Peran Ekstramiliter Tentara Masa Demokrasi Parlementer.
2 Peran Ekstramiliter Tentara Masa Demokrasi Parlementer.
2.1. Awal Peran Militer Dalam Politik. Dalam memahami peran politik militer Indonesia, ternyata institusi angkatan bersenjata yang baru saja terbentuk tersebut, memiliki perbedaan yang sangat signifikan
dengan institusi militer yang ada di Indonesia pada saat sekarang ini. Pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, kekuatan militer Indonesia belum secara langsung terjun dan terlibat dalam praktek-praktek politik praktis. Para perwira militer masih menerima asas keunggulan kekuasaan sipil dan menganggap bahwa peranannya di bidang politik sewaktu-waktu diperlukan, tetapi tidak pernah muncul sebagai kekuatan politik yang utama. Pergeseran peranan militer sehingga menjadi sebuah kekuatan politik yang utama ternyata lebih banyak disebabkan pula oleh keadaan dan situasi politik pada saat itu yang semakin tidak menentu. Memasuki dekade 1950an, negara Indonesia yang baru merdeka tersebut mencoba untuk menerapkan sebuah sistem politik parlementer. Pemberlakuan sistem politik ini diharapkan dapat mengakomodir segala kepentingan masyarakat yang tersalurkan melalui keberadaan partai-partai politik. Namun kenyataan yang ada adalah sebaliknya. Pada masa demokrasi parlementer tersebut, keberadaan partai-partai politik tersebut nampaknya justru semakin memperlihatkan perselisihan diantara para elit politik. Terlalu seringnya pergantian kabinet yang berkuasa dari berbagai macam partai dan dengan institusi militer yang ada di Indonesia pada saat sekarang ini. Pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, kekuatan militer Indonesia belum secara langsung terjun dan terlibat dalam praktek-praktek politik praktis. Para perwira militer masih menerima asas keunggulan kekuasaan sipil dan menganggap bahwa peranannya di bidang politik sewaktu-waktu diperlukan, tetapi tidak pernah muncul sebagai kekuatan politik yang utama. Pergeseran peranan militer sehingga menjadi sebuah kekuatan politik yang utama ternyata lebih banyak disebabkan pula oleh keadaan dan situasi politik pada saat itu yang semakin tidak menentu. Memasuki dekade 1950an, negara Indonesia yang baru merdeka tersebut mencoba untuk menerapkan sebuah sistem politik parlementer. Pemberlakuan sistem politik ini diharapkan dapat mengakomodir segala kepentingan masyarakat yang tersalurkan melalui keberadaan partai-partai politik. Namun kenyataan yang ada adalah sebaliknya. Pada masa demokrasi parlementer tersebut, keberadaan partai-partai politik tersebut nampaknya justru semakin memperlihatkan perselisihan diantara para elit politik. Terlalu seringnya pergantian kabinet yang berkuasa dari berbagai macam partai dan
Selain itu dalam penanganan masalah angkatan bersenjata, para politisi sipil tersebut juga menunjukan sikap yang tidak tegas, terutama dalam masalah pembentukan sebuah organisasi kemiliteran. Para politisi sipil tersebut dianggap tidak mampu untuk menentukan pengangkatan para perwira militer ataupun penentuan organisasi struktural militer. Hal ini telah menimbulkan sebuah preseden buruk di kalangan militer tentang para politisi sipil, yang sekaligus pula dapat dianggap sebagai permulaan yang buruk dalam pembentukan hubungan sipil-militer di Indonesia pada masa-masa selanjutnya. Dalam hal ini, para politisi sipil tersebut sebenarnya juga telah kehilangan sebuah kesempatan untuk membentuk sebuah organisasi kemiliteran yang tunduk dan loyal pada asas keunggulan kekuasaan sipil seperti pernah terjadi pada awal pasca proklamasi. Sampai akhirnya para perwira militer tersebut memutuskan untuk menentukan sendiri menteri pertahanan dan panglima mereka.
