Latar Belakang PRIMASTO ARDI MARTONO

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang ”Pemerintahan Daerah” dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang “Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah” telah memberi kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk melaksanakan pemerintahannya serta mengatur wilayahnya, baik dalam pengaturan sumber daya alam, sumber daya manusia maupun pengelolaan keuangan. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau biasa disebut dengan desentralisasi berimplikasi pada munculnya daerah otonom. Otonomi daerah khususnya di KabupatenKota diharapkan dapat memberikan dampak positif karena daerah otonom dapat dengan leluasa mengoptimalkan pemanfaatan potensi yang dimilikinya guna mensejahterakan masyarakatnya. Guna menuju kemandirian, sudah saatnya daerah otonom harus menggali semua potensi yang dimilikinya. Pada tahap awal, pemerintah KabupatenKota harus mampu mengidentifikasi tiga pilar pengembangan wilayah yang dimilikinya yaitu potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya teknologi Mehrtens dan Abdurahman, 2007. Selain dampak positif tersebut di atas, otonomi daerah juga dapat menimbulkan dampak negatif berupa ego sektoral daerah, birokrasi daerah yang terlalu tinggi serta euforia daerah yang merasa tidak memerlukan lagi pemerintah pusat ataupun daerah lain. Guna mengantisipasi dampak negatif tersebut, 1 Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mendorong setiap KabupatenKota untuk melakukan kerjasama antar wilayahregional dalam rangka meningkatkan daya saingnya di perekonomian global. Di Jawa Tengah ada beberapa kerjasama regional yang telah terbentuk, seperti: Kerjasama Regional Barlingmascakeb yang meliputi wilayah Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen; Kerjasama Regional Sapta Mitra Pantura yang meliputi kabupatenkota di wilayah pantai utara Jawa Tengah yaitu: Kabupaten Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Kota Pekalongan dan Kota Tegal; Solo Raya yang terdiri dari Kota Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Klaten, Sragen, Wonogiri, Boyolali dan Sukoharjo dan yang terakhir adalah Kerjasama Regional Kedungsepur yang terdiri dari Kota Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak dan Kabupaten Grobogan. Kedungsepur merupakan Kawasan Tertentu yang terdapat di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional RTRWN. Dengan demikian wilayah ini direncanakan sebagai pusat pertumbuhan nasional. Kerjasama regional wilayah Kedungsepur sangat diperlukan guna meningkatkan daya saing yang lebih besar. Kerjasama Regional Kedungsepur telah dijalin sejak 21 Desember 1998 dengan penandatanganan MoU oleh BupatiWalikota di 6 enam wilayah Kota Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak dan Kabupaten Grobogan. Namun demikian kerjasama tersebut tidak berjalan efektif hingga perjanjian kerjasama tersebut telah habis masa berlakunya pada 20 Desember 2003. Kemudian pada tanggal 15 Juni 2005 dilakukan perpanjangan nota kesepahaman MoU yang baru yang berisi kesepakatan menjalin kemitraan di bidang tata ruang, lingkungan hidup, industri dan perdagangan, pembangunan sarana dan prasarana, perhubungan dan pariwisata, kebersihan dan kesehatan, pertanian dan pengairan, pendidikan dan kebudayaan, kependudukan, ketenagakerjaan, masalah sosial, serta keamanan dan ketertiban. Suara Merdeka, 16 Juni 2005. Kerjasama regional Kedungsepur yang belum berjalan secara efektif tersebut kemungkinan terjadi karena masing-masing daerah kabupatenkota belum memiliki kesatuan dan kesamaaan pandangan dalam melihat potensi yang dimiliki secara bersama. Selain itu, terjadinya kesenjangan antar daerah diduga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap masalah tersebut di atas. Kesenjangan yang terjadi antar dearah akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah Kedungsepur. Kesenjangan terjadi antara kota Semarang sebagai pusat pertumbuhan dengan