Era Demokrasi Terpimpin.
3 Era Demokrasi Terpimpin.
3.1. Konstelasi Politik Era Demokrasi Terpimpin. Memasuki era demokrasi dan ekonomi terpimpin konstelasi politik Indonesia di tingkat elit juga mengalami perubahan. Pada masa tersebut terdapat tiga pilar kekuatan politik yang sangat berpengaruh. Ketiga kekuatan politik tersebut ialah militer (Angkatan
Darat), Sukarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meski terlihat sebagai pendukung setia Sukarno, namun sebenarnya antara Angkatan Darat dan PKI terjadi perseteruan. Oleh sebab itulah Crouch mengistilahkannya dengan perjuangan untuk
meraih simpati presiden belaka. 68 Bagi pihak Angkatan Darat sendiri, pemberlakuan sistem demokrasi terpimpin
merupakan sebuah kesempatan besar untuk dapat memantapkan perannya dalam berbagai persoalan-persoalan politik di Indonesia. Keberadaan dari lembaga-lembaga yang dibentuk pada masa itu, seperti Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Komando Operasi Tertinggi (Koti), kabinet serta Dewan Nasional. Dalam kabinet hampir sepertiga dari jumlah anggota kabinet berasal dari kalangan Angkatan Bersenjata. Sedangkan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dam Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pihak Angkatan Bersenjata juga cukup terwakili. Sementara
itu pada tahun 1960 juga diangkat 5 orang perwira Angkatan Darat sebagai gubernur. 69
67 Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal: 72. 68 Harold Crouch, Militer…opcit, hal:45. 69 Ibid, hal:49.
Di lain pihak Sukarno sebagai presiden dan "pemimpin besar revolusi" dengan kekuasaan yang sangat besar juga tidak tinggal diam. Pada saat yang bersamaan Sukarno berusaha untuk mengkosolidasikan kekuatan politik lain sebagai penyeimbang kekuatan yang dimiliki oleh Angkatan Darat. Namun pada kenyataannya ia dan kawan-kawan setianya hanya mampu untuk membentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari politisi- politisi di tingkat elit, dan tidak bisa memberikan kekuatan massa secara nyata. Oleh sebab itulah kemudian Sukarno mencari dukungan ke partai-partai politik yang masih ada, dan nampaknya Partai Komunis Indonesia (PKI)-lah yang menjadi pilihannya.
Pilihan PKI sebagai penyeimbang kekuatan militer oleh Sukarno jelas memberikan arti tersendiri bagi pihak militer (Angkatan Darat). Karena PKI memang sebelumnya telah menjadi musuh besar Angkatan Darat. Sehingga dengan adanya keinginan Sukarno tersebut PKI menjadi seakan mendapatkan perlindungan. Sementara Sukarno sendiri dalam berbagai tindakannya misalnya, pengakuan PKI sebagai salah satu bagian dari NASAKOM dan adanya permintaan untuk membebaskan para pimpinan PKI yang ditahan Angkatan Darat pada awal 1960an, juga tampak seakan membenarkan dugaan yang muncul.
Pada masa demokrasi terpimpin ini, Sukarno juga mengutarakan kembali idenya tentang Nasionalisme, Agama dan Komunisme (NASAKOM), yang ketika pada awal pergerakan kemerdekaan (tahun 1926) disebutnya sebagai Nasionalisme, Agama dan Marxisme. Dalam prakteknya golongan nasionalis akan terwakili oleh PNI, golongan agama oleh NU dan pihak komunis oleh PKI. Keterlibatan PKI sebagi salah satu kekuatan dalam pemerintahan inilah yang tidak dapat diterima oleh pihak militer.