Hal lain yang juga menambah kekecewaan pihak militer kepada para politisi sipil ketika itu ialah rencana diadakannya reorganisasi dan rasionalisasi jumlah kekuatan militer tahun 1952. Ketika itu keadaan keuangan pemerintah tidak memungkinkan untuk dapat membiayai sebuah angkatan bersenjata yang besar. Sampai menjelang akhir tahun
1952, angka produk eksport utama Indonesia terus mengalami penurunan. 42 Oleh sebab itulah pada saat kabinet Wilopo berkuasa, untuk mengatasi hal tersebut yang sekaligus
pula merupakan kesempatan untuk membentuk sebuah organisasi kemiliteran profesional seperti yang diinginkan oleh para pimpinan militer saat itu (Nasution dan TB Simatupang). Maka dengan dukungan dari sekjen kementerian pertahanan, Mr Ali Budiardjo, diadakanlah reorganisasi dan rasionalisasi militer Indonesia dengan cara melakukan demobilisasi. Dalam Catatan-Catatan Sekitar Politik Indonesia, Nasution menggambarkan secara jelas jumlah personel militer yang terdemobilisasi ialah, personel dengan melihat syarat-syarat kesehatan yang kurang memadai lagi sekitar 40.000 orang, penaksiran akan adanya permintaan berhenti sekitar 30.000 orang, 10.000 orang akan memasuki masa pensiun dan sisanya sekitar 8000 orang akan meninggalkan angkatan
42 Mengenai jumlah pasti penurunan tersebut lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, London, Cornell University Press, 1973, hal:246-248.
perang, dimana keseluruhan orang tersebut akan dijamin hidupnya sampai mereka mendapat hidup yang layak dalam masyarakat. 43 Rencana rasionalisasi ini segera saja
mendapat tantangan dari para perwira bekas Peta, yang merasa terancam kedudukannya apabila diadakan rasionalisasi. Perasaan semacam itu timbul karena para bekas anggota Peta tersebut tidak mendapat pendidikan kemiliteran, sebagaimana yang telah didapat oleh para bekas anggota KNIL.
Sebagai kelanjutan dari dukungan yang diberikan oleh oposisi di parlemen pada para perwira bekas Peta, 44 serta diterimanya mosi PNI yang diajukan oleh Manai
Sophiaan, tentang perluasan tugas komisi parlemen yang dibentuk untuk memberi laporan mengenai kemungkinan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan dalam pimpinan
dan organisasi kementerian pertahanan dan Angkatan Perang 45 pada tanggal 16 Oktober 1952, maka keesokan harinya, atas inisiatif kelompok "elang" (Sebuah faksi perwira
dalam kelompok reformator pada Angkatan Darat dan faksi ini merupakan faksi yang paling keras/ radikal dalam menuntut keikutsertaan pihak Angkatan Darat dalam setiap
pengambilan keputusan dan kebijakan politik) , 46 dibawalah massa rakyat sekitar 30.000 orang untuk menduduki gedung parlemen dan kemudian berdemontrasi ke istana presiden, dengan tuntutannya, yaitu pembubaran parlemen serta segera diadakan pemilihan umum. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 17 Oktober 1952 tersebut, oleh Harold Crouch disebut sebagai sebuah krisis politik besar pertama yang melibatkan pihak
tentara. 47 Dari pertemuan yang diadakan antara utusan para perwira senior dengan Presiden Sukarno, ternyata presiden sendiri mendukung apa yang telah dilakukan oleh
para perwira bekas Peta. Sebagai akibatnya Nasution kemudian diberhentikan dari jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
43 A.H Nasution, Catatan-Catatan Sekitar Politik Militer Indonesia, Jakarta, CV Pembimbing Masa, 1955, hal: 273.
44 Dukungan ini sendiri oleh pimpinan AD dianggap sebagai "campur tangan" pihak sipil dalam persoalan intern AD. Harold Crouch, Militer…opcit, hal:27.
45 Mosi tersebut sebenarnya bukan murni dari PNI. Sebelumnya I.J Kasimo dari Partai Katolik telah mengusulkan agar dibentuk sebuah komisi yang terdiri dari anggota-anggota parlemen dan kabinet untuk
menyelidiki semua masalah yang telah dikemukakan dalam perdebatan selama enam bulan terakhir. Lihat Ulf Sudhaussen, Politik…opcit, hal:117. Dimana salah satunya adalah masalah organisasi kemiliteran. Lihat juga, Herbert Feith, The Decline …opcit, London, Cornell University Press, 1962, hal:256-258.
