Aspek Sosial

a. Aspek Sosial

Kata ' sosial ' merupakan serapan dari bahasa Inggris ' social ', yang mempunyai tiga pengertian 86 : 1. pertemuan silaturrahim, 2. Sosial, kemasyarakatan, 3. ramah tamah.

Pada sub bab ini akan dibahas pengertian sosial dari makna yang kedua, yaitu kemasyarakatan. Kemasyarakatan berarti hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat. 87

Sedangkan masyarakat sendiri mempunyai pengertian sejumlah manusia dalam arti seluas- luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Misalnya, masyarakat madani adalah masyarakat kota atau masyarakat yang menjunjung tinggi nilai, norma,

hukum, yang ditopang oleh penguasaan iman, ilmu dan tehnologi yang berperadaban. 88

Ada beberapa kata yang digunakan oleh al-Qur'an yang menunjuk pada makna masyarakat, di antaranya : qaum, ummah, syu'ûb dan qabâ'il. 89 Sebagai guidance dalam

kehidupan umat manusia, al-Qur'an mempunyai fungsi mendorong lahirnya perubahan-

86 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggrias – Indonesia , PT.Gramedia, Jakarta, 2003, h. 538.

87 Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 721.

88 Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 721

89 Wawasan al-Qur'an, h.319.

perubahan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana misi yang diembannya, al-ikhrâj min adl-dlulumât ilâ an-nûr ( mengentaskan manusia dari kegelapan menuju keadaan yang terang benderang ). Kata an-nâs menunjuk pada kelompok manusia secara umum, bukan hanya ditujukan kepada umatnya saja, karena Rasulullah saw diutus untuk semua umat

manusia di alam ini 90 Dalam al-Qur'an diketengahkan kisah-kisah tentang beberapa karakter masyarakat

91 sebelum masa Nabi Muhammad saw, seperti masyarakat Sodom 92 , masyarakat 'Ăd ,

93 94 masyarakat Tsamûd 95 , masyarakat Madyan ,masyarakat Bani Isrâ'îl dan sebagainya. Semua kisah tersebut tidak bisa dilepaskan dari hukum-hukum kemasyarakatan yaitu hukum-

hukum sunnatullah ( hukum-hukum yang berkaitan dengan jatuh bangunnya sebuah masyarakat. 96 :

90 Muhammad Husain ath-Thaba'thabâ'iyy, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Teheran, 1379 H Jilid 12, h. 6-9

91 Sebutan untuk masyarakat Nabi Lûth as yang mempunyai perilaku menyimpang ( homoseksual dan lesbian ). Q.S asy-Syu'arâ' ; 165 dan al-Hijr ; 60

92 Q.S Hûd ; 60. kaum 'Ăd adalah umat Nabi Hûd as. yang mempunya perilaku suka medirikan gedung bukan atas dasar kebutuhan yang benar, tetapi sekedar mengikuti hawa nafsunya. Hal ini ditunjukkan

oleh ayat 128-130 surat asy-Syu'arâ'. Lihat lafal 'abats pada kata ta'batsûn : yang mengacu pada makna tindakan yang tidak memiliki tujuan yang benar. ( Lihat al-Ashfahâni , h. 320 ).

93 Q.S. Hûd ; 61. Kaum Tsamûd adalah umat Nabi Soleh as. yang mendustakan ajarannya dengan menyembelih unta yang mestinya mereka pelihara. Unta tersebut sebagai ujian dari Allah swt, agar rezeki

berupa air ( oase ) dilakukan pembagian yang adil. Tetapi karena 'kue nasional' tersebut terlalu enak, maka kaum Tsamûd tidak memberikan kesempatan pada pihak lain ( dalam hal ini unta ) untuk bersama-sama memanfaatkannya, bahkan membunuhnya. ( Lihat Q.S. asy-Syams : 11-14 ).

