Ilmu Hushûliyy

2. Ilmu Hushûliyy

Istilah ilmu hushûliyy ( dan juga ilmu hudhûriyy ) diperkenalkan oleh seorang filosof abad ke 16-17 M.yang terkenal dengan sebutan Mulla Shadra yang terkenal dengan karyanya al-Hikmah al-Muta'âliyah fî al-Asfâr al-Arba'ah, atau sering diterjemahkan dengan Filsafat Hikmah ( Teosofi Transeden ). Ilmu hushûliyy dibedakan dari ilmu hudhûriyy, yang diraih melalui pencerahan spiritual. Pengetahuan ilmu hudhûriyy diupayakan melalui prosedur berpikir rasional dan bersifat representasional yakni, membutuhkan representasi ( perantara ) obyek yang diketahui di dalam pikiran subyek yang mengetahui. Contoh sederhana representasi forma -batu- yang berada dalam pikiran kita, yang bisa kita definisikan secara

rasional. 33 Berpikir rasional adalah berpikir yang berdasarkan pemikiran yang sistematis

dan logis, 34 dalam arti berpikir sesuai dengan logika, benar menurut penalaran dan masuk akal. 35 Logika tidak lain dari berpikir secara teratur menurut urutan yang tepat

atau berdasarkan hubungan sebab akibat. Berpikir dengan menggunakan logika yang sistematis sudah diperkenalkan sejak lama oleh para filosof, khususnya filosof

Yunani seperti Socrates, Aristoteles, Plato dan sebagainya. 36 Menurut Aristoteles, sebagaimana yang dikutip oleh Zainun Kamal, logika adalah suatu alat untuk

32 Pembagian ahwâl ini tidak berdasarkan peringkat ( urutan ). Bisa saja seorang pesalik pemula mengalami al-khauf wa ar-rajâ' lebih dahulu dari pada al-qurb, dan seterusnya.

33 Haidar Bagir, Buku Daras Filsafat, h. 168

34 Kamus Besar Bahasa Indonesia , edisi ketiga, Departemen Pendidikan Nasional Jakarta 2002, h.933.

35 Kamus Besar Bahasa Indonesia , edisi ketiga, Departemen Pendidikan Nasional Jakarta 2002, h. 680

36 Zainun Kamal, Ibn Taimiyah versus para Filosof polemik logika, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2006, h. 2.

membangun sebuah bangunan pengetahuan secara filosofis. Oleh karena itu kekuatan dan keutamaan filsafat sangat tergantung kepada kemampuan logika yang akurat dan andal. Filsafat pada dasarnya bagaimana menyusun proposisi-proposisi logika yang berbentuk silogisme yang logis. Silogisme merupakan pokok yang paling utama dan

penting dalam logika. 37 Dengan mengandalkan akal sebagai unsur terpenting dalam logika, akan

muncul berbagai persepsi tentang konsep universal ( proposisi universal ) sebagai bahan dasar dalam penyusunan silogisme Apakah konsep ini murni sepenuhnya hasil rekaan akal pikiran yang sama sekali tidak bersangkutan dengan realitas luaran ( misalnya wahyu ) ? Apakah konsep-konsep ini hanya sekedar menuangkan hasrat dan kecenderungan suatu individu atau sosial ? Apakah konsep-konsep ini bersambung dengan realitas obyektif ? Apakah proposisi-proposisi ini benar-benar mempunyai nilai kebenaran sejati ? Bisakah proposisi ini dibenarkan atau disalahkan ? Kriteria apa yang dapat mengukur kebenaran dan kesalahannya ? Dengan patokan-patokan apa kebenaran dan kesalahannya bisa ditetapkan ? Pembahasan konsep universal ini sangat terkait dengan epistemologi. Begitu rumitnya mendefinisikan kebenaran universal, serumit mencari proposisi dan konsep-konsepnya. Misalnya konsep : " Pencuri harus dihukum ". Mengapa ? Karena tindakannya mengambil harta orang lain. Bagaimana kalau yang diambil itu harta yang didapat dari mencuri juga ?. Dari sini muncul konsep yang disebut " kepemilikan ". Contoh lain : " Penjahat harus dihukum ". Mengapa ?. Jawabannya adalah : Kalau tidak dihukum, kekacauan dan

37 Contoh silogisme dengan metode penarikan konklusi deduktif tidak langsung : Semua manusia adalah mortal ( premis I : mayor )

Ahmad adalah manusia ( premis II : minor ) Ahmad adalah mortal. ( kesimpulan / natîjah / konklusi ).

anarki akan menimpa masyarakat ". Dari sini muncul konsep kebenaran hukum, yaitu menciptakan rasa aman bagi masyarakat ".

