Macam-macam Evaluasi Pendidikan

D. Macam-macam Evaluasi Pendidikan

Berdasarkan kesiapannya evaluasi ada yang bersifat pree test dan post test. Pree test dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan seseorang sebelum ia mempelajari apa yang akan dipelajarinya. Jenis test ini biasanya dilakukan untuk mengetahui informasi awal seseorang juga bermanfaat untuk mengetahui tingkat kemajuan (progress report) seseorang setelah mengikuti proses belajar-mengajar. Selain itu pree test juga diperlukan untuk mengklasifikasi antara yang sudah tahu dengan yang belum mengetahui sama sekali, hal ini dilakukan untuk mengetahui dan Berdasarkan kesiapannya evaluasi ada yang bersifat pree test dan post test. Pree test dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan seseorang sebelum ia mempelajari apa yang akan dipelajarinya. Jenis test ini biasanya dilakukan untuk mengetahui informasi awal seseorang juga bermanfaat untuk mengetahui tingkat kemajuan (progress report) seseorang setelah mengikuti proses belajar-mengajar. Selain itu pree test juga diperlukan untuk mengklasifikasi antara yang sudah tahu dengan yang belum mengetahui sama sekali, hal ini dilakukan untuk mengetahui dan

Post test dilakukan setelah proses belajar-mengajar terjadi, ini dilakukan sebagai alat ukur tingkat keberhasilan proses PBM tersebut, selain itu ia juga bermanfaat sebagai laporan hasil PBM dan merupakan tugas akhir dari seorang guru dan sebagainya.

Berdasarkan fokusnya evaluasi terdiri dari empat macam, yaitu evaluasi program, evaluasi proses, evaluasi hasil dan evaluasi dampak. 162 Ada empat model evaluasi yang berkembang dewasa ini, yaitu model pengukuran (measurement), persesuaian (congruence), evaluasi sistem pendidikan, dan iluminasi. 163

 Isu-Isu Etis (Analisis Kritis)

1. Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum yang bertujuan untuk meninjau kembali sejauhmana materi pembelajaran terserap oleh peserta didik. Hasil dari evaluasi ini sebenarnya mempertaruhkan reputasi pendidik, sebab apabila materi tidak terserap oleh seluruh peserta didik seperti nilai dibawah kriteria ketuntasan belajar, maka dapat dikatakan pendidik tersebut belum berhasil menyampaikan seluruh materi yang telah ditetapkan pada kurikulum.

2. Seringkali pendidik merasa hebat ketika nilai peserta didik rendah, padahal itu menunjukkan kelemahan pendidik karena ia tidak mampu mengorganisasikan kelas.

3. Mayoritas evaluasi dominan terhadap ranah kognitif, padahal ia hanyalah salah satu ranah evaluasi, maka pendidik harus bijak dengan mengevaluasi ranah yang lain seperti apektif, psikomotorik dan spiritual. Ini menjadi penting, sebab kecerdasan intelektual tidak membuktikan seseorang itu benar-benar cerdas secara totalitas. Seringkali lulusan yang cerdas tersebut akhirnya menjadi penipu, mafia, manipulator

162 Ibid. , hlm. 105. 163 Ibid. , hlm. 106.

--Seni Evaluasi Pendidikan--

bahkan koruptor dan sebagainya. Ini membuktikan bahwa sistem evaluasi harus mengarah kepada seluruh aspek yang ada pada diri manusia.

