Belajar sebagai Tugas Belajar

L. Belajar sebagai Tugas Belajar

Belajar sebagai tugas belajar ialah proses pembelajaran yang merupakan tahapan-tahapan yang dilalui dalam mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan fsikomotor seseorang. Dalam hal ini kemampuan yang harus di miliki oleh siswa atau peserta didik. Salah satu peran yang dimiliki oleh seorang guru untuk melalui tahap-tahap ini adalah sebagai fasilitator. Untuk menjadi fasilitator yang baik guru harus berupaya dengan optimal mempersiapkan rancangan pembelajaran yang sesuai dengan krakteristik anak didik, demi mencapai tujuan pembelajaran. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh E. Mulyasa (2007), bahwa tugas guru tidak hanya menyampaikan informasi kepada peserta didik, tetapi harus menjadi fasilitator yang bertugas memberikan kemudahan belajar (facilitate of learning) kepada seluruh peserta didik, untuk mampu melakukan prosespembelajaran ini guru harus mampu menyiapkan proses pembelajaran.  Isu-Isu Etis (Analisis Kritis)

1. Belajar dan belajar itulah yang dilakukan oleh semua manusia yang berfikir, sehingga kehidupan manusia dinamis dengan berbagai kemajuan yang dicapai. Namun bagi sebagian orang belajar itu melelahkan, sehingga mereka tidak mau belajar, mereka hanya mau bekerja, padahal bekerja juga belajar, namun belajar untuk menghasilkan materi dan kalau ilmu

--Seni Belajar--

dalam pekerjaannya tidak ada inovasi dan kreatifitas maka pekerjaannya statis, ia tidak pernah maju. Selamanya ia akan menjadi buruh atau kuli dengan penghasilan yang sudah ditetapkan. Kalau ingin maju dan berubah, maka ia harus belajar kembali. Oleh karena itu hakekat belajar itu adalah perubahan yaitu berubah dari tidak tahu menjadi tahu, berubah dari tidak bisa menjadi bisa, berubah dari tidak terampil menjadi terampil, berubah dari tidak sadar menjadi sadar, berubah dari membenci menjadi mencintai dan sebagainya. Perubahan ini akan nampak dan terlihat serta berdampak terhadap perubahan menuju arah positif jika cara belajarnya benar, artinya bahwa belajar benar itu tidak hanya sampai tahu saja, tetapi harus sampai kepada level analisis yang berdampak terhadap kebaikan sikap (apektif) dan prilaku (psikomotor).

2. Banyak manusia yang tidak mengetahui bahkan tidak menyadari pentingnya belajar, yang mereka tahu hanyalah bagaimana bisa makan enak, naik mobil mewah, mempunyai rumah megah dan sebagainya. Padahal semua itu merupakan indikator materialisme bahkan menuju hedonisme. Sehingga sisi kemanusiaan yang nampak adalah aspek hayawaniyahnya. Mari kita lihat fakta yang menunjukkan bahwa aspek hayawaniah sangat dominan eksis pada diri manusia antara lain tawuran antar pelajar, bentrok fisik antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, perang kampung dengan kampung, adu jotos anggota dewan, sweeping pengrusakan dengan atas nama Islam, ilegal loging, pengerukan bumi yang penuh arogansi, pengrusakan sungai, pembangunan industri yang tidak sesuai dengan peruntukannya bahkan cenderung membahayakan penduduk sekitar, berjudi, mabuk, penjambretan, perampokan, korupsi, penyelewangan kebijakan demi kepentingan tertentu dan sebagainya. Oleh karena itu maka manusia harus belajar untuk menyeimbangkan asepk hayawaniyahnya dengan aspek nabatiyah, bahkan aspek ta’abuddiyahnya. Sehingga semua unsur yang ada dalam diri manusia mampu mempelajari dirinya

--Seni Belajar--

sendiri untuk memperoleh jati diri yang cerdas intelektual, cerdas mental-emotional, cerdas spiritual dan sebagainya.

3. Belajar yang baik itu adalah belajar untuk belajar (learning to learning), yaitu peserta didik setelah belajar secara formal, mereka menyadari dan memahami kondisi diri untuk senantiasa belajar dimana saja ia berada? Kapan saja ia ada? Bagaimanapun kondisinya? Ia senantiasa belajar baik dengan membaca, melihat, mendengar, mengamati dan sebagainya. Kebanyakan manusia mengetahui kalau belajar itu hanya di kelas. Padahal pembelajaran di luar kelas sangat luas, makro bahkan tidak terbatas.

--Seni Belajar--