Negara dan Masyarakat.
1 Negara dan Masyarakat.
1.1 Melemahnya Negara. Sebagaimana telah banyak dijelaskan dalam bab IV, ketika krisis ekonomi terjadi, negara Orde Baru telah kehilangan kemampuan tawar menawarnya terhadap kekuatan modal internasional. Begitu lemahnya posisi negara tersebut sehingga IMF dengan mudah mendikte segala kebijakan ekonomi yang akan diambil oleh pemerintah Indonesia. Disepakatinya nota kesepahaman (LoI) kiranya dapat dijadikan salah satu bukti yang jelas akan adanya bentuk-bentuk ketergantungan ekonomi gaya baru dari negara Indonesia kepada kekuatan kapitalisme internasional. Dan disadari atau tidak,
sampai kapanpun Indonesia tidak akan dapat melepaskan bentuk ketergantungan sampai kapanpun Indonesia tidak akan dapat melepaskan bentuk ketergantungan
Melemahnya negara Indonesia Orde Baru, ternyata tidak hanya dapat dilihat dari sisi ekonominya saja. Dengan terjadinya krisis ekonomi pada akhir dekade 1990an, secara posisi politik negara Orde Baru terutama terhadap masyarakat domestik juga turut melemah. Melemahnya posisi politik ini sebenarnya dapat dilihat dari munculnya berbagai persoalan dan gejolak sosial dan politik yang banyak terjadi semenjak tahun 1996.
Kemunculan berbagai gejolak politik politik tersebut sebenarnya pada awalnya dapat dilihat dari perubahan cara pandang masyarakat terhadap negara. Terjadinya krisis ekonomi itu sendiri sebenarnya telah menciptakan sebuah kesempatan baru bagi gerakan demokratisasi di Indonesia. Dalam pengertian bahwa tuntutan reformasi yang kemudian banyak disuarakan menjadi efektif ketika terjadi krisis ekonomi. Hal ini dimungkinkan karena posisi negara pada saat terjadi krisis terhadap masyarakat, menjadi lemah. Negara Orde Baru yang sebelumnya dianggap sebagai sebuah negara yang sangat kuat dengan didukung oleh kekuatan militer yang cukup solid, ternyata dengan terjadinya krisis ini membuktikan bahwa kekuatan negara Orde Baru selama ini adalah semu. Sehingga menjadikan krisis ekonomi ini di satu sisi sebagai instrumen yang telah “menyadarkan” sebagian besar masyarakat untuk secara lebih berani lagi menghadapi sikap otoriterisme rezim Orde Baru.
Dalam melihat hubungan atau signifikansi partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi di Indonesia, hal pertama yang harus kita lakukan ialah memilah-milah siapa yang dimaksud dengan masyarakat tersebut diatas. Setidaknya kita dapat membagi masyarakat tadi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama dari masyarakat tersebut ialah orang-orang yang secara jelas menjadi pendukung rezim Orde Baru. Kelompok kedua terdiri atas orang-orang yang secara terus terang menyebutkan ketidaksetujuannya pada rezim Orde Baru. Dan sebagai pencerminan dari ketidaksetujuan tersebut, maka mereka kemudian melakukan bentuk-bentuk perlawanan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kemunculan LSM-LSM atau lembaga-lembaga lain yang kerap kali melakukan kritikan terhadap pemerintah Orde Baru. Diluar itu bentuk-bentuk perlawanan lain dapat juga dilihat dari mulai tumbuhnya berbagai gerakan yang meski belum teroganisir secara baik, Dalam melihat hubungan atau signifikansi partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi di Indonesia, hal pertama yang harus kita lakukan ialah memilah-milah siapa yang dimaksud dengan masyarakat tersebut diatas. Setidaknya kita dapat membagi masyarakat tadi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama dari masyarakat tersebut ialah orang-orang yang secara jelas menjadi pendukung rezim Orde Baru. Kelompok kedua terdiri atas orang-orang yang secara terus terang menyebutkan ketidaksetujuannya pada rezim Orde Baru. Dan sebagai pencerminan dari ketidaksetujuan tersebut, maka mereka kemudian melakukan bentuk-bentuk perlawanan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kemunculan LSM-LSM atau lembaga-lembaga lain yang kerap kali melakukan kritikan terhadap pemerintah Orde Baru. Diluar itu bentuk-bentuk perlawanan lain dapat juga dilihat dari mulai tumbuhnya berbagai gerakan yang meski belum teroganisir secara baik,
yang dapat dilihat dari perkembangan aksi-aksi buruh. 170 Kelompok ketiga dari masyarakat tersebut diatas ialah orang-orang yang pada
dasarnya bukan atau tidak mendukung rezim Orde Baru, namun mereka tidak melakukan tindakan-tindakan seperti yang dilakukan oleh kelompok kedua. Jika dicermati mereka tersebut bukannya tidak berdaya, tetapi tampaknya dalam hal ini mereka jugalah yang tidak ingin memberdayakan dirinya sendiri. Dalam pengertian bahwa mereka tidak mau mengambil sikap yang berhadapan langsung dengan rezim. Mungkin di dalam sebuah kesempatan mereka menunjukan ketidaksetujuan mereka terhadap rezim Orde Baru. Namun ketika berhadapan dengan penguasa mereka justru tidak ingin menunjukan ketidaksetujuannya tersebut. Hal ini dimungkinkan karena mereka telah mendapatkan keuntungan dari sistem yang ada. Tetapi ketika terjadi krisis ekonomi, mereka kemudian merasa bahwa negara Orde Baru tidak lagi dapat memberikan keuntungan sebagaimana yang telah mereka dapatkan sebelumnya. Mereka yang sebelumnya mampu menyekolahkan anaknya ke luar negeri, berkeliling dunia dan sebagainya, dengan terjadinya krisis ini mereka terpaksa harus memulangkan kembali anaknya atau tidak lagi dapat berbelanja ke luar negeri. Sebagai akibatnya mereka kemudian menjadikan rezim Orde Baru sebagai sumber kehancuran ekonomi yang harus segera dimusnahkan.
Di lain pihak militer yang sebelumnya seringkali dianggap solid dan merupakan salah satu pendukung utama dari kekuasaan Suharto mulai menunjukan fragmentasi, terutama di kalangan pejabat dan perwira tingginya. Sebagai sebuah kekuatan politik pendukung jelas hal ini akan sangat tidak menguntungkan bagi rezim Orde Baru. Sebab sebagai salah satu alat penopang utama kekuasaan Suharto, perpecahan dalam tubuh militer juga dapat dijadikan salah satu indikator turunnya “kewibawaan” rezim di hadapan publik dalam negeri. Pertentangan dalam memandang keberadaan dwifungsi ABRI diantara para pejabat militer rasanya dapat dijadikan salah satu indikator yang jelas dalam melihat perpecahan yang terjadi di dalam tubuh organisasi militer menjelang kejatuhan Orde Baru. Fragmentasi atau perpecahan yang terjadi di dalam tubuh militer
170 Meski diawali dari kebutuhan ekonomis mereka, perkembangan aksi-aksi buruh di Indonesia masa Orde Baru secara umum telah pula memberikan kontribusinya dalam proses demokratisasi di Indonesia.
