Ilmu Hudhûriyy

1. Ilmu Hudhûriyy

Ilmu ini sering disebut sebagai pengetahuan presentasional atau pengetahuan dengan kehadiran, dimana realitas obyek diketahui ( disaksikan ) secara langsung oleh subyek berupa intuisi ( wahy atau ilhâm ). Kesadaran akan obyek ( maujûd ) diraih tanpa melalui sarana pengindraan, percobaan ataupun melalui perantaraan konsep-konsep mental. Kesadaran manusia terhadap beragam keadaan, sentimen, dan perasaan jiwa merupakan instanta-instanta ( hal-hal ) pengetahuan yang hadir secara langsung dalam dirinya. Manakala manusia takut pada sesuatu, dia langsung bisa menyadari keadaan itu tanpa perantaraan bentuk atau konsep mental apapun. Manakala cinta dan gandrung pada seseorang atau sesuatu merasuki dirinya, manusia spontan bisa dapat menilik getaran itu, tanpa perantaraan apapun. Orang kerap menyangka bahwa karena ia menemukan keadaan takut dalam dirinya melalui pengetahuan dengan kehadiran ( ilmu hushûliyy ), iapun mengetahui sebab musabab ketakutan tersebut melalui pengetahuan kehadiran. Padahal, apa yang dicerap melalui pengetahuan kehadiran senantiasa bersifat sederhana, tanpa bentuk dan konsep serta bebas dari segala macam penafsiran dan penjabaran. Dan itulah mengapa pengetahuan dengan kehadiran tidak mungkin keliru. Sebaliknya, penafsiran seketika yang mengiringi hadirnya ketakutan dalam dirinya merupakan persepsi-persepsi perolehan ( ilmu hushûliyy - kasbiyy ) dari informasi yang baru diterima ) sehingga

tidak menjamin kebenaran dan kesesuainnya dengan realitas sesungguhnya. 3

Secara faktual, kasus-kasus pengetahuan dengan kehadiran berbeda antara

biasa. b. Diperoleh lewat proses berpikir ( Tafakkur ) yang dilakukan oleh jiwa ( manusia dengan mengambil dan menyerap manfaat dari jiwa iniversal. ( Lihat ar-Risâlah al-Laduniyyah, al-Imam al-Ghazâliyy, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Ilmu Laduni oleh : M Yaniyullah, Mizan, Bandung, h. cet. ke -4, 2004, h. 41.

3 Muhammad Taqî, Mishbâh Yazdî, Buku Daras Filsafat Islam, ( Terjemahan dari Philosophical Instructions : An Introduction to Contemporary Islamic Philoshopy ), Penerjemah Musa Kzhim dan Saleh

Bagir, Bandung, Mizan, 2003, h. 92-97.

subyek ( pelaku persepsi ) dari aspek kekuatan dan kelemahan. Sebagian pengetahuan dengan kehadiran terasa sangat kuat dan dahsyat dalam kesadaran seseorang, sedangkan sebagian yang lain terasa lemah dan pudar sehingga orang setengah sadar atau tidak sadar sama sekali. Perbedaaan tingkat pengetahuan dengan kehadiran tersebut terkadang disebabkan oleh perbedaan tingkat keberadaan subyek pelaku persepsi. Dengan kata lain, tingkat keberadaan pelaku persepsi berbading lurus dengan tingkat pengetahuan presentasionalnya ; kelemahan tingkat keberadaan jiwa akan melahirkan pengetahuan presentasional yang lemah dan suram dan demikian pula sebaliknya. Dan penyebab rendahnya derajat pengetahuan dengan kehadiran adalah kurangnya perhatian ( ora nggaple : jawa ). Sebagai contoh, ketika ada orang sakit yang menederita dan mempersepsi rasa sakitnya melalui pengetahuan dengan kehadiran kemudian dia mengalihkan perhatian dengan melihat temannya yang kebetulan juga mengalami sakit, maka persepsinya akan rasa sakit itu akan membuyar.

Akibat rendahnya derajat pengatehuan dengan kehadiran tentang dirinya, bahwa jati dirinya identik dengan tubuhnya. Ujung-ujungnya ia akan menyimpulkan bahwa hakekat dirinya tidak lebih dari tubuh dan gejala-gejala material yang membalutnya. Namun, seiring dengan peningkatan derajat pengetahuan dengan kehadirannya dan penyempurnaan substansi dirinya, kekeliruan semacam itu tidak lagi terjadi. Dengan meningkatnya tingkat kesadaran dirinya akan dirinya, manusia akan menemukan pengetahuan presentasional akan Penciptanya. Tetapi akibat kelemahan derajat perhatiannya yang hanya tertuju pada tubuh dan benda-benda material, pengetahuan dengan kehadiran itupun melemah dan menjadi tak tersadari. Bagaimananpun dengan penyempurnaan diri, pengurangan perhatian pada tubuh dan benda-benda material serta pemantapan perhatian terhadap kalbu untuk selanjutnya dengan kalbunya dia

mengarahkan perhatiannya kepada Tuhan yang Maha Suci, dengan demikan dia akan mencapai tingkat pengetahuan dengan kehadiran ( ilmu hudhûriyy ) yang jernih dan

luhur, hingga ujungnya bisa sampai pada derajat ma'rifatullah 4 . Dengan ma'rifatullah ini maka seorang hamba bisa mendapatkan cahaya Allah berupa pengetahuan secara

langsung tanpa perantara akal. Meminjam istilah al-Ghazâliyy, perolehan ilmu pengetahuan dengan cara semacam ini disebut dengan Proses Pembelajaran