Untuk dapat mengimbangi kekuatan massa yang diorganisir oleh kekuatan PKI, Nasution sebagai Menhankam juga membentuk berbagai Badan Kerjasama (BKS) antara sipil dan militer. Terbentuknya Front Nasional pada tahun 1959 juga telah memberikan ruang gerak yang lebih luas pada PKI. Selain itu PKI juga gencar mengkampanyekan "nasakomisasi" tentara. Sebagai jalan untuk menggalang kekuatan anti komunis yang lebih luas, Nasution dan beberapa rekannya berencana untuk membentuk Sekertariat Bersama Golongan Karya (Sekber-Golkar). Pada waktu pembentukan organisasi tersebut (21 Oktober 1964) setidaknya ada 97 organisasi dan lembaga yang menjadi pendukungnya. Mereka terdiri dari 53 organisasi serikat buruh bentukan militer, 10 Untuk dapat mengimbangi kekuatan massa yang diorganisir oleh kekuatan PKI, Nasution sebagai Menhankam juga membentuk berbagai Badan Kerjasama (BKS) antara sipil dan militer. Terbentuknya Front Nasional pada tahun 1959 juga telah memberikan ruang gerak yang lebih luas pada PKI. Selain itu PKI juga gencar mengkampanyekan "nasakomisasi" tentara. Sebagai jalan untuk menggalang kekuatan anti komunis yang lebih luas, Nasution dan beberapa rekannya berencana untuk membentuk Sekertariat Bersama Golongan Karya (Sekber-Golkar). Pada waktu pembentukan organisasi tersebut (21 Oktober 1964) setidaknya ada 97 organisasi dan lembaga yang menjadi pendukungnya. Mereka terdiri dari 53 organisasi serikat buruh bentukan militer, 10
usaha-usaha menentang komunis hanya pihak militer. 70 Politik Indonesia pada masa demokrasi terpimpin juga ditandai dengan adanya
dua peristiwa penting, yaitu perebutan kembali Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Masalah Irian Barat yang menurut persetujuan Konfrensi Meja Bundar (KMB) akan dikembalikan oleh Belanda setahun kemudian setelah konfrensi tersebut, ternyata sampai tahun 1960 belum juga dilaksanakan. Hal ini jelas memancing emosi Sukarno. Sehingga ia memutuskan untuk memutuskan hubungan diplomatik Indonesia dengan Belanda. Sukarno kemudian juga membentuk sebuah Komando Operasi Tinggi (Koti) Bagi Pembebasan Irian Barat. Sebagai salah satu pelaksanaan program kerja kabinet Djuanda, Sukarno juga memutuskan untuk menggunakan kekuatan bersenjata dalam merebut kembali Irian Barat.
Pada awalnya pihak militer menyambut dingin keputusan Sukarno untuk menempuh kekuatan bersenjata dalam usaha merebut kembali Irian Barat. Tanggapan ini secara politis bisa dimengerti karena apabila militer terkonsentrasi pada perjuangan tersebut, maka militer khawatir partai-partai politik yang masih ada akan kembali berperan dalam arena politik. Hal ini juga berarti akan terjadi perubahan perimbangan
kekuatan politik yang telah ada sebelumnya. 71 Nasution sebagai kepala staf juga berulang kali meyakinkan banyak pihak bahwa masalah Irian Barat tidak akan diselesaikan dengan
kekuatan militer. Terlalu besarnya kharisma Sukarno sebagai seorang presiden dan cukup banyaknya perwira militer yang setuju digunakannya kekuatan bersenjata dalam merebut Irian, mengakibatkan seruan Nasution tidak terlalu berpengaruh. Karena itu pada 19 Desember 1961 diumumkanlah Tri Komando Rakyat (Trikora).
Sementara itu sebaliknya di sisi lain PKI justru langsung menyambut baik keputusan yang diambil oleh presiden Sukarno tersebut. PKI dengan segala kemampuannya berusaha untuk memobilisasi massa untuk dapat ikut serta dalam
70 Leo Suryadinata, Golkar Dan Militer, Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta, LP3ES, 1992, hal:14-16.
71 Todiruan Dydo, Pergolakan Politik Tentara, Sebelum dan Sesudah G30S/PKI, Jakarta, Golden Terayon Press, 1990, hal:62.
kampanye perebutan kembali Irian Barat. Selama kampanye Irian Barat itu politik luar negeri Indonesia juga semakin condong kepada blok timur. Hampir semua peralatan perang yang digunakan oleh Indonesia dibeli dari Uni Soviet. Hal ini menjadikan pemerintah Amerika Serikat semakin khawatir. Dengan bujukan pemerintah AS akhirnya pada tahun 1962 Belanda mau melepaskan Irian ke tangan Indonesia.
Sedang konfrontasi dengan Malaysia terjadi sebagai akibat adanya rencana pihak Inggris untuk memberi pengakuan pada negara baru Malaysia (Malaya) dan Singapura. Konflik yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia semakin memanas setelah Sukarno mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora sebagai usaha penggagalan pembentukan negara boneka Malaysia. Selain itu Sukarno juga membentuk Komando Siaga (Koga), yang kemudian dipimpin oleh Omar Dhani. Diterimanya Malaysia sebagai anggota PBB, juga turut menambah kekecewaan Sukarno yang segera memutuskan untuk menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Keluarnya Indonesia dari PBB tersebut mendapat dukungan dari PKI. Begitu pula dengan pembentukan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) dan politik luar negeri poros "Jakarta-Peking".