94 Q.S. Hûd : 84. Penduduk Madyan adalah saudara Nabi Syu'aib as. yang mempunyai perilaku menyimpang berupa kebiasaan mengurangi timbangan dan takaran, mencurangi orang lain dan menebarkan

kerusakan di muka bumi.. ( Lihat Q.S. asy-Syu'arâ' ; 177-183 dan al-A'râf : 85-86 )

95 Al-Isrâ' : 2 Banî Isrâ'îl adalah umat Nabi Musa as. yang mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarahnya. Pernah mereka menjadi budak bagi Fi'aun yang menjadi penguasa diktator pada saat itu.

96 Wawasan al-Qur'an, h. 319. "……. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan

perubahan terhadap sunnatullah dan engkau juga tidak akan menemui penyimpangan dari sunnatullah itu "( Q.S. Fâthir ; 43 )

Kalau manusia dikatakan homo homini socius itu memang benar, karena manusia tidak bisa hidup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seorang diri. Manusia adalah makhluk bergantung kepada yang lain. Al-Qur'an menyatakan bahwa,ﻖﻠﻋ ﻦﻣ نﺎﺴﻧﻹا ﻖﻠﺧ : Allah ciptakan manusia dari sesuatu yang menggantung ( di dinding rahim ). Dari kata 'alaq ini kemudian dipahami bahwa manusia secara bawaan adalah makhluk yang bergantung dengan pihak lain. Al-Qur'an juga menyebutkan bahwa kebergantungan manusia dengan pihak lain, dimaksudkan agar mereka saling memperoleh kemanfaatan satu sama lain :

Dan Kami meninggikan sebagian atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain ……... ( az-Zukhruf ; 32 )

Kata sukhriyyan, mempunyai makna dasar memeperkerjakan tanpa upah. 97 Dari makna dasar ini kemudian muncul pengertian saling mengambil dan memperoleh

kemanfaatan satu sama lain. Rasulullah saw bersabda : سﺎﻨﻠﻟ ﻢﻬﻌﻔﻧأ سﺎﻨﻟا ﺮﯿﺧ : " Sebaik-baik manusia adalah yang

paling memberikan manfaat bagi orang lain 98 ". Dari keterangan hadist Nabi saw tersebut dapat dipahami bahwa, semakin banyak seseorang memberikan kemanfaatan bagi orang lain

semakin baik dan bahkan bisa mengantarkannya menjadi orang yang terbaik. Dengan demikian semakin banyak dan intens mendatangkan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi orang lain semakin dekat ia kepada sifat al-hakîm yang ditunjuk oleh sebagian maknanya,

yaitu mencapai kemaslahatan dan menolak mafsadah. 99

97 Kamus al-Munawwir, h. 658.

98 HR Jâbir. Lihat al-Jâmi' ash-Shaghîr karya Jalâl ad-Dîn 'Abd ar-Rahmân ibn Abî Bakr as- Suyûthiyy, Dâr Ihyâ' al-Kutub al-'Arabiyyah, Indonesia, Jilid II, h. 9.

99 Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, h.550-551

Berkaitan dengan pembahasan perihal masyarakat, maka tidak bisa dilepaskan dengan individu-individu yang berada di dalamnya. Manusia, disamping mempunyai tanggung jawab secara pribadi, ada tanggung jawab yang lain yang berkaitan dengan masyarakat dan lingkungannya. Peranan setiap individu dalam sebuah masyarakat sangat dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan bersama. Walaupun dalam kasus-kasus tertentu ( skala mikro ), persoalan masyarakat bisa diseleseikan oleh satu individu, akan tetapi bila dikaitkan dengan jatuh bangunnya sebuah peradaban masyarakat ( bangsa ) sangat berkaitan dan ditentukan dengan dan oleh peranan kolektif masyarakatnya. Dengan kata lain perubahan kondisi obyektif tidak akan terjadi jika tidak didahului oleh perubahan kondisi subyektifnya Artinya, kondisi nikmat dalam suatu komunitas masyarakat akan terus bertahan dan tidak berubah selama mereka mampu mempertahankan apa yang ada di dalam diri mereka, ( demikian juga sebaliknya ). Di antara faktor yang menyebabkan tercabutnya nikmat lahiriah adalah

kezaliman, permusuhan, dan perilaku buruk yang berdampak bagi masyarakat. 100 Menarik ketika berbicara masalah perubahan dan kemandegan yang terjadi dalam sebuah masyarakat,

pesan al-Qur'an dalam surat ar-Ra'd ; 11 :