Ilâhiyyah 5 . Ada dua kategori proses perolehan ilmu hudhûriyy :

a. Melalui Wahyu

Wahyu ( al-wahy )menurut pengertian kebahasaan adalah menghujamkan sesuatu dengan cepat 6 . Sedangkan menurut banyak Ulama, wahyu adalah informasi

Allah menyangkut agama atau semacamnya yang disampaikan kepada nabi-Nya. Dan sebagaimana yang dijelaskan al-Qur'an sendiri, wahyu diturunkan melalui perantara

malaikat jibril as. 7 : ىﻮﻘﻟا ﺪ ﯾﺪﺷ ﻪﻤﻠﻋ ﻰﺣﻮﯾ ﻲﺣو ﻻإ ﻮﻫ نإ ىﻮﻬﻟا ﻦﻋ ﻖﻄﻨﯾ ﺎﻣ و

Dan tiadalah yang diucapkan itu ( al-Qur'an ) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu dan diwahyukan ( kepadanya ). Yang diajarkan kepadanya oleh ( Jibril ) yang sangat kuat . ( Q.S. an-Najm : 3-4 )

4 Muhammad Taqî, Mishbâh Yazdî, Buku Daras Filsafat Islam, ( Terjemahan dari Philosophical Instructions : An Introduction to Contemporary Islamic Philoshopy ), Penerjemah Musa Kzhim dan Saleh

Bagir, Bandung, Mizan, 2003 h. 98-99.

5 ar-Risâlah al-Ladunniyyah, al-Imam al-Ghazâliyy, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Ilmu Laduni oleh : M Yaniyullah, Mizan, Bandung, h. cet. ke -4, 2004, h. 44

6 Muhammad ibn 'Aly ibn Muhammad asy-Syaukâniyy, Fath al-Qadîr, Dâr al-Fikr, Beirut, tt, Jilid 5, h. 106. firman Allah swt pada surat an-Najm ayat 3-4 : ﻲﺣﻮﯾ ﻲﺣو ﻻإ ﻮﻫ نإ يﻮﻬﻟا ﻦﻋ ﻖﻄﻨﯾ ﺎﻣو : yang menjelaskan

bahwa apa yang dikatakan oleh Nabi saw tiadalah dari hawa nafsunya tetapi ia adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya dengan cara menghujamkan ke dalam jiwanya dengan proses yang sangat cepat.

7 Muhammad Husain ath-Thaba'thabâ'iyy, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Teheran, 1379 H Jlid 19, h.27

Syaikh Muhammad Abduh sebagaimana yang dikutip oleh Quraisy Syihab 8 , melukiskan wahyu sebagai 'irfan / pengetahuan yang diperoleh seseorang disertai

keyakinan bahwa sumbernya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Ini yang menjadikan para nabi memiliki tekad yang begitu kuat, betapapun besarnya tantangan dan rayuan.

Keyakinan yang begitu kuat tentang sumber datangnya wahyu merupakan salah satu hal yang membedakan antara wahyu dengan ilham / intuisi dan inspirasi yang terpikirkannya terlebih dahulu obyek inspirasi oleh yang menerimanya sedangkan wahyu tidak. Di sisi lain, wahyu tidak dapat diundang kedatangannya, kendati diupayakan. Ia adalah anugerah Allah, karena itu pula ada cukup banyak situasi dimana Nabi Muhammad saw. Sangat mendambakan kehadirannya, tetapi wahyu tak kunjung datang dan pada saat yang sama sebagai teguran agar mengaitkan

masyîah Allâh 9 dan izin Allah swt atas semua yang dijanjikan. " Dan sungguh jangan kau katakan akan sesuatu ' Sesungguhnya akan aku kerjakan hal itu besuk ' kecuali

apa yang Allah kehendaki ".( QS. Al-Kahfi : 23, atau kasus rumor yang beredar menyangkut isteri beliau, Aisyah ra., QS.an-Nur : 11).

Menurut QS.asy Syura : 51, ada cara yang ditempuh Tuhan untuk menyampaikan informasi-Nya kepada manusia : 10

" Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu lewat belakang tabir atau dengan mengutus

8 M. Quraisy Syihab, Menebar Pesan Ilahi, Lenetera Hati, Jakarta, Cet.II, 2006, h.288.

3 Muhammad Husain ath-Thaba'thabâ'i, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Teheran, 1379 H Jlid 19, h.271

10 Muhammad Husain ath-Thaba'thabâ'i, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Teheran, 1379 H Jlid 18, h.72

seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya atas izin-Nya atas apa yang Ia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Kuasa ".

Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa wahyu diturunkan dengan tiga cara yaitu : (a) lewat mimpi / ilham, (b) dengan berbicara secara langsung tanpa melihat- Nya ( seperti yang dialami oleh Musa as.), dan (c) mengutus malaikat untuk menyampaikan pesan-Nya.

