KRISIS EKONOMI DESAKAN LIBERALISASI DAN
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,
Depok, 2000
Bab I Pendahuluan
1 Latar Belakang Masalah
Ketika kita hendak membicarakan hal-hal tentang politik di Indonesia, ada satu hal yang sampai kapanpun tidak boleh kita lupakan; militer. Militer Indonesia yang kesehariannya menamakan dirinya sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI) 1 , merupakan sebuah kekuatan politik yang selama lebih dari 50 tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia telah berhasil menjadikan dirinya tidak hanya sebagai
kekuatan politik yang dominan, tetapi juga telah menempatkan dirinya dalam posisi yang menentukan di berbagai bidang lain. 2
Militer memang secara idealnya merupakan alat negara yang profesional dibidang pertahanan, tetapi di dalam kenyataannya sehari-hari di Indonesia militer bukan lagi sekedar merupakan alat negara, tetapi telah berubah menjadi sebuah kekuatan politik yang sangat menentukan didalam perjalanan sistem politik Indonesia. Memang benar, apabila diperhatikan fenomena seperti ini bukan merupakan realitas yang hanya terjadi di negara Indonesia, namun hal tersebut seakan telah menjadi sebuah kecendrungan umum yang banyak terjadi di negara-negara dunia ketiga.
Sebagai sebuah kekuatan bersenjata, pada dasarnya militer dituntut untuk mau dan mampu untuk menempatkan dirinya sebagai sebuah organisasi yang profesional dibidangnya. Dalam The Soldier And The State, Huntington melihat bahwa, pada dasarnya profesi seorang militer tidaklah memiliki perbedaan yang terlalu signifikan dengan bentuk profesi profesional lainnya. Ia menyebutkan, dalam profesi militer yang profesional juga terdapat tiga hal penting yang juga terdapat pada profesi lain. Ketiga hal
tersebut ialah, expertise, responsibility dan corporateness. 3
1 Ketika skripsi ini dibuat ABRI telah kembali mnyebut dirinya sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kemudian apabila dalam skripsi ini disebutkan militer, tentara atau ABRI, maka yang dimaksud adalah
TNI-AD (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat), karena sesungguhnya dalam peta kekuatan politik Orba Angkatan Darat yang menjadi kekuatan dominan.
2 Begitu besarnya keterlibatan militer dalam politik, maka kemudian militer seringkali disebut dengan “The Shadow Government”.
3 The expertise of officership diartikan sebagai kemampuan para perwira untuk melaksanakan berbagai tugas dari setiap kekuatan militer, termasuk didalamnya pengorganisiran, pembekalan dan latihan. Kedua
perencanaan setiap aktivitas dan mengarahkan setiap operasi dan peperangan. The responsibility of
Peran militer yang sangat dominan dalam praktek-praktek politik di sejumlah negara, telah turut pula menciptakan rezim yang berkuasa menjadi otoriter. Penguasaan rezim otoriter atas sebuah negara, secara langsung juga telah menjadikan dominasi negara atas segala aspek kehidupan. Apabila rezim otoriter tersebut terdiri atas orang-orang yang berasal dari kalangan militer, maka dalam prakteknya militer pulalah yang berkuasa atas negara tersebut. Hal inilah yang terjadi di Indonesia. Indonesia (setidaknya selama rezim Orde Baru), telah menjadi sebuah negara otoriter yang disertai pula oleh adanya dominasi militer dalam kekuasaan politik. Secara historis, setelah kegagalan kudeta yang dilakukan pada tahun 1965, militer (baca: Angkatan Darat) telah berhasil menempatkan dirinya sebagai sebuah kekuatan politik satu-satunya yang berada di dalam lingkaran pusat kekuasaan politik. Keberadaan Golkar yang juga bentukan pihak militer, kekuasaan yang tersentralistis, dan terutama adanya konsep dwifungsi telah pula memperkokoh posisi militer dalam sistem politik Indonesia. Konsep dwifungsi ini juga yang menjadi legitimasi bagi pihak militer untuk terus dapat bersikap otoriter dalam berbagai persoalan politik di Indonesia selama Orde Baru.
Ketika berada dalam tahun-tahun pertama kekuasaan Orde Baru, peranan militer dalam praktek-praktek politik di Indonesia sangat besar. Indonesia yang baru saja melepaskan diri dari demokrasi terpimpin dibawah Sukarno dan dari sebuah kudeta, harus langsung berhadapan dengan berbagai persoalan yang dengan segera ditangani. Kesulitan ekonomi yang membelit seluruh rakyat, hiperinflasi serta jumlah hutang luar negeri yang kian membengkak, harus dijadikan prioritas penyelesaian bagi rezim Orde Baru. Namun dari sisi finansial hal tersebut menjadi sangat sulit untuk dilakukan. Satu- satunya cara untuk meningkatkan pendapatan negara untuk dapat memperbaiki keadaan ekonomi adalah dengan cara membuka kembali keran investasi asing. Agar para investor tersebut memiliki kepercayaan untuk mau menginvestasikan modalnya di Indonesia, pemerintah Orde Baru berkeyakinan bahwa stabilitas politik harus tetap terjaga. Dengan argumentasi ini, rezim Orde Baru dibawah Suharto menempatkan militer dalam berbagai bidang, terutama yang dianggap vital, dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah. Oleh
officership ialah para perwira tersebut dituntut untuk memilki tanggung jawab pada negara, sehingga dimungkinkan untuk mengkoreksi komandannya apabila bertentangan dengan kepentingan nasional Dan the corporate character of officership ialah para perwira tersebut diharapkan memilki esprit de corps yang officership ialah para perwira tersebut dituntut untuk memilki tanggung jawab pada negara, sehingga dimungkinkan untuk mengkoreksi komandannya apabila bertentangan dengan kepentingan nasional Dan the corporate character of officership ialah para perwira tersebut diharapkan memilki esprit de corps yang
Ketika posisi negara secara ekonomi semakin menguat, terutama dengan adanya boom minyak (oil boom) yang terjadi pada pertengahan 1970an dan awal 1980an juga telah memberikan dampak tersendiri bagi kalangan militer. Terjadinya kenaikan harga minyak mentah di pasaran internasional telah memberikan keuntungan yang sangat besar bagi negara. Sebagai kelanjutan dari adanya penguasaan aset-aset penting negara oleh pihak militer, adanya boom minyak secara langsung juga semakin memantapkan posisi militer sebagai kekuatan politik yang dominan dalam pemerintahan Orde Baru, dalam posisi yang sangat diuntungkan. Pertamina sebagai pengelola pertambangan minyak nasional telah menjadi sumber pendapatan terbesar bagi negara. Sebagai efek sampingnya Pertamina yang pada saat itu dipimpin oleh seorang militer, juga telah dijadikan sumber pemasukan terbesar bagi kalangan militer itu sendiri terutama oleh Angkatan Darat. Berbagai kebijakan juga telah dikeluarkan dengan tujuan untuk memberikan keuntungan yang lebih besar lagi pada negara (baca:militer). Hal ini dimungkinkan karena militer tersebut juga memiliki posisi yang kuat dalam birokrasi pemerintahan.