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat pada suatu kaum ( tentang keadaannya ), sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri ( sikap mental ) mereka "

Hal ini dikuatkan oleh ayat lain pada surat al-Anfâl ; 53 :

" Yang demikian itu( siksaan yang terjadi terhadap Fir'aun dan rezimnya ) adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan- Nya kepada suatu kaum ( masyarakat ), hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri … "

100 Ahmad Mushtafâ al-Marâghiyy, Tafsir al-Marâghi, jilid 5, juz 13, h. 74.

Kedua ayat tersebut sama-sama membicarakan tentang perubahan. Bedanya ayat pertama lebih luas cakupannya, karena terkait dengan perubahan dalam semua sektor ( maka redaksi yang digunakan adalah kata ﺎﻣ ), dari pada ayat yang kedua yang hanya membahas perubahan nikmat. Perubahan itu bisa terjadi berlawanan arah, yaitu dari nikmat menuju niqmat ( bencana ), atau sebaliknya. Kalau dibaca lebih teliti kedua ayat di atas, maka akan

didapati dua kesimpulan yang berkaitan dengan hukum kemasyarakatan : 101 Pertama , ayat-ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu.

Ini dipahami dari penggunaan kata qaum ( مﻮﻗ ) yang mengacu pada makna masyarakat. Kalau bicara tentang masyarakat maka pelakunya adalah kelompok individu-individu, dan

tidak dilakukan oleh seorang manusia saja, tetapi perubahan yang menuntut kerja kolektif. Ini berarti bahwa seseorang betapapun hebatnya, tidak dapat melakukan perubahan, kecuali setelah ia mampu mengalirkan arus perubahan ( baik berupa ide maupun pergerakan ) kepada sekian banyak orang, yang pada gilirannya menghasilkan gelombang, atau paling sedikit

riak-riak perubahan dalam masyarakat. 102 Kedua , penggunakan kata qaum, juga menunjukkan bahwa hukum kemasyarakatan ini tidak

hanya berlaku bagi kaum muslimin atau suatu suku, ras, dan agama tertentu, tetapi ia berlaku umum, kapan dan dimana pun mereka berada. Ayat ini berbicara tentang kehidupan duniawi, karena di aherat sudah tidak ada hukum kemasyarakatan.( Q.S. asy-Syu'arâ' ; 88 ). Ketiga , Kedua ayat tersebut berbicara tentang dua pelaku perubahan, palaku yang pertama adalah Allah swt.yang mengubah nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada masyarakat atau apa saja yang dialami oleh suatu masyarakat ( biasanya sisi lahiriahnya ). Sedang pelaku kedua adalah manusia, dalam hal ini masyarakat yang melakukan perubahan pada sisi dalam mereka ( ﻢﻬﺴﻔﻧﺄﺑ ﺎﻣ )-apa yang terdapat dalam diri mereka. Perubahan yang terjadi akibat

101 M. Quraisy Syihab, Tafsir al-Mishbâh, Volume 6, h. 556.

M. Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur'an, h. 322-323.