Wahyu yang diterima oleh Nabi saw, disampaikan melalui ketiga cara tersebut, sebelum turunnya al-Qur'an, mimpi yang benar mendahuluinya, agaknya itu untuk meyakinkan beliau bahwa seseorang bisa memperoleh informasi yang benar tanpa diusahakannya. Hal ini juga diisyaratkan oleh wahyu pertama yang beliau terima. Di sana dikemukakan tentang pengajaran Tuhan "melalui pena" dan

diisyaratkan pula pengajaran-Nya yang "tanpa pena", yakni tanpa usaha manusia. 11 Informasi yang diterima seorang nabi melalui malaikat, bisa jadi melalui

malaikat jibril, mikail, atau malikat yang lain, dan dalam konteks ini Nabi saw. menerimanya dengan salah satu dari dua cara.

Pertama, dengan mengangkat Nabi saw. ke dimensi malaikat 12 . Ini bisa dilakukan karena para nabi - termasuk nabi Muhammad saw - meskipun manusia tetapi mereka

memiliki sifat dan potensi yang melebihi manusia biasa , dalam hal ini antara lain kesiapan menerima wahyu dalam kondisi demikian. 13 Keadaan Rasul saw. antara lain

dilukiskan oleh Sayyidah Ăisyah ra: "Keringat bercucuran dari wajah beliau walau pada musim dingin yang menusuk-nusuk." 14 Bahkan, "beliau sering meminta agar

11 Q.S. al-Qalam : 4-5

12 Hal ini terlihat ketika Nabi saw di-mi'raj-kan ke Sidrah al-Muntahâ. ( Lebih jauh lihat Q.S. al-Isra' ; 1 dan an-Najm )

13 Q.S. al-Kahfi ; 110

wajahnya ditutup ," ungkap Ŭmar ibn Khathâb ra. Permintaan itu menunjukkan bahwa ketika itu beliau dalam keadaan penuh kesadaran dan ini juga membuktikan bahwa apa yang beliau alami itu bukan epilepsy, sebagaimana tuduhan sebagian orientalis. Sebab jika beliau menderita epilepsy tidak mungkin lahir kalimat-kalimat mempesona penuh arti, sebagaimana ayat-ayat al-Qur'an yang disampaikan Nabi saw.setelah mengalami apa yang dilukiskan itu. Kedua adalah dengan menurunkan malaikat ke dimensi manusiawi, dan bila ini terjadi, maka siapa yang di sekitarnya dapat melihat malaikat itu dalam bentuk manusia. Ini bisa dilihat, antara lain dari hadist tentang kedatangan Jibril as.

mengajarkan Islam, Iman dan Ihsan 15 . Khusus untuk wahyu al-Qur'an Rasulullah saw. selalu menerima melalui malaikat Jibril as, dengan cara pertama di atas. Kondisi

penerimaannya bermacam-macam, ada yang ringan dan ada yang berat, tergantung dari kandungan wahyu yang beliau terima.

Di samping al-Qur'an sebagai wahyu Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril as. juga ada hal-hal yang berkaitan dengan Nabi saw, berupa as-sunnah yang sejatinya juga datang dari Allah swt. Nabi Ibrahim as. pernah memohon kepada Allah swt. agar diutus seorang rasul dari kalangan anak keturunannya dalam hal ini melalui Ismail as yang pada saat itu ditinggal di sekitar Ka'bah, setelah mereka berdua selesai merenovasinya, dengan doanya yang tertuang dalam surat al-Baqarah : 129 :

" Tuhan kami..! Utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka yang terus membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, dan terus mengajarkan mereka al-

14 HR al-Bukhâriyy, urutan hadist ke-2, bab bad' al-wahyi, termasuk hadist syarîf marfu' shahîh. CD. Hadist al-Kutub at-Tis'ah

15 HR al-Bukhâriyy, urutan hadist ke-48, kitab al-îmân, termasuk hadist syarîf marfû' shahîh. CD. Hadist al-Kutub at-Tis'ah

Kitâb ( al-Qur'an ) dan al-Hikmah ( as-Sunnah ) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana ".

Rasul yang dimohonkan oleh Ibrahim, Allah kabulkan setelah sekian abad dengan datangnya Muhammad saw, sebagai Nabi akhîr az-zamân 16 , yang bertugas

membacakan ayat-ayat al-Qur'an dan mengajarkan al-hikmah serta menyucikan mereka dari segala kekotoran kemusyrikan, kemunafikan dan penyakit-penyakit jiwa lainnya.

