Perkembangan Pola Patronase Bisnis di Indonesia.
2 Perkembangan Pola Patronase Bisnis di Indonesia.
2.1 Perkembangan Patronase Bisnis Di Indonesia. Pada bagian kerangka teori telah dijelaskan secara mendalam tentang pengertian dari patronase bisnis tersebut. Tetapi tidak ada salahnya jika sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang perkembangan patronase bisnis di Indonesia, di sini akan kembali dijelaskan kembali secara singkat mengenai apa yang dimaksud dengan patronase bisnis. Patronase bisnis sendiri dalam konteks ini diartikan sebagai adanya keterlibatan dari para pejabat negara baik secara langsung maupun tidak dalam suatu proses akumulasi modal. Dalam hal ini para pejabat negara tadi bertindak sebagai patron politik bagi para pengusaha. Keterlibatan para pejabat negara dalam pembentukan sebuah pola patronase bisnis otomatis secara langsung menempatkan negara dalam posisi yang paling signifikan. Namun di sisi lain, kemunculan peran negara yang begitu penting tersebut
94 Richard Robison, "Pengambangan Industri dan Ekonomi -Politik Pengembangan Modal:Indonesia", dalam Ruth Mc Vey (ed) Kaum Kapitalis Asia Tenggara, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal:117.
juga didasari atas penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh negara. Penguasaan atas sumber-sumber ekonomi ini menyebabkan para pengusaha tidak bisa menciptakan proyek-proyek sendiri.
Sebelumnya telah pula dijelaskan bahwa, ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tidak satupun sebuah kekuatan ekonomi domestik yang mampu menjadi basis atau pendukung utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ekonomi Indonesia justru masih sangat bergantung pada para pengusaha Belanda dan keturunan Cina. Keinginan negara untuk membentuk kelompok-kelompok pemodal domestik yang diharapkan mampu menggantikan posisi keduanya ternyata mengalami banyak kegagalan. Hal yang serupa juga terjadi pada masa awal Orde Baru. Sebaliknya keterlibatan negara dalam pembentukan pengusaha-pengusaha domestik tersebut justru berakibat semakin berkembangnya praktek-praktek patronase bisnis. Patronase bisnis pada masa Orde Baru mulai menampakan perkembangan yang pesat ketika Indonesia mendapatkan pemasukan yang berlimpah dari terjadinya boom minyak. Ketika itu rezim Orde Baru semakin giat melakukan industrialisasi subtitusi impor, sekaligus pula melakukan pembatasan terhadap
peran modal asing. 95 Karena itu masa boom minyak sering disebut sebagai masa kejayaan patronase bisnis di Indonesia. 96
Sebenarnya persoalan strategi industrialisasi dengan menggunakan sistem industri subtitusi impor (ISI) ini sudah seringkali disarankan oleh Bank Dunia untuk digantikan dengan industri yang berorientasi ekspor (Export-Oriented Industrialization/ EOI). Namun seperti yang banyak terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah terjadinya ketegangan-ketegangan politik antar kepentingan. Kelompok elit-elit militer, birokrat tingkat tinggi, para teknokrat nasionalis dan industrial ISI adalah faksi- faksi penentang penghapusan kebijakan pemberian proteksi, lisensi subsidi dan
sebagainya. 97 Keterlibatan negara dalam pembentukan pola patronase bisnis tersebut, tentu telah
memiliki alasan-alasan serta implikasi-implikasi tersendiri bagi perkembangan keadaan ekonomi politik di Indonesia. Alexander Irwan melihat bahwa salah satu alasan mengapa
95 Mengenai bentuk-bentuk pembatasan tersebut lihat Richard Robison, “Pengembangan…, opcit, hal:116. 96 Suryadi A. Rajab, Praktik…opcit, hal:40. 97 Alexander Irwan, Patronase Bisnis, Kelas Dan Politik: Studi Tentang Indonesia, Korea Selatan dan
Muangthai, Jakarta, SPES, 1994, hal:10.