campur tangan Allah atau yang diistilahkan ayat di atas dengan ( مﻮﻘﺑﺎﻣ ) menyangkut banyak hal, seperti kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan penyakit, kemuliaan dan kehinaan, persatuan dan perpecahan, dan lain-lain. Sehingga bisa saja ada di antara anggotanya yang kaya, tetapi jika mayoritasnya miskin, maka masyarakat tersebut dinamai masyarakat miskin, demikian seterusnya. Keempat , kedua ayat tersebut menekankan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Allah, haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut sisi dalam mereka. Tanpa perubahan ini, mustahil akan terjadi perubahan sosial. Karena itu boleh saja terjadi perubahan penguasa atau bahkan perubahan system, tetapi jika sisi dalam masyarakat tidak berubah, maka keadaan akan tetap bertahan ( stagnan ) seperti sediakala. Jika demikian yang paling pokok untuk terwujud dan berhasilnya perubahan sosial adalah perubahan sisi dalam manusia , karena sisi dalam manusialah yang melahirkan aktivitas, baik positif maupun negatif, dan bentuk, sifat serta corak aktifitas itulah yang mewarnai keadaan masyarakat. Sisi dalam disebut nafs dengan bentuk jamak anfus, sementara sisi luar disebut jism dengan bentuk jamak ajsâm. Kedua sisi tersebut tidak selalu sama, sebagaimana yang terlihat dari karakter kaum munafik. ( Lihat Q.S. al-Munâfiqûn ; 4 ). Nafs diibaratkan sebagai wadah besar yang di dalamnya ada kotak kecil yang dinamai qalb ( kalbu ). Apa-apa yang telah dilupakan umat manusia, namun sesekali dapat muncul dan juga yang dinamai " alam bawah sadar " berada dalam wadah nafs ini, tetapi berada di luar wilayah " kalbu ".

Perubahan yang dialami oleh sebuah masyarakat bisa dari kondisi nikmat ( kejayaan misalnya ) menuju degradasi yang berujung pada niqmat ( bencana ). Hal ini dibuktikan oleh sejarah kenabian. Ketika orang-orang kafir Makkah hendak membunuh dan mengusir

Rasulullah saw dari negerinya, 103 maka Allah berlakukan hukum kemasyarakatan (

Lihat Q.S. Muhammad ; 13, " Dan berapa banyak negeri yang ( penduduknya ) lebih kuat dari ( penduduk ) negerimu ( Muhammad ) yang telah mengusirmu itu. Kami telah membinasakan mereka, maka tidak ada seorang penolong pun bagi mereka ".

sunnatullah ) yaitu apabila suatu kelompok masyarakat sudah mencapai puncak kebejatan, maka mereka sebagai suatu komunitas ( bukan individual ) segera akan mengalami kebinasaan. Terbukti kurang lebih sepuluh tahun sesudah Rasulullah diusir dan hijrah ke Madinah, masyarakat kafir Makkah menemui ajalnya : ﻞﺟأ ﺔﻣأ ﻞﻜﻟ : " Setiap masyarakat mempunyai ajal " ( Q.S. al-A'râf ; 34 )

Pengertian ajal pada ayat ini bukan ajal perorangan, tetapi ajal yang berkaitan dengan ajal masyarakat, yang diistilah ajal khâsh oleh al-Alûsiyy yang berlaku bagi akhir eksistensi

suatu umat yang ditandai dengan sebab-sebab husus. 104 Kehancuran suatu masyarakat ( bangsa ) tidak secara otomatis mengakibatkan kematian atau kehancuran setiap individunya,

bahkan mereka boleh jadi tetap hidup. Namun kekuasaan, pandangan hidup, dan kebijaksanaan masyarakat berubah total dan akan digantikan oleh kekuasaan dan kebijaksanaan yang berbeda dengan sebelumnya.

Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa perubahan kondisi suatu masyarakat tidak mungkin terjadi tanpa didahului oleh perubahan internal ( anfus ) anggota-anggotanya, yang

meliputi beberapa aspek, di antaranya : 105

a. Nilai. Setiap jiwa mempunyai kecenderungan, baik ke arah positif maupun negatif ( Q.S.asy-Syams ; 7-8 ) Akan tetapi kecenderungan positifnya lebih dominan, karena Allah menciptaka nafs ( jiwa ) secara sempurna dan lurus, yaitu menurut fithrah yang

lempeng 107 . Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw : ةﺮﻄﻔﻟا ﻰﻠﻋ ﺪﻟﻮﯾ دﻮﻟﻮﻣ ﻞﻛ : " Setiap anak yang dilahirkan terlahir dalam kondisi fithrah ( suci ) ". Oleh karena itu

perubahan masyarakat tergantung pada nilai-nilai apa yang dianut, dihayati dan

Tafsir al-Alûsiyy, jilid 6, juz 11, h. 131.