Dalam bukunya Philoshopical Introductions, Muhammad Taqy Mishbâh Yazdy, sebagaimana yang dialibahasakan oleh Musa Kadzim dan Soleh Bagir, memaparkan bahwa keabsahan konsep-konsep universal itu berpangkal pada sejumlah kebutuhan yang dirancang untuk mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dan kesempurnaannya. Rancangan tersebut terkadang mudah dan terkadang sebaliknya. Dan memang segenap konsep yang disetujui dan disepakati

38 sesungguhnya berakar dalam hubungan-hubungan eksistensial dan kesejahteraan . Konsep-konsep rasional dan ide-ide universal merupakan hakekat dan mempunyai

wujud dalam alam nyata, bukan dibuat oleh manusia, tetapi merupakan bagian dari alam ( nature ), yang menurut Harun Nasution, prinsip-prinsip universal itu diartikan

dengan hukum-hukum alam, umpamanya hukum sebab musabab 39 . Ketika kebenaran bisa diraih oleh akal, dengan cara berpikir rasional ( logis )

berdasakan kaidah-kaidah berpikir, seperti penjelasan di atas, pertanyaannya adalah bisakah hal itu menjangkau semua hakekat pengetahuan, termasuk di dalamnya hakekat Tuhan. Para penganut filsafat murni mengatakan bahwa semua hakekat termasuk di dalamnya pengetahuan hakekat ketuhanan, dapat dicapai dengan akal ( rasio ). Hal ini tentunya berbeda ketika berhadapan dengan pendapat yang dikemukakan oleh para pakar ilmu kalam, penganut paham empirisme dan realisme seta literalisme. Ibn Taimiyah misalnya, sebagaimana yang dikutip oleh Zainun Kamal, bukan hanya membatasi otoritas akal dalam wilayah kerjanya, apalagi sampai pada penalaran yang berkaitan dengan agama ( wahyu ), beliau sekaligus menolak kebenaran universal ( proposisi ) yang dijadikan landasan berpikir kaum rasionalis

38 Haidar Bagir, Buku Daras Filsafat, h.116-120.

39 Harun Nasution, Falsafat Agama, ( Jakarta ; Bulan Bintang, 1983 ), h. 15.

dalam membangun silogisme. Bila sebuah proposisi masih memerlukan dalil sebagai bukti atas kebenarannya, tentu ia tidak mungkin menjadi sistem yang benar untuk menghasilkan kesimpulan. Karenanya, untuk menghasikan sebuah ilmu dalam suatu pengkajian, Ibn Taimiyah tidak memulainya dari proposisi universal, tetapi justru bertitik tolak dari proposisi partikular dalam sebuah silogisme. Artinya setelah dilakukan eksperimen empiris kemudian terbukti benarnya dengan segenap argumentasi terhadap obyek yang dikaji. Akan tetapi bila sebuah proposisi universal sudah bisa dibuktikan kebenarannya, maka ia tidak diperlukan lagi kepada silogisme, yang berguna untuk menghasilkan sebuah kesimpulan. Sebab, dengan sendirinya unsur-unsur dari proposisi sudah mesti benar. Apabila proposisi universal menjadi premis mayor, tanpa silogisme pun kesimpulan sudah dapat diketahui. Karena kesimpulannya sudah ada dalam unsur proposisi itu, dan juga dengan akal semata, dapat diketahui bahwa satu adalah separoh dari dua. Tanpa harus menggunakan proposisi universal kesimpulan seperti ini bisa diperoleh dengan mudah tanpa melalui silogisme demonstratif,

dengan cara dimulai dari proposisi universal, kemudian langsung diambil kesimpulan. 40 Sebenarnya Ibn Taimiyah juga mempraktekkan bagaiman cara berpikir rasional,

walaupun tidak dengan menggunakan metode silogisme. Sistem penalaran Ibn Taimiyah lebih sederhana yaitu dengan menggunakan hukum kelaziman yang fitri. Yaitu dengan menggunakan dua unsur : yang dilazimi ( akibat ) berdasarkan kepada yang lazim ( sebab ), sekalipun yang dilazimi tidak selalu dinyatakan secara langsung dan eksplisit. Umpamanya firman Allah :

" Apakah mereka diciptakan dengan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan ( dirinya sendiri ) ? "( ath-Thûr 35 )

40 Zainun Kamal, Ibn Taimiyah versus para Filosof polemik logika, h. 107-108

Apakah mungkin yang menciptakan diri kamu bukan si pencipta ? Ini mustahil menurut akal ? Ini malah lebih mustahil lagi, karena mesti ada pencipta manusia yaitu Allah swt. Ayat di atas diungkapkan dalam bentuk pertanyaan retorika dan menunjukkan bahwa proposisinya sendiri sudah merupakan dalil yang fitri, aksiomatik, inheren dalam diri manusia, dan tak mungkin ada seorang pun yang menyangkal. Orang yang masih murni fitrahnya tidak akan mungkin menyangkal bahwa wujud yang baru diciptakan oleh pencipta,

atau dia juga menyangkal bahwa pencipta adalah dirinya sendiri. 41 Menurut Ibnu Taimiyah neraca / mizan akal yang sesungguhnya adalah Al-Qur'an, Allah telah menurunkan mizan /

neraca keadilan yang sesungguhnya cocok benar dengan fitrah manusia. Firman Allah SWT : Allah-lah yang menurunkan al-Kitâb dengan kebenaran dan neraca (Q.S Asy-Syura :17)