Selain penguasaan atas aset-aset negara, fenomena lain juga yang berkembang di Indonesia ialah keberadaan berbagai bentuk bisnis militer dalam bentuk perusahaan- perusahaan yang dipayungi oleh yayasan-yayasan dan koperasi-koperasi. Hal seperti ini juga terjadi dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Perkembangan dari fenomena bisnis militer ini menjadi menarik untuk diperhatikan, karena dalam menjalankan bisnisnya tersebut militer selalu menggunakan potensi yang dimilikinya dalam struktur politik dan birokrasi. Sedangkan ditingkat teknis pelaksanaannya bisnis militer banyak sekali melakukan kerjasama dengan para pengusaha, terutama para pengusaha keturunan Cina atau yang biasa dikenal dengan sebutan cukong. Keterlibatan para pengusaha keturunan Cina dalam bisnis-bisnis yang dilakukan oleh militer sebenarnya bukan merupakan barang baru. Pada awal Orde Lama Nasution sebagai kepala staf Angkatan Darat,
kuat. Samuel P Huntington, The Soldier and State, The Theory and Politics of Civil-Military Relations, London, Harvard University Press, 1998, hal:11-18.
mencanangkan adanya program civic mision dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari- hari para anggotanya. Para perwira di daerah yang banyak mengalami kegagalan dalam pelaksanaannya, kemudian melakukan kerjasama dengan para pedagang dan para pengusaha keturunan Cina setempat. Para pedagang dan pengusaha Cina tersebut bertindak sebagai pelaku bisnis sehari-hari, sedangkan para perwira militer tersebut dengan kekuasaan yang dimilikinya memberikan perlindungan pada bisnis yang dijalankan para pengusaha dan pedagang Cina tersebut. Adanya hubungan kolusif
semacam inilah yang kemudian melahirkan istilah "Ali-Baba". 4 Bentuk-bentuk kolusi ini pada masa Orde Baru semakin meluas tidak hanya melibatkan para pengusaha Cina.
Kedekatan pihak militer dengan sumbu kekuasaan juga turut membentuk hubungan bisnis militer dengan bisnis yang dilakukan oleh keluarga Presiden Suharto. Bentuk dan pengelolaan bisnis-bisnis militer tersebut diatas kiranya dapat memberikan sebuah gambaran kepada kita, bahwa selama ini di Indonesia telah terjadi apa yang dikenal dengan praktek-praktek patronase bisnis.
Sebenarnya keterlibatan militer dalam bidang bisnis atau praktek patronase bisnis ini, bukan merupakan fenomena "asli" Indonesia. Di beberapa negara dunia ketiga
lainnya, juga terjadi hal serupa. Misalnya saja yang terjadi Thailand sebelum 1973 5 dan bahkan seperti yang terjadi di negara Republik Rakyat Cina. Di Thailand sebelum 1973
hampir serupa dengan terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru. Pada tahun-tahun tersebut, Thailand beberapa kali mengalami kudeta militer. Dari setiap kudeta militer tersebut juga melahirkan klik-klik bisnis militer baru, sekaligus meruntuhkan klik bisnis militer sebelumnya. Sehingga tidak tercipta sebuah kepercayaan di bidang bisnis (business confidence) yang mempu menggiring investor asing untuk mau menanamkan
4 Tindakan seperti ini terjadi hampir di semua tempat, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Bahkan sebelumnya banyak terjadi di beberapa daerah para perwiranya melakukan pungutan ilegal pada para
pengusaha, angkutan barang dan tenaga kerja gratis dari para petani. Hal ini terjadi sebagai akibat tidak adanya kontrol yang efektif dari pusat Dampak yang selanjutnya terjadi adalah meningkatnya penyelundupan terutama di daerah Sumatra dan Sulawesi yang berbuntut pada terjadinya pemberontakan PRRI/Permesta. Selain itu banyak panglima teritorium membentuk yayasan untuk menjalankan usahanya tersebut. Lihat: Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis, Bandung, Mizan, 1998, hal:50-53. Penyelundupan itu sendiri masih terjadi dari akhir 1960an sampai awal tahun 70an. Lihat pula Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital, Sydney, Allen & Unwin, 1986, hal: 250.
5 Alexander Irwan, "Kolaborasi Antara PMN,Postfordism dan Politik Ekonomi Indonesia", dalam Prisma, No:8, Tahun XIX, Jakarta, LP3ES, 1990, hal:27.
modalnya di Thailand. Perbedaannya dengan bisnis militer di Indonesia, pergantian klik bisnis militer tersebut tidak terjadi melalui jalan kudeta.
Sementara di Cina keterlibatan pihak militernya dengan bidang bisnis, dapat dilihat dari kerjasama pihak militer dan bisnis lebih difokuskan pada bisnis-bisnis berskala besar. Misalnya seperti yang terjadi di dalam China International Trust and Investment Corporation (CITIC), dimana salah satu pengendali usaha ini dijalankan oleh
seorang mantan militer bernama Wang Jun. 6 Dalam perspektif ekonomi politik, fenomena seperti tersebut diatas nampaknya
menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati. Sebagai salah satu bagian atau alat dari sebuah negara, militer nampaknya memiliki kepentingan langsung terhadap basis-basis ekonomi yang dimiliki oleh negara. Apalagi dengan dominannya keterlibatan militer dalam politik di Indonesia, jelas akan memberikan keuntungan yang lebih besar lagi pada militer. Farchan Bulkin menyatakan bahwa, negara sebenarnya memiliki hubungan yang langsung dan erat dengan kondisi, pertumbuhan dan sistem perekonomian yang sedang berlangsung. Militer sebagai sebuah unsur penting dari sebuah negara ternyata juga memiliki hubungan yang langsung dan erat dengan ekonomi. Sehingga wajarlah apabila dalam memahami sebuah institusi militer, kesulitan dan kemudahan negara dalam
mendukung militer secara finansial menjadi patut pula untuk diperhitungkan. 7 Kepentingan yang dimiliki militer dalam bidang ekonomi inilah yang kemudian
membawa militer menjadi salah satu kekuatan ekonomi politik yang patut diperhitungkan di Indonesia.