menjadi semakin nampak jelas terlihat setelah munculnya dua faksi yang saling bertentangan, yaitu adanya “ABRI hijau” dan “ABRI merah-putih”. Dengan munculnya kedua faksi tersebut, jelas akan sangat berpengaruh kepada peran politik militer, dimana pada akhirnya juga akan akan sangat berpengaruh pada stabilitas politik nasional Indonesia. Misalnya saja hal tersebut dapat dilihat ketika terjadi penggusuran yang dilakukan oleh para perwira yang tergolong di dalam kelompok “ABRI merah-putih” yang didukung oleh Wiranto terhadap kelompok “ABRI hijau”. Hal ini seringkali diartikan sebagai salah satu sarana untuk memuluskan jalan Wiranto ke jabatan
Wapres. 171
Dari sisi perkembangan sebuah institusi kemiliteran, perpecahan semacam itu mungkin saja dapat dipandang sebagai sebuah awal dari hancurnya sebuah tatanan hirarkis. Namun di sisi demokratisasi, dengan adanya perpecahan semacam itu dapat diartikan sebagai sebuah “awal yang baik” dari proses demokratisasi politik. Sebab seperti telah seringkali disebutkan sebelumnya, peta perpolitik Indonesia banyak ditentukan oleh peran politik militer. Meski selama Orde Baru Suharto merupakan kunci utama dari berbagai kebijakan politik, namun mengabaikan faktor militer dalam memahami sistem politik Indonesia terutama semasa Orde Baru adalah merupakan sebuah kesalahan besar.
Hal yang tidak jauh berbeda ternyata juga dialami oleh Golkar. Sebagai organisasi sosial politik yang juga menjadi pendukung utama Orde Baru, perpecahan yang terjadi juga tidak dapat dihindari. Terutama menjelang munas yang akan memilih ketua umum baru. Selain itu Golkar yang merupakan tunggangan politik Orde Baru dalam beberapa
kali pemilihan umum, 172 ternyata juga harus berhadapan dengan opini publik yang telah memandangnya sebagai dalang bagi segala sumber keborokan sistem politik selama ini.
Dengan demikian ia juga harus menjadi salah satu kekuatan politik yang harus dimusnahkan. Karena itu perpecahan yang terjadi di dalam Golkar merupakan sesuatu hal yang tidak bisa di abaikan begitu saja dalam memahami hilangnya kewibawaan rezim Orde Baru.
171 Ikrar Nusa Bhakti et al, Tentara Yang Gelisah, Jakarta, Mizan, 1999, hal:146 172 Lihat Golkar Retak, Jakarta, ISAI, 1999.
Selain itu berkembanganya isu-isu seperti pelanggaran hak azasi manusia (HAM) yang sebelumnya banyak dilakukan oleh negara --terutama militer--, juga semakin mempersulit posisi negara. Beberapa aksi kekerasan yang dilakukan oleh negara, seperti peristiwa 27 Juli, penculikan serta penahanan beberapa aktivis pro demokrasi, dan terakhir disusul dengan terjadinya kerusuhan rasial pada pertengahan Mei 1998, ternyata sangat berimplikasi pada semakin turunnya kewibawaan atau legitimasi rezim Orde Baru di hadapan publik domestik. Dengan terjadinya berbagai peristiwa tersebut, masyarakat pada akhirnya justru menjadi semakin disadarkan akan posisi politik mereka yang sangat penting bagi sebuah proses perubahan sistem politik. Sebab bagaimanapun juga ada tidaknya dukungan masyarakat merupakan faktor yang penting bagi keberlangsungan sebuah rezim, terlepas apakah dukungan yang diberikan tersebut memang benar merupakan hasil dari kesadaran politik mereka sendiri atau itu merupakan hasil dari sebuah mobilisasi politik.
1.2 Menuntut Perubahan. Sebagaimana telah menjadi tradisi politik Orde Baru sebelumnya, ketika itu (1997) rezim yang berkuasa tengah mempersiapkan sebuah pemilihan umum. Sebuah pemilu yang juga telah menjadi sebuah alat legitimasi bagi keberlangsungan kekuasaan yang otoriter. Besarnya kekuasaan Suharto saat itu, turut pula menjadikan pemilu sebagai sebuah sarana untuk lebih mempertegas bahwa, tidak ada penguasa politik lain selain Orde Baru. Meski demikian, ketika itu bukan berarti tidak ada isu mengenai suksesi politik. Orde Baru yang telah berkuasa selama tiga dekade, menjelang pelaksanaan pemilu mulai berhadapan dengan masyarakat yang menginginkan akan adanya perubahan politik. Semakin berkembangnya isu suksesi kepemimpinan setidaknya juga dapat dijadikan sebagai salah satu indikasi dari adanya tuntutan perubahan tersebut. Dalam bab IV telah digambarkan bagaimana negara Indonesia di bawah Orde Baru mulai mengalami keterpurukan ekonomi. Sehingga menyebabkan Indonesia harus meminta bantuan kepada IMF. Dimana hal tersebut jelas akan menciptakan sebuah bentuk
ketergantungan ekonomi baru yang sangat mengikat 173 . Krisis ekonomi Asia yang juga dirasakan di Indonesia pada pertengahan 1997 ternyata telah pula membuka “mata”
sebagian besar dari masyarakat Indonesia tentang situasi dan keadaan yang sebenarnya