Allah menurunkan dan menempatkan ilmu pada manusia untuk dijadikan penimbang sesuatu, sehingga dapat mengetahui dan membandingkan akan hal-hal yang sama atau berbeda, dan neraca yang diturunkan Allah itu sekaligus menjadi neraca kritikan terhadap neraca lain. Firman Allah :

Dan Allah telah meninggikan langit, dan Ia meletakkan mizan atau neraca. Agar kamu tidak melanggar aturan. Dan tegakkanlah neraca dengan adil dan janganlah mengurangi ukuran .( Q.S. ar-Rahmân; 7-9)

Jadi, mizan / neraca menurut Ibnu Taimiyah adalah keadilan untuk menimbang sesuatu, ia adalah kias analogis, Qur'ani yang diwahyukan, yang dengannya kita dapat mengetahui benar atau salahnya akal pikiran, bahkan dengannya kita dapat menimbang segala sesuatu yang

bersifat umum, yang empiris ataupun yang rasional. 42 Bagi Ibnu Taimiyah, kekuatan akal

41 Zainun Kamal, Ibn Taimiyah versus para Filosof polemik logika h. 132. Husus bahasan logika pada sub bab ini, penulis rangkum dari buku karya Zainin Kamal (; Ibn Taimiyah Versus Para Filosof ) dan

HaidarBagir, ( Buku Daras Filsafat ) dan Harun Nasution ( Falsafat Agama )

42 Zainun Kamal, Ibn Taimiyah versus para Filosof polemik logika, h.136 Akal atau rasio menurut Ibnu Taimiyah berbeda pengertiannya dari para filosof Yunani yang menganggap akal suatu kebenaran yang

hanya berfungsi untuk membenarkan dan tunduk kepada nash. Akal hanya menjadi saksi pembenaran dan penjelasan dalil-dalil Al Qur'an, bukan menjadi hakim yang akan mengadili atau menolaknya. Akal harus diletakkan di belakang nash-nash agama dan tidak boleh berdiri sendiri. Jika dalam bidang empiris saja daya kerja akal manusia mempunyai keterbatasan, apalagi dalam bidang metafisika dan alam gaib, ia akan bisa tersesat apabila berdiri sendiri dan tidak mendapat bimbingan, karenanya akal harus tunduk kepada wahyu. Namun demikian, Ibnu Taimiyah tetap mengakui adanya kebenaran akal, tetapi yang pasti , mesti harus sesuai dengan kebenaran wahyu, dan pada dasarnya keduanya tidak kontradiktif. Jika terdapat pertentangan antara keduanya , kesalahan terletak pada akal, dan wajib kembali

kepada wahyu. 43 Tidak semua ulama sependapat dengan Ibnu Taimiyah tentang logika dan filsafat.

Para filosof muslim dari era al-Kindi sampai Mulla Shadra, sangat mengapresiasi konsep logika yang diperkenalkan oleh aristoteles. Sederet nama sepeti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, yang terkenal dengan aliran Peripatetisme (Neo Platonik), al-Ghazâliyy dengan aliran Teologi dan Mistisisme, Ibnu Rusyd dengan Peripatetisme murni, Fahr ad-Dîn ar-Râziyy dengan filsafat mistikal, asy-Syuhrawardiyy dengan aliran iluminisme ( Isyrâqiyyah ), Ibn 'Arabiyy dengan Tasawwuf Filosofis, Nashir ad-Dîn At-Thûsiyy dengan teologi filosofis, dan

Mulla Shadra dengan aliran al-hikmah al-muta'aliyah. 44 . Beda Ibnu Taimiyah beda lagi al- Ghazâliyy, ulama yang satu ini sangat wellcome terhadap teori logika aristoteles. Dia

berpendapat bahwa logika merupakan alat penimbang atau neraca bagi sesuatu, tetapi ia tidak dapat dipergunakan untuk menimbang segala sesuatu terutama dalam persoalan-persoalan

berdiri sendiri. Akal, menurut Ibnu Taimiyah , adalah suatu kebenaran yang selalu serasi dengan bahasa Rasul dan bahasa al-Qur'an. Seperti dalam firman Allah: (Al Mulk:10). Artinya : " Dan mereka berkata, sekiranya kami dahulu mau mendengarkan dan merenungkan, niscaya kami tidak menjadi golongan penghuni neraka sa'ir ".

43 Zainun Kamal, Ibn Taimiyah versus para Filosof polemik logika h.137-138.

44 Haidar Bagir, Buku saku filsafat Islam, h.101.

metafisika. Logika adalah prasyarat yang harus dimiliki oleh ilmuan dalam bidang apa saja seperti ilmu tata bahasa yang harus dimiliki oleh setiap orang yang mau menjadi ahli dalam bidang bahasa, ungkapan yang masyhur dari al-Ghazâliyy tentang pentingnya logika adalah " Logika adalah pendahuluan bagi ilmu pengetahuan, siapa yang tidak menguasainya,

ilmunya tidak bisa dipercayai 45 ". Akal sebagai komponen utama logika dipaparkan oleh al-Ghazâliyy, sebagaimana

yang dikutip oleh M Quraisy Syihab, 46 bahwa ia mempunyai beberapa pengertian. Di antaranya ( pertama ), akal adalah potensi yang membedakan manusia dari binatang dan yang

47 menjadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan teoritis . Kedua, akal berarti

45 Zainun Kamal,h.63-64. lebih jelasnya lihat Al Munkidz min Adh Dhalal. Karya Abu Hamid Al Ghazali. Pendapatnya ini kemudian mendapat kritikan pedas dari Ibnu Taimiyyah.

46 M. Quraisy Syihab, Logika AgamaKedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam, Lentera Hati, Jakarta, 2005, h. 87-88.

47 Pengertian tidak jauh dengan yang dikemukakan oleh pendahulunya, yaitu al-Hârist ibn Asad al- Muhâsiby, seorang pakar sufi sekaligua pakar hukum dan hadist serta sastrawan yang wafat di Baghdad pada

tahun 857 M. Akal sebagaiamana yang dikutip oleh M. Quraisy Syuihab, menurut al-Muhâsiby adalah :

ﻻو ﺲﺤﺑ ﻻو ﺔﯾؤﺮﺑ ﻢﻬﺴﻔﻧأ ﻦﻣ ﺎﻬﯿﻠﻋ اﻮﻌﻠﻃإ ﻻو ﺾﻌﺑ ﻦﻣ ﻢﻬﻀﻌﺑ دﺎﺒﻌﻟا ﺎﻬﯿﻠﻋ ﻊﻠﻄﯾ ﻢﻟ ﻪﻘﻠﺧ ﺮﺜﻛأ ﻲﻓ ﻰﻟﺎﻌﺗ و ﻪﻧﺎﺤﺒﺳ ﷲا ﺎﻬﻌﺿو ةﺰﯾﺮﻏ ﻞﻘﻌﻟا ﻪﻨﻣ ﻞﻘﻌﻟﺎﺑ ﺎﻫﺎﯾإ ﷲا ﻢﻬﻓﺮﻋ ﺎﻤﻧإ ﻢﻌﻃ ﻻو قوذ " Akal adalah insting yang diciptakan Allah swt, pada kebanyakan makhluknya-baik melalui ( pengajaran ) sebagian untuk sebagian yang lain, tidak juga mereka berdiri sendir, -mereka semua tidak dapat menjangkaunya dengan pandangan, indera, rasa atau cicipan. Allah yang memperkenalkan insting itu melalui akal itu sendiri ".

Lebih lanjut al-Muhâsibiyy berkata, " Dengan akal itulah hamba-hamba Allah mengenal-Nya. Mereka menyaksikan wujudnya dengan akal tersebut. Dan dengannya mereka mengetahui yang bermanfaat bagi mereka dan dengannya pula mereka mengetahui apa yang membahayakan mereka. Karena itu siapa yang mengetahui dan dapat membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya baginya dalam urusan dunianya, maka dia telah mengetahui bahwa Allah telah menganugerahinya dengan akal yang dicabut dari orang gila, atau yang tersesat, atau orang yang picik yang hanya sedikit mempunyai akal. Sedangkan menurut 'Ăbd al-Halîm Mahmûd, Guru Besar al-Azhâr Kairo, mengatakan bahwa pengertian akal adalah daya pikir yang bila digunakan dapat mengantar seseorang untuk mengerti dan memahami persoalan yang dipikirkannya , tetapi tidak memadai karena ia tidak bisa menjangkau dan mencerna praktek-praktek ajaran agama yang bersifat ta'abbudy , dan juga persoalan metafisika pun bukan dalam wilayah akal serta kemampuannya untuk mencernanya apalagi menolaknya. Bukan dalam pengertian akal yang ditunjuk oleh ayat : ﻞﻘﻌﻧ وأ ﻊﻤﺴﻧ ﺎﻨﻛ ﻮﻟ اﻮﻟﺎﻗو ﺮﯿﻌﺴﻟا بﺎﺤﺻأ ﻦﻣ ﺎﻨﻛ ﺎﻣ : " Dan mereka berkata, ' Sekiranya kami mendengarkan atau berakal niscaya kami tidaklah termasuk penghuni neraka sa'îr. ( Q.S. al-Mulk : 10 ). Akal yang dimaksud ayat ini adalah potensi manusiawi yang berfungsi sebagai tali pengikat yang menghalanginya terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Akal inilah yang menjadi tujuan dan harus diupayakan untuk memperolehnya, karena yang demikianlah yang menyelamatkan seseorang. Tanpa akal, siapapun akan terjerumus walau memiliki pengetahuan teoritis yang sangat dalam.( Lihat Logika Agama karya Quraisy Syihab, h. 86-89. Sebagian isi buku ini adalah merupakan hasil dialog antara murid ( penulis buku Logika Agama ) dan gurunya ('Ăbd al-Halîm Mahmûd ) yang ditulis

pengetahuan yang dicerna oleh seorang anak yang telah mendekati usia dewasa, dimana – misalnya- ia dapat mengetahua bahwa sesuatu tidak mungkin ada pada sesuatu yang pada saat yang sama ia tidak ada di tempat itu, atau misalnya dua lebih banyak dari satu. Ketiga, akal adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasar pengalaman yang dilaluinya dan yang pada gilirannya memperhalus budinya. Menurut kebiasaan orang yang demikian itu disebut orang orang yang berakal, dan yang berbudi kasar disebut orang yang tak berakal. Makna keempat akal adalah kekuatan insting yang menjadikan seseorang mengetahui dampak semua persoalan yang dihadapinya, lalu menekan hawa nafsunya serta mengatasinya agar tidak terbawa larut olehnya.