Banyak Ulama yang memahami lafal al-hikmah di atas sebagai sunnah nabawiyyah . Yaitu segala sesuatu yang datang dari Rasulullah ( selain al-Qur'an ) baik berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuan. 17

Sebagai sumber hukum setelah al-Qur'an, as-sunnah merupakan kebijaksanaan dan ketetapan Rasul saw dalam bidang apapun yang harus ditaati oleh umatnya. Apa yang Rasul berikan ( petunjuk ) termasuk di dalamnya perintah dan larangannya tidak boleh diabaikan. Hal ini sejalan dengan ayat al-Qur'an surat al-Hasyr ; 7 : " Dan Apa yang diberikan Rasul untuk kamu maka ambillah, dan apa yang beliau larang maka tinggalkanlah ". Dengan tidak mengindahkan konteks ayat tersebut, ayat ini berlaku umum, meliputi segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah saw, baik berupa hukum perintah maupun hukum larangan, tidak terbatas hanya sekedar pada pembagian harta fai'

sesuai dengan konteksnya. 18

16 Q.S. al-Ahzâb ; 40.

17 Al-Jazâ'iry, Jilid I, Aisar at-Tafâsîr li kalâm al-'aliyy al-Kabîr, h. 56

18 Muhammad Husain ath-Thaba'thabâ'i, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Teheran, 1379 H Jlid 19, h.203-204

b. Melaui Ilhâm ( Intuisi Positif )

Kata ilhâm berasal dari kata al-lahm yang berarti menelan sekaligus. 19 Dengan cara men-transitif-kannya terlahir lafal al-ilhâm, yang sering diterjemahkan

dengan intuisi. Memang ilhâm datang secara mendadak tanpa disertai analisis dan pemikiran sebelumnya. Kehadirannya bagaikan kilat cahaya, sehingga manusia tidak dapat menolaknya. Menurut al-Wâhidiyy sebagaimana yang dikutip oleh asy- Syaukâniyy, ilhâm adalah menghujamkan sesuatu ke dalam kalbu dan menancapkan di dalamnya. Seandainya Allah menghujamkannya ke dalam hati hamba-Nya, maka

20 Allah akan tetapkan dan tancapkan di dalamnya. Potensi ilhâm dimiliki oleh setiap manusia, tetapi berbeda dalam kekuatan dan peringkatnya. Ilhâm juga berarti

pengetahuan yang diperoleh seseorang dalam dirinya, tanpa diketahui secara pasti dari mana sumbernya, hal ini persis seperti rasa lapar. Kesan yang muncul ketika mendengar kata ilhâm, mengarah kepada sesuatu yang positif, padahal ilhâm, berbeda dengan wahyu, karena wahyu walaupun termasuk pengetahuan perolehan ( ilmu hudhûriyy ) namun ia diyakini benar-benar bersumber dari Allah swt. Sedangkan dalam literatur al-Qur'an, ada dua kecenderungan pengertian ilham yang dihujamkan ke dalam sanubari manusia, yaitu potensi positif ( taqwa ) dan potensi negatif ( durhaka ) keduanya mempunyai arah yang saling bertolak belakang. Hal ini yang mendasari penulis menambahkan kata intuisi positif sebagai makna ilhâm yang menjadi sumber kebenaran ilmiah dalam sub bab ini. Dalam surat asy-Syams ayat ke 7-8 al-Qur'an melukiskan potensi yang dianugerahkan kepada setiap jiwa manusia melalui media ilhâm dengan redaksi :

19 Kamus al-Munawwir h. 1386

20 Asy-Syaukâniyy, Fath al-Qadîr, Jilid 5, h. 449.

" Demi jiwa dan penyempurnaannya, lalu Allah mengilhaminya kedurhakaan dan ketakwaannya ".

Ibn 'Ăsyûr sebagaimana yang dikutip oleh Quraisy Syihab, memahami alhamahâ dalam arti anugerah Allah yang menjadikan seseorang memahami pengetahuan yang mendasar serta menjangkau hal-hal yang bersifat aksioma, bermula dengan keterdorongan naluriah kepada hal-hal yang bersifat manfaat, seperti keinginan bayi untuk menyusui, dorongan untuk menghindari bahaya, dan lain-lain hingga mencapai tahap awal dari kemampuan meraih pengetahuan yang bersifat 'aqliyyah .

Pada mukaddimah sub bab ini dijelaskan bahwa peringkat dan kekuatan ilhâm yang diterima oleh manusia berbeda antara satu dengan yang lain. Ketika potensi positif semakin kuat dan meningkat, maka tidak menutup kemungkinan ia akan bisa mencapai mukâsyafah ( tersingkapnya sesuatu melalui cahaya kalbu ). Para pakar tasawwuf menamainya dengan ilmu ladunniyy. Sebagaimana yang diperoleh oleh

Nabiyyullah al-Khadhir as. 21

21 Kisah Nabi Khadhir as.tertuang dengan sangat gamblang pada al-Qur'an surat al-Kahfi ; 65-82. Visi utama dari kisah ini adalah menguraikan tentang pengakuan seseorang terhadap keutamaan orang lain, dalam