negara memberikan akses-akses ekonomi kepada para birokrat, kelompok-kelompok bisnis militer dan para pimpinan militer adalah untuk mendapatkan dana di luar anggaran resmi pemerintah untuk membiayai kegiatan militer dan untuk membangun dan mempertahankan loyalitas. Sedangkan jika yang diberi akses adalah anggota keluarga, maka tujuannya adalah membangun kerajaan bisnis mereka. Namun yang terpenting, tujuan pemberian akses-akses tersebut oleh negara ialah agar oposisi tidak dapat
membangun landasan ekonomi yang kuat. 98 Berkaitan dengan peran negara dalam kemunculan praktek-praktek patronase
bisnis tersebut, terlihat bahwa patronase bisnis muncul sebagai salah satu akibat dijalankannya sistem sentralisasi oleh penguasa negara baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian negara tumbuh menjadi aktor sentral ekonomi Indonesia, dimana dalam perkembangannya ternyata juga merupakan aktor penentu dalam pembentukan pola patronase bisnis. Selanjutnya dengan telah terbentuknya pola patronase bisnis di Indonesia, akan memunculkan berbagai implikasi. Di satu sisi kemunculan patronase bisnis ini mengakibatkan negara Orde Baru tumbuh menjadi sebuah negara otoriter birokratis rente. Dengan berkembangnya negara Orde Baru sebagai sebuah negara otoriter birokratis rente, maka negara relatif menjadi lebih kuat. Sebaliknya masyarakat sipil menjadi semakin lemah, dan di tatanan sosial organisasi- organisasi kemasyarakatan lebih banyak dibentuk dan dikelola oleh negara.
Sedangkan secara ekonomis, jelas bahwa pemunculan negara otoriter birokratis rente dengan diikuti oleh berkembangnya patronase bisnis tersebut, telah pula mengakibatkan kesenjangan ekonomi antara golongan kaya dan miskin semakin lebar. Karena dalam kenyataannya patronase bisnis telah pula menimbulkan diskriminasi ekonomi. Para pengusaha yang memiliki patron politik pada umumnya merupakan pengusaha besar sehingga semakin memudahkan dalam pengembangan bisnisnya. Sementara hal yang sebaliknya banyak dialami oleh para pengusaha menengah dan kecil. Patronase bisnis ini secara ekonomi juga mengakibatkan para investor terutama para investor asing menjadi ragu dalam menanamkan modalnya. Mereka melihat munculnya patron-patron politik dalam kaitannya dengan penanaman modal adalah sesuatu hal yang sangat riskan. Mereka juga berpendapat bahwa jika suatu saat patron politik mereka
98 Ibid, hal:16.
jatuh, maka akan berimplikasi langsung pada kelancaran bisnis mereka. Karena itu kemunculan patronase bisnis dapat juga dikatakan sebagai salah satu penghambat masuknya investasi asing ke Indonesia. Dengan kata lain patronase bisnis tidak memunculkan kepercayaan bisnis (business confidence) terutama untuk usaha jangka
panjang. 99 Selain para investor asing, adanya patronase bisnis ini juga mengakibatkan para pemilik modal domestik keturunan Cina menanam modal mereka di luar negeri. 100
Indenpendensi finansial yang dimiliki dari adanya jaringan finansial dengan kelompok bisnis Cina di negara-negara Asia Tenggara lain, telah menjadikan mereka sebagai sebuah kekuatan bisnis yang cukup signifikan dalam struktur ekonomi Orde Baru. Meski demikian, patronase bisnis telah menjadikan mereka enggan untuk menanamkan investasi jangka panjang di Indonesia. Ketika pemerintah Orde Baru memaksa mereka untuk menanamkan investasi jangka panjang, mereka kemudian akan meminta hak monopoli
untuk produk-produk mereka tersebut. 101 Berkembangnya praktek patronase bisnis di masa Orde Baru ini juga ditandai
dengan pembentukan sebuah tim dari Sekneg, yang dikenal dengan nama tim sepuluh. Kewenangan yang dimiliki oleh tim ini sangat besar dan luas. Tim sepuluh ini memiliki wewenang antara lain ialah dalam pembebasan tanah untuk kepentingan sebuah proyek, pemberian izin untuk pengawasan tender juga dalam hal pemberian wewenang pada lembaga-lembaga yang lebih bersifat teknis. Wewenang itu sendiri terus mengalami perluasan terutama setelah menjadi lembaga yang permanen di Sekneg. Dari yang sebelumnya hanya berwenang mengawasi pembelian besar kebutuhan departemental dan non-departemental diperluas terus sehingga tim sepuluh ini juga berwenang dalam
pengawasan di BUMN dan swasta. 102 Namun yang paling penting dari perluasan wewenang tim sepuluh ini ialah
keluarnya dekrit presiden no 29 tahun 1984 tentang pemberian wewenang melakukan pengendalian lebih lanjut atas proses “pra kualifikasi” yang akan menentukan perusahaan mana, sampai tingkat propinsi yang akan dimasukkan ke dalam daftar, sehingga mereka berkesempatan untuk ikut dalam pengajuan tender-tender proyek. Lebih celakanya lagi
99 Alexander Irwan, "Kolaborasi …opcit, hal:27 100 Alexander Irwan, Patronase…opcit, hal:17. 101 Ibid. 102 Jeffry A.Winters, Power ...opcit, hal:176.