Logika menuruit al-Ghazâliyy merupakan suatu kaidah yang dapat membedakan suatu definisi dan analogi yang benar dari yang salah, juga membedakan antara ilmu yakin dan tak yakin. Jadi, logika merupakan neraca bagi seluruh ilmu pengetahuan. Karena itu, manfaat logika, bukan hanya sebatas analogi untuk menghasilkan pengetahuan yang belum diketahui berdasarkan dari yang sudah diketahui, tetapi juga mencakup pembedaan orang yang berilmu dan tak berilmu (bodoh). Paparan Al Ghazâliyy ini selaras dengan kandungan Al Qur'an (Q.S. Az Zumar: 9): " Katakanlah wahai (Muhammad), adakah sama orang- orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran". Membedakan berilmu dari tidak berilmu berarti kesempurnaan bagi jiwa dan kebahagiaannya, yang merupakan kebahagiaan abadi (akhirat).

Di dalam kitab Mi'yar al Ilm, al-Ghazâliyy sebagaimana yang dikutip oleh Zainun Kamal, menjelaskan bahwa logika mencakup semua ilma teoritis, baik rasional maupun ilmu ushul. Nalar dalam ushul tidak berbeda dengan nalar pada akal, dalam penyusunan dan syarat-syaratnya serta dalam bentuk-bentuknya. Walaupun berbeda dalam penempatan

dalam bahasa Arab berjudul al-Khawâthir, pada waktu penulis buku ini masih duduk sebagai mahasiswa di fakultas Ushuludin al-Azhar Mesir ).

premis-premisnya. Artinya, bentuk-bentuk pemikiran dan silogisme tidak ada perbedaan pada bentuk-bentuk proposisi dan term, pada berbagai ilmu. Perbedaannya hanya terdapat pada materinya. Karena itu, kegunaan akal, menuut al-Ghazâliyy, mencakup seluruh bidang ilmu teoritis, baik ilmu rasional maupun fiqhiyyah (formal, praktis). Faedah logika akan membebaskan kita dari cengkeraman indera dan hawa nafsu, karena logika berpegang pada hakim akal, maka ia mengantarkan kita kepada tingkat kebahagiaan. Untuk mengetahui kebenaran susunan sebuah puisi dan bahasa Arab, maka dibutuhkan matrik ilmu yang disebut 'arûdh ( timbangan syair ) dan nahwu ( gramatikal ), demikian juga untuk membedakan salah benarnya sebuah argumentasi harus menggunakan ilmu logika. Ilmu logika tidak ada sangkut pautnya dengan agama, baik untuk disangkal maupun dibenarkan. Logika ialah studi pembuktian, pembentukan silogisme, syarat-syarat dan cara-cara membuat dan menyusun premis-premis, syarat-syarat untuk sebuah definisi yang benar dan cara-cara menatanya. Suatu pengetahuan terdiri dari konsep, yang dipahami dengan definisi dan pernyataan atau pembenaran, yang diperoleh dengan pembenaran ( burhân ).

Kesalahan biasanya berasal dari pemerannya, artinya selama ahli logika tetap konsisten dengan menjaga ketentuan dan syarat-syaratnya , maka logika tetap benar penerapannya pada masalah-masalah agama. Sikap al-Ghazâliyy terhadap logika, berbeda dari para filosof lainnya seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Al-Ghazâliyy berpendapat bahwa pembuktian logika terbatas untuk memperoleh kebenaran, tetapi ia tidak bisa menjangkau persoalan metafisika, yaitu masalah yang berkaitan dengan ketuhanan dan akidah dasar-dasar

agama 48 , karena kemampuan akal yang terbatas dan metafisika di luar kawasan pembuktian

'Ăbd al-Halîm Mahmûd, sebagaimana yang dikutip dalam Logika Agama, menambahkan di samping wilayah metafisik dan akidah dasar agama yang tidak bisa dijangkau dengan penalaran, juga praktek-praktek ibadah mahdhah yang dikenal dengan wilayah ta'abbudy ( sebagai antonim dari ta'aqquly yang merupakan wilayah agama yang bisa dijangkau dengan penalaran ). Dalam urusan ibadah murni : " Segalanya tidak boleh kecuali ada perintah untuk melakukannya ", sedangkan dalam urusan masyarakat berlaku : " Segalanya boleh kecuali yang dilarang-Nya ". Sebagai illustrasi dari kaidah yang pertama, adalah perkataan 'Ali ibn Abi Thallib :