46 Kelompok/golongan "elang" ini berpendapat bahwa kemerdekaan yang telah dicapai sebagian merupakan hasil perjuangan mereka sendiri. Oleh sebab itu mereka juga merasa berhak dalam penentuan
masalah-masalah politik di Indonesia. Ibid, hal:122. 47 Harold Crouch, Militer…opcit.
Meskipun persoalan intern dalam tubuh Angkatan Darat sendiri belum sepenuhnya berhasil diselesaikan, namun situasi politik yang tidak stabil telah menimbulkan kekecewaan bersama, baik para perwira yang berasal dari kalangan teknokrat (yang menginginkan profesionalisasi tentara), maupun kalangan perwira yang berasal dari bekas Peta. Kekecewaan terhadap pelaksanaan demokrasi parlementer inilah yang menyatukan perbedaan diantara kedua golongan tersebut. Oleh sebab itulah pada tahun 1955 diadakanlah rekonsiliasi formal diantara para perwira senior Angkatan Darat. Kesadaran bahwa mereka merupakan sebuah kekuatan politik yang cukup efektif semakin mencapai puncaknya setelah Kolonel Bambang Utoyo diangkat menjadi Kepala Staf. Sebagai seorang perwira yunior nampaknya ia tidak mendapat dukungan dari kedua kelompok di dalam Angkatan Darat. Penentangan itu sendiri berhasil, dengan berakibat jatuhnya kabinet Ali Sastroamidjojo I.
Persoalan lain yang perlu dipahami dalam membahas asal usul peran politik militer adalah persoalan dwifungsi. Konsep ini sendiri menjadi sangat penting dalam memahami peran politik militer Indonesia terutama Masa Orde Baru, karena konsep inilah yang menjadi legitimasi bagi pihak militer untuk turut serta dalam masalah- masalah politik. Secara khusus perjalanan sejarah dari konsep dwifungsi itu sendiri berawal dari pidato Nasution pada tanggal 12 November 1958. Pidato pada peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional di Magelang yang dikenal dengan jalan tengah (army's middle way) tersebut pada intinya ialah mengenai formulasi tentang kedudukan
TNI AD dalam negara. 48 Seperti dikutip oleh Azca, pada kesempatan itu Nasution mengatakan bahwa:
"…..TNI AD tidak bisa mengikuti tingkah laku militer di Amerika Latin yang memainkan peran politik secara langsung, dan tidak pula akan merupakan institusi pasif dalam politik sebagaimana pada militer Barat. Tetapi tentara Indonesia akan mencari "jalan tengah" diantara kedua ekstrem itu; TNI sebagai tentara tidak akan melibatkan dirinya ke dalam persoalan politik--seperti kudeta-- tapi tidak pula akan menjadi penonton di
dalam arena politik…." 49
Meski demikian secara umum lahirnya konsep dwifungsi ini sendiri tidak dapat dipisahkan dari perkembangan organisasi kemiliteran Indonesia, yang sejak awalnya
48 M. Najib Azca, Hegemoni Tentara, Yogyakarta, LKIS,1998, hal:72. 49 Ibid.
memang tidak bisa dipisahkan dari persoalan-persoalan politik. Jadi, seperti yang diutarakan oleh Bilveer Singh, meski konsep tersebut secara resmi baru diperkenalkan di kemudian hari, namun dalam prakteknya konsep tersebut telah berjalan semenjak masa
revolusi fisik. 50
2.2. Militer Dan Ekonomi Indonesia Era Demokrasi Parlementer. Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan adalah sebuah negara tanpa basis ekonomi yang kuat. Secara umum struktur ekonomi Indonesia masih banyak bergantung pada para pengusaha Belanda atau orang-orang Eropa lain yang masih menguasai sebagian besar perkebunan dan perdagangan, serta para pengusaha keturunan Cina yang menguasai perdagangan. Sedangkan kaum pribumi sendiri mayoritas masih sebagai
petani kecil atau buruh tani. 51 Hal ini terjadi sebagai kelanjutan dari struktur ekonomi yang telah terbentuk selama masa kekuasaan kolonial Belanda. Pada masa penjajahan,
penguasa kolonial dengan sengaja membentuk sebuah struktur sosial, dimana masyarakat pribumi tidak akan dapat memiliki jalur dalam penguasaan sektor-sektor ekonomi yang penting. Dengan politik divide et impera-nya pemerintah kolonial berhasil "mengadu domba" antara para bangsawan yang berada di pedalaman Jawa dengan bangsawan pesisir atau antara para bangsawan dengan para pedagang. Dengan demikian pemerintah kolonial dengan mudah menguasai tanah dan para petaninya. Dengan perlindungan dari pemerintah kolonial, para bangsawan Jawa menjadi lebih menyukai untuk menjadi pegawai negeri dibandingkan menjadi pedagang. Pemerintah kolonial sendiri kemudian lebih banyak memberikan perlindungan dan kemudahan dalam sektor perdagangan ini ke tangan pengusaha keturunan Cina. Dengan demikian pemerintah kolonial telah berhasil meredam sebuah proses pembentukan kelas-kelas borjuis (kapitalis) pribumi yang kuat.