4. Validitas dan orsinilitas Ujian Nasional dilakukan dengan sangat ketat, baik pada naskah soal UN maupun pada kunci jawaban yang hanya dimiliki oleh pihak tertentu. Penjagaan naskah soal bahkan dimulai sejak pembuatan naskah soal dengan melakukan sumpah atau fakta integritas agar tim atau pihak pembuat soal tidak membocorkan naskah dan kunci jawabannya, dan merekapun dijaga. Setelah soal selesai dibuat lalu diverifikasi oleh Kementerian Pendidikan Nasional, kemudian ditenderkan kepada penerbit untuk diperbanyak. Proses percetakan juga dijaga dengan ketat, antisivasi kebocoran sudah dilakukan dengan baik termasuk apabila ada cetakan yang gagal segera dihancurkan dengan mesin penghancur dan dibuat berita acara. Selesai dicetak sesuai dengan jadwal, maka naskah soal didistribusikan ke berbagai provinsi dan kota di Indonesia dan ke sekolah Indonesia di luar negri. Tahap bongkar muat sampai pengambilan oleh panitia pelaksana ke penyimpanan terakhir di sekolah juga dilakukan dengan pengawalan kepolisian dan tim independen. Pada saat Ujian Nasional dilakukan antisivasi agar tidak terjadi kecurangan juga dilakukan dengan sangat- sangat ketat bahkan boleh dikatakan amat tidak wajar! Bagaimana tidak? Pertama, Ketika soal dibuat 5 (lima) paket cukup menyulitkan bagi siswa/i melakukan kerja sama, paling tidak dengan rasio 1:4 dengan jumlah siswa 20 orang setiap ruangnya, sehingga kemungkinan kerja sama sekitar 25%. Kedua, Terdapat 2 (dua) pengawas yang statusnya adalah guru dan dilakukan secara silang, dalam hal ini guru dituntut memiliki kompetensi individu yang diantara penekanannya adalah kejujuran dan disiplin. Pada saat ini kompetensi individual dan sosial guru dipertaruhkan antara idealisme dan hipokritisme atau ujian antara kejujuran dan kebohongan (keimanan VS kekufuran). Ketiga, Terdapat pengawas umum disetiap lokasi UN yang bertugas mengawasi dan membuat berita acara terkait kelancaran pelaksanaan UN. Keempat, ada 4. Validitas dan orsinilitas Ujian Nasional dilakukan dengan sangat ketat, baik pada naskah soal UN maupun pada kunci jawaban yang hanya dimiliki oleh pihak tertentu. Penjagaan naskah soal bahkan dimulai sejak pembuatan naskah soal dengan melakukan sumpah atau fakta integritas agar tim atau pihak pembuat soal tidak membocorkan naskah dan kunci jawabannya, dan merekapun dijaga. Setelah soal selesai dibuat lalu diverifikasi oleh Kementerian Pendidikan Nasional, kemudian ditenderkan kepada penerbit untuk diperbanyak. Proses percetakan juga dijaga dengan ketat, antisivasi kebocoran sudah dilakukan dengan baik termasuk apabila ada cetakan yang gagal segera dihancurkan dengan mesin penghancur dan dibuat berita acara. Selesai dicetak sesuai dengan jadwal, maka naskah soal didistribusikan ke berbagai provinsi dan kota di Indonesia dan ke sekolah Indonesia di luar negri. Tahap bongkar muat sampai pengambilan oleh panitia pelaksana ke penyimpanan terakhir di sekolah juga dilakukan dengan pengawalan kepolisian dan tim independen. Pada saat Ujian Nasional dilakukan antisivasi agar tidak terjadi kecurangan juga dilakukan dengan sangat- sangat ketat bahkan boleh dikatakan amat tidak wajar! Bagaimana tidak? Pertama, Ketika soal dibuat 5 (lima) paket cukup menyulitkan bagi siswa/i melakukan kerja sama, paling tidak dengan rasio 1:4 dengan jumlah siswa 20 orang setiap ruangnya, sehingga kemungkinan kerja sama sekitar 25%. Kedua, Terdapat 2 (dua) pengawas yang statusnya adalah guru dan dilakukan secara silang, dalam hal ini guru dituntut memiliki kompetensi individu yang diantara penekanannya adalah kejujuran dan disiplin. Pada saat ini kompetensi individual dan sosial guru dipertaruhkan antara idealisme dan hipokritisme atau ujian antara kejujuran dan kebohongan (keimanan VS kekufuran). Ketiga, Terdapat pengawas umum disetiap lokasi UN yang bertugas mengawasi dan membuat berita acara terkait kelancaran pelaksanaan UN. Keempat, ada

semuanya berbondong-bondong memantau pelaksanaan UN dan tentu panitia pelaksana harus mengerti dengan datangnya tamu terhormat, sekaligus atasan mereka dan ini tidak gratis, karena menghormati tamu termasuk nilai keimanan sekaligus menunjukkan loyalitas dan partisipasi. Kedelapan, wartawan sibuk bukan main untuk mencari berita yang mempunyai nilai, termasuk nilai lebih dengan tawaran mau dimuat atau tidak? tentu dengan persyaratan. Kedelapan tahap atau ring pengamanan agar UN dilakukan dengan jujur, ternyata tidak sedikit fakta yang membuktikan adanya kecurangan dalam UN. Semuanya lupa, bahwa sebenarnya pada diri manusia ada "waskat" pengawasan melekat yaitu malaikat raqib dan atid, keduanya senantiasa mencatat amal manusia, yang akan dipertanggungjawabkan kelak diakhirat. Ketika manusia merasa sendiri dan berbohong, maka ia telah menipu dirinya sendiri dan seakan tidak mengakui adanya "waskat". Bagaimanapun jika mental jujur itu sudah hilang, maka sebanyak apapun yang mengawasinya kecenderungan manusia untuk berlaku tidak jujur dan manipulatif sangat tinggi! Oleh karena itu sejatinya pendidikan akhlak mulia harus ditegakkan untuk menjaga moralitas akademik sebagai