hal ini Nabi Mûsâ as.terhadap hamba Allah yang soleh ( Nabi Khadhir as ). Kisah ini diawali dengan keinginan Mûsâ as.untuk menemui seorang hamba Allah yang soleh, setelah sebelumnya ia berbuat sebuah kesalahan dengan jawaban ; " Aku ", atas pertanyaan kaumnya, Bani Israil kepadanya : " Siapakah yang paling luas ilmunya ? ". Dengan jawaban tersebut kemudian Allah mengecamnya karena tidak mengembalikan pengetahuan tentang hal tersebut kepada Allah swt. Lalu Allah memerintahkan Mûsâ untuk menemui Nabi Khadhir as yang berada di majma' al-bahrain ( pertemuan dua lautan ). Kemudian Allah menjadikan ikan yang telah mati bisa hidup kembali dan melompat ke dalam air, sebagai indikator tempat pertemuan dengan hamba yang soleh tersebut. Singkat cerita Mûsâ akhirnya bisa bertemu dengan hamba Allah yang ilmunya lebih dalam dari padanya, kemudian dia meminta hamba tersebut untuk mengajarinya ilmu yang sudah dijarkan Allah kepadanya untuk dijadikan petunjuk oleh Mûsâ as.. Kemudian terjadi dialog antara keduanya. Nabi Khadhir menegaskan bahwa Musa as tidak akan sanggup mengikuti perjalanan ilmiah bersamanya. Tetapi Nabi Mûsâ as berjanji tidak akan membantah perintah dar Nabi Khadhir dan akan bersikap sabar dalam menghadapi persoalan yang akan ditemuinya. Syahdan kemudian keduanya melakukan tiga perjalanan yang sangat mengherankan : Pertama , ketika menaiki sebuah perahu , Khadhir as merusaknya. Kedua, ketika berjumpa dengan seorang anak kecil, secara tiba-tiba Khadhir as.membunuhnya. Ketiga, ketika mendapati sebuah dinding ( rumah ) yang akan roboh, kemudian Khadhir as, menopang dan memperbaikinya kembali, setelah sebelumnya penduduk negeri tempat dinding yang roboh itu berada, menolak mereka berdua sebagai tamu, padahal keduanya dalam kondisi membutuhkan makanan ( lapar ). Ternyata dalam setiap etape perjalanan spiritualnya, Mûsâ as tidak mampu untuk bersikap sabar, karena selalu mempertanyakan apa yang diperbuat Khadhir as, padahal sebelumnya Mûsâ as.telah berjanji untuk tidak menentang dan membantah apa yang akan dilakukan oleh orang soleh tersebut.

Ilmu Laduni adalah rahasia-rahasia cahaya ilhâm, yang mendapat penyempurnaan dari Allah swt : Demi jiwa serta penyempurnaannya , demikian firman Allah dalam surat asy-Syams : 7. Menurut al-Ghazaly, ada tiga cara untuk bisa memperoleh Ilmu

Laduni : 22 Pertama, karena mendapat keberuntungan secara langsung dari Allah swt. Maka beruntunglah orang yang dianugerahi cahaya ladunni oleh Allah swt :

" Dan barang siapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah swt, tidaklah ia mempunyai cahaya sedikitpun ". ( Q.S. an-Nûr ; 40 )

Kedua , ilmu ladunni diperoleh melalui riyâdhah, mujâhadah dan murâqabah yang benar. Ketiga, ilmu laduni diperoleh melalui media tafakkur. Jika jiwa belajar dan senang pada suatu ilmu, kemudian berpikir pada obyek yang sudah ia ketahui dengan mengikuti syarat-syarat berpikir, akan terbuka bagi jiwa pintu-pintu kegaiban. Seperti seorang pedagang yang menginvestasikan uangnya dengan memenuhi syarat-syarat

Setelah diberi tiga kali kesempatan untuk mengikutinya, dan Mûsâ as tidak mampu untuk menepati janjinya, Khidhir as.kemudian mengatakan : ﻚ ﻨﯿﺑو ﻲ ﻨﯿﺑ قاﺮ ﻓ اﺬ ﻫ : Inilah perpisahan antara akau denganmu, dan menceritakan ta'wîl dari ketiga peristiwa yang mereka alami bersama. Perahu yang dirusak oleh Khâdhir as adalah perahu milik para nelayan yang mereka gunakan bekerja di laut untuk mencari rizki. Kemudian Khâdhr membuatnya menjadi cacat ( cela ) dengan cara membocorkannya tetapi tidak untuk menenggelamkan penumpangnya, tetapi justru menyelamatkannya dari kekejaman yang sering dilakukan oleh raja lalim yang sering merampas perahu-perahu yang layak pakai ( bagus ) secara paksa. Maka dari itu Khadhir as. membuatnya menjadi ada cela sehingga kelihatan tidak layak untuk dioperasikan. Peristiwa kedua menyangkut seorang anak yang beranjak dewasa, kemudian secara tiba-tiba Khadhir as.membunuhnya. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa kedua orang tua anak tersebut orang mukmin yang mantap keimanannya, yang dikhawatirkan ketika tumbuh dewasa menjadi anak durhaka dan akan membebani kedua orang tuanya beban yang sangat berat karena kecintaan mereka kepadanya, atau akibat dari kekejaman sang anak sehingga keduanya melakukan kedurhakaan dan kekufuran. Dengan membunuhnya ( atas izin Allah ) kiranya Allah memberiakan ganti untuk kedua orang tuanya, anak lain yang lebih baik dari padanya dalam hal kesucian keberagamaannya dan lebih dekat kasih sayangnya kepada kedua orang tuanya. Sedangkan peristiwa terahir berkaitan dengan dua anak yatim yang mempunyai tinggalan harta warisan kedua orang tua yang soleh, yang berada di bawah rumah dengan dinding yang hampir roboh tersebut. Kemudian Khadhir as.memperbaikinya dengan maksud supaya harta warisan yang sangat berharga itu bisa diselamatkan, dan tidak jatuh pada pihak yang tidak berhak mengambilnya, sedangkan karakter penduduk dimana kedua anak itu tinggal, mempunyai akhlak yang tidak baik, di antaranya tidak mau menjamu tamu yang membutuhkan bantuan. Dengan berdirinya rumah tersebut tentunya kelak di kemudian hari ketika keduanya mencapai umur dewasa, mereka bisa mengeluarkan simpanan tersebut dan memanfaatkannya secara baik. Itulah rahmat yang Allah anugerahkan kepada kedua anak yatim itu melalui tangan Nabi Khâdhir as. ( Lihat Tafsir al-Mishbah, al-Mîzân, dan al- Jazâ'iryyi )

