Globalisasi dan Mobilitas Modal Internasional
3. Globalisasi dan Mobilitas Modal Internasional
3.1 Perkembangan Modal Internasional Pasca perang dunia II, merupakan masa dimana ekonomi dunia mengalami pertumbuhannya secara pesat. Munculnya negara-negara baru di sisi lain ternyata juga turut memberikan kontribusinya dalam pertumbuhan ekonomi --terutama perdagangan--
internasional. Karena seiring dengan munculnya negara-negara baru tersebut, maka
164 Meski demikian selain dari APBN, pihak militer dan polisi juga telah menerima Anggaran Belanja Tambahan (ABT) sebesar RP 500 milyar dari Departemen Keuangan dan Bapenas untuk membiayai
operasi-operasi di daerah rawan. Lihat “Anggaran TNI dan Polri RP 10,9 Trilyun”, Kompas 24 Mei 2000. 165 Tempo interaktif, 23-Mei-2000. http//www.tempo.co.id operasi-operasi di daerah rawan. Lihat “Anggaran TNI dan Polri RP 10,9 Trilyun”, Kompas 24 Mei 2000. 165 Tempo interaktif, 23-Mei-2000. http//www.tempo.co.id
Ekspansi modal (capital) di seluruh dunia sebenarnya telah lama dimulai. Jika melihat kembali pada sejarahnya, ekspansi modal sebenarnya telah terjadi semenjak abad ke-18. Ketika itu negara-negara di Eropa yang mengalami surplus produksi mulai menunjukan kebutuhan akan adanya perluasan pasar. Semenjak itu dimulailah praktek- praktek imperialisme dan kolonialisme di berbagai daerah Asia, Afrika dan bahkan Amerika. Dan nampaknya selain kebutuhan akan pasar, perebutan untuk mendapatkan bahan-bahan mentah juga menjadi pertimbangan lain terjadinya imperialisme dan kolonialisme.
Dalam perkembangannya sebagai sebuah kekuatan ekonomi internasional, kini nampaknya pergerakan modal tidak dapat lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Ia dapat dengan leluasa bergerak ke mana saja tanpa lagi harus menggantungkan lagi pada kekuatan lain. Sebaliknya, justru kekuatan-kekuatan lain seperti kekuatan politik (negara) dan sosial yang memiliki “ketergantungan” padanya. Tingginya tingkat independensi yang dimiliki oleh kekuatan modal transnasional tersebut di satu sisi, mengakibatkan makin lemahnya posisi negara-negara dunia ketiga untuk dapat mendatangkan modal- modal tersebut ke negara-negara mereka. Selain itu persoalan klasik yang seringkali muncul ialah stabilitas politik. Persoalan stabilitas politik ini menjadi signifikan karena pada umumnya para pemilik modal baru mau masuk untuk berinvestasi apabila ada jaminan stabilitas politik dari negara.
Semenjak tahun 1970an, di dunia berkembang sebuah fenomena yang dikenal dengan nama transnational corporation (TNC), atau yang kemudian lebih dikenal dengan multinational corporations (MNCs). Kemunculan fenomena tersebut di satu sisi merupakan salah satu indikator dari globalisasi ekonomi dunia. Proses globalisasi itu sendiri makin berkembang setelah pada awal abad ke 20 terjadi perkembangan yang pesat dalam teknologi transportasi, elektronika dan komunikasi. Selain itu, tuduhan dari para kelompok pecinta lingkungan yang menyatakan bahwa pabrik-pabrik mereka merupakan penyebab utama terjadinya polusi, juga menjadi penyebab lain berkembangnya perusahaan-perusahaan multinasional tersebut.
