Aspek Pendidikan

b. Aspek Pendidikan

Sejarah manusia membuktikan bahwa pendidikan menjadi pokok utama yang membuat majunya peradaban suatu bangsa. Islam menjadi maju dan berkembang pesat pada abad pertengahan VII-XIII adalah setelah umatnya memajukan pendidikan di segala bidang; sehingga negara-negara lain di Eropa kagum sekali terhadap kemajuan Islam sebagaimana kita sekarang kagum terhadap kemajuan mereka. Lalu mereka berduyun-duyun belajar ke dunia Islam. Dengan begitu pusat-pusat peradaban Islam seperti Cordova, Toleda di barat dan Baghdad di timur menjadi tujuan mereka dalam menuntut ilmu pengetahuan. Di masa ini dunia islam amat kaya dan makmur sebagaimana diakui oleh para sejarahwan barat dan

timur. 114 Ketika Adam diciptakan, hal pertama kali yang dilakukan oleh Allah swt adalah

memberinya pengajaran tentang nama-nama semuanya yang ada di alam semesta ini. Allah berfirman :ﺎﻬﻠﻛ ءﺎﻤﺳﻷا مدأ ﻢﻠﻋو : " Dia ( Allah ) mengajarkan kepada Adam nama-nama

semuanya 115 " . Hal ini sesuai dengan wahyu pertama yang diterima oleh Nabi saw.berupa perintah membaca atau melakukan penelitian. " Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah

menciptakan 116 " ..Yang pertama kali Allah lakukan kepada kedua Nabi tersebut sebagai Nabi pembuka dan penutup adalah pendidikan dan pengajaran. Hal ini mengisyaratkan betapa

pentingnya arti pendidikan bagi manusia, dan betapa tinggi nilai sebuah ilmu. Perintah membaca dan meneliti sebagaimana disebut oleh ayat-ayat di atas tidak mungkin dilaksanakan secara baik dan efisien, tenpa pendidikan terlebih dahulu. Jadi tidak salah bila dikatakan bahwa ayat-ayat itu menuntut umat manusia agar menggalakkan pendidikan dalam

lainnya, dan al-Qur'an memberikan isyarah bahwa memang tidak sama antara orang yang berakal dengan orang yang tidak berakal. ( Q.S. az-Zumar; 9 )

114 Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhu'i, Solusi Qur'ani atas Masalah Sosial Komtemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, h. 100

Lihat Q.S. al-Baqarah ; 31

Lihat Q.S. al-'Alaq ; 1

segala bidang. Dengan demikian kemiskinan yang menghimpit umat dewasa ini akan dapat diatasi secara berangsur-angsur, sehingga kemakmuran dan kesejahteraan yang pernah

dialami dunia Islam tempo dulu akan dapat diraih kembali. 117 Al-Qur'an sejak dini menganjurkan umat agar senantiasa giat dalam bidang pendidikan

dengan terus menambah ilmu pengetahuan dengan banyak membaca dan melakukan penyelidikan.

Berbicara tentang pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan ilmu pengetahuan dan bagaimana bersikap terhadapnya. Berangkat dari ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan

118 ilmu pengetahuan, maka dapat dipahami bahwa :

a. Ilmu adalah anugerah Allah yang bersumber dari-Nya. Segala sesuatu yang bersumber dari Allah pastilah benar, karena ilmu adalah kebenaran. Dan karena ilmu adalah anugerah dari Allah maka semakin dekat seseorang kepada-Nya, semakin besar potensinya untuk memperoleh limpahan dengan berbagai cara yang ditetapkan oleh Allah ( baik melalui metode hushûliyy maupun hudhûriyy ). Dalam konteks pendekatan diri, berbagai cara ditetapkan-Nya guna meraih ilmu di antaranya dengan bersikap kritis atau tidak terpaku dengan pendapat orang,

tidak bersikap angkuh, banyak bertanya kepada yang mengetahui 119

b. Perintah iqra' mengisyaratkan bahwa apapun penelitian yang dilakukan, maka ia direstui oleh Islam karena ayat di atas tidak menentukan obyek bacaan ( penelitian ), maka itu berarti umum. Dari sini tidak dikenal dikotomi ilmu dalam Islam. Semua yang meraih pengetahuan secara mendalam dan ada perasaan khasyyah kepada Allah dinamai " 'ulamâ' '" baik yang berkaitan dengan fenomena alam,

Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhu'I, Solusi Qur'ani atas Masalah Sosial Komtemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, h. 103

M. Quraisy Syihab, Menabur Pesan Ilahi, h. 101-105

Lihat Q.S. Ăli 'Imrân ; 47, Q.S. al-A'râf ; 146, Q.S. an-Nahl ; 43

maupun kitab suci 120 . Orang 'âlim menurut al-Biqâ'iyy adalah yang sangat memahami dan mengamalkan ilmunya. Kata as-Syuhrawardiyy " Tidak ada

nilainya suatu ilmu yang dimiliki seseorang yang tidak merasa khasyyah ( takut ) kepada Allah swt. Karena 'Ulamâ' adalah orang-orang yang mengagungkan Allah, dan sebab pengagungannya kepada-Nya, maka Allah balas dengan

memuliakannya 121

c. Dari manapun datangnya pengetahuan, maka sudah seharusnya pengetahuan tersebut diambil. Dalam konteks ini Nabi bersabda :

ﺎﻬﺑ ﻖﺣأ ﻮﻬﻓ ﺎﻫﺪﺟ و ﻰﻧأ ﻦﻣﺆﻤﻟا ﺔﻟﺎﺿ ﺔﻤﻜﺤﻟا Hikmah adalah barang hilang orang mukmin, dimanapun dia menemukannya, maka dia lebih berhak memungutnya.

Prinsip ini menghasilkan keterbukaan, bukan saja keterbukaan untuk memberi, tetapi juga keterbukaan untuk menerima

d. Ilmu harus memberi manfaat untuk kemanusiaan, baik secara terbatas maupun menyeluruh. Manfaat tersebut berawal dari diri sendiri, berlanjut pada lingkungan kecil, lalu lingkungan besar. Dalam hal ini Islam tidak mengenal ilmu untuk ilmu atau seni untuk seni.

e. Ilmu adalah samudera tidak bertepi, sebagiamana yang digambarkan Allah dalam surat Luqmân ; 27 : " Sendainya pohon-pohon di muka bumi menjadi pena dan laut ( menjadi tinta ), ditambahkan kepadanya tujuh laut ( lagi ) sesudah ( kering ) nya, niscaya tidak akan habis–habisnya ( dituliskan ) kalimat Allah ". Makanya Rasulullah diperintahkan untuk terus berdoa dan berusaha mendapatkan ilmu sebanyak mungkin. Rabbi zidnî 'ilman wa urzuqnî fahman.

Lihat Q.S. Fâthir ; 28, asy-Syu'arâ' ; 197

Al-Biqâ'i, Burhân ad-Dîn Abi al-hasan Ibrâhîm ibn 'Umara al-Biqâ'i, Nazhm ad-Durar

fî Tanâsu al- Ă yât wa as-Suwar, Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1995, juz , h. 6222

f. Dalam surat al-'ashr dijelaskan bahwa yang tidak merugi adalah yang saling mengingatkan kebenaran dan kesabaran dengan lisân hâl dan lisân maqâl. 122 .

Ilmu adalah kebenaran. Wasiat mewasiati berarti saling mengajari tentang kebenaran itu, dan ini berarti setiap muslim di samping wajib belajar juga wajib mengajar.

Ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dengan lembaga pendidikan, sesederhana apapun. Lembaga Pendidikan tidaklah bisa menjalankan fungsinya bila tidak dapat menciptakan dan memelihara ilmu dan peradaban. Lembaga Pendidikan tidak akan mempunyai nilai jika civitas akademikanya tidak dihiasi oleh jiwa penelitian dan upaya melakukan eksperimen yang bermanfaat bagi umat manusia. Ia juga tidak berarti apabila tidak mampu menciptakan keteladanan moral yang baik bagi masyarakat, sekaligus membela kebenaran dengan argumen-argumen yang meyakinkan nalar dan rasa.