Angkatan Darat sendiri dalam menanggapi konfrontasi dengan Malaysia ini, melihatnya sebagai sebuah kesempatan untuk tetap eksis dalam arena politik di dalam negeri, pasca Trikora. Meski demikian, sebaliknya Angkatan Darat juga semakin waspada dengan situasi yang berkembang. Karena pada saat yang sama dengan adanya konfrontasi ini PKI juga semakin meningkatkan militansinya. Menjelang pertengahan dekade 60an perseteruan antara keduanya semakin memanas. Sukarno sebagai presiden dalam pidato-pidatonya lebih banyak memihak PKI dan sikap anti neokolim-nya. Berbagai isu politik yang bertujuan untuk menyudutkan militer, seperti Dewan Jendral dan hubungan khusus dengan AS dan Inggris semakin meningkat. Tetapi sampai menjelang terjadinya kudeta 1 Oktober 1965, persoalan mengenai kesehatan Sukarno merupakan isu politik yang paling dikhawatirkan oleh PKI.
3.2. Sistem Ekonomi Terpimpin. Berakhirnya kampanye Irian Barat berarti pula timbulnya kekhawatiran baru pihak militer. Karena bisa saja undang-undang darurat perang yang selama ini menjadi legitimasi militer dalam politik akan dicabut dan ancaman terjadinya pengurangan anggaran militer. Selain itu ekonomi Indonesia pada tahun-tahun awal dekade 60an 3.2. Sistem Ekonomi Terpimpin. Berakhirnya kampanye Irian Barat berarti pula timbulnya kekhawatiran baru pihak militer. Karena bisa saja undang-undang darurat perang yang selama ini menjadi legitimasi militer dalam politik akan dicabut dan ancaman terjadinya pengurangan anggaran militer. Selain itu ekonomi Indonesia pada tahun-tahun awal dekade 60an
Namun dengan diumumkannya konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1963, maka oleh IMF bantuan tersebut ditangguhkan. Bahkan bantuan ekonomi yang dijanjikan Amerika Serikat terpaksa dibatalkan. Sedangkan bagi pihak militer terutama pada beberapa kalangan perwira Angkatan Darat, konfrontasi dengan Malaysia juga dapat diartikan sebagai sebuah keuntungan ekonomi baru. Karena pada tahun itu juga dimulai pula proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Inggris, yang dilanjutkan dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Amerika Serikat setelah pada tahun 1964
Amerika Serikat memberikan bantuan militer pada Malaysia. 72 Seperti yang telah tercantum dalam MANIPOL USDEK, ekonomi terpimpin
merupakan salah satu bagian yang integral dari sistem demokrasi terpimpin Sukarno. Diikuti dengan semboyan "merubah perekonomian kolonial menjadi perekonomian Indonesia", maka dikeluarkanlah berbagai kebijakan yang menyangkut pelaksanaan ekonomi terpimpin. Meski ekonomi terpimpin tersebut tidak terdefinisi secara jelas, namun nampaknya Sukarno sebagai presiden dan sekaligus sebagai pencetus ekonomi terpimpin ini begitu yakin hal ini dapat terlaksana dengan baik. Mengenai hal ini, Robison setidaknya mencatat tiga hal penting yang dapat disimpulkan dari ekonomi terpimpin Sukarno, yaitu:
(a) Koordinasi dan regulasi oleh negara terhadap semua sektor ekonomi Indonesia, negara (state), swasta (private) dan kooperatif untuk menjamin integrasi investasi dan produksi ke arah tujuan kepentingan sosial politik Indonesia yang lebih besar. Kepemimpinan negara diberikan dalam bentuk perencanaan secara terpusat dan kontrol terhadap distribusi, kredit dan produksi dan investasi negara secara langsung.
72 Arief Budiman, Negara…opcit, hal:37. Lihat pula Yahya Muhaimin, Perkembangan…opcit, hal:163.
(b) Penghancuran imperialisme dan subordinasi modal asing diarahkan kepada tujuan sosial dan ekonomi nasional. Subordinasi modal asing dicapai dalam hal kombinasi pengambilalihan, pilihan pinjaman antar pemerintah secara langsung, usaha bersama (joint venture) dan perjanjian bagi hasil.