Sedangkan dilihat dari sisi ekonomi, globalisasi makin terpacu setelah adanya peningkatan proteksi dunia dan berkembangnya sistem kurs mengambang sejak awal tahun 1970an. Oleh karenanya globalisasi ini juga dijadikan instrumen bagi para pemodal transnasional untuk dapat menembus berbagai proteksi tersebut. Selain sebagai penghancur tembok proteksi, globalisasi juga dapat diartikan sebagai strategi dari perusahaan multinasional untuk dengan mudah melakukan penetrasi pasar dan membuka akses-akses bahan baku dan berbagai faktor produksi lainnya. Sehingga diharapkan dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Sementara itu di lain pihak globalisasi oleh Ankie Hoogvelt dapat dipandang sebagai sebuah bentuk baru dari core-periphery
relations di dalam sistem ekonomi dunia. 166 Seperti telah diangkapkan diatas perusahaan-perusahaan multinasional yang
merupakan subyek utama dari globalisasi tersebut, mengalami pertumbuhan yang pesat pada masa 1950-1970an. Bahkan sedikit lebih cepat dari rata-rata GDP negara-negara
asal investasi. Namun demikian, dapat dicirikan bahwa ada perubahan arah dari perkembangan atau aliran foreign direct investment pada pasca PD II dari negara periphery ke negara pusat (core). Sebagai contoh dapat dilihat bahwa semenjak masa kolonial sampai 1960 negara-negara dunia ketiga menerima separuh dari keseluruhan aliran investasi langsung tesebut. Hal ini terus turun sampai 1/3 pada tahun 1966, dan sampai seperempat pada tahun 1974. 1988-89 investasi tersebut terus turun sampai 16,9%. Sisa dari investasi langsung tersebut, mengalir ke Asia bagian Timur, Selatan, dan
Tenggara. 167 Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata Cina dengan jumlah penduduknya
yang besar terutama dengan kedelapan propinsi pantai (kesemuanya berada di selatan) utamanya ditambah Beijing, Cina saat ini telah berkembang menjadi negara terbesar penerima investasi langsung tersebut. Bila jumlah populasi di kesembilan daerah di Cina ini ditambahkan dengan populasi di 10 negara berkembang yang terpenting, terlihat bahwa 14% dari keseluruhan populasi dunia menerima 16,5% dari keseluruhan investasi langsung tersebut. Meski demikian hal yang mengejutkan dari perkembangan investasi langsung global ini ialah, bahwa ternyata secara keseluruhan hanya 2/3 dari total populasi
166 Ankie Hoogvelt, Globalization and The Postcolonial World: The New Political Economy of Development, Baltimore, Maryland, The John Hopkins University Press, 1997.
167 Ibid, hal 77.
dunia yang telah menerima keuntungan dari adanya foreign direct investment (FDI) tersebut. 168
Dalam perkembangan ekonomi dunia saat ini, selain bentuk investasi langsung seperti telah dijelaskan diatas juga berkembang bentuk-bentuk investasi tidak langsung (indirect investment). Bahkan trend yang berkembang saat ini menunjukan bahwa bentuk-bentuk investasi tidak langsung seperti pinjaman komersial, pinjaman resmi (official loans), hibah dan hutang bank cenderung menunjukan peningkatan. Munculnya pasar modal atau bursa efek serta komoditas di beberapa negara, merupakan indikator lain dari berkembangnya investasi tidak langsung tersebut. Derasnya aliran, arus atau perputaran investasi tidak langsung di dunia pada saat ini menyebabkan timbulnya kesulitan dalam melacak dari mana investasi tersebut berasal. Bahkan dengan data statistik sekalipun. Apalagi mengenai jumlah keseluruhan transaksi internasional yang terjadi di seluruh dunia sampai tingkat individual.