Salah satu fenomena yang paling kontekstual pada akhir dekade 1990an ialah terjadinya krisis ekonomi yang melanda beberapa negara di kawasan Asia. Dimana Indonesia juga termasuk ke dalam salah satu negara yang paling merasakan dampak dari terjadinya krisis tersebut. Bagi sebuah bentuk patronase bisnis, timbulnya krisis ekonomi ini nampaknya akan menjadi persoalan tersendiri yang harus dihadapi dan disiasati. Selain persoalan krisis itu sendiri, dampak atau masalah-masalah baru yang mungkin timbul dari pilihan (options) yang ditawarkan dalam rangka pemecahan krisis ekonomi nampaknya menarik pula untuk dicermati. Karena persoalan yang menimpa Indonesia
6 Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:28. 7 Farchan Bulkin, "Kekuatan Politik: Perspektif Dan Analisa", dalam pengantar Analisa Kekuatan Politik
Di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1995, hal: xxii.
bisa dikategorikan sebagai kasus khusus yang disebabkan kompleksnya persoalan yang timbul di berbagai bidang, maka dalam proses penanganannya-pun tidak bisa dilakukan secara terpisah-pisah .
Dalam proses penanganan krisis tersebut Sjahrir melihat setidaknya ada empat hal yang perlu menjadi perhatian dan dicoba untuk dibenahi. Pertama adalah masalah keadilan. Keadilan disini dalam bentuk kongkritnya dapat dilihat dari perbaikan upah buruh dan penciptaan suatu situasi yang memungkinkan timbulnya persaingan yang sehat sehingga menutup kemungkinan adanya crony capitalism seperti masa-masa yang lalu. Selain itu melakukan pembenahan dalam masalah hubungan pusat dan daerah, sehingga tidak ada yang merasa paling diuntungkan atau dirugikan. Kedua, pemisahan yang tegas tentang hak dan kewajiban yang dimiliki oleh pemerintah dan pihak swasta, termasuk di dalamnya adalah masalah pembentukan berbagai yayasan sebagai sebuah lembaga non profit namun dalam pelaksanaannya lebih merupakan sebuah perusahaan komersial. Ketiga adalah masalah demokratisasi, dan yang keempat masalah globalisasi. Masalah globalisasi ini nampaknya dapat dianggap sebagai persoalan yang sangat penting, karena perubahan dibidang politik dan ekonomi pada saat ini justru lebih banyak dipengaruhi oleh hal ini. Selain itu pula di masa yang akan datang peranan dari pergerakan modal internasional tersebut akan menjadi lebih penting. Sehingga wajar apabila pada akhirnya
nanti ia (modal asing) akan jauh lebih menentukan bahkan dari peran negara sekalipun 8 . Dalam memahami peran dari modal asing seperti yang dikemukakan Sjahrir tersebut,
secara otomatis pemahaman tentang globalisasi menjadi sesuatu yang penting. Karena pergerakan modal asing, baik berupa portofolio, barang impor dan jasa ataupun berupa multinational corporation tersebut baru dimungkinkan dengan adanya arus globalisasi yang kini tidak dapat ditolak oleh semua negara di dunia.
Hal yang serupa juga telah disampaikan oleh MacIntyre. Dalam salah satu tulisannya yang dimuat oleh ASEAN Economic Bulletin, terlihat bahwa ia sangat percaya bahwa krisis ekonomi yang sedang dialami oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara bukanlah sekedar persoalan yang disebabkan faktor ekonomi semata, tetapi telah pula
menyangkut masalah politik. 9 Ketika melihat kasus yang dialami Indonesia terlihat
8 Sjahrir, Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal:xi-xii. 9 Andrew MacIntyre, "Political Institutions and the Economic Crisis in Thailand and Indonesia", dalam
ASEAN Economic Bulletin, December, 1998, hal: 362.
bahwa persoalan-persoalan politik seperti terbentuknya rezim otoriter semakin memperburuk keadaan ekonomi dalam negeri. Menurut MacIntyre, tidak adanya sistem politik yang demokratis dan kekuasaan politik yang terlalu tersentralistis (berada di tangan presiden), ternyata telah merusak kepercayaan yang dimiliki oleh para investor
asing. 10 Karena dalam kenyataannya dapat terlihat bahwa dengan kekuasaan yang tersentralistis tersebut, maka pihak pemerintah (presiden) dapat dengan mudah membuat
atau membatalkan berbagai kebijakan yang sangat penting terutama di bidang ekonomi. MacIntyre juga memperbandingkan krisis yang dialami oleh Indonesia ini dengan yang terjadi di Thailand. Ia melihat bahwa ternyata di Thailand ketika mulai terjadi krisis, pemerintah negara tersebut langsung me-respond-nya, sedangkan yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Ketika keadaan semakin parah, barulah pemerintah Indonesia meminta bantuan pada IMF.
Paket bantuan semacam ini sebenarnya bukan kali pertama yang diterima oleh Indonesia. Pada masa akhir demokrasi terpimpin (kabinet gotong royong dibawah PM Djuanda), pemerintah Indonesia juga pernah mengajukan bantuan serupa. Hanya saja pada masa itu bantuan yang telah dijanjikan tersebut batal direalisasikan karena adanya masalah-masalah politik yang timbul di dalam negeri. Misalnya saja dengan terjadinya konfrontasi dengan Malaysia dan banyaknya tentangan dari elit partai politik (PKI) pada waktu itu. Presiden Sukarno sendiri tidak telalu antusias dengan bantuan untuk perbaikan ekonomi tersebut, dan lebih mengkonsentrasikan pada masalah-masalah politik.
Adanya pengajuan bantuan kepada lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF) oleh Indonesia dalam rangka pembenahan keadaan ekonominya bagaimanapun juga akan turut mempengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia di masa datang. Ekonomi Indonesia yang selama Orde Baru tumbuh dan berkembang dengan melibatkan secara aktif peran negara, dan nampaknya di masa yang akan datang hal ini tidak dapat terus bertahan. Strategi kebijakan perbaikan dan peningkatan tingkat ekonomi Indonesia di masa yang akan datang mau tidak mau harus segera diubah. Sebab jika hal tersebut dipertahankan mustahil bila kita mengharapkan perekonomian Indonesia bisa pulih. Agar dalam pembenahan ekonomi tersebut Indonesia tidak mengulangi kesalahannya lagi, maka aspek yang kemudian perlu diperhatikan adalah bagaimana strategi dan kebijakan
10 Ibid.
ekonomi tersebut mampu menyesuaikan dengan fenomena yang berkembang di dunia pada saat ini, yaitu liberalisasi ekonomi.
Liberalisasi (liberalization) yang juga dipercaya sebagai salah satu bagian dari globalisasi, sebenarnya bukan lagi merupakan hal baru bagi perekonomian Indonesia. Liberalisasi ekonomi di Indonesia sebenarnya telah dimulai semenjak kurang lebih 30 tahun yang lalu, yaitu ketika mulai terjadinya perubahan besar di pemerintahan tahun
1966. 11 Namun kata liberalisasi seringkali masih "diharamkan" dalam jargon-jargon politik Indonesia saat itu. Dalam konteks wacana ekonomi di Indonesia sampai saat akhir
dekade 1990an, liberalisasi dapat dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama yaitu antara tahun 1966-1973. Periode kedua yaitu 1982-1991, dan periode ketiga yang dimulai semenjak tahun 1994, di mana Indonesia telah tergabung ke dalam beberapa blok-blok
ekonomi seperti, AFTA atau WTO. 12 Dalam perkembangan ekonomi di Indonesia proses liberalisasi dalam ketiga periode tersebut tidak berjalan dengan mulus dan terkesan
lambat. Adanya berbagai kebijakan proteksi, subsidi dan juga berkembangnya bentuk- bentuk patronase bisnis telah turut pula menghambat jalannya proses liberalisasi ekonomi Indonesia. Keberanian rezim yang berkuasa saat itu untuk melakukan hal-hal tersebut dapat lebih dilihat sebagai konsekuensi posisi negara yang relatif kuat dalam sektor keuangan dan ekonomi, yang misalnya saja ditunjukan dengan cukup besarnya pendapatan dari sektor minyak.
Apapun yang akan terjadi, pada kenyataannya Indonesia dalam rangka pemulihan ekonominya telah sepakat untuk meminta bantuan kepada IMF. Kesepakatan yang pertama telah disepakati pada akhir tahun 1997 dan diikuti dengan kesepakatan kedua pada 15 Januari 1998. Sebagai sebuah kesepakatan sudah sewajarnya apabila pemerintah Indonesia melaksanakan hal-hal yang telah disepakatinya tersebut, dengan diikuti penerimaan segala konsekuensi yang timbul dari adanya kesepakatan tersebut, seperti diantaranya adanya dorongan untuk segera diadakannya liberalisasi perdagangan, bursa saham, perbaikan pada sistem harga, penghapusan alokasi-alokasi kredit langsung, peninjauan kembali berbagai kebijakan bea masuk, restrukturisasi bank-bank nasional,
11 Hadi Soesastro, "A Review of Current an Capital Account Liberalization in Indonesia", dalam Indonesian Quarterly, Vol: XXVI/1998, no:2, Jakarta, CSIS, hal:143.
12 Ibid, hal 143-144.
peninjauan ulang kebijakan sektor publik termasuk pengeluaran untuk BUMN dan industri strategis, serta transparansi dalam anggaran pemerintah. 13
Pada dasarnya IMF (International Monetary Fund) merupakan sebuah lembaga keuangan internasional yang tidak ingin secara langsung mencampuri masalah politik dalam negeri negara yang menjadi debiturnya. Namun dalam implementasinya, masalah- masalah politik yang muncul di negara-negara tersebut seringkali juga mempengaruhi berbagai kebijakan ekonomi. Agar pihak IMF mau memberikan bantuannya tersebut ada beberapa prasyarat yang harus terlebih dahulu dipenuhi oleh negara debitur. Oleh karenanya prasyarat-prasyarat tadi menjadi bersifat kondisionalitas. Prasyarat-prasyarat kondisionalitas ini tercantum dalam sebuah kesepakatan bersama yang kemudian dikenal dengan Letter of Intent (LoI).
Namun selain memunculkan berbagai persoalan baru di bidang ekonomi, terjadinya krisis ternyata juga membawa persoalan yang lebih kompleks lagi terutama di bidang politik. Tuntutan reformasi politik yang muncul di kemudian hari juga dapat dilihat sebagai salah satu implikasi lain dari terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Keinginan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis, dimana tidak ada lagi peran atau keterlibatan militer dalam politik seakan sudah menjadi sebuah tuntutan yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh siapa saja yang berkuasa di negeri ini. Pengalaman traumatik hidup selama 32 tahun dibawah bayang-bayang kekuatan militer, nampaknya turut pula mendidik masyarakat dan bangsa Indonesia untuk lebih peka pada persoalan-persoalan militerisme. Dimana temasuk di dalamnya adalah keterlibatan militer di dunia bisnis dan ekonomi.
2 Permasalahan
Dalam penjelasan-penjelasan tersebut diatas, dapat diartikan bahwa liberalisasi ekonomi merupakan sesuatu hal yang tidak dapat ditolak kehadirannya oleh negara manapun, termasuk Indonesia. Bahkan sampai saat sekarang ini tuntutan untuk dilaksanakannya liberalisasi ekonomi dengan seluruh konsekuensi yang ditimbulkannya (termasuk peminimalan peran negara dalam ekonomi), bagi Indonesia sudah dapat dikatakan sebagai sebuah keharusan. Karena yang terjadi di Indonesia selama Orde Baru
13 Bisnis Indonesia, 1 November 1997..
adalah sebaliknya. Negara Indonesia terutama selama rezim Orde Baru adalah sebuah rezim yang lebih bersifat otoriterisme-birokratik 14 yang didalamnya terdapat berbagai
bentuk patronase bisnis. Kenyataan yang ada pada akhir dekade 1990an adalah negara Indonesia tengah dihadapkan pada sebuah krisis ekonomi yang untuk penyelesaiannya tidak hanya dilakukan pada bidang ekonomi semata, namun telah pula menempatkan problem politik pada level yang signifikan untuk segera dilakukan pembenahan. Hal menarik yang juga patut diperhatikan dalam memahami krisis ekonomi dan politik Indonesia adalah, bahwa militer yang memiliki peran di berbagai bidang tadi ternyata telah melakukan bisnis dengan alasan pemenuhan anggaran yang dirasakan kurang. Militer yang seharusnya merupakan alat dari sebuah negara yang bertugas dalam bidang pertahanan, dalam bisnisnya membentuk berbagai perusahaan. Sebagai sebuah bentuk patronase bisnis (business patronage), bisnis militer mau tidak mau akan menghadapi desakan liberalisasi yang timbul dari adanya kesepakatan yang ditandatangani oleh Indonesia dan IMF serta penguatan peran modal asing dalam perekonomian Indonesia.
Berkaitan dengan berbagai hal tersebut, permasalahan yang akan dijawab dalam skripsi ini adalah, sejauhmana desakan liberalisasi ekonomi dan politik serta
menguatnya peran modal asing dapat mempengaruhi praktek-praktek bisnis militer Indonesia pasca Orde Baru yang merupakan salah satu bentuk patronase bisnis.
Namun untuk dapat menelaah hal tersebut ada beberapa hal yang perlu dicermati terlebih dahulu, yaitu: (a) Bagaimana organisasi kemiliteran Indonesia yang terbentuk dari berbagai kelompok-
kelompok perjuangan pada pasca kemerdekaan, mulai tumbuh sebagai sebuah kekuatan politik.
(b) Bagaimana militer yang telah menjadi salah satu kekuatan politik tersebut kemudian mulai berkembang sebagai sebuah kekuatan ekonomi dalam sistem ekonomi Indonesia pasca proklamasi selama tiga periode (revolusi fisik, demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin). Dalam penjelasan ketiga periode tersebut akan
14 Mengenai pengertian otoriterisme birokratis dapat dilihat pada Arief Budiman, Teori Negara, Negara, Kekuasaan Dan Ideologi, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal:109-113. Sedang mengenai
rezim negara Orde Baru lihat pula: Mochtar Mas'oed, Ekonomi Dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta, LP3ES, 1989, hal: 6-7. Penjelasan lanjut lihat bagian kerangka teori dalam bab ini.
ditelaah pula bagaimana negara memainkan perannya dalam sistem ekonomi, terutama dalam membentuk kelompok-kelompok kapital pribumi yang kuat.
(c) Bisnis militer sebagai salah satu bentuk kongkrit dari kekuatan ekonomi politik
militer mulai berkembang menjadi salah satu bagian dari sistem ekonomi Indonesia yang patut diperhitungkan selama masa Orde Baru.
(d) Bagaimana patronase bisnis militer pada pasca Orde Baru tersebut menghadapi krisis ekonomi yang menimpa Asia termasuk Indonesia, serta implikasi yang ditimbulkannya pada sistem ekonomi Indonesia.
(e) Bagaimana patronase bisnis militer menghadapi liberalisasi ekonomi, yang secara langsung menuntut pula pengurangan peran negara dalam ekonomi. (f) Bagaimana patronase bisnis militer menghadapi tekanan demokratisasi dari dalam negeri, yang secara langsung menuntut penghapusan peran politik militer dan keberadaan bisnis-bisnis militer.
3 Signifikansi Penelitian
Berbagai studi sebenarnya telah banyak dilakukan untuk berusaha memahami peran militer Indonesia dalam politik maupun ekonomi. Para Indonesianis seperti Harold Crouch, Richard Robison, Andrew Mc Intyre atau juga para pengamat politik dalam negeri seperti yang dilakukan oleh peneliti dari LIPI akhir-akhir ini telah pula melakukan penelitian serupa. Namun keterlibatan militer dalam politik, serta timbulnya fenomena patronase bisnis terutama bisnis-bisnis yang dijalankan oleh pihak militer seperti dijelaskan sebelumnya, menjadi akan semakin menarik untuk dicermati apabila kemudian dihubungkan dengan masalah-masalah atau fenomena-fenomena baru yang muncul sebagai akibat dari kesalahan-kesalahan dalam pengelolaan negara dan pengambilan kebijakan-kebijakan oleh pemerintah sebelumnya. Keterlibatan pihak asing seperti IMF serta semakin kuatnya desakan untuk segera memberlakukan liberalisasi ekonomi di Indonesia, di satu sisi ternyata telah pula mampu untuk mempengaruhi kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah Indonesia. Sehingga pada akhirnya juga turut mempengaruhi struktur ekonomi (para pelaku bisnis terutama bisnis-bisnis yang banyak dilakukan oleh militer). Oleh sebab itu pada akhirnya skripsi ini diharapkan mampu menambah khasanah dalam wacana politik militer Indonesia.
4 Kerangka Teori.
4.1 Pengertian Negara. Dalam menganalisa permasalahan diatas, penulis akan lebih melihat dari sisi keberadaan sebuah patronase bisnis, yang dalam hal ini diwakili oleh bisnis militer, terhadap berbagai konsekuensi yang lahir dari dari adanya "kebijakan-kebijakan" yang lebih bersifat liberal tersebut. Oleh sebab itulah skripsi ini akan berusaha menganalisanya dengan menggunakan teori otonomi relatif (relative autonomy).
Dalam pengertian umumnya teori otonomi relatif ini dapat diartikan sebagai, negara adalah (memiliki) "otonomi yang relatif" berhadapan dengan kelas sosial yang
dominan. 15 Namun sebelum menjelaskan mengenai otonomi relatif ini secara lebih mendalam, penulis merasa perlu untuk memberikan batasan yang jelas tentang apa yang
dimaksud dengan negara dalam skripsi ini. Secara umum ada beberapa pengertian tentang konsep negara yang banyak berkembang sampai saat ini. Arif Budiman seorang sosiolog menyebutkan, ada dua kesimpulan yang bisa menjelaskan tentang lembaga negara tersebut. Pertama, negara merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di dalam sebuah masyarakat. Negara dapat memaksakan kehendaknya kepada warga atau kelompok yang ada di masyarakat. Bahkan kalau perlu, negara memiliki keabsahan untuk menggunakan kekerasan fisik dalam memaksakan kepatuhan masyarakat terhadap perintah-perintah yang dikeluarkannya. Kedua, kekuasaan yang sangat besar ini diperoleh karena negara merupakan pelembagaan dari kepentingan umum. Sebagai lembaga yang mewakili kepentingan umum, negara dapat memaksakan kehendaknya melawan kepentingan-
kepentingan pribadi atau kelompok di masyarakat yang jumlahnya lebih kecil. 16 Alfred Stepan mengartikan negara sebagai sesuatu yang lebih dari "pemerintah". Negara
merupakan suatu sistem administratif, legal, birokratis dan koersif yang berkesinambungan serta berusaha untuk tidak hanya mengelola aparat negara, tetapi juga untuk menyusun hubungan antara kekuasaan sipil dan pemerintah, serta untuk menyusun
15 Yoo Hwan Shin, Demystifying The Capitalist State: Political Patronage, Bureaucraetic Interests, and Capitalist-In-Formation In Soeharto's Indonesia, A Dessertation, Yale University, 1989, hal: 65. Dan yang
dimaksudkan dengan kelas sosial yang dominan ialah kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat yang dianggap mampu mempengaruhi kebijakan negara.
berbagai hubungan mendasar dalam masyarakat politik dan masyarakat sipil. 17 Sedangkan untuk melihat negara dalam kaitannya dengan struktur sosial, ekonomi dan
ideologi, Farchan Bulkin, seorang ahli ekonomi politik berpendapat bahwa negara bisa dipandang sebagai sebuah institusi umum yang imperatif sifatnya, yang demi keselamatan ekonominya harus menguasai sebagian sumber ekonomi nasional melalui sistem perpajakan dan membelanjakannya sesuai kebijakan umum ekonomi. Sehingga negara memiliki relevansi ekonomi. Struktur pendapatannya tergantung pada struktur
ekonomi dan juga merefleksikan struktur ekonomi yang dominan. 18 Namun agar pengertian negara disini tidak meluas dan tetap berada dalam
konteksnya, pengertian negara disini harus tetap diingat, bahwa negara yang dimaksudkan dalam skripsi ini adalah negara Indonesia masa Orde Baru yang telah didominasi oleh peran militer di berbagai aspek kehidupan, termasuk dialamnya adalah aspek politik dan ekonomi. Dalam memahami rezim negara Orde Baru yang berkuasa juga dapat digunakan model otoriterisme birokratik Guillermo O'Donnell dan
korporatisme negara Philippe C. Schmitter. 19 O'Donnell melihat ada lima hal yang dimiliki otoriterisme birokratik, yaitu pertama, pemerintah dipegang oleh militer, tidak
sebagai diktaktor pribadi, melainkan sebagai suatu lembaga, berkolaborasi dengan "teknokrat" sipil. Kedua, Ia didukung oleh enterpreneur oligopolistik, yang bersama negara berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional. Ketiga, pengambilan keputusan dalam rezim otoriterisme birokratik bersifat birokratik-teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan suatu proses bargaining yang lama diantara berbagai kelompok kepentingan. Keempat, massa didemobilisasikan, dan kelima, penggunaan tindakan-tindakan represif untuk mengendalikan oposisi. Dalam konteks Indonesia hal-hal ini jelas terlihat. Dominasi pihak militer atas lembaga-lembaga politik termasuk presiden yang pada masa awal Orde Baru bersama teknokrat sipil memperbaiki keadaan ekonomi warisan demokrasi terpimpin, dukungan kelas-kelas kapitalis yang juga merupakan bentukan rezim
16 Arief Budiman, Teori… op cit, hal:3. 17 Alfred Stepan, Militer Dan Demokratisasi, Pengalaman Brasil Dan Beberapa Negara Lain, Jakarta,
Pustaka Utama Grafiti, 1996, hal:14-15. 18 Farchan Bulkin, "Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara: Sebuah Catatan Penelitian", dalam
Prisma, 2 Februari 1984, Jakarta, LP3ES, hal:7. 19 Mochtar Mas'oed, op cit.
militeristik Orde Baru, serta birokrasi yang telah didominasi oleh militer dengan konsep kekaryaannya. Selain itu dalam negara Orde Baru juga dapat dilihat seringkalinya penggunaan pendekatan militeristik oleh pihak militer Indonesia dalam memecahkan masalah keamanan.
Schmitter berpendapat bahwa korporatisme adalah suatu sistem perwakilan kepentingan di mana unit-unit yang membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi yang jumlahnya terbatas dan bersifat tunggal, mewajibkan (keanggotaan), tidak saling bersaing, diatur secara herarkis yang diakui atau diberi izin oleh negara dan diberi hak monopoli, menjadi sangat kontekstual di Indonesia. Karena jika diperhatikan berbagai korporasi yang merupakan bentuk dari patronase bisnis yang berkembang di Indonesia jelas memiliki kesamaan dengan ciri-ciri yang disebutkan Schmitter.
Terakhir untuk dapat memahami negara Orde Baru dalam konteks keterlibatan negara dalam pembentukan kelas-kelas kapital di Indonesia juga dapat digunakan penjelasan mengenai negara otoriter birokratik (NOB) rente sebagaimana disebutkan oleh Arief Budiman. Ia menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan negara otoriter birokratis rente adalah sebuah negara yang bersifat otoriter dan sangat mengandalkan birokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Sehingga praktis partisipasi masyarakat
dibendung serta pembangunan ekonomi dan politik dilakukan secara top-down. 20
4.2. Pengertian Patronase Bisnis. Karena yang menjadi pokok bahasan dari skripsi ini adalah pola patronase bisnis, maka selanjutnya akan dijelaskan tentang pengertian dari patronase bisnis tersebut. Patronase bisnis sebenarnya hanya merupakan sebuah istilah yang diberikan oleh para ahli ekonomi politik untuk memahami sebuah fenomena yang terjadi di beberapa negara di dunia. Patronase bisnis dapat diartikan sebagai sebuah pola bisnis atau ekonomi yang
terbentuk berdasarkan hubungan patron-klien. 21 Karena itu pola patronase bisnis ini pada umumnya berkembang di dalam sebuah masyarakat yang memiliki budaya patron-klien
(patrimonial) yang sangat kuat.
20 Arief Budiman, Negara dan Pembangunan, Studi Tentang Indonesia dan Korea Selatan, Jakarta, Yayasan Padi dan Kapas, 1991, hal:14.
21 Suryadi A. Rajab, Praktik Culas Bisnis Gaya Orde Baru, Jakarta, PT Gramedia Widyasarana Indonesia, 1999, hal:33.
Agar mempermudah pengertian patronase bisnis ini dalam kaitannya dengan pola hubungan patron-klien yang merupakan gejala umum di negara-negara Asia Tenggara, maka di sini akan dijelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan patron-klien tersebut. Oleh para antropolog "patron-klien" ini seringkali pula diartikan dengan
"solidaritas vertikal". 22 Biasanya pola ini banyak terjadi di dalam sistem masyarakat yang bersifat patrimonial. Lebih lanjut James C. Scott menjelaskan bahwa hubungan patron-
klien dapat diartikan sebagai sebuah pertukaran hubungan antara kedua peran, yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan dua orang yang terutama melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk menyediakan perlindungan dan/ atau keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah (klien). Selanjutnya sang klien akan membalasnya dengan menawarkan dukungan
umum dan bantuan, termasuk jasa pribadi, kepada patron. 23 Jadi secara khusus yang dimaksudkan dengan praktek atau pola patronase bisnis ialah para pengusaha harus
punya patron politik untuk bisa melakukan akumulasi modal. 24 Dengan demikian posisi patron politik yang pada umumnya berada di tangan para pejabat negara menjadi sangat
penting. Praktek patronase bisnis ini sebenarnya tidak hanya berkembang di Indonesia saja. Di beberapa negara Asia lainnya seperti Thailand, Korea Selatan dan Jepang juga mengenal patronase bisnis ini. Namun perbedaannya, di negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang praktek bisnis seperti ini tidak menjadi sesuatu yang berkelanjutan. Di Korea Selatan misalnya, pada masa awal industrialisasinya rezim dibawah pimpinan Syngman Rhee juga memberikan berbagai lisensi impor dan alokasi mata uang asing kepada para chaebol yang dekat dengan para pejabat tinggi dengan tujuan untuk dapat menyalurkan dukungan dana dan politik kepada rezim. Nilai impor bahkan mencapai sepuluh kali lipat nilai ekspor. Hal ini juga dapat terjadi berkat dukungan ekonomi yang kuat dari AS. Pola seperti ini terus terjadi sampai tergulingnya Syngman Rhee.
22 James.C.Scott, Perlawanan Kaum Tani, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal:1. Namun patut diingat Scott mendefinisikan hal tersebut dalam konteks hubungan patrimonial di tingkat desa.
23 Ibid, hal:7. 24 Alexander Irwan, "Kolaborasi …opcit.
Pasca Rhee, Korea Selatan mengalami sedikit perubahan. Kemudahan di bidang ekonomi yang sebelumnya diberikan pada para pengusaha yang dekat dengan kalangan pejabat, dialihkan kepada para pengusaha yang berhasil mendirikan pabrik baru dan yang mampu melakukan kegiatan ekspor. Kebijakan industri subtitusi impor (ISI) dilakukan sebagai salah satu cara untuk dapat mengurangi impor serta meningkatkan nilai ekspor. Persoalannya hal ini menjadi berbeda ketika terjadi di Indonesia. Keterlibatan negara yang besar dalam proses industrialisasi tampak menjadi “kelewatan”. Sehingga ketika terjadi krisis di akhir dekade 1990an, negara menjadi salah satu aktor ekonomi yang paling bertanggung jawab.