Tafsir al-Mishbah, h. 558-559

Ibnu Katsîr, Tafsir al-Qur'an al-Adzîm, CD.

107 Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari 'Iyâdh ibn Hammâd al-Mujâsyi'iyy, yang terdapat pada kitab Shahîh-nya, hadist ke-2865.

diterapkan oleh masyarakat. Bila kecenderungan positif ( potensi taqwa ) yang digunakan maka perubahan yang dihasilkan adalah menuju kemaslahatan, sebaliknya bila potensi fujûr ( negatif ) yang dijadikan landasan maka perubahan itu menuju kepada kehancuran. Hal itu disebabkan karena aktifitas manusia dilahirkan dan diarahkan oleh nilai-nilai yang dianutnya. Dan nilai-nilai itu yang memotivasi gerak dan langkahnya, dan yang melahirkan akhlak mahmûdah atau madzmûmah. Pencapaian hasil dari suatu perubahan ditentukan oleh tinggi rendahnya nilai yang dianut dan diterapkan.

Pandangan pragmatisme,sekulerisme misalnya, pencapaiannya hanya terbatas pada kekinian dan kedisinian saja Pandangan ini bisa melahirkan oportunisme ( aji mumpung ) disamping bisa melahirkan kekuasaan yang sewenang-wenang. Islam mengajarkan nilai–nilai universal untuk menciptakan keluhuran dalam perubahan sosial yaitu perubahan positif yang mengantarkan kepada kesejahteraan yang adil dan beradab.

b. Irâdah ( tekad dan kemauan keras ). Menurut Ibn Taimiyah sebagaimana yang dikutip oleh M.Quraisy Syihab, irâdah / tekad yang kuat itulah yang menghasilkan aktifitas bila disertai dengan kemampuan. Karena itu apabila irâdah yang mantap telah dimiliki dan disertai kemampuan yang sempurna, pasti wujud pula aktifitas yang dikehendaki ( dengan izin Allah-pen ), karena ketika itu telah terpenuhi secara sempurna syarat dan tersingkirkan pula penghalangnya.

Apabila ada irâdah , dan kemampuan juga telah sempurna, sedang apa yang diharapkan tidak terpenuhi, maka yakinlah bahwa ketika itu irâdah belum sempurna. Irâdah lahir dari ide-ide yang ditawarkan dan diseleksi oleh akal. Jika akal sehat, dia akan memilih dan melahirkan irâdah yang baik, demikian pula sebaliknya. Semakin

jelas nilai-nilai yang ditawarkan serta semakin cerah akal yang menyeleksinya, semakin kuat pula irâdah-nya. Irâdah yang dituntut oleh Islam adalah yang mengantar manusia berhubungan serasi dengan Tuhan, alam, sesama dan diri sendiri. Dengan kata lain yaitu kehendak yang kuat untuk mewujudkan nilai-nilai tauhid dengan segala tuntunannya. Semakin kukuh irâdah, semakin bersedia sesorang untuk berkorban dengan jiwa dan hartanya Oleh karena itu ketakutan dan kekikiran bertentangan dengan irâdah, sebaliknya kekuatan dan kedermawanan adalah bukti irâdah yang kuat.

108 c.Kemampuan, yang menyangkut kemampuan fisik maupun non fisik, yang dalam konteks perubahan sosial dapat dinamai kemampuan pemahaman. Suatu masyarakat

yang wilayahnya memiliki kekayaan materi, tidak dapat bangkit mencapai kesejahteraan lahir dan batin, tanpa memilki kemampuan dalam bidang pemahaman ini. Kemampuan pemahaman ini, dinamai oleh seorang filosof kontemporer, Malik bin Nabi, sebagai al-Manthiq al-'Amaly / Logika Praktis. Kemampuan pemahaman, mengantar seseorang / masyarakat dapat mengelola sesuatu dengan baik dan benar, dan menuntunnya agar menggunakan kemampuan materialnya secara baik dan benar pula. Sebaliknya, hilangnya kemampuan pemahaman, akan mengakibatkan hilangnya kemampuan material. Bahkan jika kemampuan pemahaman tidak dimiliki, lambat laun irâdah akan terkikis, dan ketika itu yang terjadi adalah kepasrahan kepada nasib, atau irâdah beralih kepada hal yang mutunya lebih rendah. Perubahan dari positif ke negatif ataupun sebaliknya, berkaitan erat dengan tanggung

jawab manusia selaku makhluk sosial, karena kehendak Allah untuk merubah suatu keadaan,

