Aplikasi Makna al-Hikmah dalam Pengambilan Kebijakan ( Publik )

A. Aplikasi Makna al-Hikmah dalam Pengambilan Kebijakan ( Publik )

Kebijakan publik adalah penggerak seluruh kehidupan bersama, seluruh organisasi, baik pemerintah atau organisasi kemasyarakatan. Itulah sebabnya, keunggulan suatu negara ditentukan apakah kebijakan publik yang dimiliki unggul apa tidak. Kebijakan publik adalah sisi krusial dalam pemerintahan, yang terkadang diabaikan, sehingga apa yang disebut

19 Lihat Q.S. al-Hasyr ; 18 : " Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dikedepankannya ( diperbuatnya ) untuk hari esok ( masa

depan ).."

kebijakan publik tidak lain adalah selera penguasa atau selera kekuasaan. Dalam sub ini, penulis berusaha menggali nilai-nilai al-hikmah yang tertuang dalam al-Qur'an sebagai landasan dasar untuk mengambil kebijakan publik. Paling tidak ada tiga nilai al-hikmah yang tertuang dalam al-Qur'an yang perlu diperhatikan dalam mengambil sebuah kebijakan, di antaranya adalah :, adanya motivasi yang lurus dalam menjalankan tugas, akurasi dalam pengambilan suara ( musyawarah mufakat ) dan menjunjung tinggi dan menghayati nilai- nilai kesepakatan.

1. Motivasi yang Lurus

Apapun aktifitas yang dilakukan, semestinya dilandasi dengan motif, dorongan , alasan yang kuat yaitu untuk menggapai keridlaan Allah swt. 20 Sebagaimana yang dilakukan

oleh para sahabat Nabi saw.ketika melakukan baiat ( janji setia yang dikenal dengan bai'at ar-ridhwân 21 ) dengan penuh kerelaan dan kesadaran untuk membela agama Allah, melawan

para penantangnya sampai memperoleh kemenangan atau kematian menjemput mereka 22 . Semangat dan motivasi para sahabat dalam membela kebenaran dan ajaran Rasul semestinya

menjadi teladan bagi umatnya, termasuk bagi para pemegang wewenang dalam pengambilan kebijakan untuk menempatkan ridla Allah sebagai puncak motivasi dalam menjalankan tugas yang diembannya. Motivasi yang dibangun haruslah menjauh dari hal-hal yang bersifat keduniaan seperti ingin mendapat pujian, penghargaan, ataupun untuk memperoleh kepentingan-kepentingan sesaat. Manusia tidaklah diperintah kecuali supaya mereka

20 Ridla Allah adalah limpahan karunia-Nya yang melebihi karunia surga ( at-Taubah ; 72 : ﻦﻣ ناﻮﺿرو ﺮﺒﻛأ ﷲا ). Lafad ridlâ jika disandangkan kepada manusia, maka kata tersebut mempunyai arti kondisi jiwa yang

menjadikan penyandangnya menerima dan merasa puas dengan sesuatu, sehingga tidak terbetik dalam benak dan jiwanya kecuali rasa senang dan bahagia.

Lihat juga Q.S al-Mumtahanah : 1 : " ……….Jika kalian keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan ( dengan motivasi ) untuk menggapai keridlaan-Ku, ( janganlah kamu berbuat demikian yaitu menjadikan orang- orang yang memusuhi dan mengusir Rasulullah dan orang-orang mukmin sebagai teman setia ).."

21 Al-Biqâ'iyy, Burhân ad-Dîn Abi al-hasan Ibrâhîm ibn 'Umara al-Biqâ'iyy, Nadlm ad-Durarfî Tanâsu al- Ă yât wa as-Suwar, Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1995 Jilid 7, 204

22 Lihat Q.S. al-Fath ; 18-19

menyembah Allah swt dengan ikhlas, artinya dengan upaya untuk memurnikan dan menyucikan hati sehingga benar-benar hanya terarah kepada Allah semata, bukan dilandasi

kekeruhan hati, misalnya pamrih dan riya' 23 , maka keridlaan Allah akan tergapai Ridla Allah juga bisa dicapai melalui jalan yang lurus yang berada di antara dua ekstrim ( ummatan

wasathan ), tidak cenderung kepada materialisme yang mengabaikan hal-hal yang bersifat spiritual, tetapi tidak juga kepada spiritualisme murni yang mengabaikan hal-hal yang

bernilai material. 24 Bukankah hidup manusia adalah ujian dari Allah, agar diketahui siapa yang lebih baik amal perbuatannya ?. 25 Hidup manusia di dunia ini sesungguhnya sudah

diarahkan, agar mengabdi kepada-Nya, karena tidaklah Allah ciptakan jin dan manusia kecuali agar manusia menyembah dan mengabdi kepada-Nya 26 , bukan kepada hawa nafsunya

misalnya mengabdi kepada kekuaasan dan materi. 27 Setiap manusia adalah pemimpin, dan akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah swt di hari kiamat

kelak 28 . Termasuk di dalamnya memimpin negara, memimpin rakyat, memimpin sidang, memimpin diri sendiri untuk selanjutnya membuat keputusan. Semua harus

dipertanggungjawabkan. Kalau LPJ ( laporan pertanggungjawaban ) di dunia bisa dimanipulasi, di-mark up, atau mungkin ada kongkalikong antar pejabat negara, pemerintah dan pihak swasta, tetapi di aherat tidaklah demikian. Tidak ada risywah, tidak ada main mata dan semua amal akan ditelanjangi. Oleh karena itu dibutuhkan niat dan motivasi yang lurus dalam setiap aspek kehidupan, yaitu untuk menggapai ridla Allah swt.

23 Lihat Q.S. al-Bayyinah ; 5

24 Tafsir al-Mishbâh, Volume 15, h. 446

25 Q.S. al-Mulk ; 2

26 Lihat Q.S. adz-Dzâriyât ; 56

27 Lihat Q.S. al-Furqân ; 43

28 ﻪﺘﯿﻋر ﻦﻋ لﺆﺴﻣ ﻢﻜﻠﻛ و عار ﻢﻜﻠﻛ : HR al-Bukhâri, urutan hadist ke-844, bab al-Jum'ah, CD. Al-Kutub at- Tis'ah

2. Akurasi dalam Pengambilan Keputusan ( Musyawarah Mufakat )

Al-Qur'an dan as-Sunnah menetapkan beberapa prinsip pokok berkaitan dengan kehidupan politik, seperti musyawarah, keadilan, tanggung jawab, kepastian hukum, jaminan hak-hak manusia dan lain-lain, yang kesemuanya memiliki kaitan dengan musyawarah atau demokrasi ( islami ). Musyawarah dalam menyeleseikan persoalan adalah salah satu ciri dari orang-orang yang beriman, oleh karena itu dituntut akurasinya dalam pengambilan keputusan

dalam menentukan kebijakan 29 Untuk merealisasikan tugas-tugas kekuasaan yang dilimpahkan kepadanya, para

penguasa dituntut untuk melakukan musyawarah dengan pihak-pihak terkait ( pihak yang tepat ) dengan bertukar pikiran guna mencapai hasil yang terbaik untuk semuanya 30 .

Sebagaimanan yang diperintahkan Allah dalam surat Ăli 'Imrân ; 159 :

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka serta bermusyawarahlah dengan tentang suatu urusan. Kemudaian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakkalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri ( kepada-Nya ).

Demikian juga firman Allah pad surat asy-Syûrâ : 38 ; " Sedang urusan mereka ( diputuskan ) dengan ( jalan) musyawarah antara mereka ". Musyawarah adalah mengeluarkan pendapat dengan saling mengembalikan pendapat tersebut antar peserta

29 Nurkhalish Madjid, Pesan-Pesan Takwa, Paramadina, Jakarta, 2000, h. 32. Lihat juga Q.S. asy- Syûrâ ; 38. Term musyawarah pada dasarnya digunakan pada untuk hal-hal yang baik.

30 Menurut Rasyid Ridha dalam menafsirkan ayat 59 dalam surat an-Nisâ' , dia mengatakan : " Allah telah memberikan anugerah kemerdekaan dan kebebasan kepada kita dalam urusan duniawi dan kepentingan

orang banyak, dengan cara memberi petunjuk untuk melakukan musyawarah yakni dilakukan oleh orang-orang yang cakap dan terkemuka yang terpercaya, guna menetapkan kebijakan bagi kita ( selaku anggota masyarakat ) pada setiap periode menyangkut hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan manusia ..".

musyawarah. 31 Musyawarah dilakukan untuk hal-hal yang bersifat kemasyarakatan seperti urusan politik, ekonomi, peperangan ( keamanan ) 32 dan pemerintahan, bukan urusan syariat yang sudah pasti. Di muka telah dijelaskan bahwa keputusan yang diambil haruslah berlandaskan prinsip keadilan kepada semua pihak tanpa adanya diskriminasi, walaupun kepada pihak yang beda keyakinan ( agama ). Dan sebagai konsekuensi logisnya, para penguasa ( uîl al-amri ) tersebut harus ditaati keputusannya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran al- Qur'an dan as-sunnah.

Pada prinsipnya ada tiga cara dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, yaitu :

a. Keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.

b. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan minoritas. c.Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan mayoritas, dan merupakan ciri umum demokrasi. Bentuk yang pertama jauh dari nilai-nilai musyawarah yang memang melibatkan banyak pihak. Bentuk kedua tidaklah sebagus bentuk ketiga, karena pendapat minoritas kalah kuat dengan pendapat mayoritas. Memang ada ayat yang menyatakan bahwa : " Tidak sama yang buruk dengan yang baik , walaupun banyaknya yang buruk itu menakjubkan kamu sekalian ". ( Q.S. al-Mâ'idah ; 100 ). Akan tetapi konteks ayat tersebut tidak berbicara masalah

31 Muhammad Husain ath-Thaba'thabâ'iyy, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Teheran, 1379 H Jilid 18, h.63

32 Yang melatar belakangi turunnya ayat 159 pada surat Ăli 'Imrân , di atas adalah adalah musibah kekalahan yang diderita oleh kaum muslimin justru didahului oleh musyawarah, yang disetujui oleh mayoritas.

Walaupun pada ahirnya mengalami kegagalan, akan tetapi kesalahan yang dilakukan setelah musyawarah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan tanpa musyawarah, dan kebenaran yang diraih sendirian tidak sebaik kebenaran yang diraih bersama. ( Lihat Tafsir al-Misbah, Volume 2, h. 244 )

musyawarah, melainkan dalam konteks petunjuk Ilahi yang disampaikan Nabi saw kepada umatnya, akan tetapi ditolak oleh mereka ( kaum kafir Mekah ). 33

Pada dasarnya Islam membenarkan keputusan pendapat mayoritas, tetapi ini tidaklah mutlak. Keputusan hendaklah diambil setelah melalui tahapan-tahapan musyawarah yang berulang-ulang hingga dicapai kesepakatan. Peserta musyawarah hendaklah orang-orang yang terpuji serta tidak memiliki kepentingan pribadi maupun golongan, dilakukan dengan sewajarnya dan disepakati bersama. Hal ini dalakukan agar kata mufakat benar-banar bisa terwujud dan memberikan keputusan

34 yang terbaik dan memuaskan lebih banyak pihak. Dari sini lahir konsep demokrasi islami, sebagai pembeda dari demokrasi liberal yang tidak menjunjung etika-etika dalam mengambil

keputusan Atau dengan kata lain agar tidak muncul kediktatoran mayoritas. 35 Memang musyawarah yang dilakukan berkali-kali menujukkan non efisiensi dan bisa

dituduh menghambuir-hamburkan waktu, tenaga dan biaya. Akan tetapi kalau semuanya dilakukan dengan niat yang baik dan prinsip-prinsip musyawarah diberlakukan, seperti memilih sesuatu yang lebih banyak sisi baiknya bila terdapat dua pilihan yang sama- sama

baik , dan bila keduanya buruk maka hendaklah memilih yang lebih sedikit keburukannya. 36 Peserta musyawarah bukan hanya sekedar melakukan kontrak sosial terhadap

konstituennya, atau pihak yang memberinya mandat untuk bermusyawarah, akan tetapi kontrak tersebut juga dilakukan secara vertikal, artinya ada kontrak ilâhiyyah. Manusia

dituntut untuk mempertanggungjawabkan amanah yang diberikan kepada Allah swt. 37

33 M. Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur'an, h. 483

34 Sesuai dengan makna dasar musyawarah ( syura ) : mengeluarkan madu dari sarang lebah. Artinya : cara memperoleh sesuatu ( keputusan pendapat ) yang terbaik.

35 Nurkhalish Madjid, Pesan-Pesan Takwa, Paramadina, Jakarta, 2000, h. 139

36 Prinsip Akhaff adh-Dharûrain.

37 Q.S. an-Nahl ; 91, al-Baqarah ; 124, al-Mâ'idah ; 1.

Ada satu lagi perbedaan antara syura dan demokrasi. Semua persoalan apapun permasalahannya bisa diselesaikan lewat demokrasi, akan tetapi prinsip syûrâ , tidak dibenarkan memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketentuannya dari Allah secara

pasti dan tegas 38 , dan tidak dibenarkan menetapkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip ajaran Ilahi.

Berdasarkan penjelasan ayat di atas, maka beberapa sikap yang diambil setiap orang yang melakukan musyawarah setelah adanya keputusan dan kebulatan tekad, yaitu : Pertama, berlaku lemah lembut, tidak kasar baik dalam tutur kata maupun perilaku dan tidak keras kepada dan berhati keras. Karena dengan sikap demikian mitra musyawarah akan pergi meninggalkan majlis. Kedua, membuka maaf dan menghapus bekas luka hati akibat perlakuan pihak lain dan membuka lembaran baru dengan munculnya kecerahan pikiran yang

bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati. 39 Di depan sudah dijelaskan bahwa nilai-nilai tauhid harus dijadikan sebagai landasan

dalam seluruh aspek kehidupan. Maka dibutuhkan kehendak yang kuat untuk merealisasikan nilai-nilai tauhid tersebut dengan segala tuntunannya. Maka pemahaman terhadap prinsip- prinsip agama sangat ditekankan untuk mewujudkan nilai-nilai tauhid sekaligus tercapainya perubahan sosial menuju perubahan ke arah kehidupan yang baik atau lebih baik. Nilai-nilai universal adalah sesuatu yang harus dijadikan sebagai landasan dalam bermusyawarah. Prinsip-prinsip tersebut tertuang dalam apa yang diistilahkan sebagai al-Ahkâm asy- Syar'iyyah al-khams, yang meliputi : perlindungan terhadap agama ( ad-dîn / keyakinan ), perlindungan terhadap keturunan ( an-nasl ), perlindungan terhadap kehormatan ( al-'irdh ),

pelindungan terhadap harta ( al-mâl ) dan perlindungan terhadap akal ( 'aql ). 40

38 Q.S. Ăli 'Imrân ; 7

39 Lihat Q.S. Ăli 'Imrân : 159

40 Abu Ishâq Ibrahim al-Lakhmiyy, Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Ahkâm, Dâr al-Fikr, Beirut, juz 2, h. 4.

Al-Qur'an tidak memerinci secara husus tentang pola, bentuk , metode yang berkaitan dengan syûrâ. Hal ini memberikan kelonggaran kepada hamba-Nya untuk mengaplikasikan cara, pola ataupun bentuk musyawarah sesuai dengan kepribadian, kebudayaan dan kondisi sosial suatu masyarakat. Apakah model keterwakilan ataupun melibatkan semua lapisan masyarakat diserahkan kepada masyarakat itu sendiri. Yang terpenting adalah selalu memegang prinsip-prinsip moralitas dalam bermusyawarah

Dengan memasukkan muatan yang diambil dari buku-buku yang berkaitan dengan kebijakan publik, penulis mencoba mengggabungkan referensi tersebut dengan nilai-nilai al- Qur'an sebagai langkah kongkrit untuk membuat keputusan atau kebijakan publik melaui forum musyawarah.

Dalam menyusun suatu kebijakan, ada lima prosedur umum yang lazim digunakan untuk memecahkan masalah : Pertama, pendefinisian atau perumusan masalah yang menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Kedua , prediksi ( ramalan ) sebagai penyedia informasi mengenai konsekuensi di masa yang akan datang dari penerapan alternatif sebuah kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu. Ketiga , rekomendasi ( preskripsi ) menyediakan mengenai nilai atau kegunaan relative dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah. Keempat, Pemantauan ( deskripsi ), yaitu menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya altrernatif kebijakan. Kelima, evaluasi yaitu sebagai penyedia informasi

mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah. 41 Proses pembuatan kebijakan adalah serangkaian aktifitas intelektual yang dilakukan

di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktifitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai rangkaian tahap

41 William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2003, Diterjemahkan dari buku aslinya Public Policy Analysis, An Introduction Second

Edition, oleh Tim Fakultas FISIPOL GAMA Yogyakarta, h. 21.

yang saling bergantung, yang diatur menurut urutan : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan serta dibarengi dengan doa ( istikhârah ). Kebijakan harus dibarengi dengan analisa yang dilakukan untuk menciptakan , menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam proses pembuatan kebijakan. Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung sepanjang waktu. Setiap tahap, berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terahir ( penilaiaan kebijakan ) dikaitkan dengan tahap pertama ( penyusunan agenda ) dalam lingkaran aktifitas yang tidak linier. Aplikasi prosedur dapat membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang secara langsung mempengaruhi asumsi, keputusan, dan aksi dalam satu tahap, yang kemudian secara tidak langsung memepengaruhi kinerja tahap-tahap berikutnya.

1. Penyusunan Agenda ( Identifikasi Masalah ) Perumusan atau identifikasi masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang akan dibuat, melalui penyusunan agenda ( agenda setting ). Perumusan atau identifikasi masalah bisa membantu menemukan asumsi- asumsi yang tersembunyi, mendiagnosa penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan- tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.

2. Formulasi Kebijakan

Formulasi kebijakan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang akan diambil tentang masalah yang akan terjadi sebagai akibat diambil atau tidaknya sebuah alternatif. Formulasi ini penting dilakukan untuk menguji masa depan yang plausible ( masuk akal ), potensial dan secara normative bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali

kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik ( dukungan dan oposisi ) dari berbagai pilihan.

3. Rekomendasi ( Taushiyah )

Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternative yang akibatnya di masa yang akan datang telah diestimasikan. Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap berikutnya ( adopsi kebijakan ). Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali eksternalitas, dan akibat ganda, menentukan kriteria

42 dalam pembuatan pilihan ( skala prioritas ) , dan menentukan pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan.

4. Pemantauan ( Monitoring )

Pemantauan menyediakan pengetahuan yang relavan dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan. Banyak badan secara teratur memantau hasil dan dampak kebijakan dengan menggunakan berbagai indikator kebijakan di bidang kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak dinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, menemukan letak kekurangan dan pihak-pihak yang bertanggungjawab pada setiap tahap kebijakan.

5. Evaluasi

Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan

42 Ada suatu kaidah untuk menyeleseikan masalah harus dimulai dari yang terpenting baru yang penting lainnya. ( Min al-Ahamm iâl al-ahamm )

kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah

6. Istikhârah ( Doa )

Berdoa adalah lambang ke-rendah hati-an seseorang, karena orang yang mau berdoa mengakui sisi kemanusiaanya yang terkadang salah dan lupa. Oleh karena itu doa adalah unsur penting dalam pengambilan kebijakan, agar Allah selalu membimbingnya selalu menempuh jalan yang diridloi-Nya. Ad-du'â' mukh al-

43 'ibâdah ( doa adalah inti sari ibadah ). Keengganan berdoa adalah adalah representasi dari kesombongan 44 dan melampaui batas, karena merasa bahwa dirinya tidak butuh pertolongan dari Yang Kuasa 45 . Janji Allah kepada orang yang mau

berdoa adalah mengabulkan permohonannya, tentunya setelah syaratnya terpenuhi yaitu memenuhi segala perintah Allah dan beriman kepada-Nya. 46 Artinya yang

menjadi tuntutan orang yang berdoa adalah memenuhi semua yang Allah perintahkan, sebagaimana yang pernah diperingatkan oleh Nabi saw. tentang orang yang berdoa, tetapi makanan yang dikonsumsinya adalah haram, pakaian yang dikenakannya haram. Maka bagaimana mungkin dikabulkan doanya ?

Berdoa bisa dilakukan melalui berbagai cara di antaranya adalah melalui media istikhârah. Sebagai sorang Muslim langkah istikhârah ini penting dilakukan

43 HR Sunan at-Tirmîdzi, urutan hadist ke 3293, termasuk hadist marfu' tetapi gharib. CD. Al-Kutub at-Tis'ah.

44 Lihat Q.S. al-Mu'min ; 60.".. Orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku ( berdoa ), mereka akan masuk ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina dina ".

45 Lihat Q.S. al-'Alaq ; Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas ( yang biasa dilakukan oleh thâghût ), karena dia melihat dirinya serba cukup ( tidak butuh pihak lain ).

46 Lihat Q.S. al-Baqarah 186, "…Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi ( segala perintah)-Ku dan hendaklah beriman

kepada-Ku… "

untuk mendapatkan keputusan dalam pengambilan kebijakan yang benar dan terarah. Hal ini diterapkan untuk bermohon kepada Allah, Tuhan Yang Maha Bijak dalam segala keputusan-Nya, agar memberikan anugerah berupa petunjuk kebenaran atas

keputusan dari kebijakan yang akan diterapkan 47 . Dalam literatur keagamaan ditemukan ungkapan :

رﺎﺨﺘﺳا ﻦﻣ مﺪﻧ ﻻ و رﺎﺸﺘﺳا ﻦﻣ بﺎﺧ ﺎﻣ Tidak menyesal orang yang melakukan musyawarah dan tidak juga akan kecewa

orang yang memohon petunjuk ( kepada Allah )- istikhârah- tentang pilihan yang terbaik

Dengan melakukan istikhârah, juga menunjukkan bahwa yang diberikan

wewenang menyusun dan memutuskan kebijakan, berlaku rendah hati dalam melakukan pekerjaannya. Karena disadari atau tidak akal manusia terkadang mengalami jalan buntu atau menghadapi dua kebijakan yang sama pentingnya, padahal harus diambil salah satunya, maka sebagai solusinya agar menanyakan pada

hatinya, bisa dilakukan dengan media istikhârah. Rasulullah bersabda : 48 :

Wahai Wâbishah ( ibn Ma'bad al-Aswadi ) bertanyalah pada nuranimu, bertanyalah pada jiwamu ( Nabi mengulanginya sampai tiga kali ), Kebaikan adalah apa yang menjadikan hati menjadi tenang, sedangkan dosa adalah apa yang jiwa menjadi gusar karenanya dan terasa bimbang dalam dada, walaupun orang-orang menasehatimu ".

3. Menjunjung Tinggi dan Menghayati Nilai-Nilai Yang Disepakati

Dalam konteks membangun bangsa dengan menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, maka hasil keputusan musyawarah haruslah disepakati, dijunjung tinggi dan

47 Istikharah adalah amaliah ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada umatnya, apabila menghadapi persoalan hidup, dengan cara sholat sunnah dan berdoa. Lihat hadist riwayat al-Bukhâriyy, urutan

hadist ke-1096. CD al-Kutub at-Tis'ah.

48 HR Imam Ahmad, urutan hadist 17315, termasuk hadist syarîf marfû'. CD. Al-Kutib at-Tis'ah

dihayati bersama,. 49 Disepakati artinya pilihan nilai yang disahkan adalah nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat secara kolektif untuk menentukan pandangan hidup. Dihayati

artinya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekedar dibicarakan, diteriakkan dan ditulis. Karena kalau nilai-nilai tersebut tidak diamalkan bagaikan orang yang memuji-muji kehebatan obat, tetapi obat itu tidak dia makan, sehingga tidak mengalir ke seluruh tubuhnya dan tidak menjadi bagian dari dirinya. Dihayati artinya dia harus menelan obat tersebut lalu membiarkan darah mengalirkan ke seluruh tubuhnya, serta menyentuh dan mengobati bagian-bagian dirinya yang sakit, bahkan memperkuat yang

50 sehat. Oleh karena itu demi terealisasinya nilai-nilai yang yang disepakati dan dihayati

tersebut dibutuhkan nilai-nilai husus yang menjadi jati diri sebuah bangsa. Jati diri ini penting agar dalam perjalanannya nanti, nilai-nilai tersebut tidak melenceng dari tuntunan yang baik dan benar. Jati diri adalah pribadi manusia yang sesungguhnya untuk mewujudkan kredibilitas, integritas atau harkat dan martabat sesorang. Jati diri adalah sifat dasar manusia, diri yang asli dari Tuhan seru sekalian alam. Sebagai sesuatu yang berasal dari Tuhan, tentu jati diri baik adanya. Masalahnya adalah kerelaan manusia untuk menampilkan jati diri tersebut. Sebab, ada manusia yang hanya mementingkan penampilan luar dari pada menampilkan pribadi yang sesungguhnya akibat adanya kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Dalam konteks Indonesia, terminologi cipta, karsa, karya dan rasa, manusia Indonesia cenderung memberi prioritas pada tiga faktor pertama yaitu cipta ( pikir ), karsa (

49 Lihat Q.S. Ăli 'Imrân ; 159 "… Maka maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu ( masalah politik, ekonomi dan sosial dan lain-lain ).

Kemudian apabila kamu sudah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah .. " Membulatkan tekad artinya menghayati atau melaksanakan hasil musyawarah, kemudian bertawakkal kepada Allah swt. Tawakkal adalah menyerahkan urusan kepada Allah setelah melakukan usaha dan upaya secara optimal. Bermusyawarah sekaligus menghayati dan mengamalkannya adalah perwujudan dari nilai-nilai al-hikmah yaitu ilmu yang diamalkan serta amal yang dilandasi dengan ilmu.

50 M.Quraisy Syihab, Menabur Pesan Ilahi, h. 369

keinginan / nafsu ) dan karya ( tindakan ) Sedangkan faktor rasa ( hati nurani ) masih terpinggirkan 51 .

Hati yang tertutup pada ahirnya memudarkan bahkan menghilangkan jati diri seseorang. Harus diakui bahwa tidak semua orang mampu menampilkan jati dirinya secara utuh. Mereka yang terbiasa berlindung di balik kedok, biasanya hanya mampu menampilkan diri secara lahiriah saja, sementara jati dirinya dibiarkan tertutup oleh kepura-puraan, sehingga perlahan tapi pasti akan redup dan pudar. Dengan kata lain, hati sudah tidak menjalankan fungsinya sebagai sebagai pemberi arah atau sebagai filter bagi pemiliknya.

Kepribadian manusia adalah perpaduan yang didapat dari faktor genetik yang menghasilakan bakat, kecerdasan dan temperamen yang sulit diubah, dengan pengalaman

yang diserap dari pendidikan, lingkungan dan pengalaman hidup akan menghasilkan pengetahuan, ketrampilan dan watak yang pada dasarnya bisa diubah. Watak inilah yang akan mendorong sikap dan perilaku seseorang karena watak bisa berubah menjadi positif dan negatif, tergantung pada pengaruh lingkungannya. Jika krisis jati diri ini mewabah, maka bisa berakibat menjadi krisis jati diri bangsa. Oleh karena itu perkara membangun watak adalah suatu proses yang tidak ada hentinya ( never ending process ) agar krisis jati diri tidak

berlarut-larut 52 .