Pendidikan meliputi banyak aspek, pada sub ini penulis lebih mengkonsentrasikan pembahasan pada aspek pendidikan moral, karena pendidikan moral menjadi penopang utama pendidikan-pendidikan yang lain. Rasulullah saw pernah bersabda : ﻖﻠﺨﻟا ﻦﺴﺣ ﻢﻤﺗﻷ ﺖﺜﻌﺑ : " Aku diutus untuk

menyempurnakan akhlak yang baik ". 123 Jatuh bangunnya peradaban sebuah bangsa sangat tergantung dari integritas

moralnya. Berkaiatan dengan akhlak ini, seorang penyair Arab, Ahmad Syauqi berkata, sebagimana yang dikutip oleh M.Quraisy Syihab :

Al-Biqâ'i, Burhân ad-Dîn Abi al-hasan Ibrâhîm ibn 'Umara al-Biqâ'iyy, Nazhm ad-Durar

fî Tanâsu al- Ă yât wa as-Suwar, Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1995, juz 8, h. 523

Hadist riwayat Imam Malik ibn Anas. Menurut Ibn 'Abd al-Barr, hadist ini dilai sahih muttashil, diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan lainnya.

Kelanjutan eksistensi suatu bangsa ditentukan oleh tegaknya moral masyarakatnya dan kepunahannya terjadi pada saat keruntuhan moralnya "

Lalu keruntuhan moral itu ditandai dengan apa ? Sebagian pakar mengaitkan lahirnya akhlak sebagai sebuah keniscayaan dari kedudukan manusia sebagai makhluk sosial. Kebutuhan manusia sedemikian kompleks sehingga harus bekerja sama dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Tetapi secara individu dia memilki ego dan kepentingan yang boleh jadi bertentangan dengan ego dan kepentingan orang lain Dari sini, individu dituntut untuk mengorbankan sedikit atau banyak dari kepentingan atau egonya itu agar dapat terjalin hubungan harmonis dan dapat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhannya untuk hidup bermasyarakat. Jadi kata kuncinya adalah " bersedia berkorban :, dimana hal itu yang akan melahirkan

moral dan akhlak terpuji 124 . Dengan demikan maka kepunahan suatu bangsa ditandai oleh hilangnya kesediaan untuk berkorban.

Pandangan ini juga diteriakkan oleh seorang sosiolog Perancis, Auguste Comte, sebagaimana yang dikutip M.Quraisy Syihab dari buku : al-Fikr al-Islâmi wa al-Mujtama' al-Mu'âshir, karya Muhammad al-Bâhiyy, ketika Comte mengkritisi pengaruh revolusi Perancis yang melahirkan paham materialisme dan liberalisme. Jalan satu-satunya untuk mengubah sekaligus solusi tepat bagi problema masyarakat Perancis adalah pendidikan masyarakat, alias pendidikan moral. Karena itu, polituk dan ekonomi, menurutnya harus tunduk kepada nilai-nilai moral, sambil menjadikan hak yang dituntut, masuk dalam kewajiban yang harus dilakukan. Lebih lanjut dia katakan :

124 M. Quraisy Syihab, Menabur Pesan Ilahi, h. 366

Sekian banyak kekuatan yang harus mendapat perhatian, bahkan perbaikan di bidang ekonomi, bergantung kepada perbaikan di bidang akhlak, dan oleh karena yang terlebih dahulu diperbaiki adalah moral ( masyarakat ) adalah merupakan keharusan untuk menetapkan hak dan kewajiban timbal balik antar anggota masyarakat, dan menjadikan masing-masing individu menyadari kewajibannya sambil menghormati hak orang lain .

Salah satu manifestasi dari moral yang baik adalah teguh dalam memegang pendirian, berani menyatakan pendapat ( yang benar ), sanggup bertanggung jawab ( atas perbuatan )nya dan sebagainya. Hal itu merupakan perangai yang amat utama, yang timbul dari teraturnya kesehatan jiwa, dan hal itu tidak akan tersemai dan subur

di dalam diri tanpa didahului oleh kesanggupan untuk menaklukkan diri sendiri ( menaklukkan ego dan kepentingan pribadinya ). Untuk menaklukkan pendapat orang,

manusia harus belajar menaklukkan diri sendiri terlebih dahulu dengan menekan syahwat dan nafsu, merdeka dari suatu maksud yang lain ( tidak dicampuri oleh kepentingan ) serta percaya apa yang dikerjakan dan dikatakan itu benar adanya. Moral ( budi pekerti ) yang baik juga termanifestasi dalam kebiasaan berkata terus terang, berani karena benar, sabar atas rintangan dan bantahan, tahan terhadap kritik (

menerima kritik ) serta kuat dan teguh. 125 Di atas telah dikemukakan, bahwa kesediaan berkorban adalah manifestasi

dari akhlak yang luhur. Kesediaan inilah yang melahirkan kebersamaan dan hubungan yang harmonis. Kalau nilai ini terabaikan, maka yang menonjol adalah ego masing-masing, maka akan terjadi apa yang diistilahkan al-Qur'an sebagai ( ﺖﻄﺒﺣ ﻢﻬﻟﺎﻤﻋأ ), yakni terjadi " pembengkakan " pada sosok masyarakat, yang secara lahiriah diduga sebagai tanda kesehatan ( kemajuan ), padahal pembengkakan itu adalah

tumor ganas yang mengantar pada kematiannya. 126

HAMKA, Falsafah Hidup, Pustaka Nasional PTE LTD Singapura, 1995, h. 317.

126 M. Quraisy Syihab, Menabur Pesan Ilahi, h. 367.

Memang setiap kali ego menonjol pada anggota masyarakat, maka pada saat yang sama menonjol pula keretakan hubungan di antara warganya. Dengan demikian maka masyarakat ( bangsa ) tersebut masuk ke pintu gerbang problema serius ( krisis ). Dan bila hal itu terjadi solusi yang dilakukan biasanya dengan pertimbangan ego masing-masing. Dan lahirlah aji mumpung yang sering sering dibungkus dengan drama sosial. Ini terjadi akibat lemahnya jalinan harmonis antar anggota masyarakat.

Mestinya pendidikan di bidang apapun haruslah dilandasi dengan pendidikan moral, budi pekerti, etika, akhlak. Dan itu dimulai dengan menumbuhkan sikap

127 simpati, empati dan ahirnya bersedia berkorban untuk orang lain . Nilai-nilai inilah yang membuahkan hubungan harmonis sebagai perekat hubungan antar warga

masyarakat, sehingga setiap individu " merasa aman, nyaman dan bersama " dengan yang lain. " Berat sama dipikul ringan sama dijinjing ".

Dalam konteks membangun moral bangsa, maka nilai-nilai yang dimaksud haruslah nilai yang disepakati dan dihayati bersama. Disepakati artinya artinya pilihan nilai yang disepakati oleh masyarakat secara kolektif untuk menentukan pandangan hidup dan tolok ukur moralnya. Dan itualah yang disebut " jati diri bangsa ". Dihayati artinya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekedar dibicarakan, diteriaakkan dan ditulis. Karena kalau nilai-nilai tersebut tidak diamalkan bagaikan orang yang memuji-muji kehebatan obat, tetapi obat itu tidak dia makan sehingga tidak mengalir ke seluruh tubuhnya dan tidak menjadi bagian dari dirinya. Dihayati artinya dia harus menelan obat tersebut lalu membiarkan darah

127 Menurut Bakhtiar Khamsah ( Menteri Sosial pada Kabinet Indonesia Bersatu ) ; " Bila kebersediaan berkorban " karena sifat ego dan kepentingan individu yang lebih menonjol, maka "

pembengkakan " yang diduga itu sehat dan indikasi maju akan berubah menjadi anarki, karena ketimpangan yang terjadi. Dia ilustrasikan dengan orang kaya ( yang tidak mau peduli dengan masyarakat lemah ) yang membawa mobil mewah melewati perkampungan miskin, tinggal menunggu waktu saja kapan mobil mewah itu akan dilempari batu. ( Dialog di TVRI segmen " Kabinet Bersatu Menjawab " pertengahan Juli 2007 ).

mengalirkan ke seluruh tubuhnya, serta menyentuh dan mengobati bagian-bagian dirinya yang sakit, bahkan memperkuat yang sehat.

Maka agama yang berpuncak apa ketuhanan Yang Maha Esa haruslah menjadi tolok ukur dari akhlak yang luhur yang menjadi jati diri bangsa, bukannya physic's power ( kekuatan fisik ) sebagai tolok ukurnya, karena masyarakat akan menjadi terpecah paling tidak menjadi dua yaitu kelompok kuat dan kelompok lemah. Yang pada gilirannya akan terjadi " Asu gede menang kerahe ". Siapa yang kuat akan mengalahkan dan menguasai yang lemah ".