(c) Pergantian ekonomi ekport/import kolonial dengan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sendiri (self sufficient) dan industrialisasi. 73
Hampir serupa dengan Program Benteng yang dilakukan pada masa demokrasi liberal, kebijakan ekonomi yang dikeluarkan dalam sistem ekonomi terpimpin ini juga tidak akan melepaskan peranan negara. Bahkan negara yang diwakili oleh lembaga kepresidenan dan militer tampak menjadi lebih dominan. Sukarno dalam kapasitasnya sebagai presiden menjadi lebih dominan perannya dalam berbagai masalah (termasuk ekonomi), karena sistem demokrasi terpimpin telah memberikan ruang gerak politik yang lebih luas kepadanya dibanding pada waktu demokrasi liberal. Sementara militer sendiri menjadi sebuah institusi negara yang penting dalam perekonomian terpimpin karena adanya penguasaan atas perusahaan-perusahaan negara hasil nasionalisasi.
Kebijakan ekonomi utama dan yang paling terkenal selama masa ekonomi terpimpin ialah dikeluarkannya program pembangunan ekonomi, yang dikenal dengan nama Rencana Pembangunan Nasional Semesta Delapan Tahun. Rencana Pembangunan Nasional Semesta Delapan Tahun ini pada awalnya merupakan hasil kerja dari Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang dibentuk oleh Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1960. Setelah mendapat persetujuan dari MPRS, kemudian pada tanggal 1 Januari program ini secara resmi diluncurkan.
Program pembangunan ini menggunakan strategi pembangunan yang kemudian dikenal dengan strategi "pertumbuhan yang tidak seimbang". Dikatakan demikian karena strategi yang digunakan ialah dengan cara melaksanakan pembangunan tersebut tahap demi tahap, dan daerah demi daerah. Tahapan pembangunan itu sendiri terbagi menjadi dua tahap utama. Tahap pertama akan berlangsung selama tiga tahun. Dalam tahap ini, diharapkan Indonesia akan berswasembada dalam ketiga kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan). Sedang tahap kedua yang rencananya akan dilaksanakan dalam lima tahun, diharapkan akan membawa Indonesia ke arah tahap lepas landas memasuki tahap
73 Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal:71-72.
"pertumbuhan terus menerus dengan kekuatan sendiri" (self-sustained growth). Oleh sebab itulah proyek ini dapat dikatakan sebagai sebuah proyek industrialisasi subtitusi impor pertama yang berskala besar. Meski demikian, di tingkat strategi teknis pelaksanaan, proyek pembangunan ekonomi ini akan sangat bergantung pada investasi
asing. 74 Mandeknya pelaksanaan Rencana Pembangunan Nasional Semesta Delapan
Tahun setelah dua tahun program tersebut dikeluarkan, mengharuskan Presiden Sukarno untuk segera mencanangkan sebuah kebijakan ekonomi baru yang dikenal dengan nama Deklarasi Ekonomi (Dekon). Tujuan utama dari Dekon ini sendiri sebenarnya ialah sebagai penjelas (untuk menguraikan) metode yang digunakan dalam Rencana Pembangunan Semesta tersebut. Dalam Deklarasi Ekonomi tersebut disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan ditepuh melalui dua tahap. Tahap pertama, disebut dengan periode penataan ekonomi (economic establishment period) yang sifatnya nasional dan demokratis, bersih dari sisa-sisa imperialisme dan feodalisme. Tahap kedua, ialah tahap pembangunan sosialis Indonesia. Dikeluarkannya Dekon ini juga tampak menunjukan pemikiran Sukarno tentang cita-cita ekonomi sosialis Indonesia yang hanya akan tercapai setelah imperialisme dan feodalisme dihancurkan secara total, baik di dalam maupun di luar negeri. Kebijakan lain pemerintah tentang ekonomi terpimpin ialah dikeluarkannya Peraturan-Peraturan 26 Mei. Peraturan-peraturan ini lebih bersifat liberal, karena dalam keempatbelas peraturan tersebut, perekonomian Indonesia akan tergantung pada mekanisme pasar. Sedang devisa yang didapat akan digunakan untuk membeli persediaan bahan baku dan bahan pembantu yang dibutuhkan. Dikeluarkannya kebijakan tersebut jelas mendapat tantangan dari PKI. PKI mengatakan bahwa bahwa Indonesia telah menyerah pada imperialisme Barat. Hasilnya pada April 1964 kebijakan tersebut dicabut.
