Kualifikasi, Kompetensi dan Sertifikasi Guru

F. Kualifikasi, Kompetensi dan Sertifikasi Guru

Undang-Undang Guru dan Dosen no.14 tahun 2005 menyebutkan ketentuan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Kompetensi guru meliputi; kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik.

Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.

Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.

Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

--Pendidik --

Sehat jasmani dan rohani adalah kondisi kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan guru dapat melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental tersebut tidak ditujukan kepada penyandang cacat.

Berikut prinsip-prinsip profesionalisme guru: • Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; • Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan,

keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; • Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan

sesuai dengan bidang tugas; • Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang

tugas; • Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas

keprofesionalan; • Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan

prestasi kerja; • Memiliki

kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;

• Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan

• Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur

berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

hal-hal

yang

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:

1. Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;

2. Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;

--Pendidik --

3. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;

4. Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;

5. Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran

kelancaran tugas keprofesionalan;

untuk

menunjang

6. Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;

7. Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;

8. Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;

9. Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;

10. Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau

11. Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.

Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:

melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;

1. Merencanakan

pembelajaran,

--Pendidik --

2. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi

secara berkelanjutan sejalan dengan

perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

3. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;

4. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan

5. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Sementara itu kementerian agama RI telah mengeluarkan

Peraturan Menteri Agama (PMA) no. 16 tahun 2010 pasal 16 bahwa guru pendidikan agama harus memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, profesional, dan kepemimpinan. Kompetensi pedagogik meliputi:

a. pemahaman karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual;

b. penguasaan teori dan prinsip belajar pendidikan agama;

c. pengembangan kurikulum pendidikan agama;

d. penyelenggaraan kegiatan pengembangan pendidikan agama;

e. pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan agama;

peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki dalam bidang pendidikan agama;

f. pengembangan

potensi

g. komunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik;

h. penyelenggaraan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar pendidikan agama;

--Pendidik --

i. pemanfaatan hasil penilaian dan evaluasi untuk

kepentingan pembelajaran pendidikan agama; dan j. tindakan

peningkatan kualitas pembelajaran pendidikan agama.

reflektif

untuk

Kompetensi kepribadian guru pendidikan agama meliputi:

a. tindakan yang sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia;

b. penampilan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat;

c. penampilan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa;

d. kepemilikan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri; serta

e. penghormatan terhadap kode etik profesi guru. Kompetensi sosial guru pendidikan agama meliputi:

a. sikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif berdasarkan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi;

b. sikap adaptif dengan lingkungan sosial budaya tempat bertugas; dan

c. sikap komunikatif dengan komunitas guru, warga sekolah dan warga masyarakat.

Kompetensi profesional guru pendidikan agama meliputi:

a. penguasaan materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran pendidikan agama;

b. penguasaan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran pendidikan agama;

c. pengembangan materi pembelajaran mata pelajaran pendidikan agama secara kreatif;

--Pendidik --

d. pengembangan profesionalitas secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif; dan

e. pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.

Dan kompetensi kepemimpinan guru pendidikan agama meliputi:

a. kemampuan membuat perencanaan pembudayaan pengamalan ajaran agama dan perilaku akhlak mulia pada komunitas sekolah sebagai bagian dari proses pembelajaran agama;

b. kemampuan mengorganisasikan potensi unsur sekolah secara sistematis untuk mendukung pembudayaan pengamalan ajaran agama pada komunitas sekolah;

c. kemampuan menjadi inovator, motivator, fasilitator, pembimbing dan konselor dalam pembudayaan pengamalan ajaran agama pada komunitas sekolah; serta

d. kemampuan menjaga, mengendalikan, dan mengarahkan pembudayaan pengamalan ajaran agama pada komunitas sekolah dan menjaga keharmonisan hubungan antar pemeluk agama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Adapun sertifikasi guru meliputi :  Sertifikat diberikan kepada guru yang telah memenuhi

persyaratan.  Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi

yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.

 Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.

--Pendidik --

 Setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik

memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu.

 Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan

anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

 Isu-Isu Etis (Analisis Kritis)

1. Seringkali anggapan profesionalisme berdampak langsung terhadap kesejahteraan, sehingga seseorang yang sudah profesional maka ia berhak memperoleh fasilitas kesejahteraan tersebut. Demikian juga dengan pendidik yang sudah bersertifikasi, maka ia berhak memperoleh kesejahteraan atas profesinya sebagai guru yang sudah bersertifikasi dengan apa yang disebut dengan tunjangan profesi. Asumsi tersebut betul apa adanya dan memang sesuai dengan misi pemberian tunjangan, namun fakta di lapangan memperlihatkan gejala dan indikator yang bertolak belakang dengan karakter-karakter guru profesional. Misalnya belakangan mulai terlihat guru menjadi konsumtif, bahkan ia disibukkan mengurusi hal-hal yang menjadi hobi materialismenya. Sementara kinerjanya sebagai guru yaitu mendidik anak tidak ada kemajuan, bahkan cenderung stagnan atau jalan ditempat.

2. Pendidik adalah garda terdepan yang berkontribusi langsung untuk memajukan dunia pendidikan, oleh karena itu ia merupakan first agent of change. Karena yang dihadapi pendidik adalah manusia yang memiliki mata untuk melihat (observator), telinga untuk mendengar (listener), otak untuk berfikir, hati untuk merasa, memahami dan sebagainya, maka guru harus benar-benar menjadi teladan yang baik karena ia digugu dan ditiru. Artinya bahwa semua gerak gerik, tutur kata, sikap dan prilaku pendidikan akan dilihat, dipahami, ditiru

--Pendidik --

oleh peserta didik. Lebih dari itu seringkali peserta didik menjadikan pendidiknya sebagai idola ideal yang refresentatif dengan tipikal dan idealisme yang bersangkutan. Dengan demikian maka pendidik tidak hanya bertugas sebagai transmitor atau transfer of knowledge tetapi lebih dari itu ia memiliki tugas sebagai transfer of value. Oleh karena itu komunikasi yang dibangun oleh pendidik tidak hanya yang berhubungan dengan materi pembelajaran, lebih dari itu maka pendidik harus memperhatikan komunikasi psikologis dan sosiologis bahkan komunikasi mental-spiritual. Jika pendidik sudah mengarahkan pendidikannya pada tataran pendidikan nilai, maka akan terjadi komunikasi yang mampu menembus hati sehingga akan melahirkan harmonisasi antara pendidikan dan peserta didik.

3. Pada umumnya mayoritas masyarakat beranggapan bahwa pendidik itu suci, karena ia suci maka pendidik tidak boleh salah dan keliru. Masyarakat lupa bahwa pendidik juga manusia, karena ia manusia, maka ia bisa salah, namun salah pada manusia yang terdidik tidak akan lama, dengan waktu yang singkat ia akan memperbaiki kesalahannya tersebut dengan perbuatan yang baik bahkan jauh lebih baik serta kontinyuitas dalam kebaikan tersebut, dan tentunya tidak akan mengulangi kesalahan tersebut. Artinya ilmu yang ada pada pendidik akan memberikan signal bahwa apa yang ia katakan, apa yang ia lakukan, apa yang ia sikapi itu adalah keliru. Ini akan terjadi ketika manusia berada pada kesadaran yang penuh yang secara otomatis mengirimkan informasi yang diterima oleh otak dan hati, kemudian hati memerintahkan lisan untuk meminta maaf, hati memerintahkan tangan, kaki raut wajah dan sebagainya untuk memperbaiki sikap dan prilaku yang keliru.

4. Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional mensyaratkan kepada pendidik untuk memenuhi kualifikasi akademik dan kompetensi (pedagogik, profesional, individual dan sosial). Regulasi ini tentu sangat baik, namun penjabaran seluruh kompetensi ini harus sampai