108 Kemampuan dalam memahami sesuatu ditunjukkan oleh salah satu ayat al-Qur'an, surat Ăli 'Imrân : 7. Ayat ini membahas tentang ayat muhkam dan mutasyâbih, dimana hanya Allah yang mengetahui makna dari

ayat-ayat mutasyâbihât. Tetapi dalam tafsir al-Kasysyâf disebutkan bahwa orang yang mempunyai kedalaman ilmu bisa memahami makna ( ta'wil ) dari ayat-ayat mutasyabihat. ( Lihat Tafsir al-Kasysyâf surat Ăli 'Imrân :

7. juz 3. ) Dengan demikian maka kemampuan dalam pemahaman bisa mengantarkan pada sesorang pada obyek yang digeluti.

Dia tetapkan melalui sunnah-sunnah-Nya yang berkaitan erat dengan kehendak ( irâdah ) dan sikap ( mauqif ) manusia.

Kalau mengacu pada ayat 6 surat ar-Ra'd di atas maka, di situ manusia diberi anugerah penghormatan yang sangat besar oleh Allah swt, di samping tanggung jawabnya. Perlu digarisbawahi bahwa perubahan yang Allah berlakukan pada manusia, tidak akan terjadi sebelum manusia terlebih dahulu melangkah.

Di atas telah dijelaskan bahwa dibutuhkan kehendak yang kuat untuk merealisasikan nilai-nilai tauhid dengan segala tuntunannya. Maka pemahaman terhadap prinsip-prinsip agama sangat ditekankan untuk mewujudkan nilai-nilai tauhid sekaligus tercapainya perubahan sosial menuju perubahan ke arah kehidupan yang baik atau lebih baik. Prinsip- prinsip tersebut tertuang dalam apa yang diistilahkan sebagai al-Ahkâm asy-Syar'iyyah al-

khams 109 , yang meliputi : perlindungan terhadap agama ( ad-dîn / keyakinan ) , perlindungan

terhadap jiwa ( an-nafs ) 111 , perlindungan terhadap kehormatan ( al-'irdh ) , pelindungan

terhadap harta ( al-mâl ) 113 dan perlindungan terhadap akal ( 'aql ).

109 Q.S. al-Baqarah ; 256 Tidak ada paksaan dalam agama. Benar-benar jelas ( beda ) antara jalan yang benar dari jalan yang sesat

110 Q.S. al-Mâ'idah ;32 " Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu ( membunuh ) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah

membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya ……"

Lihat juga Q.S. al-Hujurât ayat 11 " Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum ( masyarakat ) mengolok-olok kaum ( masyarakat ) lainnya, boleh jadi mereka lebih baik dari mereka ; dan jangan pula wanita-wanita ( mengolok-olok ) terhadap wanita-wanita yang lain, boleh jadi mereka lebih baik dari mereka. Dan jangan pula kamu mengejek diri kamu sendiri, jangan pula kamu memanggil-manggil dengan panggilan yang buruk. Sejelek-jelek panggilan setelah keimanan adalah al-fusûq. Dan barang siapa yang tidak melakukan pertobatan maka mereka itulah orang-orang yang zalim ".

Q.S. al-Isrâ' ; 32 Janganlah kau dekati perbuatan zina, karena ia perbuatan yang keji..

112 Q.S. an-Nisâ' ; "…. dan jangan kalian makan harta mereka bersama harta kamu…" Lihat juga Q.S. an-Nisâ' ; 29 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu