Jenjang atau Tingkatan Pendidikan

F. Jenjang atau Tingkatan Pendidikan

Jenjang Pendidikan adalah tahapan Pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik. Pasal

14 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa jenjang pendidikan di Indonesia terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

Sebelum pendidikan dasar, ada yang disebut dengan pra sekolah atau Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dalam pasal 28 dijelaskan bahwa:

(1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.

(2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.

(3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-anak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

(4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

(5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Yang dimaksud dengan pendidikan dasar adalah pendidikan yang melandasi pendidikan menengah (pasal 17 UUSPN), yaitu sekolah dasar (SD) atau madrasah ibtidaiyah (MI) dan sekolah menengah pertama (SMP) atau madrasah tsanawiyah (MTs).

Pendidikan menengah adalah pendidikan kelanjutan dari SD atau MI, yang terdiri dari pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan, dalam hal ini adalah sekolah menengah atas (SMA) atau madrasah aliyah (MA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) atau madrasah aliyah kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat (pasal 18 UUSPN).

--Pendidikan-- Pendidikan tinggi adalah kelanjutan dari pendidikan

menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka (pasal 19 UUSPN). Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas. Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi (pasal 20 UUSPN).

Untuk meningkatkan lulusan pendidikan tinggi, pemerintah telah melahirkan undang-undang pendidikan tinggi no 12 tahun 2012 yang ditanda tangani pada tanggal 10 agustus 2012. undang- undang ini penting dikaji tidak saja oleh dosen dan pengelola, tetapi termasuk mahasiswa, sebab banyak rumor di Indonesia bahwa hasil akhir dari sarjana S-1 adalah skripsi, S-2 adalah tesis dan S-3 adalah doktor setelah itu mereka semua tidak mempunyai karya lagi. Itu disebabkan karena mereka tidak memiliki minat yang berimplikasi terhadap mandegnya berfikir analitis kritis, sehingga melahirkan sarjana yang tidak kreatif dan inovatif.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa jenjang pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut:

 PAUD / Hadhanah  TK / RA  SD / MI  SMP / MTs  SMA / SMK / MA  Perguruan Tinggi (D1, D2, D3, S1, S2, S3, Post Doktoral)

Sedangkan untuk profesor atau guru besar tidak dihasilkan melalui sekolah tetapi merupakan gelar kehormatan baik bagi guru maupun dosen yang telah membuahkan karya atau memberikan kontribusi besar terhadap bangsa dan negara melalui karya penelitian yang inovatif, kreatif maupun jalur pengabdian

--Pendidikan--  Isu-Isu Etis (Analisis Kritis)

Regulasi yang mengatur pendidikan formal sudahsangat baik, namun aplikasi di lapangan masih terjadi kesenjangan, terutama antara penyelenggara pendidikan negeri dan swasta. Permasalahan yang muncul pada pendidikan formal adalah:

1. Pendidikan formal identik dengan biaya yang tinggi, walaupun sekarang pemerintah sudah mengeluarkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Siswa Miskin (BSM), namun

sekolah tetap memungut/membebankan biaya kepada masyarakat dengan dalih kekurangan atau meningkatkan mutu pendidikan, padahal membeli mutu/kualitas tidak lantas menguras uang masyarakat. Ini khususnya untuk tingkat SD, SMP dan yang sederajat. Dan yang paling disoroti adalah sekolah negeri, sebab biaya operasional sekolah negeri yang meliputi belanja pegawai termasuk guru dan tenaga kependidikan, bahkan bangunan dibiayai oleh pemerintah, jadi untuk apa SPP dan bayaran-bayaran itu. Kalaupun ada, maka sifatnya hanya sewaktu-waktu saja.

kenyataan

dilapangan

2. Ada kekhawatiran dari berbagai bantuan dari pemerintah mulai dari BOS, BSM, RKB, dan sebagainya. Proyek ini rawan menjadi celah korupsi, khususnya pengguna anggaran, umumnya pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan proyek-proyek ini. Tradisi buruk terlebih lagi sudah turun- menurun sangat sulit diberantas/dihilangkan. Hal ini tidak disadari oleh para pengemban pendidikan, karena orientasinya sudah bukan perjuangan dan ibadah tetapi falsafah dagang yaitu untung rugi. Oknum pemerintah dalam hal ini jajaran kementerian pendidikan dan yang mengurus pendidikan memilih sekolah yang dibantu tidak sepenuhnya profesional tetapi berdasarkan kepentingan politis, ekonomis dan sosial. Bahkan para pejabat terkait merasa memiliki jasa atas turunnya dana tersebut, sehingga mereka meminta jatah (kalau tidak mau disebut pungli atau maling berdasi) terhadap semua proyek yang diturunkan, bahkan tidak sedikit yang

--Pendidikan-- meminta jatah duluan sebelum dana turun. Padahal

penandatangan MOU, pengurusan bantuan/proyek itu adalah tugas atau kewajiban mereka selaku penyelenggara negara dalam bidang pendidikan, mengapa masih ingin menikmati dana haram? Masalahnya adalah mental oknum pejabat masih mental tempe dan tahu. Kejujuran dan pendidikan hanya sebuah retorika bukan sebuah fakta, hanya sebuah simbol bukan teladan, hanya sebuah teks bukan konteks.

3. Mungkin karena namanya pendidikan formal, sebagian penyelenggara pendidikan ini hanya melaksanakannya sebagai formalitas saja.

4. Dalam aspek kurikulum, banyak terjadi perubahan, yang jadi masalah bukan perubahannya, karena kurikulum memang harus berubah sesuai dengan tantangan zaman yaitu kebutuhan masyarakat. Masalahnya terletak pada sosialisasi dan implikasi terhadap bahan ajar. Tahap sosialiasi merupakan tahap yang sangat penting sebab kurikulum yang baru harus dipahami benar oleh seluruh guru. Biaya sosialisasi ini tidak murah, padahal dengan adanya teknologi informasi komunikasi mestinya tahap sosialisasi bisa dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Mengenai bahan ajar, ketika kurikulum berubah maka pihak penerbit gembira, sebab bagi mereka ini adalah proyek besar. Oleh karena itu seharusnya perubahan-perubahan mendasar ini dituangkan dalam bentuk suplemen, sehingga buku-buku lama yang kurikulumnya masih berlaku dapat digunakan.

5. Peserta didik tidak dididik untuk mencari sendiri, mereka hanya mengetahui setelah diberi tahu atau ditugaskan. Oleh karena itu perlu dikembangkan metode problem solving atau lainnya yang mampu membangun kemandirian peserta didik dalam mencari informasi mengenai materi kurikulum.

6. Gelar akademik seorang pendidik kadang-kadang menggoda untuk mutasi ke pendidikan yang lebih tinggi, misalnya guru TK/SD yang sudah S2 merasa gengsi apabila masih mengajar

--Pendidikan-- Tk atau SD, guru SMP/SMA yang sudah S3 (doktor) gengsi

mengajar di levelnya. Oleh karena itu fenomena yang ada adalah mereka mutasi kerja ke jenjang yang lebih tinggi, padahal di luar negeri atau yang pendidikannya telah maju tingkat TK atau SD, tidak sedikit pendidiknya yang telah berkualifikasi doktor.

Pendidikan, Pengajaran, Pelatihan, Bimbingan, dan Konsultasi

G. Perbedaan

Antara

Para ahli pendidikan menemui kesulitan dalam merumuskan definisi-definisi ini, kesulitan itu disebabkan oleh banyaknya jenis kegiatan dan aspek kepribadian yang di bina dalam kegiatan itu. Untuk memudahkan dalam merumuskan definisi-definisi di atas, perhatikanlah tabel di bawah ini :