daerah hinterland-nya maupun antar daerah kabupatenkota hinterland itu sendiri, hal ini dapat dilihat dari kontribusi setiap kabupatenkota terhadap PDRB Kedungsepur. Tabel I.1 menunjukkan bahwa kota Semarang sebagai pusat pertumbuhan memberikan kontribusi terbesar bagi PDRB Kedungsepur dibandingkan dengan wilayah sekitarnya yaitu sebesar 52,88 dari total PDRB Kedungsepur tahun 2005 sebesar Rp. 30.942.747.230.000,-. Sedangkan Kabupatenkota yang lain hanya memberikan kontribusi sebesar 2,48 hingga 14,49. Disamping itu jika dilihat PDRB antar kabupatenkota hinterland Semarang, nampak bahwa Kabupaten Kendal dan kabupaten Semarang memberikan kontribusi yang lebih besar dibanding dengan kota Salatiga, kabupaten Demak dan Kabupaten Grobogan. TABEL I.1 PDRB WILAYAH KEDUNGSEPUR TAHUN 2005 MENURUT HARGA KONSTAN TAHUN 2000 KabKota PDRB Juta Rp Kota Semarang 16.361.862,38 52,88 Kota Salatiga 766.841,10 2,48 Kab. Kendal 4.279.794,00 13,83 Kab. Grobogan 2.579.283,28 8,34 Kab. Semarang 4.484.189,38 14,49 Kab. Demak 2.470.777,09 7,98 Total 30.942.747,23 100,00 Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka 2006, data diolah Guna mendorong terjadinya kerjasama antar daerah secara lebih efektif, maka diperlukan suatu kajian potensi masing-masing KabupatenKota di wilayah Kedungsepur dan keterkaitan antar sektor ekonomi serta keterkaitan antar daerah sehingga diharapkan dapat mendorong tumbuhnya ekonomi regional. Keterkaitan ekonomi pada dasarnya menggambarkan hubungan antara perekonomian suatu daerah dengan lingkungan sekitarnya dan eksternalitas aglomerasi dipandang sebagai faktor penentu yang penting dalam konsentrasi geografis kegiatan ekonomi di daerah perkotaan. Kaitan intrasektoral kaitan antar perusahaan dalam sektor yang sama dan kaitan antar sektor adalah suatu cara untuk melihat eksternalitas aglomerasi, baik yang dipicu oleh input pemasok ataupun output pelanggan Kuncoro, 2002. Senada dengan hal tersebut, Mehrtens dan Abdurahman 2007 menggambarkan bahwa faktor-faktor yang mendorong suatu kerjasama meliputi: faktor keterbatasan daerah kebutuhan: hal ini dapat terjadi dalam konteks sumber daya manusia, alam, teknologi dan keuangan, faktor kesamaan kepentingan: adanya persamaan visi pembangunan dan memperbesar peluang memperoleh keuntungan, baik finansial maupun non-finansial, faktor sinergi antar daerah: tumbuhnya kesadaran bahwa dengan kerjasama antar daerah dapat meningkatkan dampak positif dari berbagai kegiatan pembangunan yang semula sendiri-sendiri menjadi suatu kekuatan regional. Sesuai dengan Undang-Undang 32 Tahun 2004 Bab IX pasal 78 disebutkan bahwa Pemeritah Daerah dapat melakukan kerjasama dengan pihak lain atas dasar prinsip saling menguntungkan dan kerjasama tersebut ditetapkan oleh masing-masing daerah terkait melalui Peraturan Daerah dan masuk dalam APBD. Daerah yang bekerjasama dapat menuangkan kesepakatan mereka melalui Surat Keputusan Bersama SKB. Di dalam SKB tersebut dapat dituangkan pengelolaan melalui Sekretariat Bersama Sekber. Selain itu, dituangkan pula latar belakang, maksud dan tujuan kerjasama, peran, fungsi dan tugas masing- masing daerah dengan mekanisme yang disepakati. Visi dan misi umum kerjasama antar daerah yang tertuang pada SKB dapat dipertegas kembali dan dijabarkan melalui program dan kegiatan bersama yang menjadi salah satu tugas penting Sekretariat Bersama, namun fungsi dan perannya adalah sama yaitu sebagai platform pelaksana teknis amanat kesepakatan regional yang telah disetujui oleh masing-masing DPRD terkait. Informasi mengenai potensi wilayah yang ada pada masing-masing kabupatenkota sangat berguna dalam menentukan sektor unggulan serta mengkaji bagaimana keterkaitan antar sektor ekonomi dan antar daerah daerah di wilayah Kedungsepur. Dengan diketahuinya potensi ekonomi yang bersifat antar daerah diharapkan mampu mendorong terciptanya kerjasama regional di Kedungsepur yang lebih efektif dalam rangka peningkatan ekonomi regional.

1.2 Perumusan Masalah