setiap instansi pemerintah yang berkepentingan dalam pengadaan proyek tersebut diharuskan untuk membentuk tim sepuluh mini untuk menentukan hal tersebut. Tim sepuluh mini yang biasanya dipimpin oleh menteri atau kepala instansi yang bersangkutan tersebut kemudian bertanggung jawab pada tim sepuluh yang ada di
Sekneg. 103 Dengan demikian tim sepuluh telah berkembang menjadi sebuah instrumen untuk membangun, memperluas dan mempertahankan struktur patronase yang ada di
Indonesia. Sebab pada akhirnya hanyalah orang-orang yang berada dekat baik secara politik atau pribadi dengan para pejabat istana dan Sekneg, yang mampu mengambil keuntungan dari keberadaan tim sepuluh ini. Dan yang pasti dengan adanya tim sepuluh ini sekali lagi akan memberikan kesempatan dan legalitas baru bagi para pejabat negara untuk menjadi pemburu rente.
Dengan demikian setidaknya ada sepuluh hal yang patut dicermati untuk dapat memahami mengapa patronase bisnis ini dapat tumbuh dan berkembang pada masa Orde Baru. Pertama, dominannya peran negara dalam perekonomian yang ditunjukan dengan tumbuhnya lapisan birokrat-politik atau pejabat militer, telah mengakibatkan mereka dapat mengembangkan kepentingan-kepentingan pribadinya. Tidak profesionalnya para pejabat dan birokrat tersebut mengakibatkan terjadinya kekaburan antara bidang yang seharusnya mereka geluti dengan masalah-masalah bisnis. Kedua, dengan semakin berkembangnya kepentingan-kepentingan pribadi mereka, telah mendorong penggunaan akses-akses negara, seperti lisensi, konsesi, hak monopoli dan sebagainya oleh para pejabat negara, untuk dibagikan pada para pengusaha. Perlakuan seperti ini yang kemudian banyak diistilahkan dengan kolusi. Ketiga, adanya hubungan yang terjalin antara para pengusaha dan para pejabat, ternyata mengakibatkan digunakannya kekayaan negara seperti APBN dan perusahaan-perusahaan negara untuk membantu investasi dalam bisnis-bisnis mereka. Keempat, ketidakmampuan negara dalam mengatur perekonomian menjadikan hal tersebut sebagai rebutan para birokrat. Para birokrat tersebut berharap dapat menggunakan posisi tersebut untuk dapat mempengaruhi perusahaan swasta. Dengan demikian diharapkan pula akan terjalin hubungan yang lebih erat dangan para pengusaha yang ingin mengembangkan usahanya. Kelima, ketergantungan pada patron politik dalam mengembangkan usaha, mengakibatkan
103 Ibid, hal:178.
keinginan untuk mengumpulkan kekayaan dalam waktu sesingkat mungkin. Karena jika jatuh bangunnya posisi patron politik juga berarti maju mundurnya usaha yang dijalankan.
Keenam, keinginan untuk mendapatan kekayaan dalam tempo sesingkat mungkin, mengakibatkan para pejabat dan pengusaha menjadi sangat berkepentingan dalam persoalan proteksi tarif yang tinggi, pembatasan modal asing serta hal monopoli. Ketujuh, ketidakpastian politik bisa mengakibatkan para investor terutama para investor asing menjadi enggan untuk menginvestasikan modalnya untuk jangka panjang. Sehingga tidak muncul kepercayaan di bidang usaha (business confidence) di Indonesia dari para investor. Kedelapan, ketakuatan yang berlebihan dari para pemilik modal mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu negara yang beresiko tinggi. Tidak hanya jika patron politiknya jatuh tetapi juga kemungkinan untuk terjadinya perampasan kepemilikan usaha-usaha tersebut oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa. Kesembilan, dikuasainya dan didirikannya perusahan-perusahan dagang oleh para pejabat yang dalam pelaksanaannya tidak lagi menghiraukan moralitas dan etika usaha. Karena mereka hanya berorientasi pada kekayaan dengan berbagai cara. Kesepuluh, keterlibatan -para pejabat tersebut ternyata juga memunculkan bisnis-bisnis kroni. Dimana yang melakukan bisnis adalah keluarga dan teman-teman dekat para pejabat pemilik akses politik. Sehingga seringkali
mereka saling berebut untuk mendapatkan kemudahan dalam memperluas bisnisnya. 104 Jadi dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, ketika negara tidak lagi sekedar
sebagai penjaga kekayaan dan kepentingan bisnis maupun menjalankan tugas dalam penciptaan keadaan yang kondusif bagi akumulasi modal, tetapi telah pula sebagai pengendali kekayaan ekonomi dan kepentingan bisnis secara keseluruhan, maka kekuasaan negara yang sangat besar yang dipegang oleh sebuah rezim politik ini akan
membawa akibat bagi kehidupan ekonomi nasional yang didominasi patronase bisnis. 105
2.2 Implikasi Patronase Bisnis Pada Perekonomian Orde Baru Pada penjelasan sebelumnya disebutkan apabila terdapat peran yang begitu besar dari negara, maka yang terjadi adalah pemunculan kapitalisme yang semu (ersatz capitalism). Jika hal ini dikaitkan dengan perkembangan patronase bisnis, yang kemudian
104 Achmad Ali, "Patronase Bisnis Orde Baru Berlanjut di Era Reformasi", Kompas, 4 Oktober 1999. 105 Suryadi A. Rajab, Praktik…opcit, hal:41.