22 ar-Risâlât al-Ladunniyyah, h.59-60

investasi yang benar, maka akan terbuka baginya pintu-pintu keuntungan. Jika ia memakai cara yang salah maka ia akan merugi. Orang yang berfikir ( tafakkur ) tentunya akan memakai metode yang benar. Hal ini tentunya hanya dimiliki orang- orang yang cerdas yang akan menyebabkan keterbukaan bagi hatinya untuk menerima ilmu-ilmu ghaib hingga ia menjadi cendekia, sempurna, berakal cerdas, dan berilham kuat. Itulah ilmu Laduni, sebagaimana yang Allah anugerahkan kepada Khadhir as.:

ﺎ ﻤﻠﻋ ﺎﻧﺪ ﻟ ﻦ ﻣ هﺎ ﻨﻤﻠﻋ و ﺎﻧﺪ ﻨﻋ ﻦ ﻣ ﺔ ﻤﺣر هﺎ ﻨﯿﺗإ : 23 " Kami anugerahkan kepadanya rahmat, dan telah Kami ajarkan kepadanya dari sisi Kami, ilmu ". Ath-Thaba'thaba'iyy

memahami bahwa apa yang diajarkan kepada Khadhir as.adalah penganugerahan ilmu tanpa sebab – sebab yang lumrah, seperti yang diperoleh melalui indra dan

pemikiran. Ini dibuktikan oleh lafal ladunnâ ( dari sisi Kami ), sehingga ilmu yang dimaksud bukan ilmu kasbiyy. Ia adalah anugerah husus bagi Auliyâ' Allah. 24 Cabang

ilmu yang satu ini sebenarnya sudah sejak awal diisyaratkan oleh al-Qur'an pada surat al-'Alaq : 4-5 :

" ( Allah ) Yang mengajar dengan pena, Yang mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya ".

Pengajaran dengan pena ( tulisan ) mengisyaratkan adanya peranan dan usaha manusia antara lain dengan membaca hasil tulisan. Pengajaran kedua dengan tanpa pena ( tulisan ) atau alat apapun, yang mengisyaratkan pengajaran secara langsung tanpa peraga ( al-wasâ'il at-ta'lîmiyyah ), dan itulah yang disebut dengan ilmu

23 Q.S. al-Kahfi ; 65

24 Muhammad Husain ath-Thaba'thabâ'i, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Teheran, 1379 H Jlid 13. h. 342

ladunnyyi, atau dengan kata lain ilmu ini adalah di atas ilmu rata-rata ( mâ fauq al- 'ilm ).

Masih berkaitan dengan penjelasan Q.S. al-Kahfi ; 65, Bahwa apa yang Allah anugerahkan kepada hambanya bisa berupa nikmat-nikmat dhâhiriyyah ( yang nyata ) dan ada juga nikmat yang diberikan tidak melalui sebab-sebab alamiah, yaitu nikmat bâthiniyyah , seperti kenabian dan kewalian. Oleh karena itu dengan redaksi min 'indinâ , bisa dikatakan bahwa rahmat ( anugerah nikmat ) yang diterima oleh Khadhir as. adalah anugerah husus, yaitu kenabian Walaupun dengan menggunakan kata ganti jama' ( al-mutakallim ma' al-ghair ) yang menunjukkan keterlibatan malaikat Jibril as, sebagai penyampai wahyu kenabian. Atas dasar analisa ini, maka ath- Thaba'thaba'iyy mendukung pendapat yang mengatakan bahwa Khadhir as, adalah

seorang nabi. 25 Setiap aksi pengetahuan memiliki dua faktor, yaitu subyek dan obyek. Secara

umum subyeklah yang dituntut peranannya dalam rangka memahami obyek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa obyek terkadang menampakkan dirinya kepada subyek tanpa usaha dari pihak subyek. Sebagai contoh, ada benda-benda langit yang memasuki cakrawala hanya beberapa saat dalam waktu tertentu, misalnya Comet Halley. Kemudian alat-alat astronomi berusaha untuk menangkapnya. Namun yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu sendiri kepada para astronom, setelah kehadiran tersebut yang hanya beberapa saat, komet itu lenyap dari pandangan teleskop. Para ahli menyiapkan diri untuk mengamati, melihat dan menganalisanya. Kemudian menyampaikan kepada orang lain apa yang mereka teliti, atau lebih tepatnya apa yang diperlihatkan kepada mereka. Yang tidak melihatnya, dituntut untuk mempercayainya, karena mereka tidak dapat menguji kembali sebab benda

25 Muhammad Husain ath-Thaba'thabâ'iyy, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, Jilid 13, h.343

langit tersebut baru akan muncul lagi pada jarak waktu yang lama dan mungkin tidak terjangkau lagi oleh keterbatasan usia mereka. 26

Hal yang terjadi di dunia ilmiah ini, memberikan gambaran sekaligus bukti bahwa terkadang obyek pengetahuan terkadang dapat mengunjungi manusia, yang memperkenalkan diri kepadanya atas izin dan restu Allah swt. Anugerah pengetahuan semacam ini lebih bersifat hibatullah ( pemberian Allah ) tanpa sebelumnya melalui proses berpikir dan menggunakan potensi akal.