--Seni Evaluasi Pendidikan--

modal dasar besar suatu bangsa. Wajarkah semua pengawasan tersebut untuk putra-putri kita? Sementara bapak/ibunya mulai dari rumah tangga sampai pejabat negara senang menyembunyikan kebenaran alias berbohong!

5. Peraturan Pemerintah no.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 63 ayat 1c merupakan dasar hukum pemerintah untuk ikut andil dalam mengintervensi evaluasi pendidikan melalui Ujian Negara (UN). Ini dilakukan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, dan tugas pemerintah

untuk mengendalikan mutu tersebut, sebagaimana amanah UU Sistem Pendidikan Nasional no.20 tahun 2003 pasal 57 bahwa Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak- pihak yang berkepentingan. Sampai disini semua orang tentu setuju dan merespon positif, karena memang pendidikan sangat krusial dan merupakan salah satu indikator terpenting dalam mengukur kemajuan suatu bangsa. Negara akan maju, jika ditunjang dengan pendidikan yang maju, sebaliknya negara akan mundur dan hancur jika pendidikannya lemah. Pendidikan yang maju tentunya tidak dapat diukur dengan hanya evaluasi kognitif yang kalau tidak diimbangi dengan apektif dan psikomotor yang sangat memperhatikan budi pekerti luhur dan akhlak mulia, maka akan melahirkan out put pintar kebelinger, pintar memanipulasi, pintar dengan membodohi yang bodoh, pintar korupsi, pintar menjual aset negara dan sebagainya. tentu dengan etika kita akan mengatakan mereka adalah oknum. Namun apakah seperti ini hasil dari sebuah pendidikan yang sudah diperkuat dengan regulasi dan kebijakan pemerintah! Baiklah kalau memang itu oknum, namun kenyataannya terus meningkat! Jelas disini ada something error dalam pendidikan. Namun apakah errornya itu dalam sistem? ataukah aplikasi di lapangan? atau memang sudah sangat kompleks karena sudah menjadi tradisi bahkan budaya? Berbagai penelitian dilakukan untuk menjawab persoalan ini. Hasilnya sedikit demi sedikit terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Satu aspek dari aspek pendidikan untuk mengendalikan mutu tersebut, sebagaimana amanah UU Sistem Pendidikan Nasional no.20 tahun 2003 pasal 57 bahwa Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak- pihak yang berkepentingan. Sampai disini semua orang tentu setuju dan merespon positif, karena memang pendidikan sangat krusial dan merupakan salah satu indikator terpenting dalam mengukur kemajuan suatu bangsa. Negara akan maju, jika ditunjang dengan pendidikan yang maju, sebaliknya negara akan mundur dan hancur jika pendidikannya lemah. Pendidikan yang maju tentunya tidak dapat diukur dengan hanya evaluasi kognitif yang kalau tidak diimbangi dengan apektif dan psikomotor yang sangat memperhatikan budi pekerti luhur dan akhlak mulia, maka akan melahirkan out put pintar kebelinger, pintar memanipulasi, pintar dengan membodohi yang bodoh, pintar korupsi, pintar menjual aset negara dan sebagainya. tentu dengan etika kita akan mengatakan mereka adalah oknum. Namun apakah seperti ini hasil dari sebuah pendidikan yang sudah diperkuat dengan regulasi dan kebijakan pemerintah! Baiklah kalau memang itu oknum, namun kenyataannya terus meningkat! Jelas disini ada something error dalam pendidikan. Namun apakah errornya itu dalam sistem? ataukah aplikasi di lapangan? atau memang sudah sangat kompleks karena sudah menjadi tradisi bahkan budaya? Berbagai penelitian dilakukan untuk menjawab persoalan ini. Hasilnya sedikit demi sedikit terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Satu aspek dari aspek pendidikan