ﻪﻔﺧ ﺢﺴﻤﯾ ( ص ) ﷲا لﻮﺳر ﺖﯿﺋر ﺪﻘﻟ . هﻼﻋأ ﻦﻣ ﺢﺴﻤﻟﺎﺑ ﻰﻟوأ ﻒﺨﻟا ﻞﻔﺳأ نﺎﻜﻟ ﻞﻘﻌﻟﺎﺑ ﻦﯾﺪﻟا نﺎﻛ ﻮﻟ Seandainya agama itu berdasarkan pertimbangan akal, maka pastilah bagian bawah sepatu yang lebih pantas diusap dari bagian atasnya. ( Tetapi ) aku melihat Rasulullah saw mengusap ( bagian atas ) sepatunya. "

logika dan nalar. Urusan metafisika diserahkan kepada wahyu yang dibawa oleh para nabi dan rasul atau melalui penyingkapan kesufian 49

Al-Ghazâly berkeyakinan bahwa logika akal merupakan tingkatan tertinggi dalam pencapaian kesimpulan dan yang paling sah dari persepsi inderawi, tetapi pada saat yang sama merupakan tingkatan paling rendah dari penyingkapan ( kasyf ) kesufian. Ini artinya, al- Ghazâliyy menunjukkan keunggulan pengetahuan tasawuf ( intuisi ) atas pengetahuan logika. Pengetahuan inderawi seringkali menipu, misalnya pandangan mata terhadap bintang di langit, yang terlihat kecil tetapi hakekatnya lebih besar dari pada bumi. Ini membuktikan bahwa kebenaran inderawi dibatalkan oleh akal. Tetapi akal tidak selamanya bisa menyingkap kebenaran, ada hakim lain yang menghukum dan mendustakan kebenaran akal. Hal itu terbukti dalam keadaan mimpi, kita menyaksikan hal-hal seperti benar-benar terjadi, tetapi setelah terbangun nyatanya semua itu hanyalah hayalan belaka. Dalam kondisi seperti ini panca indera dan akal tidak bisa menjangkaunya. Keadaan seperti ini hanya bisa dijangkau hakekatnya melalui kasyf ( penyingkapan ) oleh para sufi dan tentunya juga

melalui wahyu para nabi. 50 . Al-Qur'an memang mengajarkan manusia untuk berpikir dan selalu berusaha

melepaskan ikatan-ikatan yang membelenggu akal mereka. Sebagai contoh Firman Allah swt dalam surat Ăli 'Ĭmrân ; 190 :

" Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal ".

49 Zainun Kamal, , Ibn Taimiyah versus para Filosof polemik logika h.67-68. ( disarikan dari al- Munqidz min adh-Dhalâl , karya al-Ghazâly ).

50 Zainun Kamal, Ibn Taimiyah versus para Filosof polemik logika , h. 69-70.

Ayat di atas berbicara tentang penciptaan langit dan bumi, bagaimana wujud, atsar dan perilakunya, yang meliputi pergerakan, ketenangan dan perubahan. Juga silih bergantinya gelap dan terang adalah hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat kauniyyah (

fenomena alam ) 51 . Kalau mengacu pada kata di ahir ayat, ulû al-albâb maka hal ini menunjuk pada akal, dalam arti bahwa penalaran mengenai fenomena alam diserahkan pada

akal. Dengan kata lain wilayah akal adalah alam fisika. Sedangkan wahyu di samping berbicara mengenai alam fisik, ia juga menginformasikan hal-hal yang berkaitan dengan wilayah metafisik. Seperti pemberitahuan adanya hari kebangkitan, adanya perhitungan dan pembalasan amal, adanya surga dan neraka dan sebagainya. Contoh-contoh tersebut sejatinya sulit dijangkau oleh nalar manusia, walau tidak berarti bertentangan dengan akal. Wilayah tersebut harus dijangkau dengan pendekatan imanen dan keyakinan sebagaimana yang dikatakan al-Qur'an tentang alam metafisik ( al-ghaib ) : ﺐ ﯿﻐﻟﺎﺑ نﻮ ﻨﻣﺆﯾ ﻦﯾﺬ ﻟا : Orang-orang

yang bertaqwa adalah orang-orang yang beriman terhadap yang ghaib 52 ( redaksi ayat ini tidak menggunakan ya'qilûn bi al-ghaib ) dan juga ayat : نﻮ ﻨﻗﻮﯾ ﻢ ﻫ ةﺮﺧﻷﺎ ﺑ ﻢ ﻫو : Dan mereka

terhadap hari Ahir ( kiamat ) mereka meyakini(nya). 53 Walaupun demikian al-Qur'an berusaha menjelaskan persoalan metafisik tersebut dengan menggunakan metode analogi

tamtsîliyy , ketika orang-orang kafir Mekah mengingkari adanya hari kebangkitan, bagaimana mereka tidak ingkar karena dalam pandangan mereka bagaimana mungkin jasad yang sudah mati, rusak dan hancur menyatu dengan tanah bisa dibangkitkan kembali ? :

