Aspek Politik

d. Aspek Politik

Politik dan agama merupakan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan terus menerus aktual untuk diperbincangkan. Karena Islam bukan hanya sekedar sistem teologi tetapi ia merupakan sistem kehidupan yang lengkap. Islam merupakan persoalan dîn ( agama ) dan daulah ( negara ). Tetapi persoalan Islam dan politik ini rupanya tidak sesederhana itu, menyangkut banyaknya pendangan yang tidak monolitik, walaupun antara keduanya terkait erat tidak terpisahkan, sekalipun dari pendekatan teknis dan praktisnya dapat dibedakan. Agama adalah wewenang shâhib asy-syarî'ah ( Rasulullah saw ) yang dituntun Allah melalui wahyu. Sedangakan mengenai politik pada dasarnya adalah wewenang kemanusiaan, hususnya sepanjang menyangkut masalah-masalah teknis dan prosedural, yang menuntut

ijtihâd 155 manusia. Sebelum membahas politik secara mendalam, terlebih dahulu penulis ketengahkan

makna pilitik secara etimologi. Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau Latin politicos dan politicus yang berarti relating to citizen. Keduanya berakar dari kata

polis yang berarti kota. 156 Sebenarnya kata politik juga ditemukan dalam kamus bahasa Inggris yaitu politic yang berarti sensible ( menampakkan perasaan yang sehat, berpikiran

sehat dan bijaksana 158 ); wise ( bijak ) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan makna politik sebagai 159 : a. pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti

sistem pemerintahan, dasar pemerintahan, b.segala urusan dan tindakan yang menyangkut

155 Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Relegiusitas Masyarakat.

156 M.Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur'an, h. 416.

157 John M. Echolls and Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, h.513

158 Oxford Learner's Pocket Dictionary, h.375.

159 Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 886.

kebijakan, siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, c. cara bertindak menghadapi atau menangani suatau masalah ; kebijaksanaan.

Kata politik diterjemahkan ke dalam menjadi siyâsah, memperdaya, hakîm ( yang bijak ), labîq( luwes atau mahir ) 160 . Lafal ini tersusun dari kata kerja sâsa - yasûsu yang

biasa diartikan dengan mengemudi, mengendalikan, mengatur, mengangkat seseorang untuk memimpin dan lain-lainnya. Dari akar kata ini ditemukan kata sûs yang berarti kuman, kutu

atau rusak 161 . Kata siyâsah tidak ditemukan di dalam al-Qur'an, akan tetapi kata yang terkait dengan

makna siyâsah banyak dibicarakan oleh al-Qur'an, di antaranya adalah kata hukm, hikmah. Pada awal tulisan ini sudah dijelaskan makna kata hukm dan hikmah, dimana salah satu

maknanya adalah mengendalikan dan menghalangai sesuatu dari kerusakan untuk mendapatkan kemaslahatan. Makna ini sesuai dengan salah satu makna siyâsah dan makna politik poin ke tiga pada Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Penulis lebih condong mengartikan politik sebagai hikmah ( hikmat ) dari lafal siyâsah mengacu pada makna etimologisnya. Politik mengandung makna positif ( bijak, kota, perasan dan pikiran yang sehat ), lafad hikmat demikian juga lebih banyak mengarah kepada makna positif ( di antaranya kebijaksanaan, kemampuan menangani masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat ). Dan dalam al-Qur'an kata hikmah ditemukan dua puluh satu kali, kesemuanya dalam konteks pujian ( positif )

Jika menilik sejarah peradaban Islam maka akan jumpai suatu peristiwa besar ketika kaum Khawarij tidak menyetujui kebijaksanaan yang diambil oleh Khalifah ke empat, Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkîm yang diajukan oleh kelompok 'Amr ibn al-'Ăsh,

bahkan mengkafirkannya, 162 mereka lantang meneriakkan ayat al-Qur'an : ﷲ ﻻإ ﻢﻜﺤﻟا نإ ; "

160 Kamus al-Maurid al-Asâsy, Dâr al-'Ilmi al-Malâyîn, h. 704

161 Kamus al-Mu'jam al-Wasîth, Juz 1, h. 480

Menetapkan hukum itu hanya hak Allah ( Q.S. al-An'âm ; 67 ), kontan Ali meresponnya dengan slogan : ﻞﻃﺎﺑ ﺎﻬﺑ ﺪﯾرأ ﻖ ﺣ ﺔﻤﻠﻛ : " Kalimat yang benar tetapi yang dimaksudkan adalah batil 163 ".