aspek-aspek yang mempengaruhi hasil pembelajaran. Dalam hal ini Pasal 58 UU Sistem Pendidikan Nasional no.20 tahun 2003 menyatakan bahwa Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Namun pada PP 19 tahun 2005 pemerintah juga mempunyai hak atas penilaian pendidikan sebagaimana telah disebutkan. Biaya UN tidak sedikit, ratusan milayar rupiah

kemampuan

serta

harus dikeluarkan demi mengendalikan mutu (bermutu=mahal). Namun tidak sedikit juga orang akan mengatakan bahwa ini adalah proyek kementerian dan pihak terkait. Terlebih lagi jika diketemukan indikasi penyimpangan dalam penggunaan anggaran, maka semakin kuatlah pihak yang menolak UN sebagai alat ukur standar pendidikan nasional. Menjelang UN siswa tegang, sedangkan pejabat pendidikan dan pihak terkait (pembuat soal, pencetak, pengawas, pemeriksa dst) riang, karena akan memperoleh hasil proyek tersebut. Paling tidak aspek positifnya, pada saat UN pejabat pendidikan mulai dari kecamatan sampai dengan pusat, bahkan wartawan dan kepolisian rajin mengunjungi sekolah, sedangkan pada hari- hari biasa (proses pembelajaran) mereka tidak lagi mengunjungi sekolah. Dan ternyata pihak panitia UN harus menyiapkan anggaran atas kedatangan tamu-tamu terhormat tersebut. Belum lagi motivasi siswa-siswi sekolah adalah lulus, dan itu adanya di UN yang alat ukurnya kognitif bahkan soal yang dipakai adalah pilihan ganda dengan argumen efektif

--Seni Evaluasi Pendidikan--

dan efisien karena dalam hal pemeriksaan menggunakan teknologi komputer. Karena soal UN pilihan ganda, maka yang dikejar adalah bagaimana siswa/i mampu menjawab soal pilihan ganda. Bahkan tidak sedikit mereka ikut bimbel yang bayarannya lebih mahal dari pada sekolahnya. Uniknya, rata-rata bimbel itu belajar menjawab soal pilihan ganda berikut strateginya. Lebih unik lagi pemerintah telah membuat 20 variasi soal untuk UN 2013 dari 5 variasi soal sebelumnya. Tambah variasi berarti tambah biaya, proyekpun bertambah. Namun penyelenggaraan UN 2013 untuk SMA/MA/SMK/MAK secara nasional dianggap tidak berhasil. Faktanya, setidaknya untuk penyelenggaran UN tingkat SMA/MA/SMK/MAK, banyak mengalami masalah mulai dari keterlambatan distribusi soal, kaset mata pelajaran bahasa Inggris yang tidak ada, soal tertukar, kualitas kertas yang kurang bermutu/tidak sesuai standar, pengunduran jadwal UN di beberapa provinsi dan sebagainya. Husnuzhan penulis variasi 20 soal ini, salah satunya mungkin adalah untuk menjawab validitas hasil UN yang diragukan oleh para rektor Perguruan Tinggi, sehingga mereka tetap menseleksi siswa lulus UN. Jika sebelumnya rasio 1:4 atau 25 % kesempatan menyontek, diluar individu dan pihak lain. Maka sekarang 1:1 atau 0 % kesempatan menyontek, kecuali jika yang bersangkutan memang mempunyai sumbernya. Dengan demikian pemerintah harus menyiapkan bank soal 800 butir soal untuk matematika dan 1000 soal untuk mata pelajaran lainnya. Oleh karena itu menurut hemat penulis sistem belajar harus dirubah, terutama ketika siswa/i memasuki kelas IX dan XII tidak perlu lagi belajar materi dengan diskusi, sosiodrama, psikodrama, role playing, simulasi, demonstrasi dan sebagainya. kalau memang tujuannya untuk mampu menjawab soal UN pilihan ganda, maka guru cukup mengumpulkan koleksi soal dari tahun ke tahun sampai ribuan soal kemudian belajarnya dengan sistem tanya jawab, insyaallah berhasil. Namun apakah ini sudah sesuai dengan tujuan pendidikan yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Padahal kelemahan pilihan ganda itu siswa tidak akan mampu mengukur sintetis dan evaluasi suatu problem serta kemampuan siswa dapat terganggu oleh kemampuan membaca dan terkaan. Memang pendidikan merupakan hak setiap warga Negara (Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945). Bahkan pendidikan dasar wajib diikuti oleh warga negara, sedangkan kewajiban pemerintah adalah membiayai pendidikan (Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945).

***

--Seni Evaluasi Pendidikan--