Apakah kami apabila sudah mati kemudian menjadi tanah serta menjadi tulang belulang, apakah sungguh kami akan dibangkitkan ? ( Q.S. ash-Shâffât : 16 )

51 Muhammad Husain ath-Thaba'thabâ'i, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Teheran, 1379 H Jlid 4, h.87

52 Q.S. al-Baqarah : 2

53 Q.S. al-Baqarah : 4

Kemudian al-Qur'an menjelaskan dengan pendekatan analogi, dengan menyatakan bahwa Allah yang berkuasa menjadikan sesuatu yang tadinya mati ( dalam hal ini tanah yang gersang kemudian Allah suburkan dengan media air hujan ), tentunya berkuasa juga untuk menghidupkannya kembali, demikian juga proses menghidupkan, mematikan dan menghidupkan manusia kembali dari kuburnya. Hal ini dijelaskan pleh Allah swt :

" sesungguhnya Dzat yang menghidupkan ( menyuburkan ) tanah yang gersang sungguh ( mampu ) menghidupkan orang-orang mati " ( Q.S.Fushshilat : 39 )

Akan tetapi yang perlu digarisbawahi bahwa ada perbedaan antara sesuatu yang bertentangan dengan akal dan sesuatu yang tidak atau belum dimengerti akal. Islam sebagai ajaran agama tidak bertentangan dengan akal, namun memang ada yang tidak atau belum dipahami dengan akal. Disamping itu memang daya tangkap akal berbeda satu orang dengan lainnya, disebabkan karena berbedanya tingkat pengetahuan masing-masing. Merujuk pada surat an-Nahl ayat 125, al-Ghazâliyy sebagaimana yang dikutip oleh Zainun Kamal, membagi tingkatan manusia berdasarkan tingkat pengetahuan akalnya menjadi tiga klasifikasi : Pertama, kaum awam yang cara berpikirnya sederhana sekali maka dakwah yang dilakukan terhadapnya dilakukan dengan pendekatan retorik ( khithâbah ). Kedua kaum dialektis ( kalâmiyy ) yaitu manusia dilakukan dengan metode jadâliyy dan ketiga kaum arif yaitu dilakukan dengan cara demonstratif ( burhâniyy ). Kaum arif menurut al-Ghazâliyy ialah orang yang pintu hatinya telah terbuka untuk alam malaikat dan lauh mahfûzh ( alam ghaib / metafisik ). Dengan demikian maka wilayah metafisik tidak didekati dengan akal ( rasio ) tetapi didekati dengan mata hati. Proses turunnya wahyu pada jiwa yang sempurna dengan cara lauh diambil oleh Allah dan ditulis dengan qalam kemudian digoreskan pada

jiwa universal segala macam ilmu, maka jadilah akal universal. Ilham dan pengetahuan batin lainnya diperoleh melalui jiwa universal kepada jiwa partikular manusia sesuai dengan kebersihan dan kekuatan jiwa daya tangkap si penerimanya. Dari sini kemudian muncul mukjizat para nabi dan karamah para wali. Perbedaan keduanya ada pada peruntukannya, mukjizat digunakan untuk menentang manusia yang mengingkarinya, sedangkan karamah tidak demikian. Keduanya dimiliki oleh orang pilihan yang sejarah hidupnya dihiasi dengan akhlak mulia. Berbeda dengan sihir walaupun sama-sama menyalahi prinsip hukum

kausalitas, sejarah hidup pelakunya ( ahlinya ) dihiasi dengan akhlak yang jahat dan keji. 54 Kalau memang sebagian ajaran agama bisa dijangkau oleh nalar dan sebagian lainnya

tidak, maka pertanyaannya adalah berapa porsi masing-masing ? Untuk menjawabnya secara pasti, pastilah sulit karena tergantung seberapa kuat penalaran masing-masing akal. Menurut 'Ăbd al-Halîm Mahmûd, sebagian besar ajaran agama ( al-Qur'an dan sabda Nabi saw ) justru harus dipahami dengan logika. Itu artinya wilayah yang di luar penalaran menempati porsi yang kecil. Hal ini dikuatkan oleh 'Ĭzz ad-dîn Abd as-Salâm dalam bukunya Qawâ'id al- ahkâm sebagaimana yang dikutip oleh M.Quraisy Syihab, berbicara hal yang sama. Di dalam buku tersebut dia mengatakan bahwa sebagian besar dari kemaslahatan dan keburukan dapat

diketahui melalui akal, demikian juga sebagian besar ketetapan syara'. 55 Akal ibarat sumbu lampu, ia tidak dapat memberi cahaya tanpa minyak ( bahan bakar ) dan itupun harus

dihubungkan agar secara aktual ia bisa menerangi. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt :

" Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan ( dengan kitab itu pula ), Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap

54 Zainun Kamal, Ibn Taimiyah versus para Filosof polemik logika h. 172-173 ( Lihat rujukan aslinya ar-Risâlah al-Ladunniyyah ).

55 M. Quraisy Syihab, Logika Agama, h. 126

gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus " ( Q.S. al-Mâ'idah : 15-16 ).