Yang menjadi persoalan adalah bagaimana obyek pengetahuan iti bisa mendatangi subyek ( penggali ) kebenaran dengan intensitas yang cukup tinggi ?.

Hamba Allah yang tekun dalam pengolahan dan penyucian jiwa, dengan memperindah lahiriahnya dengan ibadah, sambil menjauhi akhlak madzmûmah, dan menghiasi diri dengan akhlak yang luhur serta bersungguh mengasah potensi rûhâniyyah nya ( baik hissiy, khayâliyy maupun wahmiyy ), maka dia akan meraih potensi 'aqliyyah yang sangat jernih dan kuat. Jiwa manusia berdasarkan fitrahnya adalah anugerah Ilahi yang bersifat nûrâniyyah, luhur dan hanya sedikit yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat badaniyyah sehingga sangat kuat kemampuannya untuk menerima tuntunan dan anugerah Ilahiah, yang dapat menampung cahaya Ilahi dari alam kudus dalam bentuk yang sempurna. Dan pada gilirannya menjadikan ia dapat meraih ma'rifatullah dan pengetahuan tanpa menggunakan potensi pikir. ( Inilah yang disebut ilmu ladunniyy. Ilmu laduni atau sering disebut mukâsyafah sebenarnya adalah efek dari suatu proses, ketika manusia mau menggunakan potensi yang ada pada dirinya, melalui etape-etape perjalanan

spiritual, yang sering diistilahkan oleh komunitas tasawwuf 27 sebagai maqâmât,

26 M. Quraisy Syihab , Tafsir al-Mishbah ; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an , Lentera Hati, Jakarta, Volume 11, 2002, cet. ke 1, h. 96-97.

sebagai bentuk jamak dari lafal maqâm. Sebagaimana ahwâl jamak dari lafal hâl. maqâmât adalah kedudukan seorang pejalan spiritual di hadapan Allah swt, yang diperoleh melalui kerja keras beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu ( mujâhadah ), latihan-latihan keruhanian ( riyâdhah ), sedemikian sehingga ia mencapai keluhuran budi pekerti ( adab ) yang membuat dia mampu untuk memilki persyaratan-persyaratan dan upaya-upaya untuk menjalankan kewajiban dengan sebaik-baiknya demi mencapai kesempurnaan. Atau dengan kata lain maqâmât adalah stasiun–stasiun yang ( harus ) dilewati oleh para pejalan spiritual ( sâlik ) sebelum mencapai ujung perjalanan, baik itu ma'rifah, ridhâ, atau mahabbah ( kecintaan )

kepada Allah swt. 28 Al-Kalabadzyyi , sebagaimana yang dikutip oleh Haidar Bagir, menyebutkan ada

sepuluh maqâm ( stasiun ) yang harus dilalui oleh seorang pejalan spiritual : 29 at- taubah 30 ( tobat ), az-zuhd ( zuhud ) , ash-shabr ( sabar ), al-faqr ( ketidakberpunyaan

27 Kata ini dikenal dengan istilah lain yaitu kaum sufi. Epistemologi sufi bermacam-macam. Kata sufi berasal dari shaff ( barisan dalam -yang dimaksud adalah barisan pertama ), atau berasal dari kata shûf, yakni

bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum sufi. Atau berasal dari ungkapan ahl ash-shuffah , yakni para zâhid ( ahli ibadah ) yang tak punya tempat tinggal di serambi Masjid Nabi. ( Lihat Buku Daras Tasawuf karya Haidar Bagir ). Menurut Ahmad ibn Muhammad ibn 'Ăjîbah al-Husniyy, membagi kaum sufi dalam dua kategori : Pertama, as-Shûfy ash-Shâdiq ( kaum sufi yang lurus ), dengan indikasi merasa butuh setelah pernah kaya sebelumnya, merasa hina setelah sebelumnya mulia, tidak menampakkan diri setelah sebelumnya pernah terkenal. Kedua ash-Shûfy al-Kâdzib ( kaum sufi pendusta ), dengan indikasi merasa cukup padahal belum pernah berpunya, merasa mulia setelah sebelumnya berlaku hina, merasa popular padahal sebelumnya belum pernah terkenal. ( Lihat Ĭ qâdl al-Himam fî Syarh al-Hikam karya Ahmad ibn Muhammad ibn 'Ăjîbah al-Husniyy, al-Haramain, tt,tt,.h. 5. Dia sadur dari perkataan Abu Hamzah al-Baghdâdiyy ). Lebih lanjut pensyarah kitab al-Hikam tersebut menjelaskan bahwa : wajib beramal dengan berdasar al-Islâm, tidak ada tasawuf tanpa fikih, karena tidak diketahui hukum –hukum dhâhiriyyah Allah kecuali dengan menggalinya. Dan tidak ada fikih tanpa tasawuf karena tasawuf mengarahkan kepada amal yang lurus ( benar ). Serta fikih dan tasawuf tidak bermakna bila tidak dilandasi iman kepada-Nya, sebagaimana keterkaitan antara ruh dan jasad. Imam Mâlik pernah berkata : " Barang siapa bertasawuf tanpa menggunakan fikih sungguh ia telah berbuat zindiq, dan barang siapa melaksanakan fikih tanpa dihiasi dengan tasawuf maka ia telah berbuat fasik, dan barang siapa yang mengkolaborasikan keduanya, sungguh ia telah melaksanakan kebenaran. " ( Lebih jauh lihat Ĭ qâdl al-Himam fî Syarh al-Hikam , h.5-6 ).