Tidak adanya kelas borjuis pribumi yang kuat inilah yang selama masa demokrasi parlementer berusaha diakomodir oleh pemerintah dengan melakukan sebuah program. Program yang kemudian dikenal dengan Program Benteng ini sebenarnya telah diluncurkan semenjak bulan April 1950. Namun program tersebut baru mulai dilaksanakan pada masa Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951). Program Benteng ini bertujuan untuk membentuk kelompok-kelompok pengusaha pribumi yang kuat. Hal
50 Bilveer Singh, Dwifungsi ABRI, Asal Usul, Aktualisasi Dan Implikasinya Bagi Stabilitas dan Pembangunan, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal: 45-46.
51 Arief Budiman, Negara…opcit, hal: 30.
ini dilakukan dengan cara memberikan lisensi, subsidi dan berbagai kemudahan lainnya kepada para pengusaha pribumi tersebut untuk mengimpor barang. 52 Barang-barang
tersebut kemudian kembali dijual di dalam negeri. Dengan memanfaatkan perbedaan antara kurs mata uang resmi dengan kurs di pasar gelap, mereka berhasil mendapatkan keuntungan yang cukup besar. Sedangkan para pengusaha keturunan Cina dilarang untuk mengikuti program ini. Dalam pelaksanaan Program Benteng ini, peran dari partai-partai politik yang berkuasa dalam membentuk kelompok-kelompok pengusaha pribumi menjadi sangat signifikan. Karena pada saat itu, para pengusaha pribumi yang terlibat dalam Program Benteng hanyalah yang memiliki hubungan khusus dengan para politisi partai politik. Oleh sebab itulah pembentukan kelas-kelas kapital pribumi tersebut, juga terpengaruh oleh adanya pergantian-pergantian elit politik yang berkuasa.
Pemberian proteksi, subsidi dan berbagai kemudahan lain tersebut, secara kuantitas memang telah pula berhasil meningkatkan jumlah pengusaha pribumi. Robison mencatat jumlah importir pribumi meningkat, dari 100 ditahun 1949, meningkat menjadi 250 ditahun berikutnya, dan 7000 pada pertengahan 1953.Apabila dipersentasikan, dari
37% ditahun 1952-53 menjadi 76,2% pada akhir 1954. 53 Meski demikian juga tidak sedikit diantara para pengusaha tersebut yang gagal atau hanya menjadi bayang-bayang
para pengusaha keturungan Cina dan India. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan program Benteng tersebut, Robison juga melihat ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian dalam memahami pembentukan hubungan antara negara dengan para pemodal. Pertama program tersebut telah pula menjadikan para pengusaha keturunan Cina tersebut bagian yang menyatu dalam struktur kapitalisme Indonesia. Secara cepat pula mereka menjadi bagian dominan dari penanam modal (investor) dalam negeri. Kedua, hal ini juga membuktikan bahwa kelompok-kelompok pribumi tidak mampu untuk dapat mengembangkan usahanya. Ketiga, sumber-sumber modal dalam negeri, termasuk pula yang dimiliki oleh para pengusaha Cina, ternyata tidak mampu untuk menggantikan modal asing, terutama dalam industri berskala besar dan perusahaan-perusahaan pertambangan. Dalam situasi dan kondisi seperti ini negara kemudian memulai untuk mengambil peran utama dalam keuangan, kepemilikan dan pengelolaan investasi dalam