Akal juga diibaratkan dengan kemampuan berenang. Ia sangat penting dan sangat berguna di saat normalnya ombak dan gelombang, tetapi sat gelombang membahana, maka yang pandai berenang dan yang tidak pandai sama saja, keduanya membutuhkan pelampung. Pelampung itu adalah tuntunan agama. Manusia beriman bukan karena dia tahu justru karena dia tidak tahu. Keterbatasan akal menjadikannya tidak tahu, tetapi bukan berarti harus diingkari. Banyak jalan menuju roma, kalau hakekat sesuatu tidak bisa didekati oleh akal pikiran, manusia masih diberi potensi lain yaitu mata hati. Walau apa yang bisa dijangkau dengan mata hati merupakan hakekat yang tidak bisa dijelaskan dengan bahasa. Ia tidak seperti akal yang mempunyai bahasa dan lambang. Bahasa hati adalah pancaran, pancaran dari cahaya ilahi yang dihujamkan kepada hambanya yang soleh. Tetapi perlu diingat karena desakan, biasanya dibahasakan, dan ini yang terkadang menimbulkan kesalahpahaman. " Hati mempunyai logikanya sendiri yang sulit dipahami oleh akal " , demikian kata Pascal. Mata hati adalah potensi yang dapat mengantar kita menjangkau sesuatu secara serentak yang amat kita perlukan. Potensi itu tidak seperti akal, yang memerlukan waktu untuk menjangkau sesuatu. Mata hati sangat cepat, ia menurut ar-Râziyy, adalah perpindahan dari premis ke kesimpulan, bahkan tanpa

pendahuluan dan premis. 56 Kesimpulannya tergantung pada kita sendiri, apakah kita akan berpijak pada wahyu (

agama ) lalu menggunakan akalnya untuk memahaminya, atau sebaliknya kita berpijak pada akal lalu menggunakannya untuk memahami wahyu ? Yang pertama menjadikan wahyu pokok sambil menundukkan akalnya kepadanya, dan yang kedua menjadikan akalnya sebagai pokok lalu menundukkan wahyu kepadanya. Tidaklah tepat menuntut kepuasan batin

56 M. Quraisy Syihab, Logika Agama, h. 151.

dari ilmu berhitung, tidak tepat pula menanti-nanti alasan konkret dari ilmu ketuhanan, karena manusia tidak akan memperoleh argumentasi dari sastra bahasa. Demikian juga argumentasipun tidak pula dapat dicari-cari dari mukadimah sebuah argumentasi. Setiap obyek ada cara pendekatannya yang sesuai. Jangan membawa timbangan untuk mengetahui panjang ruangan, jangan pula meteran untuk menimbang berat suatu benda. Jangan menuntut telinga untuk bisa melihat, demikian pula jangan kau tuntut mata untuk mendengar. Masing- masing ada wilayah operasinya dan ada fungsi yang diembannya.

B. Aspek-Aspek ( Kehidupan ) yang Terkait Dengan Makna al-Hikmah Sebagai pemegang otoritas kekhilafahan di muka bumi, manusia dituntut

untuk mengejawantahkan amanat Allah tersebut dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, disamping perannya sebagai seorang 'abd yang Allah ciptakan untuk beribadah kepada-Nya ( adz-Dzariyat : 56 ). Ritualitas ibadah vertikal sebagai sebuah relasi antara hamba dan Tuhannya, mestinya menjadi spirit bagi terciptanya ibadah horisontal dalam kehidupan sosial yang baik, harmonis, serasi dan selalu memperhatikan keseimbangan serta tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Pada dasarnya ajaran agama yang dibawa oleh para rasul, senantiasa mengandung dua dimensi, yaitu relasi vertikal dan hoerisontal. Tanggung jawab terhadap ajaran agama yang bernuansa ketuhanan sama besarnya dengan tanggung jawab terhadap ajaran agama yang bernuansa sosial. Keduanya tidak terpisah dan berdiri sendiri. Namun keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh, saling menyempurnakan dan melengkapi. Untuk merealisasikan keserasian antara keduanya dibutuhkan piranti yang memadai, proses yang benar dan terarah dan visi misi yang berlandaskan ketauhidan dan kemanusiaan. Itulah hikmah yang ditunjuk oleh al-Qur'an sebagai suatu ilmu amaliah dan amal yang ilmiah. Kebenaran, ketepatan dan keakuratan yang menjadi prinsip dasar hikmah

harus selalu digali dan diupayakan guna terwujudnya keadilan yang sebenarnya dan mencari menfaat sebanyak-banyaknya serta mencegah terjadinya mafsadah.

Oleh karena itu hikmah mestinya menjadi landasan sekaligus alat kontrol untuk mewujudkan keserasian antara kesolehan ritual dan kesolehan sosial. Hikmah juga menjadi pijakan dalam seluruh aspek kehidupan baik skala individual ataupun tataran komunal ( sosial ). Dalam sub bab ini akan dijelaskan mengenai isyarah-isyarah al-Qur'an yang berkaitan dengan makna al-hikmah, dalam berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan, yang terbagi menjadi dua sub bab, yaitu aspek ibadah dan aspek muamalah.