Dari peristiwa ini, maka ada yang memahami bahwa penetapan hukm ( dalam arti politik sesuai penjelasan di atas ) harus bersumber dari Allah swt. Memang ada beberapa ayat yang menjelaskan bahwa penetapan hukum itu hanyalah prerogatif Allah, tetapi kesemuanya dikemukakan dalam konteks tertentu. Misalnya berbicara dalam konteks ibadah serta keputusan menjatuhkan sanksi hukum yang berkaitan dengan wewenang Allah ( Q.S. al- An'âm ; 56-57 ), juga berbicara dalam konteks keesaan Allah serta kewajiban berusaha dan keterlibatan takdir Allah ( Q.S. Yûsuf ; 60 dan 67 ). Dan terahir berbicara masalah penetapan hukum yang sepenuhnya berada di tangan Allah pada hari kiamat. ( Q.S. al-An-'âm ; 62 ).

Akan tetapi ada juga ayat yang menisbatkan hukum kepada manusia 164 . Di antaranya adalah ayat : ... لﺪﻌﻟﺎﺑ اﻮﻤﻜﺤﺗ نأ سﺎﻨﻟا ﻦﯿﺑ ﻢﺘﻤﻜﺣ اذإ و " Apabila kamu sekalian menghukumi ( memtuskan-

suatu persoalan- ) di antara manusia maka putuskanlah dengan adil…" ( Q.S. an-Nisâ' ; 58 ) Kalaupun ada ayat-ayat yang berbicara tentang kehususan Allah dalam menetapkan hukum atau kebijaksanaan, dipahami terlepas dari konteksnya, maka kehususan tersebut bersifat relatif, atau apa yang diistilahkan ulama-ulama al-Qur'an dengan hashr idhâfi. Dengan memperhatikan keseluruhan ayat-ayat yang berbicara tentang pengambilan keputusan, dapat disimpulkan bahwa Allah telah memberikan wewenang kepada manusia untuk menetapkan kebijaksanaan atas dasar pelimpahan dari Allah swt., dan karena itu

Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Pilitik dan Aqidah dalam Islam, Logos, Ciputat, Judul Asli : Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah, Penerjemah : Abd Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, 1996, h. 76.

M. Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur'an, h. 418

164 Lihat Q.S. an-Nisâ' ; 58. Hukum ( dalam arti husus ) adalah produk politik, jadi antara hukum dan politik ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Karena keberadaan politik untuk membuat aturan-

aturan yang melahirkan hukum.

manusia yang baik ( sebagai pihak yang diberi wewenang mengambil keputusan ) adalah yang memperhatikan kehendak pemberi wewenang tersebut. 165

Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu, baik menyangkut kehidupan di dunia maupun di aherat kelak. Dia menerapkan kekuasaan-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Tidak ada pihak yang bisa menolak perintah-Nya

dan tidak ada yang bisa menghalangi keputusan-Nya. 166 Wilayah kekuasaan-Nya tidak terbatas oleh ruang dan waktu. 167

Dalam konteks politik Allah berikan sebagian kekuasan-Nya kepada manusia untuk merealisasikan kehendak-Nya, sebagai khalifah di muka bumi. Di antara manusia ada yang

mampu mengemban amanat tersebut dan melaksanakan tugasnya dengan baik karena mengikuti prinsip-prinsip kekuasaan politik dan adapula yang gagal dalam mengemban amanat-Nya. Allah memerintahkan kepada Nabi saw untuk mengingatkan manusia, akan

kekuasaan-Nya di atas segala kekuasaan yang lain 168 Dalam sejarah peradaban Islam hususnya memberikan kesan tidak adanya

sebuah sistem yang monolitik mengenai bentuk negara dalam Islam . Tapi ini bukan membenarkan bahwa antara Islam dan politik itu terpisah sama sekali, seperti pemahaman para sekularis, sebab dalam Islam ada keterkaitan yang sangat erat antara agama dan politik, hususnya dari segi etikanya atau yang menyangkut pertanyaan " untuk apa ". Yang

M. Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur'an, h. 420.

Ibn 'Umar al-Biqâ'i, Tafsir Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al- Ă yât wa as-Suwar , Dâr al-Kutub al- 'Imiyyah, Beirut, Juz I, h. 217

Lihat Q.S. Baqarah : 107, " Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah ? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun penolong." Lihat pula al-An'âm ; 73, al-Hajj ; 56

Lihat Q.S. Ăli 'Imrân : 26 Katakanlah ( wahai Muhammad ) : Wahai Tuhan Pemilik kekuasaan, Engkau anugerahkan kekuasaan bagi siapa yang Engkau kehendaki dan mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau memuliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki, dalam tangan-Mu segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu

menjawab masalah ini tidak dibenarkan lepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Artinya dalam kehidupan berpolitik -yang pada dasarnya mengurus urusan duniawi- tidak bisa dilepaskan dari tuntunan moral yang tinggi. Berpolitik haruslah dengan standar akhlak mulia, yang sekarang dikenal dengan etika politik. Segi inilah yang sangat kaya dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan para Khalifah yang empat ( Khulafâ' ar-Râsyidîn al-

Mahdiyyîn 169 ). Ada dua kata dalam al-Qur'an yang menunjuk pada makna kekuasaan dan politik,

yaitu kata istikhlâf , seakar dengan kata khalîfah dan kedua kata ist'mâr. 170

a. Istikhlâf. Ada dua macam redaksi yang digunakan al-Qur'an dalam menggambarkan cara pengangkatan sebuah kekuasaan. Dilakukan langsung oleh

Allah dengan menggunakan kata ganti tunggal ( ﺔﻔﯿﻠﺧ ضرﻷا ﻰﻓ ﻞﻋﺎﺟ ﻲﻧإ ) "Aku akan menjadikan ..", yaitu ketika Adam hendak diciptakan sebagai khalifah di muka bumi. Redaksi ini tepat sekali karena pada saat Adam diciptakan belum ada masyarakat manusia. Berbeda ketika Allah mengangkat Nabi Daud as.sebagai khalifah, al-Qur'an menggunakan redaksi kata ganti jama' ( ﻦﺤﻧ ) : كﺎﻨﻠﻌﺟ ﺎﻧإ دواد ﺎﯾ ضرﻷا ﻲﻓ ﺔﻔﯿﻠﺧ . " Wahai Dâwûd Kami telah menjadikan engaku khalîfah di muka bumi ".( Q.S. shad ; 26 ).dan dalam bentuk past tense ( lampau ). Hal ini memberikan pemahaman bahwa pengangkatan Dâwûd as sebagai khalîfah ada keterlibatan selain Allah yaitu masyakat pendukungnya, dimana masyarakat manusia memang sudah terbentuk. Dâwûd as menjadi khalifah setelah berhasil mengalahkan dan membunuh Jâlût dengan bantuan para tentaranya. Kemudian

Allah anugerahkan kepadanya khalîfah ( kekuasaan politik ). 171

169 Nurkholis Madjid, Cendekiawan dan Relegiusitas Masyarakat, h. 51-52.

170 M. Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur'an, h. 422-424

Q.S. al-Baqarah ; 251 Dan Dâwûd telah membunuh Jâlût,, Allah memberinya kekuasaan atau kerajaan dan juga hikmah serta mengajarkan apa yang dikehendaki-Nya.

b. Isti'mâr. Kata ini dalam bahasa Arab modern diartikan ' penjajahan '.ista'mara ; menjajah. Kata ini mengalami penyempitan makna. Karena arti semula kata ini adalah " meminta / menugaskan seseorang mengolah sesuatu guna

memperoleh manfaat 172 . Penjajah pada dasarnya juga mengolah sesuatu karena kepentingan egonya lebih besar, maka cara-cara yang dilakukan dalam

pengolahan tersebut menjadi tidak benar dan memaksakan kehendak. Berbeda dengan istilah isti'mâr yang diperkenalkan al-Qur'an :

Dia Allah yang menciptakan kamu sekalian dari bumi ( tanah ) dan menugaskan kamu memakmurkannya ". ( Q.S. Hûd ; 61 ).

Kata isti'mâr yang terambil dari kata dasar 'amara-ya'muru, mempunyai arti menjadikan ahli ( terampil ). 173 Kata kerja present dan past tense tersebut

ditemukan dalam suarat at-Taubah ; 18 dalam konteks uraian tentang bagaimana memakmurkan masjid, yaitu dengan cara membangun, memelihara, memugar, membersihkan, shalat dan i'tikâf di dalamya. Atau pada surat ar-Rûm : 9 , dalam konteks memakmurkan bumi yaitu dengan jalan menanam, mengeksplorasi,

membangun bangunan, serta mengelolanya untuk memperoleh manfaat 174 . Dengan demikian maka kata ista'marakum pada ayat di atas, bisa

dipahami sebagai 'meminta / menugaskan kamu sekalian mendiami' ( untuk )

172 Terambil dari akar kata 'amara-ya'muru yang berarti mendiami, tinggal. Dengan wazn istaf'ala menjadi ista'mara yang berarti meminta mendiami. Dari akar kata ini lahir lafald 'umrân : memakmurkan. (

Lihat Kamus Almunawwir, h. 1043 ).

Al-Biqâ'i, Burhân ad-Dîn Abi al-hasan Ibrâhîm ibn 'Umara al-Biqâ'iyy, Nazhm ad-Durar fî Tanâsu al- Ă yât wa as-Suwar, Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1995, Jilid 3, h. 547.

174 M. Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur'an , h. 424

mengolah bumi guna memperoleh manfaatnya. Dari satu sisi penugasan tersebut dapat merupakan pelimpahan kekuasaan politik, di sisi lain karena yang menjadikan dan yang menugaskan itu Allah swt.,maka para pengemban amanat ( yang mendapatkan pelimpahan tugas ) dalam menjalankannya harus memperhatikan kehendak yang menugaskannya. Itulah yang disebut etika politik yang luhur.

Prinsip-Prinsip Kekuasaan

Telah diuraikan di atas bahwa kekuasaan politik adalah pelimpahan wewenang dari Allah swt kepada manusia. Pelimpahan tersebut dilakukan melalui 'ahd ( ikatan perjanjian )

antara penguasa dan Allah di satu sisi dan antara penguasa dan rakyat di sisi yang lain 175 . Nabi Ibrahim as.yang menjadi Kekasih Allah dan diangkat sebagai pemimpin ( imâm ) bagi

kaumnya, juga bermohon kepada-Nya agar kepemimpinan itu juga dianugerahkan kepada keturunannya, bukan kepada semua manusia. Kemudian Allah mengabulkannya dengan mengecualikan orang-orang yang zalim, karena 'ahd Allah tidak akan diperoleh oleh mereka

yang berbuat kezaliman 176 Sementara ikatan antara pemimpin dengan masyarakat, dikenal dengan istilah bai'at

sebagaimana yang diisyaratkan al-Qur'an terhadap Nabi Muhammad saw, ketika beliau kedatangan wanita-wanita mukminat.untuk dilakukan bai'ah terhadap mereka. Yang meliputi ; kesediaan mereka untuk untuk tidak berbuat syirik terhadap Allah swt, tidak mencuri, tidak melakukan perzinaan, tidak membunuh anak-anaknya, tidak melakukan kebohongan ( baik

Lihat Q.S. an-Nahl ; 91 Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah( mu ) sesudah meneguhkannya, sedangkan kamu telah menjadikan Allah sebagai saksi-mu ( terhadap sumpah-sumpah itu )..

176 Muhammad Husain ath-Thaba'thabâ'iyy, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Teheran, 1379 H Jilid 13, h.90 Lihat Q.S. al-Baqarah ; 124 Perjanjianku tidak akan diperoleh oleh orang-

orang yang zalim

skala individual atau kebohongan publik ) dan tidak berbuat maksiat terhadap hal-hal yang ma'rûf 177

Kontrak politik yang dilakukan antara penguasa dengan Allah ataupun antara penguasa dengan rakyatnya merupakan suatu amanat yang harus dikerjakan sebaik-baiknya, dengan menunaikan amanat itu kepada yang berhak menerimanya. Baru setelah amanat itu ditunaikan maka ketaatan rakyat kepadanya adalah sebuah keniscayaan. Di sini nampak keserasian hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin, penguasa dengan rakyatnya . Allah sandingkan antara amanat yang harus dipikul oleh para penguasa, dan pada saat yang

178 sama ditekankan kewajiban bagi rakyat untuk mentaatinya . Akan tetapi ada kewajiban bagi rakyat untuk melakukan pengawalan dan kontrol

sosial terhadap kebijakan yang diterapkan oleh penguasa, apalagi kebijakan yang berbau maksiat.

" Seorang Muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja ( yang diperintahkan ulû al-amri ), suka atau tidak suka, kecuali ia diperintahkan berbuat maksiat,

maka ketika itu ia tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat 179 ".

Kata kunci dari kedua ayat di atas adalah lafal amanat. Salah satu manifestasi dari amanat yang diperintahkan Allah kepada manusia ( pemimpin ) adalah perlakuan adil di antara sesama ( rakyat ). Penerapan asas keadilan tidak mengenal diskriminasi baik terhadap

177 Lihat Q.S. Q.S. al-Mumtahanah ; 12

178 Lihat Q.S. Q.S. an-Nisâ' : 58-59 Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan ( memerintahkanmu ) untuk menetapkan ( kebijakan ) di antara manusia

dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman ! taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulî al-amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah ( al-Qur'an ) dan Rasul ( Sunnah ) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikan itu lebih utama bagimu lagi lebih baik akibatnya .

179 HR al-Bukhâri dan Muslim melalui Ibn 'Umar

kelompok, golongan, organisasi massa, organisasi politik, NGO, dan juga non Muslim. Bahkan terhadap alam ( lingkungan ) : " Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka

bumi setelah ( Allah ) memperbaikinya 180 " . Bukti sejarah agar manusia memperlakukan sesamanya secara adil, tidak

diskriminatif bahkan terhadap non Muslim adalah teguran Allah swt kepada Rasulullah saw, yang hampir saja menyalahkan orang Yahudi karena terpengaruh oleh pembelaan keluarga seorang pencuri. Dalam kasus ini Allah berfirman : ﺎﻤﯿﺼﺧ ﻦﯿﻨﺋﺎﺨﻠﻟ ﻦﻜﺗ ﻻو ' " Janganlah kalian menjadi penentang ( terhadap orang-orang yang tidak bersalah ) karena membela orang-

181 orang yang hianat. " . Uraian ayat ini sudah penulis kemukakan di bab II.

Tanggung Jawab Pengemban Amanah

Ada beberapa tanggung jawab yang wajib dipikul oleh orang-orang yang diberi wewenang ( kekuasaan ), di antaranya : mendirikan solat, menunaikan zakat, serta amar

ma'ruf nahi mungkar 182 . . Mendirikan solat adalah lambang hubungan baik dengan Allah swt, sedang menunaikan zakat adalah lambang perhatian yang ditujukan terhadap sesame.. Amar

ma'ruf menyangkut segala macam kebajikan, adat istiadat dan budaya yang sejalan dengan nilai-nilai agama, sedangkan nahi munkar adalah lawan dari amar ma'ruf 183 , dalam arti

mencegah terjadinya kemungkaran dan kemaksiatan. 184

180 Lihat Q.S. al-A'râf ; 56

Lihat Q.S. an-Nisâ' ; 105

Lihat Q.S. al-Hajj ; 41 : Orang-orang yang jika Kami kukuhkan kedudukan mereka di muka bumi, mereka mendirikan solat, menunaikan zakat, memrintahkan yang ma'rûf dan mencegah yang munkar, dan kepada Allah kesudahan segala urusan .

M. Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur'an, h. 429.

Lihat. Al-Biqâ'i, Burhân ad-Dîn Abi al-hasan Ibrâhîm ibn 'Umara al-Biqâ'i, Nazhm ad-Durar fî Tanâsu al- Ă yât wa as-Suwar, Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1995.Juz 2, h. 133 )Lihat Q.S. Ăli 'Imrân ; 110 Mengajak kepada kebajikan dalam arti selalu melakukan modernisasi dari waktu ke waktu, sesuai dengan zamannya dengan selalu mengedepankan kesungguhan ( jihad ), pengajaran, nasehat dan peringatan.

Ketika keempat pilar tersebut dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh, maka Allah janjikan kepada orang-orang yang mendapat limpahan kekuasaan-Nya yaitu kelompok orang-orang yang beriman, sekaligus beramal soleh, Allah janjikan kekuasaan di muka bumi ini sebagimana kekuasaan yang dianugerahkan kepada orang-orang terdahulu ( sepeti Dâwûd as ), dikokohkan-Nya agamnya, kondisi ketakutan digantikan dengan keamanan (

kesentosaan ). 185 Dan satu syarat lagi bila mereka tidak menyekutuakan Allah dengan sesuatu apapun dalam pengabdian kepada-Nya.

Lihat Q.S. an-Nûr : 55