52 Richard Robison, Indonesia: The Rise…opcit, hal:44-45. 53 Ibid.
sektor-sektor tersebut. Dalam keadaan seperti ini kita dapat memahami kekuasaan negara pada dua level. Level pertama diamana berbagai kebijakan publik (fiskal, keuangan dan hukum) dibentuk berdasarkan hubungan antara negara dengan modal. Level kedua, dimana hubungan tercipta antara pejabat negara dan pemilik modal pribadi (individual
capitalist) yang didasarkan pada kecocokan pribadi antara keduanya. 54 Hal lain yang dapat dilihat dari pelaksanaan Program Benteng ini, ialah bahwa
ternyata setidaknya selama dekade pertama pasca kemerdekaan, pemerintah Indonesia sebenarnya belum mampu merubah apalagi membentuk sebuah sistem sosial ekonomi yang sama sekali baru dibandingkan dengan sistem sosial ekonomi yang telah terbentuk pada masa kolonial. Sehingga pada waktu itu para pemimpin pemerintahan hanya sekedar menjalankan sebuah sistim sosial yang vakum, serta diikuti pula dengan pertarungan di tingkat elit politik yang ditandai dengan seringnya pergantian kabinet.
Dalam mensikapi hal tersebut, militer yang mulai menyadari potensi kekuatan politik yang dimilikinya, semakin bertambah kecewa. Hal yang serupa juga mulai dirasakan oleh Presiden Sukarno, yang melihat pengakuan dirinya sebagai presiden hanya sebatas simbolik saja. Sementara yang berkuasa dalam menjalankan pemerintahan ialah perdana menteri. Pemilihan umum yang dilakukan pada tahun 1955, ternyata hasilnya tidak seperti yang banyak diharapkan. Perpecahan intern dalam kabinet koalisi yang terbentuk pasca pemilu (Ali Sastroamidjojo II) mengakibatkan kabinet ini kurang dapat bertindak cepat. Selain itu semakin gencarnya serangan dari pihak oposisi, terutama dari kalangan panglima militer di berbagai daerah di luar Jawa, telah pula mempersulit posisi kabinet koalisi PNI, Masyumi dan NU tersebut. Para panglima militer tersebut merasa bahwa kepentingan daerahnya telah dirugikan dengan terjadinya nilai tukar yang tidak realistis. Pada pertengahan 1956 mereka kemudian mulai mengatur berbagai penyelundupan secara besar-besaran. Mereka memberikan alasan bahwa hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit dan ekonomi daerah
mereka. 55 Dengan terjadinya penyelundupan di berbagai daerah tersebut jelas akan semakin menurunkan kredibilitas dari kabinet yang berkuasa. Terjadinya pemberontakan
di berbagai daerah seperti terjadinya peristiwa PRRI/Permesta kiranya dapat
54 Ibid. 55 Herbert Feith, Sukarno…opcit, hal:17-18.
menggambarkan bagaimana para panglima daerah tersebut semakin tidak mempercayai pelaksanaan demokrasi parlementer tersebut.