173 Lihat pula lampiran LoI.
dari kondisi ekonomi (dan politik) Indonesia selama Orde Baru. Dari sinilah mulai muncul berbagai tuntutan perubahan baik secara ekonomi maupun politik. Mengacu kepada berbagai argumentasi diatas yang telah menyebutkan bahwa, terjadinya krisis ekonomi merupakan “instrumen” yang telah menyadarkan masyarakat tentang pentingnya posisi politik mereka dalam proses perubahan politik, maka ketika terjadi tuntutan untuk melakukan perubahan --atau yang kemudian dikenal dengan nama reformasi-- tidak mengherankan apabila berbagai tuntutan yang pertama muncul dan berkembang adalah tuntutan tentang perbaikan di bidang ekonomi. Kalau kita melihat kembali kepada masa-masa awal terjadinya tuntutan reformasi, mungkin kita akan kembali diingatkan pada terjadinya kelangkaan sembilan bahan pokok (sembako) di kalangan masyarakat. Sulitnya masyarakat untuk mendapatkan berbagai kebutuhannya sehari-hari jelas telah menimbulkan berbagai keresahan. Keresahan itu kemudian berlanjut dengan terjadinya penimbunan bahan-bahan kebutuhan pokok tersebut oleh sebagian masyarakat. Dan bukan sesuatu yang mengherankan apabila kemudian harga- harga kebutuhan pokok tersebut menjadi semakin meningkat. Kesulitan-kesulitan dan keresahan-keresahan semacam itulah yang pertama kali menjadi pemicu munculnya berbagai desakan perubahan. Sehingga mengakibatkan desakan pertama perubahan tersebut adalah tuntutan penurunan harga-harga kebutuhan pokok oleh masyarakat.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, tuntutan perubahan yang dilakukan oleh masyarakat tidak lagi sebatas penurunan harga. Lebih jauh lagi masyarakat kemudian meminta atau mendesakan perubahan yang lebih substansial di bidang-bidang seperti ekonomi, hukum dan terutama di bidang politik. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan inti dari tuntutan perubahan yang muncul di masyarakat:
a. Turunnya Suharto agar bisa membentuk pemerintahan yang bersih dan kuat, dan menuntut MPR untuk secara khusus bertemu dan berbicara dengan Suharto tentang akuntabilitasnya sebagai presiden, dan menggantikannya.
b. Kabinet harus di-reshuffle, terutama untuk menteri-menteri di bidang ekonomi, keuangan dan industri.
c. Revisi terhadap lima UU politik, yaitu UU Kepartaian, UU Ormas, Pmilu, referendum dan komposisi keanggotaan DPR dan MP. Mereka juga c. Revisi terhadap lima UU politik, yaitu UU Kepartaian, UU Ormas, Pmilu, referendum dan komposisi keanggotaan DPR dan MP. Mereka juga
d. Revisi terhadap rekrutmen anggota MPR, terutama untuk utusan daerah dan organisasi politik dimana mereka harus mewakili kelompok masyarakat. Penghapusan nepotisme dan mengajukan anggota DPR dan MPR. Fraksi- fraksi di DPR harus berani menyuarakan aspirasi rakyat dan mengawasi pemerintahan bukan sebaliknya.
e. Pelaksanaan HAM di segala bidang, hak hukum warga negara harus dihormati dan dijamin. Aparat negara khususnya ABRI tidak boleh bersikap represif dalam menghadapi rakyat khususnya para aktivis. Rakyat harus memiliki kesempatan untuk menyatakan aspirasinya melalu demonstrasi.