Di lain pihak pada waktu yang bersamaan, militer semakin memperkuat posisinya tidak hanya dibidang politik tapi juga di bidang ekonomi. Dengan dikuasainya sumber- sumber ekonomi negara oleh militer, jelas telah pula memberikan keuntungan tidak hanya kepada militer secara institusional, tetapi juga kepada para pejabatnya secara pribadi. Karena itulah dalam kampanye PKI tahun pada pertengahan 1960an, muncul
74 Strategi yang digunakan ialah dengan membuat dua proyek (A dan B), dimana hasil dari proyek B yang dikerjakan oleh investor asing akan mensubsidi proyek A yang dilakukan oleh pengusaha pribumi. Yahya
Muhaimin, Bisnis…opcit, hal:45. Lihat pula Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal:74.
istilah kapitalis-kapitalis birokrat (kabir). Selain itu PKI juga menuduh bahwa para pejabat militer telah melakukan tindakan korupsi dan bagian dari "dinasti ekonomi". Mungkin saja apa yang dituduhkan PKI tersebut tidak terlalu berlebihan. Karena dalam memahami peran militer dalam ekonomi terpimpin yang diperlihatkan dalam bentuk penguasaan atas pengelolaaan perusahaan-perusahaan negara, terlihat bahwa dengan dikuasainya perusahaan-perusahaan negara tersebut, militer tidak hanya mendapat keuntungan secara materi, tetapi yang jauh lebih penting ialah keuntungan pihak militer dalam pengendalian sumber-sumber ekonomi nasional.
PKI sebagai penyeimbang kekuatan politik militer, dalam masalah sosial ekonomi juga tidak mau ketinggalan. Sebagai sebuah partai massa, PKI pada saat yang sama juga sibuk mengorganisir rakyat baik di kota maupun di desa ke dalam organisasi- organisasi yang berafiliasi dengannya. Selain itu partai komunis ini juga aktif dalam mengkampanyekan UU land reform dan pembentukan Angkatan Kelima. Hal-hal ini semakin mempertajam perseteruan politik yang terjadi dengan pihak militer (Angkatan Darat) dan para pemilik modal atau pemilik tanah (yang kebanyakan dimiliki oleh para ulama). Selain itu PKI juga harus menerima tuduhan sebagai sebuah kelompok anti agama oleh kelompok-kelompok Islam.
Situasi seperti tersebut terjadi sampai menjelang berakhirnya sistem ekonomi terpimpin, yaitu pada tahun 1965. Setidaknya ada dua hal penting yang berusaha digambarkan oleh Arief Budiman dalam memahami situasi ekonomi Indonesia sampai pertengahan 60an:
(a) Perusahaan-perusahaan negara membengkak, akibat nasionalisasi perusahaan- perusahaan asing yang dijalankan oleh pemerintah. Perusahaan negara menjadi tulang punggung dari ekonomi negara, karena asetnya yang besar. Pengelolaan perusahaan negara ini praktis berada ditangan militer.
(b) Di sektor swasta, bisnis masih dikuasai oleh pengusaha-pengusaha Cina, meskipun pengusaha-pengusaha pribumi besar mulai muncul sebagai hasil dari Politik Benteng. Kelompok pengusaha pribumi ini jumlahnya sedikit, dengan demikian dibentuk oleh negara. Meskipun beberapa dari mereka menjadi (b) Di sektor swasta, bisnis masih dikuasai oleh pengusaha-pengusaha Cina, meskipun pengusaha-pengusaha pribumi besar mulai muncul sebagai hasil dari Politik Benteng. Kelompok pengusaha pribumi ini jumlahnya sedikit, dengan demikian dibentuk oleh negara. Meskipun beberapa dari mereka menjadi
Jadi sampai berakhirnya sistem demokrasi dan ekonomi terpimpin, dapat dilihat bahwa negara Indonesia pasca kolonial masih merupakan elemen terpenting dalam pembentukan kelas-kelas kapital pribumi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan ekonomi yang justru terlihat sangat ambisius. Bahkan dapat dikatakan bahwa peran negara justru semakin kuat. Sedangkan militer (Angkatan Darat) sebagai salah bagian dari sebuah negara Indonesia baru, justru semakin memantapkan perannya di luar bidang militer.