Perkembangan yang pesat dari modal transnasional ini pada akhirnya membawa sistem perdagangan dunia kepada sebuah sistem yang berupaya untuk menghapuskan berbagai hambatan yang seringkali muncul. Hambatan yang seringkali muncul tersebut ternyata lebih banyak sebagai sebuah hambatan yang distilahkan sebagai hambatan non- tarif. Untuk itu, maka negara-negara di dunia kemudian berupaya untuk menghapuskan segala bentuk hambatan non tarif (non-tarrif barriers) tersebut. Salah satu upayanya ialah dengan membuat kesepakatan diantara mereka untuk membentuk sebuah badan perdagangan dunia, yang kemudian dikenal dengan nama World Trade Organization (WTO). Organisasi ini sendiri dalam pembentukannya merupakan kelanjutan (pengganti) dari keberadaan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang telah ada sebelumnya. Untuk mengatasi berbagai hambatan dalam perdagangan dunia ini juga, beberapa negara telah melakukan beberapa kali pertemuan. Dimana telah menjadikan pertemuan putaran Uruguay (Uruguay Round) sebagai titik penting dalam kesepakatan penghapusan hambatan tarif dan non tarif.
Pembentukan organisasi perdagangan dunia serta blok-blok perdagangan regional di berbagai kawasan, juga berfungsi untuk mencegah terjadinya pemungutan pajak berganda. Negara-negara anggota dari organisasi-organisasi tersebut secara bersama
168 Ibid.
memberlakukan tingkat tarif yang sama terhadap produk-produk impor, dan secara bertahap menghapuskannya. Dengan demikian tercipta kawasan-kawasan perdagangan bebas atau yang lebih dikenal dengan free trade area. Namun kemudian persoalannya ialah tidak sedikit dari negara-negara dunia ketiga yang telah tergabung ke dalam organisasi atau lembaga-lembaga tersebut. Padahal kita tahu bahwa tidak semua dari blok-blok perdagangan regional dan dunia tersebut yang hanya beranggotakan negara- negara berkembang. Sehingga jika tidak berhati-hati bukannya tidak mungkin kalau pengintegrasian negara-negara dunia ketiga di dalamnya justru menjadi bumerang ekonomi bagi mereka. Sebaliknya, ketika negara-negara dunia ketiga tersebut mengintergrasikan dirinya ke dalam sebuah lembaga atau organisasi serupa dengan lebih sedikit melibatkan negara-negara maju di dalamnya, maka hal tersebut dapat dijadikan instrumen yang efektif untuk mencegah bentuk-bentuk perdagangan dengan negara- negara maju yang seringkali bersifat eksploitatif dan mengancam keberadaan industri domestik mereka.
3.2 Modal Asing dan Pemulihan Ekonomi Indonesia Dalam awal bab 3 telah dijelaskan bagaimana modal asing menjadi sebuah kekuatan utama dalam membangun kembali perekonomian Indonesia di bawah Orde Baru. Pemerintah rezim Orde Baru di bawah Jendral Suharto yang saat itu hendak memprioritaskan untuk melakukan pembenahan di bidang ekonomi, segera saja mengeluarkan berbagai kebijakan yang pada intinya mempermudah keterlibatan modal asing di dalam perekonomian Indonesia. Sehingga akhirnya kita mengenal apa yang dinamakan dengan UU penanaman modal asing (PMA) tahun 1967.
Ketika Indonesia kembali dihadapkan pada sebuah krisis ekonomi yang cukup parah di akhir 1990an, nampaknya modal asing diharapkan dapat kembali menjadi “pahlawan” bagi pemulihan perekonomian Indonesia. Sebagai sebuah kekuatan transnasional, keterlibatan modal asing dalam upaya pemulihan keadaan ekonomi Indonesia menjadi sangat signifikan. Karena dengan masuknya kembali modal asing, diharapkan akan kembali memberikan pemasukan bagi negara. Sehingga pada akhirnya akan kembali menggerakan perekonomian Indonesia yang sempat terhenti di saat krisis. Signifikansi modal asing dalam perekonomian Indonesia sebenarnya juga sudah dapat terlihat ketika krisis ekonomi mulai terjadi. Menjelang terjadinya krisis nampak terjadi Ketika Indonesia kembali dihadapkan pada sebuah krisis ekonomi yang cukup parah di akhir 1990an, nampaknya modal asing diharapkan dapat kembali menjadi “pahlawan” bagi pemulihan perekonomian Indonesia. Sebagai sebuah kekuatan transnasional, keterlibatan modal asing dalam upaya pemulihan keadaan ekonomi Indonesia menjadi sangat signifikan. Karena dengan masuknya kembali modal asing, diharapkan akan kembali memberikan pemasukan bagi negara. Sehingga pada akhirnya akan kembali menggerakan perekonomian Indonesia yang sempat terhenti di saat krisis. Signifikansi modal asing dalam perekonomian Indonesia sebenarnya juga sudah dapat terlihat ketika krisis ekonomi mulai terjadi. Menjelang terjadinya krisis nampak terjadi
investasi asing yang masuk mencapai US$21.512,1 juta (lihat tabel IV. 169 1).
