militer berbisnis. Kedua, keterlibatan di dalam dunia usaha demi kepentingan diluar tubuh organisasinya. Misalnya penyediaan jasa "keamanan". Meski demikian keterbatasan anggaran dalam peningkatan kesejahteraan yang lebih sering dijadikan sebagai alasan mengapa militer Indonesia terjun dalam dunia bisnis, yang termasuk di dalamnya adalah perhatian terhadap usia para perwira senior dan para pensiunan. Karena alasan itu, maka kemudian militer membentuk berbagai perusahaan atau badan usaha lainnya, juga koperasi, untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Hal itu juga diikuti dengan pemberian jabatan penting kepada para perwira aktif maupun non aktif untuk duduk dalam perusahaan-perusahaan swasta atau BUMN. Meski merupakan kelanjutan dari keterlibatannya di bidang ekonomi pada masa kekuasaan Sukarno, namun nampaknya militer Orde Baru berusaha untuk menciptakan legitimasi-legitimasi baru untuk melapangkan bisnisnya. Diawali dengan keputusan yang diambil dalam seminar AD II pada tanggal 25-31 Agustus 1966, yang menegaskan bahwa kepedulian ABRI dalam ikut mengatasi tiga masalah nasional: stabilitas sosial politik, stabilitas sosial, ekonomi dan peran serta TNI-AD dalam revolusi Indonesia sebagai kekuatan revolusi,

108 Robert Lowry, The Armed Forces of Indonesia, Sydney, Allen & Unwin, 1996, hal:136.

alat penegak demokrasi dan sebagai alat pertahanan keamanan negara, dan diperkuat dengan UU no:1/1988 dan UU no:20/1988. 109

Pada bagian awal bab ini telah dijelaskan bagaimana militer awal Orde Baru memainkan perannya di bidang ekonomi secara luas, dengan Pertamina dan Bulog sebagai sumber pendapatan utamanya. Ketika Orde Baru berkuasa, militer memiliki beberapa sumber pendapatan lain, diluar anggaran yang telah disediakan oleh APBN. Secara umum, selama Orde Baru bentuk bisnis yang dilakukan oleh pihak militer dapat terbagi menjadi dua. Pertama, badan-badan usaha atau jaringan bisnis yang dikelola oleh yayasan. Kedua yang dikelola oleh koperasi, dan ketiga keterlibatannya dalam badan- badan usaha milik negara (BUMN) seperti yang dilakukannya pada kedua badan tersebut

diatas. 110 Unit usaha koperasi yang dimiliki oleh militer ini dibentuk dengan tujuan sebagai penyedia berbagai kebutuhan sehari-hari bagi para anggotanya dengan harga

murah, yang biasanya tidak dapat dipenuhi oleh anggaran. Mereka kemudian membuka toko-toko atau beberapa jenis usaha yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Koperasi merupakan unit usaha yang paling mudah ditemui. Karena koperasi terdapat pada hampir semua struktur komando yang ada. Baik dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah, dari tingkat yang tinggi (Kodam) sampai yang terendah (Korem). Pada tingkat Kodam koperasi yang ada dikenal dengan nama induk koperasi, sedang di tingkat Korem disebut dengan koperasi primer. Seperti bentuk-bentuk unit-unit usaha koperasi lainnya sumber pendapatan dari koperasi-koperasi tersebut ialah iuran dari para anggotanya. Namun koperasi-koperasi itu juga memiliki sumber pendanaan lain yang lebih penting.

Sumber pendapatan itu biasanya berupa perusahaan-perusahaan atau unit usaha. 111 Perusahaan-perusahaan atau bentuk-bentuk usaha tersebut terkadang dijalankan dan

dikelola oleh sebuah holding company (perusahaan induk) atau melalui sebuah yayasan. 112

Namun demikian tidak semua yayasan-yayasan tersebut berada dibawah koperasi. Beberapa yayasan tersebut berdiri dibawah kendali suatu struktur komando, baik di tingkat nasional maupun ditingkat daerah. Di tingkat pusat atau nasional ini dapat dilihat

109 Dr Indria Samego et al, "…Bila ABRI Menghendaki", Desakan Kuat Reformasi Atas Konsep Dwifungsi ABRI, Bandung, PT Mizan, 1998, hal:29-32.

110 Indria Samego, et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:67. 111 Robert Lowry, The Armed…opcit, hal:137-138.

dari keberadaan berbagai yayasan yang berada dibawah sebuah markas besar. Seperti misalnya Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) milik Angkatan Darat, Yayasan Dharma Putra Kostrad, atau Yayasan Kobame milik Kopassus. Seperti penjelasan sebelumnya mengenai patronase bisnis secara umum, maka dalam kasus patronase bisnis militer ini juga tampak terlihat adanya pihak-pihak yang diuntungkan. Pertama, jika dilihat kembali pada tujuan awal dari keberadaan bisnis militer tersebut, maka pihak pertama yang tampak terlihat diuntungkan adalah para prajurit dan keluarganya. Karena seperti telah dijelaskan diatas, dengan adanya bisnis tersebut, maka para prajurit ini dimungkinkan untuk mendapatkan berbagai kebutuhan sehari-harinya dengan harga yang relatif lebih murah daripada harga di pasaran.

Kedua, pihak yang juga seringkali mendapat keuntungan dari bisnis militer ini ialah para pengusaha, terutama mereka-mereka yang memiliki hubungan bisnis dengan pihak militer. Dimana selama Orde Baru, hal ini lebih banyak dimiliki oleh para pengusaha keturunan Cina. Sedang pihak ketiga atau pihak yang paling berkepentingan dalam pengambilan keuntungan dari bisnis militer ini ialah institusi militer itu sendiri. Secara langsung hal ini masih berkaitan dengan keterbatasan anggaran yang disediakan oleh pemerintah. Sehingga dengan adanya bisnis militer tersebut, maka militer dalam menjalankan kegiatan operasionalnya akan mendapat tambahan dana.

3.3 Implikasi Bisnis Militer Dalam Struktur Ekonomi Politik Orde Baru Setelah mencermati apa dan bagaimana patronase bisnis militer tersebut berkembang, maka pada bagian ini akan dibahas apa-apa saja yang menjadi implikasi dari keberadaan bisnis militer tersebut, terutama pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Orde Baru. Karena bagaimanapun juga keberadaan bisnis militer tersebut telah memberikan warna tersendiri bagi ekonomi Orde Baru.

Sebagaimana bentuk-bentuk patronase bisnis lainnya, implikasi yang ditimbulkan dari adanya patronase bisnis militer ialah munculnya kelas kapitalis yang semu. Dalam hal ini militer lebih diposisikan sebagai patron dalam pemunculan kapitalisme semu di Indonesia. Dengan dominannya peran militer pada jabatan-jabatan elit politis di Indonesia, di satu sisi ternyata telah menjadikan mereka sebagai cantolan atau patron

112 Ibid.

politik bagi kalangan pengusaha. Dari sini kemudian muncul dan berkembang para pencari rente proyek-proyek pemerintah. 113

Praktek komersialisasi jabatan seperti yang telah banyak diceritakan sebelumnya, secara langsung telah pula memberikan kontribusi yang besar pada munculnya ekonomi biaya tinggi. Pembengkakan biaya produksi yang harus ditanggung oleh para pengusaha tersebut, ternyata seringkali disebabkan adanya pungutan-pungutan yang dilakukan oleh para pemburu rente proyek pemerintah tadi. Dimana pada akhirnya masyarakat juga yang harus membayar extra cost itu melalui harga barang yang dibelinya. Dengan adanya hal yang demikian ini korupsi jelas akan semakin tidak terkendali.

Implikasi lain yang ditimbulkan dari adanya patronase bisnis militer ialah kemunculan kelompok militer sebagai bagian dari kelas komprador. Kelas komprador ini sendiri lahir dari adanya hubungan kemitraan terutama di bidang bisnis antara militer, pengusaha Cina atau investor asing. Kemudian dari hubungan ini berkembang menjadi tindakan kolusi antara para penguasa politik ( yang didominasi militer) dengan pengusaha Cina atau asing tersebut. Namun yang paling penting jika dilihat dari perspektif militer sebagai sebuah institusi, keberadaan bisnis ini telah pula menjadikan militer Indonesia kian tidak profesional. Karena mau tidak mau dan disadari atau tidak, meski berawal dari usaha pemenuhan kekurangan dana anggaran operasionalnya, keterlibatan militer dalam bidang bisnis ini ternyata juga telah mampu merubah orientasi para pelakunya (terutama bagi perwira yang masih aktif) menjadi lebih berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat komersil. Hal ini dapat dibuktikan dari makin meningkatnya jumlah bisnis pribadi yang dilakukan oleh para perwira tersebut. Karena seiring dengan semakin meningkatnya kemampuan dalam pengelolaan bisnis oleh para perwira tersebut, maka semakin meningkat pula keinginan untuk cenderung lebih memberikan perhatian pada bisnis-bisnis yang dijalankannya ketimbang pelaksanaan tugas pokoknya sebagai birokrat di bidang pertahanan dan keamanan. Dengan adanya militer yang tidak profesional ini jelas akan merugikan banyak pihak. Selain itu juga akan makin berkembang pandangan bahwa militer tidak lagi menjadi penjaga rasa keamanan bagi masyarakat secara keseluruhan, tetapi sebaliknya militer telah menjadi alat bagi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat atau negara. Seperti kelompok-kelompok elit penguasa,

113 Indria Samego, et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:133.

kalangan birokrasi dan para pemilik modal (pengusaha) --terutama pengusaha keturunan Cina--.

Apabila anggapan tersebut semakin berkembang dalam masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa mungkin inilah salah satu bentuk kasus kongkrit dari apa yang oleh teoritisi Marxis klasik dikatakan dengan negara sebagai alat kelas dominan. Namun dalam kasus negara Orde Baru, militer tidak bisa langsung diposisikan seperti disebutkan diatas. Karena di sisi lain militer Orde Baru dengan dominasinya pada jabatan-jabatan penting di pemerintahan sipil, birokrasi dan jabatan politis lainnya seperti menteri dan sebagainya, telah pula memperkuat posisi militer ketika berhadapan dengan para pemodal. Jadi dengan kata lain dapat dikatakan bahwa militer Orde Baru memiliki bargaining position yang cukup kuat terhadap para pengusaha atau para pemilik modal tadi. Bargaining position yang dimiliki oleh militer inilah yang oleh para neo Marxis seperti Alavi diartikan sebagai otonomi relatif. Karena dengan demikian militer mampu memilih dan mengendalikan kelas-kelas atau kelompok-kelompok kapital sesuai dengan keinginannya.

Dengan posisi yang demikian ini, maka kemudian terciptalah bentuk-bentuk "kerjasama" antara para pengusaha atau pemodal tersebut dengan pihak militer. Bentuk- bentuk kerjasama tersebut bermacam-macam. Ada bentuk kerjasama bisnis langsung misalnya antara bisnis yang dimiliki oleh pihak militer dengan bisnis para pengusaha tersebut, ada bentuk kerjasamanya lebih berupa penggunaan kekuasaan atau wewenang yang dimiliki oleh para perwira militer dalam politik dan birokrasi dan ada yang merupakan gabungan keduanya. Maksudnya ialah para pengusaha tadi melakukan kerjasama dengan bisnis militer, yang dalam operasionalisasinya sehari-hari banyak mengandalkan fasilitas dan kemudahan dari para perwira militer yang duduk dalam jabatan-jabatan di pemerintahan dan birokrasi. Bentuk kerjasama terakhir inilah yang paling lazim dan paling sering terjadi. Sehingga bisnis yang banyak berkembang seperti itu sering disebut dengan patronase bisnis.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada masa Orde Baru militer di Indonesia memiliki berbagai macam perusahaan atau bisnis. Bisnis-bisnis tadi kebanyakan dalam pelaksanaannya dilakukan dengan para pengusaha terutama para pengusaha keturunan Cina. Dalam mencoba menjelaskan mengenai praktek patronase bisnis militer di masa

Orde Baru sampai menjelang krisis ekonomi 1997/8, maka pada bagian ini juga akan dilihat salah satu bentuk kasus bisnis militer, yaitu bisnis-bisnis yang berada dibawah Yayasan Kartika Eka Paksi. Sebuah yayasan terbesar yang dimiliki pihak Angkatan Darat.