4.3. Teori Otonomi Relatif Negara. Teori otonomi relatif ini banyak dikembangkan oleh teoritisi neo-Marxis sebagai kritik atas teori Marxis klasik yang melihat negara sebagai alat bagi kelas yang berkuasa (dominan). Diantaranya adalah Ralph Miliband, Nicos Poulantzas dan Hamza Alavi, yang dikenal termasuk Marxis struktural kontemporer. Dalam "The State in Post Colonial Societies: Pakistan and Bangladesh", disebutkan oleh Alavi bahwa negara pada masyarakat pasca kolonial mempunyai otonomi relatif terhadap kelas-kelas sosial, karena
lemahnya serta kurang berkembangnya kelas-kelas sosial tersebut 25 . Selain itu Alavi juga melihat bahwa ada tiga kelas dominan yang lahir di negara-negara pasca kolonial. Ketiga
kelas tersebut adalah borjuasi metropolitan, borjuasi lokal dan kelas pemilik tanah. Karena kepentingan ketiga kelas tersebut tidak berbeda, maka negara dapat dengan
mudah memediasi segala kepentingan mereka. 26 Dalam konsep masyarakat feodal yang dimaksudkan dengan kelas yang dominan
adalah kelas bangsawan dan ditambah orang-orang yang berasal dari kalangan gereja. Ketika dua revolusi besar terjadi (industri dan Perancis), pada saat yang bersamaan terjadi pulalah perubahan dalam struktur masyarakat yang ada di Eropa. Pengaruh kelas Bangsawan dan Gereja terhadap negara telah mengalami reduksi. Adanya dua revolusi itu telah melahirkan kelas borjuis (kapitalis) baru yang lebih memiliki kemampuan untuk mempengaruhi negara. Dengan kata lain, negara-negara tersebut tumbuh dibawah
25 Mengenai pengertian kelas dalam pandangan Marxisme lihat Tom Bottomore (ed), The Dictionary of Marxist Thought,Massacussets, Blackwell Publisher, 1992.
26 Hamza Alavi, The State In Post Colonial Societies:Pakistan and Bangladesh, dikutip dari Vedi R. Hadiz, Teori Negara Pasca Kolonial, Skripsi Jurusan Ilmu Politik FISIP UI, 1987, hal:40 dan 42.
hegemoni kelas-kelas borjuasinya. Sedangkan kenyataan yang muncul di negara-negara dunia ketiga adalah tidak terbentuknya kelas-kelas sosial, terutama kelas borjuis (kapitalis) yang kuat. Sehingga tidak memungkinkan adanya hegemoni dari kelas-kelas sosial tertentu terhadap negara.
Tidak tumbuhnya kelas-kelas kapitalis yang kuat dan mandiri di negara-negara dunia ketiga inilah yang berusaha dijelaskan oleh teori negara pasca kolonial. Teori yang dikembangkan oleh Hamza Alavi ini melihat bahwa di dalam negara-negara yang baru merdeka sebenarnya telah terbentuk tatanan sosial masyarakat yang relatif stabil. Ketika negara-negara tersebut masih berada dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial, pemerintahan tersebut memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap kelas-kelas sosial lainnya. Pemerintahan kolonial yang merupakan perpanjangan tangan dari negara induknya, telah berkuasa sedemikian rupa sehingga birokrasi, tatanan hukum dan termasuk pula kekuatan militer dipergunakan semaksimal mungkin untuk mendukung proses akumulasi modal. Sehingga tidak memungkinkan organisasi sosial politik yang bertujuan memperkuat kedaulatan rakyat dapat tumbuh.
Namun dalam perkembangannya ketika negara-negara tersebut mendapatkan kemerdekaannya, tatanan sosial politik tersebut ternyata tidak mengalami perubahan, yang terjadi justru hanyalah sebatas pergantian penguasa. Pemerintah nasional yang terbentuk, mewarisi tatanan kolonial tersebut dengan berbagai kemudahan didalamnya. Dengan warisan tatanan tersebut pemerintahan (baca:negara) yang baru tersebut memiliki posisi tawar menawar yang kuat terhadap pemilik modal. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa, negara secara terbatas memiliki otonomi terhadap kelas-kelas sosial yang ada, termasuk kelas-kelas borjuisnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai otonomi relatif negara.
Otonomi relatif ini sebenarnya tidak hanya terdapat di negara-negara pasca kolonial saja. Di negara-negara maju juga mengenal otonomi relatif ini. Di negara industri maju otonomi relatif terletak pada ketidakmampuan fraksi-fraksi dalam kelas borjuasi yang hegemonis untuk menguasai negara sepenuhnya. Sedang pada negara pasca kolonial ketidakmampuan terletak pada berbagai kelas dominan untuk menguasai Otonomi relatif ini sebenarnya tidak hanya terdapat di negara-negara pasca kolonial saja. Di negara-negara maju juga mengenal otonomi relatif ini. Di negara industri maju otonomi relatif terletak pada ketidakmampuan fraksi-fraksi dalam kelas borjuasi yang hegemonis untuk menguasai negara sepenuhnya. Sedang pada negara pasca kolonial ketidakmampuan terletak pada berbagai kelas dominan untuk menguasai
pembentukan kelas-kelas kapitalis. Karenanya dapat dipahami jika pada perkembangan selanjutnya muncul fenomena-fenomena patronase bisnis di negara-negara tersebut. Dominasi serta adanya intervensi negara dalam ekonomi itulah yang kemudian meletakan negara pasca kolonial sebagai sesuatu yang memiliki “sentralitas”, sebagaimana telah ditegaskan oleh Alavi. Meski penulis sendiri tidak terlalu setuju dengan tesis “overdeveloped state”-nya Alavi, namun penulis melihat bahwa memang ada kecenderungan dari negara-negara pasca kolonial yang dalam melakukan strategi industrialisasinya sangat bergantung kepada negara. Hal ini mengakibatkan kelas-kelas kapitalis yang muncul menjadi tidak kuat dan mandiri. Dalam konteks ini pula, seperti telah ditegaskan oleh Zieman dan Landzendorfer, yang patut untuk disadari ialah bahwa negara memiliki fungsi primer yaitu sebagai penjamin reproduksi sosial, dan itu berarti
adanya penjaminan keberadaan mode produksi kapitalis. 28 Selanjutnya yang juga perlu untuk menjadi perhatian di sini ialah bagaimana
keterlibatan aparat birokrasi negara dengan pembentukan kelas-kelas kapital di negara- negara pasca kolonial, terutama dalam kaitannya dengan otonomi relatif negara. Dalam konteks ini Alavi melihat bahwa latar belakang sosial atau kelas dari aparat negara menjadi sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Sejalan dengan itu, Shivji dan Saul juga melihat birokrasi sebagai sebuh kelas atau suatu kelas dalam proses pembentukan. Dengan demikian baik Shivji maupun Saul dalam hal ini sangat menekankan akan pentingnya faktor-faktor kesadaran atau kemauan dari orang-orang yang menduduki posisi-posisi dalam aparat birokrasi negara, terutama dalam mengarahkan perubahan sosial.