Tabel IV.1 Ikhtisar Perkembangan Persetujuan Penanaman Modal Asing
Uraian 16 Juni-15 1 Jan- 15
s/d 15 Juli 199 3 dan 4 dalam (%) 12 3 4 5 6 1.Jumlah Proyek
Juli 1997 Juli 1997
2.Nilai investasi (US$ Juta)
3.Tenaga Kerja a.TKI
54,3 b.TKA
4.Proyek berorientasi ekspor
62,7 b.Nilai investasi (US$ Juta)
a.Jumlah proyek
c.Potensi nilai ekspor (US$
Juta)/ tahun
Sumber: Lampiran IA, Laporan Perkembangan Penanaman Modal BKPM Sampai Juli 1997.
169 Laporan Perkembangan Modal BKPM sampai Juli 1997.
Begitu besarnya ketergantungan Indonesia pada modal asing untuk memulihkan situasi ekonominya, telah menempatkan posisi pemerintah Indonesia dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi pemerintah Indonesia mengharapkan investasi asing dapat kembali masuk untuk dapat memutar kembali perekonomiannya. Sementara di sisi lain pemerintah juga dihadapkan pada persoalan, bahwa krisis yang dialami oleh Indonesia telah meruntuhkan sebagian besar kelompok-kelompok bisnis yang ada. Sehingga apabila para investor asing tersebut telah kembali masuk, bukan mustahil jika pada akhirnya nanti seluruh sektor bisnis dan ekonomi Indonesia akan dikuasai oleh para investor asing.
Masuknya investasi asing pada dasarnya selain dapat berfungsi sebagai penambah pemasukan bagi negara, juga dapat digunakan sebagai alat pendorong peningkatan kemampuan kewirausahaan (enterpreneurship) para pengusaha domestik. Namun sekali lagi, persoalan yang ada selama ini adalah bahwa ternyata banyak dari pengusaha Indonesia yang kurang bahkan tidak memiliki kemampuan tersebut. Sebab selama puluhan tahun kebanyakan dari mereka telah dimanjakan dengan berbagai kemudahan dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Sehingga dengan masuknya investasi asing pasca krisis ini, kita tidak lagi hanya sekedar meningkatkan kemampuan kewirausahaan tersebut, tetapi lebih jauh lagi kita harus mulai kembali membentuk kemampuan seperti itu dikalangan pengusaha.
Meski negara telah kehilangan otonomi relatifnya, dengan masuknya modal asing ke Indonesia hal ini tidak berarti bahwa para pejabat negara atau para birokrat juga akan kehilangan kesempatan untuk menjadi pemburu rente. Sebab kalau tidak hati-hati hal ini akan dapat melahirkan bentuk lain dari patronase bisnis, yang pada intinya tetap didasarkan pada praktek-praktek korupsi dan kolusi. Sikap kehati-hatian ini perlu untuk terus dikembangkan karena bagaimanapun juga tidak sedikit aset nasional yang masih berada dibawah pengawasan dan pengendalian negara. Sehingga ketika hendak mengekploitasinya diperlukan izin khusus.