Sebenarnya tindakan penyelundupan seperti itu bukan merupakan hal yang baru. Ketika bangsa Indonesia berada pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan sampai tahun 1950, para pejuang baik yang tergabung dalam pasukan "reguler" atau yang tergabung ke dalam laskar perjuangan rakyat, juga melakukan berbagai kegiatan yang bersifat ekonomi. Kegiatan itu sendiri bertujuan untuk mendapatkan dana perjuangan. Kesatuan-kesatuan perjuangan yang belum teratur itu, kemudian melakukan berbagai tindakan penyelundupan dan perdagangan candu, yang memang menjadi komoditas utama pada masanya. Hasil didapat dari kegiatan-kegiatan tersebut kemudian ditukar
dengan senjata. 56 Di sisi lain dapat terlihat bahwa pergolakan di berbagai daerah, seperti yang
terjadi pada peristiwa PRRI/Permesta, ternyata tidak bisa diartikan sebagai persoalan politik semata. Namun persoalan yang lebih penting ialah bagaimana pihak pemerintahan di daerah (yang didukung oleh pihak militer setempat) memandang pemerintah pusat di Jakarta dari sisi ekonomi. Masalah pengaturan devisa antara pusat dan daerah (terutama di luar Jawa), ternyata sudah menjadi persoalan yang serius. Kenyataannya memang, pada waktu itu pembayar pajak terbesar berada di luar pulau Jawa. Padahal kebijakan alokasi devisa yang ada, justru cenderung lebih memberikan keuntungan bagi importir
dan konsumen di pulau Jawa ketimbang para eksportir dan para pengusaha di daerah. 57 Sedang bagi para panglima wilayah berbagai penyelendupan yang mereka lakukan
dianggap sebagai satu-satunya cara untuk memperlancar dukungan keuangan yang mereka butuhkan untuk operasi-operasi kemiliteran. Karena pada masa itu penyalahgunaan sumber devisa, pemberian izin istimewa pada anggota partai dan
birokrasi yang berbelit telah menyulitkan para pedagang. 58 Namun secara khusus pula, terjadinya peristiwa di berbagai daerah tersebut juga
dimungkinkan karena rapuhnya organisasi kemiliteran yang ada, terutama antara tahun 1952-1955. Dalam rangka membentuk organisasi kemiliteran yang kuat dan efektif, maka
56 Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, 1998, hal:45. 57 Barbara Silars Harvey, Permesta: Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta, Grafitipers,1989, hal:17. 58 R. Z Leirissa, PRRI/Permesta, Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, Jakarta, Grafitipers,
1997, hal:13.
Nasution sebagai KSAD memperkenalkan konsep mengenai pembentukan organisasi pertahanan yang mencakup seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian dikenal dengan konsep tentara dan teritorium. Nasution kemudian membaginya menjadi 7 wilayah TT. Dengan adanya para panglima teritorium di ketujuh wilayah tersebut, maka panglima daerah yang telah ada sebelumnya memiliki kewenangan yang semakin luas. Para panglima daerah tersebut tidak hanya berwenang dalam bidang militer dan politik saja, tetapi juga dibidang ekonomi Kewenangan tersebut dapat dilihat pada keterlibatannya didalam berbagai bidang usaha. Sistem perekonomian dibawah para panglima TT ini, sebenarnya banyak memberikan dampak positif bagi pembangunan di daerah. Misalnya saja dalam pemenuhan kebutuhan akan logistik dan pemeliharaan pemukiman bagi militer dapat diberikan oleh rakyat setempat, sedangkan kebutuhan rakyat seperti gula dan sebagainya yang masih sulit pada saat itu, dapat diberikan oleh militer sebagai timbal
baliknya. 59 Tindakan lain yang dilakukan oleh para panglima daerah sebagai solusi dalam mengatasi persoalan anggaran ialah dengan cara melakukan berbagai pungutan liar
(ilegal) kepada para pengusaha daerah. Sementara itu di berbagai daerah lain, terutama di tingkat kesatuan-kesatuan yang lebih rendah, militer dalam memenuhi anggaran yang dirasakan kurang tersebut melakukan bisnis dengan memanfaatkan alat-alat yang dimilikinya. Mereka juga membuka toko murah untuk menyediakan kebutuhan sehari- hari para anggotanya, peternakan ayam dan sebagainya. Konsep ini sendiri kemudian dikenal dengan civic missions (operasi karya). Pengertian dari konsep ini sendiri adalah penyatuan kegiatan ketentaraan dengan masyarakat sipil. Konsep ini sebenarnya juga
diadopsi dari sebuah model dinas ketentaraan Amerika Serikat. 60 Namun pada perkembangan selanjutnya ternyata banyak dari bisnis yang dilakukan oleh militer
tersebut menjadi hancur akibat sering terjadinya kesalahan dalam pengelolaannya. Oleh sebab itulah, maka tindakan kolusi antara para perwira dengan para pengusaha Cina menjadi semakin merebak. Persekutuan diantara para perwira militer dengan para pengusaha Cina tersebut kemudian dikenal dengan istilah Ali-Baba, dimana salah satunya
59 Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:48-49. 60 Ibid, hal: 53.
pelakunya adalah panglima divisi Diponegoro yaitu Suharto dengan pengusaha Liem Sioe Liong. 61
Menyusul pengunduran diri kabinet Ali Sastroamidjojo II dan timbulnya berbagai gejolak yang terjadi di berbagai daerah tersebut, kemudian dijadikan alasan bagi pimpinan militer untuk segera mendesak Sukarno agar mengumumkan pemberlakuan undang-undang keadaan darurat perang (Staat van Oorlog en Beleg / S.O.B) di seluruh Indonesia. Dengan pemberlakuan undang-undang ini sebenarnya secara langsung telah pula memberikan legitimasi kepada pihak tentara untuk pengambilan tindakan-tindakan non militer secara lebih leluasa terutama turut serta dalam masalah-masalah bidang politik. Pemberlakuan undang-undang ini sendiri juga telah dimanfaatkan oleh para panglima militer di daerah untuk memperoleh kekuasaan administrasi pemerintahan di daerahnya dari tangan penguasa sipil semaksimal mungkin. Para panglima di daerah yang bertindak seperti itu pada umumnya beralasan bahwa, pada waktu itu mereka telah memposisikan dirinya secara berlawanan dengan kekuasaan militer pusat di Jakarta. Selain itu pula, secara ekonomi mereka juga mendapatkan posisi yang semakin menguntungkan, misalnya saja dalam hal penyelundupan. Hal lain yang memungkinkan mereka dapat melakukan pengambilalihan kekuasaan administrasi pemerintahan di daerah ialah, karena pada waktu itu stuktur administrasi di daerah terutama di luar Jawa masih lebih buruk dibandingkan dengan di Jawa, baik secara organisasi maupun otoritasnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberlakuan undang-undang darurat perang tersebut tidak hanya berimplikasi pada masalah politik tetapi telah pula berpengaruh dalam masalah ekonomi.
Berbagai peristiwa politik memang telah banyak terjadi pada tahun 1957. Pada menjelang akhir dekade 1950an. PBB dalam sidang umumnya telah mengalahkan mosi yang diajukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka penyelesaian masalah Irian Barat. Seperti sesuai dengan janji Sukarno yang akan membuat "dunia terkejut" apabila mosi tersebut ditolak, maka pada tanggal 3 Desember 1957 dimulailah pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik Belanda. Dimulai dari pengambilalihan Maskapai Perkapalan Belanda (KPM) dan berbagai perusahaan dagang besar milik Belanda oleh
61 Yahya Muhaimin, Bisnis Dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta, LP3ES, 1990, hal: 97-98.
serikat buruh lokal secara spontan, dan hal itu terus berlanjut sampai dengan tanggal 13 Desember 1957 dimana hampir semua perusahaan Belanda telah diambil alih.
Militer yang melihat hal tersebut kemudian merasa khawatir kalau perusahaan- perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi tersebut jatuh ke tangan pihak komunis. Karena itulah Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat kemudian segera memerintahkan penguasaan pengelolaan atas perusahaan-perusahaan bekas Belanda tersebut oleh pihak militer semenjak tahun 1958. Dengan dikuasainya pengelolaan dari perusahaan-perusahaan milik Belanda yang telah dinasionalisasi tersebut oleh pihak militer, maka semenjak itu secara langsung militer (Angkatan Darat) telah terlibat dalam praktek-praktek bisnis dalam skala yang lebih besar. Dengan dikuasainya pengelolaan perusahaan-perusahaan tersebut oleh pihak militer, maka terjadi pula sebuah transformasi kepentingan di kalangan militer sendiri. Militer yang sebelumnya menjalankan peranannya di bidang ekonomi hanya sebagai usaha pemenuhan anggaran (extra budgetary funds) yang dirasa kurang, berubah menjadi sebuah pemenuhan kepentingan
perusahaan (corporate interest) secara lebih meluas. 62 Sedang di sisi lain, Robison juga melihat bahwa pengelolaan oleh negara (militer) atas perusahaan-perusahaan bekas milik
Belanda yang telah dinasionalisasi tersebut, sebagai sebuah bukti ketidakpercayaan pemerintah atas kemampuan para pengusaha pribumi dalam mengelola usaha-usaha berskala besar.