Hal lain yang dapat dilihat dari perkembangan struktur ekonomi Indonesia pasca kolonial sampai pertengahan 1960an, ialah bahwa ternyata investasi (modal) asing telah lama berperan dalam pembentukan struktur ekonomi Indonesia. Peran ini bahkan sudah terlihat ketika diadakannya kebijakan cultuurstelsel oleh pemerintah kolonial. Keberadaan investasi asing tidak bisa dilihat hanya sebagai sebuah elemen dalam sebuah struktur ekonomi yang modern semata. Tetapi yang lebih penting, investasi asing tersebut (terutama di Indonesia pasca kolonial ) ternyata juga merupakan salah satu faktor dalam pembentukan kelas kapital pribumi, yang dalam hal ini "diwakili" oleh pihak militer.
75 Arief Budiman, Negara…opcit, hal:38.
Bab III
Bisnis Militer: Amal Atau Komersil?
Indonesia pada awal Orde Baru adalah sebuah negara yang tengah diliputi oleh kekacauan, baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik. Di bidang politik Indonesia baru saja melepaskan diri dari pertarungan berbagai ideologi, yang hampir membawa bangsa dan rakyat Indonesia ke dalam jurang perpecahan. Pertarungan di tingkat ideologi tersebut akhirnya juga membawa Indonesia ke dalam sebuah mimpi yang sangat buruk. Sebagian kalangan masyarakat percaya bahwa telah terjadi pembantaian terhadap anggota dan para simpatisan Partai Komunis terbesar ketiga di dunia pada saat itu, yang sampai saat ini belum diketahui jumlah pastinya. Indonesia awal Orde Baru adalah saat dimana militer, terutama Angkatan Darat, mulai memainkan peran politiknya dengan lebih leluasa. Orde Baru dibawah kepemimpinan Jendral Suharto juga telah memberikan kesempatan pada kekuatan-kekuatan dan aktor-aktor politik baru untuk dapat memainkan peranannya dalam membentuk sebuah rezim. Pihak militer sendiri sebagai sebuah kekuatan negara yang dianggap "banyak berjasa" dalam menumpas rezim sebelumnya, juga telah mendapat kepercayaan yang sangat besar dari Suharto untuk dapat menjaga sumber-sumber kekuasaannya. Tidak saja di bidang politik, namun juga dalam bidang ekonomi.
Pada bidang ekonomi, Orde Baru mulai membangun kekuasaannya di tengah keterpurukan ekonomi yang sangat dalam. Terjadinya hiperinflasi dan terus membengkaknya hutang luar negeri, setidaknya dapat dijadikan indikator betapa hancurnya ekonomi Indonesia sampai menjelang akhir dekade 1960an. Bahkan dalam tingkat pendapatan ekonomi perkapita disebutkan bisa jadi lebih rendah dari tahun
1938. 76 Namun di sisi lain kita bisa melihat bahwa selama kekuasaannya, rezim Orde
Baru juga mampu membangun sebuah tatanan dan kondisi ekonomi yang lebih baik dibandingkan masa sebelumnya. Meski demikian, keberhasilan rezim ini harus dibayar
76 Anne Booth dan Peter McCawley, "Perekonomian Indonesia Sejak Pertengahan Tahun Enampuluhan", dalam Anne Booth dan Peter McCawley (editor), Ekonomi Orde Baru, Jakarta LP3ES, 1990, hal:1.
dengan sangat mahal oleh kekuatan-kekuatan politik yang lain. Terbentuknya sebuah rezim pemerintahan yang otoriter, pembatasan jumlah partai-partai politik, pelaksanaan kebijakan massa mengambang (floating mass) serta berbagai kebijakan politik lain adalah beberapa bukti yang mengindikasikan betapa kuatnya posisi rezim dalam sistem sosial, ekonomi maupun sistem politik yang terbentuk. Ciri lainnya juga dapat dilihat dari bagaimana negara memposisikan dirinya di dalam pembentukan kelas-kelas kapital. Negara yang didominasi oleh kelompok militer, telah menjadi sebuah kekuatan sentral dalam penentuan kelompok-kelompok kapital yang akan bermain dalam konstelasi ekonomi politik negara Indonesia Orde Baru. Apabila negara telah menjadi kekuatan atau aktor sentral dalam berbagai masalah terutama masalah ekonomi, hal ini jelas akan berimplikasi pada struktur dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Bab ini, akan mengkaji secara lebih mendalam lagi bagaimana negara (baca:militer) Orde Baru yang telah menjadi salah satu aktor atau kekuatan ekonomi politik tersebut memainkan perannya sekaligus juga bagaimana memposisikan dirinya terhadap kekuatan ekonomi lainnya. Selain itu juga akan dilihat bagaimana implikasi dari hal tersebut pada sistem ekonomi yang terbentuk.