28 Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, Arasy Mizan, Bandung, cet. I, 2005, h. 131-133

29 Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, Arasy Mizan, h.134

30 Anjuran berzuhud dalam bertasawuf dilaterbelakangi oleh keyakinan kalangan sufi bahwa manusia cenderung menikmati hal-hal keduniaan yang mubâh sehingga ujung-ujungnya, ia akan terjerumus ke sikap

), at-Tawâdhu' ( kerendahhatian ), at-taqwâ ( takwa ), at-tawakkul ( tawakal ), ar- ridhâ ( rela / puas ) , al-mahabbah ( cinta ), al-ma'rifah ( pengetahuan tentang Tuhan dan hakekat segala sesuatu ). Maqâmât lebih bersifat permanen keberadaannya dalam diri seorang pesuluk dari pada hâl. Selain itu maqâmât lebih merupakan hasil upaya aktif pesuluk sedangkan hâl atau ahwâl keadaan-keadaan spiritual sesaat yang dialami oleh para sâlik di tengah-tengah perjalanannya. merupakan uluran Allah yang terhadapnya si pejalan spiritual lebih bersifat pasif. Menurut Nâshir ad-Dîn ath-Thûsy, hâl terbagi menjadi sembilan macam keadaan : al- murâqabah ( perasaan selalu diawasi oleh Allah swt ), al-qurb ( perasaan selalu dekat

dengan Tuhan ), al-mahabbah 31 ( perasaan cinta kepada Tuhan ), al-khauf wa ar- rajâ' ( perasaan harap-harap cemas terhadap Allah ), asy-syauq ( perasaan rindu

kepada Allah ), al-uns ( perasaan bersahabat dengan Allah ), ath-thuma'nînah ( perasaan tenteram ), al-musyâhadah ( perasaan menyaksikan ( cahaya ) Tuhan dengan

mata hati ), al-yaqîn ( perasaan yakin kepada-Nya ). 32

berlebihan. Ali ibn Abi Thalib berkata : Dunia adalah tempat mencari ilmu dan hikmah bagi orang-orang yang ingin meraihnya, tempat beribadah bagi sahabat-sahabat Allah dan bagi para malaikat . Menjalani hidup zuhud itu tidak harus selalu dalam kondisi miskin harta, tetapi bagaimana mengkondisikan hati agar tidak terikat oleh harta dan kekayaan duniawi yang kita miliki. Karena boleh jadi orang yang miskin harta, tetapi hatinya terus memikirkan dunia. Rasulullah saw pernah ditanya, apa arti keduniaan itu ? Rasulullah menjawab : " Segala sesuatu yang menyebabkan kamu mengabaikan dan melupakan Tuhanmu ". Kegiatan-kegiatan duniawi tidaklah buruk pada dirinya sendiri, tetapi keburukannya terletak pada yang membuat lupa kepada Allah swt. Sesungguhnya menjadi sufi tidak harus menghindar dari dunia, karena takut akan tipuan-tipuannya. Kalau kita menghindari dunia jangan-jangan kita melanggar firman-Nya : " Apakah kamu pikir akan kami biarkan kalian mengaku beriman, lalu tidak diuji ?." ( Q.S. al-'ankabût ; 2 ). Kalau kita tinggal di pojok-pojok masjid, berzikir, berpuasa, dan nafkah kita ditanggung orang lain, akankah kita menjadi mu'min kâmil ?. Tidak ada jaminan. Muhammad saw, sang sufi teragung-"memilih" untuk kembali ke dunia dan mengejawantahkan " ma'rifah "nya dengan Allah swt dalam bentuk kekuatan revolusioner untuk mereformasi kaumnya, membebaskan umat manusia dari perampasan hak-hak kemanusiaannya. Dia melakukan pekerjaan profan ( duniawi ) yang bisa dilakukan ; mengelola administrasi pemerintahan, mengembangkan ekonomi dan pemerataannya, mendorong kaumnya untuk mau belajar, bahkan menjadi komandan perang bila agresi sudah di depan mata.

31 Al-Mahabbah menurut pakar tasawuf yang lain dimasukkan ke dalam kategori maqâmât. Meskipun demikian, umumnya disepakati bahwa maqâm lebih bersifat permanen keberadaannya dalam diri seorang

pesuluk sedangkan hâl lebih temporer.