nampak jelas terlihat sebagai implikasi pertama dari adanya patronase bisnis tersebut ialah lahirnya kelas-kelas kapital yang tidak mandiri. Ketergantungan mereka pada patron politik, ternyata telah menjadikan bisnis yang dilakukannya menjadi sangat rawan terhadap perubahan politik yang terjadi. Implikasi kedua yang muncul sebagai akibat dari adanya pola patronase bisnis tersebut ialah lahirnya kalangan birokrasi pemburu rente (rent seekers). Adanya pemburu rente ini berpengaruh langsung pada pembentukan negara otoriter birokratis rente. Adanya praktek patronase bisnis ternyata di satu sisi juga menyebabkan tidak adanya kepercayaan bisnis dari para investor, terutama dari para investor asing yang menanamkan modalnya untuk jangka panjang.
Implikasi berikutnya dari patronase bisnis di bidang ekonomi ialah, timbulnya ekonomi biaya tinggi. Ekonomi biaya tinggi ini muncul karena dalam patronase bisnis industri yang dimungkinkan untuk dapat muncul adalah industri substitusi impor yang tidak efisien. Para penanam modal juga selalu menekan negara untuk mau memberikan berbagai keistimewaan, seperti subsidi, monopoli dan proteksi, sehingga hasil produksi mereka dapat bersaing dangan barang-barang serupa yang diimpor. Dari beberapa implikasi yang ditimbulkan tersebut, jelas bahwa adanya praktek patronase bisnis secara ekonomis tidak akan memberikan perkembangan yang sehat bagi perekonomian Indonesia.
Hal lain yang juga menarik untuk dicermati dari berkembangnya patronase bisnis ini ialah, siapa-siapa saja yang diuntungkan dan dirugikan. Jika kembali mencermati penjelasan-penjelasan sebelumnya, mungkin kita akan segera tahu dengan jelas siapa- siapa saja yang diuntungkan selama ini. Namun yang pasti, pengusaha-pengusaha klien tersebut pada umumnya merupakan pelaku-pelaku bisnis yang mempunyai kedekatan dengan para perwira tinggi militer atau pejabat sipil negara lainnya, termasuk dari kalangan birokrat. Karena para pejabat militer tersebut merupakan patron politik dalam pengembangan bisnis mereka.
Sedangkan di sisi lain, tidak sedikit pula pihak-pihak yang dirugikan dengan kehadiran patronase bisnis ini. Di dalam sebuah pola patronase bisnis sangat jelas bahwa yang dapat dikatagorikan sebagai pihak-pihak yang dirugikan ialah para pelaku bisnis yang secara langsung, tidak memiliki akses kepada pemegang kekuasaan politik. Hal ini Sedangkan di sisi lain, tidak sedikit pula pihak-pihak yang dirugikan dengan kehadiran patronase bisnis ini. Di dalam sebuah pola patronase bisnis sangat jelas bahwa yang dapat dikatagorikan sebagai pihak-pihak yang dirugikan ialah para pelaku bisnis yang secara langsung, tidak memiliki akses kepada pemegang kekuasaan politik. Hal ini
patronase bisnis ini telah pula memunculkan tindakan atau kebijakan yang bersifat diskriminatif terhadap para pelaku bisnis yang dilakukan oleh penguasa politik. Sekali lagi hal ini merupakan sebuah bukti ketidakkonsistenan rezim Orde dalam menjalankan kebijakan ekonominya, yang di satu sisi menginginkan masuknya investasi asing, sedang di sisi lain menjalankan patronase bisnis yang justru sangat dibenci oleh para investor asing.
Kedua, yang secara tidak langsung juga dirugikan dari berkembangnya praktek- praktek patronase bisnis ini ialah negara sebagai sebuah organisasi (khususnya keuangan negara). Karena dengan berkembangnya patronase bisnis ini, ternyata telah menciptakan pemburu-pemburu rente di kalangan birokrat. Dengan semakin berkembangnya birokrat- birokrat pemburu rente ini, jelas tindakan korupsi akan semakin tidak terkendali serta masyarakat akan makin banyak dirugikan.