Walau demikian, di dalam kasus negara-negara pasca kolonial, negara (termasuk di dalamnya para aparatnya) bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan dalam sebuah proses perubahan sosial. Menurut Ziemann, Lanzendorfer serta didukung pula oleh Robison, negara bahkan asal usul aparat birokrasi negara, tidak mampu menentukan arah dari perubahan sosial. Ada batasan-batasan atau faktor-faktor lain yang
27 Vedi R. Hadiz, Politik Pembebasan: Teori-Teori Negara Pasca Kolonial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar dam INSIST, 1999, hal:55-56.
28 Ibid, hal: 61.
juga patut untuk menjadi perhatian, yaitu proses-proses konflik kelas dan logika akumulasi modal. 29 Dan keduanya harus terjadi terlebih dahulu di dalam masyarakat
pasca kolonial. Bagi penulis pandangan seperti ini setidaknya telah pula memberikan pengertian lain kepada kita bahwa perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam negara-negara pasca kolonial, bagaimanapun juga tidak akan terlepas dari partisipasi masyarakat pasca kolonial itu sendiri dalam menciptakan sebuah perubahan.
Sedangkan untuk membantu menjelaskan perubahan politik yang terjadi di Indonesia sebagai salah satu bentuk implikasi langsung dari terjadinya krisis ekonomi, dalam skripsi ini penulis juga menggunakan teori atau argumentasi yang disampaikan oleh Samuel P. Huntington tentang apa yang diistilahkannya sebagai gelombang
demokratisasi ketiga. 30 Dalam melihat korelasi antara krisis ekonomi dan proses demokratisasi, Huntington berpendapat bahwa,
“Pada umumnya ada korelasi antara tingkat pembangunan ekonomi dengan demokrasi, namun tingkat atau pola pembangunan ekonomi itu saja tidak mesti
atau tidak memadai untuk mewujudkan demokratisasi.” 31
Lebih lanjut Huntington menyebutkan bahwa, “Perkembangan ekonomi menyediakan sebuah landasan bagi demokrasi; krisis-
krisis yang timbul akibat perkembangan yang cepat atau resesi ekonomi melemahkan rezim otoriter.” 32
Dari pernyataan diatas jelas bahwa, pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang cukup signifikan bagi sebuah proses demokratisasi. Baginya proses demokratisasi tanpa adanya pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah keniscayaan. Karenanya demokratisasi tidak akan muncul di negara-negara yang miskin. Ada beberapa argumentasi yang diberikan oleh Huntington untuk dapat menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi menjadi faktor penting dalam sebuah proses demokratisasi di suatu negara. Pertama, dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya menciptakan kemakmuran ekonomi masyarakat tersebut ternyata telah membentuk “nilai-nilai dan sikap-sikap kewarganegaraannya”, menyuburkan rasa tanggung jawab antarpribadi, karena dipercaya, kepuasan hidup dan kopetensi yang pada gilirannya berkolerasi kuat dengan eksistensi
29 Robison menyebut konflik-konflik kelas ini sebagai struktur kelas. Ibid, hal:66-69. 30 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta, PT Pustaka Utama Grafiti, 1997. 31 Ibid, hal:72 32 Ibid, hal:73.
lembaga-lembaga demokrasi. Kedua, perkembangan ekonomi telah meningkatkan taraf pendidikan masyarakat. Ketiga, dengan adanya perkembangan ekonomi menyebabkan lebih banyak sumber daya yang dapat didistribusikan di antara kelompok-kelompok sosial sehingga memudahkan akomodasi dan kompromi. Keempat, perkembangan ekonomi telah pula mendorong keterbukaan masyarakat bagi perdagangan, investasi, teknologi, pariwisata dan terutama komunikasi dengan dunia internasional. Dengan demikian memudahkan ide-ide demokrasi secara umum untuk masuk ke negara tersebut. Terakhir, menurut Huntington, perkembangan ekonomi telah mendorong meluasnya kelas menengah. Kelas menengah bagi Huntington meski pada awal fase demokratisasi kelas menengah tidak mesti sebagai kekuatan pendukung demokratisasi, namun dalam gerakan demokratisasi gelombang ketiga hampir di setiap negeri didukung oleh kelas menengah perkotaan. Dimana jika kita mengacu pada kasus Taiwan “pelaku-pelaku utama perubahan politik adalah kaum intelektual kelas menengah yang lahir selama
periode pertumbuhan ekonomi yang cepat”. 33 Meski demikian perlu pula diingat dalam melihat kasus-kasus tertentu ada
beberapa varian yang penting untuk dijadikan perhatian. Sebab bagaimanapun juga dalam mengamati setiap perubahan politik yang terjadi di suatu negara, terutama bila kita hendak melihatnya dari faktor internal yang mempengaruhinya, terdapat beberapa perbedaan yang tidak dapat dengan mudah digeneralisasi.
4.5 Beberapa pengertian lain. Selain dari beberapa konsep yang telah dijelaskan sebelumnya, ada beberapa istilah atau konsep penting lain yang dirasa perlu untuk dijelaskan disini. Pertama ialah ekonomi biaya tinggi (high cost economy).Salah satu penyebab terjadinya ekonomi biaya tinggi ini ialah banyaknya praktek-praktek korupsi dan kolusi yang dilakukan oleh pejabat negara dan birokrasi. Sehingga mengakibatkan peningkatan ongkos produksi suatu produk. Kedua ialah pemburu rente (rent seekers). Munculnya istilah ini tidak bisa terlepas dari penyebab terjadinya ekonomi biaya tinggi. Para pejabat negara dan birokrasi yang melakukan KKN tadi mencoba mencari keuntungan dengan menggunakan aset-aset yang dimiliki oleh negara. Mereka juga berusaha untuk menjadi patron politik dari para pengusaha. Ketiga, kapitalisme semu (ersatz capitalism). Konsep ini ditawarkan oleh
33 Ibid, hal:81-82.
Yoshihara Kunio sebagai sebuah penggambaran atas fenomena yang terjadi di sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara. Adanya peran pemerintah begitu besar sehingga mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis. Hal negatif lain yang ditimbulkan dari besarnya peran pemerintah atau negara ini ialah adanya pencari rente di kalangan birokrat, yang secara langsung dapat menghambat perkembangan para usahawan sejati. Sedangkan di sisi lain justru muncul pengusaha- pengusaha keturunan Cina yang sukses sebagai akibat dari adanya koneksi-koneksi
dengan para birokrat untuk mendapatkan fasilitas. 34
5 Model Analisa Variabel Bebas Variabel Terikat