Di negara manapun di dunia ini institusi militer bukan merupakan institusi bisnis yang profesional. Jadi ketika militer tersebut turut serta didalam kegiatan bisnis, maka dalam pengelolaan bisnisnya-pun menjadi tidak profesional. Ketika kasus ini terjadi di Indonesia, bisnis militer yang berkembang adalah praktek-praktek bisnis yang seringkali melibatkan kekuasaan-kekuasaan politik Selain itu bisnis militer yang telah menjadi
“bagian” dari pelaku ekonomi dan bisnis nasional Orde Baru tersebut, juga telah menikmati berbagai fasilitas lain dari pemerintah. Sehingga setelah Orde Baru runtuh, maka kemampuan kewirausahaan dari bisnis militer juga akan menjadi sebuah pertanyaan besar. Modal asing yang telah menjadi faktor penting--dan terus bertambah penting-- dalam perekonomian Indonesia pasca Orba, nampaknya tidak akan mau dirugikan dengan masih adanya praktek-praktek bisnis semacam ini. Sehingga pada akhirnya akan memunculkan persoalan baru tentang nasib dari bisnis militer ini. Agar dapat memahaminya, perlu kiranya kita kembali melihat latar belakang dari kemunculan bisnis militer tersebut.
Berbagai uraian sebelumnya secara jelas menyebutkan bahwa alasan yang seringkali dilontarkan oleh pihak militer ketika ditanyakan tentang keberadaan dari bisnis ini adalah keterbatasan dana, terutama untuk peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan sebagian dana oprasional non-budgeter. Namun dalam kenyataannya selama bertahun- tahun dengan adanya praktek bisnis militer tersebut, telah mengakibatkan institusi militer berkembang tidak lebih dari sekedar sebuah institusi komprador ekonomi. Adanya hal yang demikian ini jelas akan menimbulkan kesan yang buruk kepada para investor asing. Bila diperhatikan, adanya praktek bisnis militer di satu sisi dan modal asing di lain pihak juga akan menimbulkan kesan adanya kebijakan yang ambivalen dari pemerintah. Namun dalam konteks skripsi ini menurut penulis persoalan utamanya tidak terletak pada kebijakan yang ambivalen tersebut, tetapi pada bagaimana meletakan bisnis militer di dalam sebuah kerangka kebijakan ekonomi yang lebih liberal. Sebab jelas di dalam sebuah negara dengan kebijakan ekonomi yang liberal, tentangan terhadap praktek- praktek bisnis dengan banyak melibatkan institusi negara akan semakin besar.
Berkembangnya militer sebagai sebuah institusi komprador ini tidak mustahil akan dapat menjadi salah satu penghambat program perbaikan ekonomi Indonesia. Sebab hal ini akan memberi kesan kepada para investor bahwa pemerintah Indonesia tidak serius dalam menjalankan reformasi ekonominya. Sehingga pada akhirnya investor menjadi segan untuk menamkan investasinya di Indonesia. Padahal kita tahu bahwa negara Indonesia pasca krisis sangat mengharapkan investasi asing mau kembali masuk dan menanamkan modalnya di Indonesia. Dari sini perlu kembali kita pertimbangkan apakah bisnis militer tersebut perlu terus diadakan atau tidak.
Jika kita hendak meneruskan keberadaan bisnis militer ini yang juga perlu kemudian kita lihat adalah profesionalitas dari institusi militer Indonesia. Hal ini menjadi penting karena selama Orde Baru ini keberadaan bisnis militer tersebut merupakan sebuah indikasi dari tidak profesionalnya militer di Indonesia. Militer yang telah banyak terlibat dalam bidang-bidang ekonomi, bisnis, sosial dan politik telah melupakan peran utamanya sebagai alat negara di bidang pertahanan.