--Pendidik --

kepada hati

pendidik termasuk mengimplementasikannya secara totalitas. Kenyataan di lapangan masih banyak pendidik yang secara kognitif tidak mengetahui indikator keempat kompetensi tersebut. Oleh karena itu perlu diupayakan pembiasaan agar guru mengetahui indikator-indikator keempat kompetensi tersebut, kemudian barulah mencari strategi agar indikator tersebut hidup dalam praktek kehidupan para pendidik. Bahkan dengan lahirnya kurikulum 2013 yang berbasis tematik dan integrasi serta melahirkan pola SKL, KI dan KD yang berbeda dengan sebelumnya dengan capaian kurikulum inti yang berbasis pada nilai-nilai religius, afektif, kognitif dan psikomotorik, semuanya menuntut pendidik untuk mandiri dalam merumuskan kompetensi dasar dan kompetensi inti untuk setiap materi pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik. Ketika program sertifikasi guru digulirkan, banyak guru terutama guru honorer yang optimis dan merasakan betapa bahagia dan gembiranya, karena mereka memperoleh penghasilan berupa tunjangan profesi bagi yang sudah sertifikasi. Walaupun proses seleksi yang sangat ketat mulai dari lama pengabdian dan umur menjadi pertimbangan layak – tidak layaknya seorang guru memperoleh tunjangan profesi, tetapi mereka bersabar mengikuti prosedur yang terus dinamis setiap waktu. Sudah lima tahun jalan program sertifikasi berjalan dan harapan guru honorer yang belum sertifikasi masih sangat kuat. Namun ketika SKB 5 menteri lahir, dan mengharuskan guru yang sudah sertifikasi untuk memenuhi beban kerja 24 jam tatap muka, ini justru menjadi dilema dan lahirnya rasa pesimistis dari guru honorer. Bagaimana tidak? Sebab pentunjuk teknis yang senantiasa berubah tersebut tidak berubah menjadi mudah, tetapi justru berubah menjadi sangat menyulitkan, terutama bagi guru honorer. Sebab aturan 24 jam tatap muka tersebut untuk mata pelajaran tertentu menjadi tidak logis dan terlalu memaksakan. Kendala ini terjadi karena banyak mata pelajaran yang hanya memuat 2 jam pelajaran dan kondisi rombongan belajar yang sedikit, terutama bagi sekolah-

para

--Pendidik --

sekolah swasta yang serba pas-pasan namun mempunyai semangat untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Kebijakan ini akhirnya melahirkan praktik manipulasi rombongan belajar yang idealnya perkelas adalah 20 siswa, namun ada juga yang memecah hanya 10 siswa demi memenuhi beban kerja 24 jam tatap muka. Selain manipulasi rombel juga melahirkan manipulasi distribusi kurikulum dan jadwal pelajaran yang tidak sesuai dengan faktanya. Kebijakan

24 JTM juga akan melahirkan konflik antar guru PNS dengan Honorer, antara guru senior dengan yunior, sebab bagaimanapun guru yang sudah terlebih dahulu sertifikasi akan mengambil bagian guru honorer yang belum sertifikasi, sehingga akan mengakibatkan pengangguran masif ratusan ribu guru honorer karena tersisihkan. Jika ini terjadi, lalu bagaimana nasib mereka? Pantas kalau siswa-siswi ketika mereka ditanya mengenai cita-citanya, hanya sedikit yang ingin menjadi guru. Kebijakan ini lahir memang untuk penataan dan pemerataan guru disetiap daerah dan ketimpangan, karena di beberapa daerah justru kekurangan jumlah guru. Sedang di wilayah perkotaan terjadi penumpukan jumlah guru. Namun apakah harus sama perlakuan antara guru PNS dan guru Honorer? Kecemburuan terhadap guru PNS yang sudah sertifikasi ini jangan sampai merugikan guru honorer. Mengapa guru yang baru saja akan dihargai oleh pemerintah harus dicederai karena sebuah kebijakan? Kecemburuan itu timbul mungkin karena antara kinerja guru PNS yang sudah sertifikasi dengan yang belum, termasuk honorer tidak ada bedanya. Justru perbedaannya adalah guru yang bersangkutan menjadi konsumtif dan hedonis. Oleh karena itu, harus ada klasifikasi beban kerja guru antara guru PNS yang sudah sertifikasi, guru PNS yang belum sertifikasi, guru honorer yang sudah sertifikasi dan guru honorer yang belum sertifikasi. Sementara untuk penataan dan pemerataan guru di daerah terutama wilayah terpencil seperti pegunungan dan nelayan, maka pemerintah dapat mengalihtugaskan PNS sertifikasi untuk ditempatkan diwilayah yang kekurangan guru. Sebab guru

--Pendidik --

PNS, ia sudah siap ditempatkan dimana saja untuk mengabdi kepada negara. Untuk memenuhi beban kerja memang perlu ada standarisasi namun yang perlu diingat bahwa undang- undang menyebutkan bahwa tugas guru tidak hanya pada tatap muka, tetapi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penilaian, pembimbingan, pelatihan, penelitian dan pengabdian. Semuanya harus dihargai ekualivalen dengan jam tatap muka. Profesi guru bukanlah profesi buruh yang diharuskan masuk jam 07.00 keluar jam 15.00. profesi guru adalah pendidik sebagai agent of change agar peserta didik berakhlak mulia yang mengutamakan hati dalam berinteraksinya (dimuat di tribun jabar 2012).

--Pendidik --