f. Reformasi hukum, dan dihapuskannya korupsi, kolusi, nepotisme dan monopoli di segala bidang. 174
Dari berbagai tuntutan reformasi yang muncul seperti disebutkan di atas, membuktikan bahwa, bagi masyarakat perubahan sistem sosial, hukum, ekonomi maupun politik merupakan sesuatu yang tidak dapat ditunda lagi. Atau dengan kata lain reformasi harus mencakup adanya pergantian rezim lama ke rezim baru, adanya keberpihakan kepada rakyat yang salama ini terabaikan, mengurangi kecenderungan sentralisme kekuasaan, pendistribusian kekuasaan, supremasi hukum yang tidak bisa dikalahkan oleh
kekuatan politik maupun ekonomi. 175 Begitu pula apabila kita mencoba memahami meluasnya tuntutan reformasi dari
sisi masyarakatnya. Jika kita melihat kembali pada penjelasan awal bab ini, nampak bahwa ada pergeseran cara pandang sebagian golongan dari masyarakat terhadap negara. Pergeseran cara pandang sebagian golongan dalam masyarakat ini akan semakin nampak terlihat bila kita mencoba untuk melihat siapa-siapa saja yang aktif terlibat untuk menuntut diadakannya perubahan. Meski diawali dengan kemunculan demonstrasi yang dilakukan mahasiswa, tetapi pada perkembangannya, tuntutan akan adanya perubahan
174 Ikrar Nusa Bhakti et al, Tentara…opcit, hal:87-88. 175 Ibid, hal:89.
atau reformasi tersebut menjadi berkembang ke berbagai kelompok masyarakat, seperti yang dikeluarkan oleh kelompok-kelompok alumni dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan termasuk juga yang dilakukan oleh para peneliti LIPI melalui pernyataan keprihatinannya.
Mencermati berbagai tuntutan perubahan tersebut, dan kemudian mengaitkannya dengan argumentasi yang dikemukakan oleh Huntington diatas, nampak jelas bahwa turunnya legitimasi dan “kewibawaan” negara Orde Baru pada awalnya sangat dipengaruhi oleh terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia di akhir dekade 1990an. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab IV, Asia mengalami pertumbuhannya yang pesat pada dekade 1990an, dan Indonesia menjadi salah satu negara yang juga mengalami pertumbuhan yang pesat tersebut. Namun hantaman badai krisis ekonomi Asia yang juga dirasakan di Indonesia, telah melemahkan posisi negara atau dalam hal ini rezim otoriter Orde Baru terhadap masyarakat. Dengan melemahnya posisi ini mengakibatkan munculnya kekuatan baru dalam masyarakat yang mampu menghadapi otoritas negara, yang perwujudannya dapat dilihat dari adanya berbagai tuntutan seperti di atas.
Selain itu seperti juga telah dijelaskan dalam tesis Huntington tersebut di atas, pertumbuhan ekonomi sebelum krisis telah pula mengakibatkan meningkatnya tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Berkembangnya teknologi terutama di bidang komunikasi juga menjadi pendukung berkembangnya tuntutan akan perubahan tersebut. Karena dengan adanya berbagai kemajuan tersebut masyarakat dapat dengan lebih mudah menyerap berbagai ide-ide baru tentang demokratisasi, yang pada gilirannya juga menjadi alat penekan yang efektif bagi perubahan politik di Indonesia. Dan sekali lagi hal ini dapat pula diartikan sebagai salah satu bukti lain dari hilangnya otonomi relatif negara terhadap masyarakat. Karena negara tidak lagi mampu memediasi segala kepentingan yang muncul di masyarakat. Apalagi untuk memajukan kepentingannya sendiri. Sebab sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, otonomi relatif dalam konteks negara pasca kolonial, seringkali diartikan pula sebagai perwujudan dari adanya kepentingan negara yang terpisah dari kepentingan-kepentingan kelas yang ada dalam masyarakat.