Sementara itu, pada waktu yang bersamaan, yaitu sekitar bulan Mei 1957, Sukarno kemudian membentuk sebuah Dewan Nasional. Dewan Nasional tersebut kemudian dipimpin oleh Sukarno sendiri. Pembentukan Dewan nasional ini tersebut sebenarnya merupakan salah satu program dari Kabinet Djuanda yang bertujuan sebagai "tandingan" dari partai-partai politik di parlemen yang telah ada sebelumnya. Anggota- anggota dari Dewan Nasional itu adalah orang-orang yang berasal dari golongan fungsional, dimana militer merupakan salah satu bagiannya. Oleh sebab itu pihak militer terutama Angkatan Darat sangat mendukung pembentukan Dewan Nasional ini. Dengan keterlibatan pihak militer dalam Dewan Nasional yang baru terbentuk tersebut, maka secara langsung hal ini telah pula memperkukuh peranan militer dalam sistem politik di Indonesia. Sebaliknya terbentuknya Dewan Nasional ini jelas semakin memperlemah
62 Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:54.
posisi parlemen dalam sistem politik Indonesia. Sukarno yang semakin kecewa dengan demokrasi parlementer tersebut, kemudian semakin menekankan idenya tentang pelaksanaan demokrasi terpimpin sebagai solusi bagi berbagai persoalan yang muncul selama diadakannya demokrasi parlementer. Idenya ini kemudian mendapat dukungan yang kuat dari kalangan Angkatan Darat dan PKI, serta para pendukung fanatisnya. Sebagai kelanjutannya, pada 5 Juli 1959 Sukarno mengumumkan dekrit yang isinya ialah pembubaran badan konstituante dan pemberlakuan kembali UUD 45, yang sebelumnya digantikan oleh UUDS 1950.
Perubahan konstelasi politik terutama di tingkat elit tersebut secara langsung atau tidak langsung telah pula berimplikasi pada sistem ekonomi Indonesia pada waktu itu. Secara khusus perubahan konstelasi politik tersebut juga sangat berpengaruh pada usaha pembentukan kelas-kelas kapital pribumi yang dijalankan melalui Program Benteng. Kelompok-kelompok pengusaha pribumi yang sebelumnya sangat bergantung pada hubungannya dengan elit-elit partai politik di parlemen merasa sangat terpukul. Dekrit ini oleh Arief Budiman dikatakan sebagai kudeta terhadap kelompok-kelompok kelas menengah yang selama demokrasi parlementer merajalela dalam ekonomi maupun
politik. 63 Dengan melalui semacam aliansi dengan militer dan rakyat, Sukarno berhasil menggeser posisi politik kelas menengah dari arena perpolitikan di Indonesia. 64 Program
Benteng sendiri sebagai sebuah program pembentukan kelas-kelas kapitalis pribumi yang kuat, berakhir tepat pada saat kabinet Djuanda mulai berkuasa tahun 1957. 65
Sementara itu menjelang akhir pemerintahan partai-partai, juga dikeluarkan kebijakan ekonomi lain yang kemudian dikenal dengan nama Rencana Lima Tahun. Program itu disetujui oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada bulan September 1956. Rencana Lima Tahun itu (1956-1960) sebenarnya merupakan perkembangan dari rencana ekonomi yang telah ada sebelumnya.Tujuan dari Rencana Lima Tahun itu ialah untuk mendorong industri dasar, perusahaan-perusahaan pelayanan umum dan jasa sektor
publik, yang diharapkan dapat mendorong penanaman modal swasta. 66 Selain itu Rencana Lima Tahun ini juga lebih bersifat eksplisit, teknis dan terinci, bahkan sampai
63 Arief Budiman, Negara…opcit, hal: 37. 64 Ibid. 65 Richard Robison, Indonesia:The Rise…opcit, hal: 46. 66 Yahya Muhaimin, Bisnis…opcit, hal:39.
ke tingkat proyek yang lebih rendah. Hal ini dilakukan untuk membentuk perusahaan- perusahaan negara dan mengingat tidak adanya golongan pengusaha pribumi yang kuat, dan sekaligus untuk mengimbangi kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh para pengusaha Cina dan pengusaha asing lain.
Namun sama halnya dengan Program Benteng, program yang tidak memperhitungkan peningkatan inflasi ini, juga tidak dapat berjalan sesuai rencana. Karena memburuknya situasi keamanan dalam negeri dan terjadinya nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, yang secara langsung berdampak pada penanaman modal asing. Pengambilalihan menurut Robison, merupakan pukulan berat bagi modal
asing di Indonesia dan secara mendasar mengubah struktur ekonomi Indonesia. 67