Sementara itu jika hendak menghapuskan keberadaan bisnis militer ini, persoalan anggaran-lah yang perlu menjadi bahan pertimbangan. Pembentukan militer Indonesia menjadi sebuah institusi militer yang profesional tentu bukan persoalan yang mudah. Diperlukan kearifan dari rezim yang berkuasa untuk dapat memberikan anggaran yang cukup bagi militer Indonesia. Tetapi persoalannya kondisi ekonomi dan finansial yang dimiliki negara saat ini sangat tidak memungkinkan hal tersebut dilakukan. Sehingga diperlukan jalan pemecahan lain yang dapat menjadikan militer Indonesia profesional, namun tidak juga menambah persoalan keuangan pemerintah. Mungkin untuk sementara waktu bisnis militer ini bisa tetap dipertahankan. Setidaknya sampai persoalan utama dari ekonomi Indonesia terselesaikan. Namun selama itu bukan berarti restrukturisasi institusi militer tidak dilakukan. Hal tersebut perlu terus dilakukan, hingga pada akhirnya diharapkan begitu bisnis militer ini dihapuskan telah pula terbentuk sebuah organisasi atau institusi kemiliteran yang lebih efektif dan profesional.
Jadi, dari berbagai penjelasan dalam bab ini secara keseluruhan kita akan melihat bahwa ada sebuah rangkaian peristiwa dan perubahan yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Perubahan dan krisis yang terjadi di negara Indonesia, baik secara ekonomi dan terutama politik saat ini, ternyata tidak terlepas dari terjadinya krisis ekonomi dan moneter yang terjadi semenjak tahun 1997. Secara politik, terlihat bahwa ada korelasi yang sangat kuat antara jatuhnya rezim otoriter Orde Baru dibawah Jendral Besar Suharto dengan terjadinya krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah berhasil memperlemah kekuasaan Orde Baru. Orde baru yang selama lebih dari tiga dekade mengkonsentrasikan pemerintahannya pada persoalan ekonomi, telah terbukti gagal untuk menciptakan sebuah kestabilan dan keseimbangan fundamental ekonomi. Peran negara yang besar dalam ekonomi menjadi terbukti tidak efektif. Sebaliknya peran negara yang besar tadi pada akhirnya justru telah menciptakan bumerang bagi kekuasaan
Suharto. Sejalan dengan itu semua, jika dicermati kemunculan gerakan reformasi pada dasarnya juga merupakan salah satu akibat dari terjadinya krisis ekonomi. Hal ini menunjukan bahwa tuntutan reformasi seperti yang tengah terjadi sampai saat ini, dapat menjadi sebuah “senjata demokratisasi” yang efektif ketika negara berada pada posisi yang lemah secara ekonomi. Lemahnya posisi negara secara ekonomi ini, jelas akan sangat berdampak pada otonomi relatif yang dimiliki negara sebelumnya.
Lebih jauh lagi, ternyata dengan lengsernya Suharto yang selanjutnya diikuti dengan kemunculan gerakan reformasi, juga semakin menyudutkan posisi militer. Militer yang telah selama lebih dari 32 tahun mapan dalam dunia politik, kini semakin mendapat sorotan tajam. Konsep dwifungsi yang selama Orde Baru telah menjadi alat legitimasi bagi keterlibatan militer dalam masalah-masalah sosial dan politik juga terus mendapat kecaman. Sementara itu, krisis ekonomi yang kemudian terus berkembang menjadi krisis politik tersebut, terbukti cukup ampuh sebagai alat penghapusan peran militer dalam politik di Indonesia. Bila demikian, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa berbagai perubahan politik yang terjadi selama ini adalah salah satu “hasil” dari terjadinya krisis ekonomi. Dan dengan semakin berkembangnya kecaman dan tuntutan untuk menghapuskan dwifungsi tersebut, berarti pula adanya peningkatan kesadaran dalam masyarakat untuk menjadikan militer Indonesia sebagai militer yang profesional. Dan hal ini juga dapat dilihat sebagai sebuah tuntutan dihapusnya bisnis militer.