Masyarakat yang punya pandangan hidup bertuhan Yang Maha Esa ( bertauhid ) tidak bisa menjadikan kekuatan fisik sebagai tolok ukur akhlak mulia,

karena Tuhan Yang Maha Esa bukan hanya sebagai Tuhannya orang kuat tetapi juga Tuhannya orang lemah. Memang boleh jadi, pembela pandangan ini akan berkata bahwa kekuatan nurani dapat menghancurkan tirani, dan dari sini kekuatan tetap menjadi tolok ukur akhlak mulia, Namun mereka lupa bahwa membela orang sakit berbeda dengan membela penyakit, bahwa memelihara yang sakit adalah sekaligus memelihara yang sehat, memelihara yang lemah justru menjadi pembelaan bagi yang kuat. Di sisi lain, agama tidak memuji kelicikan untuk meraih kekuatan dan kemenangan, bahkan agama menilai siapa yang kalah dalam persaingan dan menerimanya secara ksatria itu lebih terpuji dari pada yang menang dan meraih

kekuatannya dengan cara yang licik dan tidak sportif. 128 Selanjutnya mengukur akhlak yang mulia hanya dengan kemaslahatan

masyarakat semata-mata dapat melahirkan ketimpangan jika ukuran itu tidak disertai dengan nilai-nilai agama, atau paling tidak dengan nilai-nilai kolektif yang telah disepakati bersama. Maka di sinilah peran para utusan Allah dan wahyu yang

M. Quraisy Syihab, Menabur Pesan Ilahi, h. 370-371

dibawanya. Rasulullah adalah seorang Rasul penutup yang menjadi panutan bagi semua manusia, karena nilai-nilai pribadinya yang sangat luhur. 129

Kemaslahatan masyarakat harus diukur dengan nilai-nilai agama tersebut, bukan nilai-nilai itu yang disesuaikan dengan tuntutan masyarakat. Hal ini disebabkan karena setiap individu yang merupakan unsur pokok masyarakat- memiliki potensi positif dan negatif sehingga tidak mustahil mereka yang lebih menonjol potensi negatifnya dapat mewarnai masyarakat sehingga tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama.

" Sesuatu yang munkar ( yang tadinya dinilai buruk / tidak wajar ), apabila telah sering terjadi, maka ia bisa dinilai ma'rûf ( sesuatu yang baik dan benar ) dan sesuatu yang tadinya ma'rûf, bila telah jarang terjadi dapat dinilai

130 munkar ". Nilai-nilai inilah yang membentuk kepribadian masyarakat. Semakin matang

dan dewasa masyarakat semakin mantap pula pengejawantahan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sosialnya. Masyarakat yang belum dewasa adalah masyarakat yang belum berhasil dalam pengejawantahan nilai-nilai tersebut, dan masyarakat yang sakit adalah masyarakat yang mengabaikan nilai-nilai luhur di atas.

Bila terjadi pertentangan antara nilai-nilai tersebut dengan kepentingan anggota masyarakat, maka semestinya masyarakat melakukan upaya–upaya kongkrit untuk meluruskan pertentangan tersebut sehingga terjadi keharmonisan antara ego setiap individu pada satu sisi dan kepentingan umum pada sisi lain. Pendekatan Pendidikan moral adalah upaya terbaik untuk menyelaraskan pertentangan tersebut

Q.S al-Qalam ; 4 Dan sesungguhnya engkau ( wahai Muhammad ) benar-benar berbudi pekerti yang luhur . Lihat juga Q.S. Al-Ahzâb ; 21 " Sungguh dalam diri Rasulullah ada uswah hasanah ( teladan yang baik ) bagi kalian ( yaitu ) bagi orang yang mengharap ( rahmat ) dan ( kedatangan ) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah

M. Quraisy Syihab, Menabur Pesan Ilahi, h.371

sehingga kepentingan orang banyak yang berdasarkan nilai-nilai yang luhur tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Kesempurnaan manusia terletak pada potensi amaliahnya yang tercermin kesempurnaannya pada pengaturan yang baik yang menyangkut tata cara kehidupan pribadi dan masyarakat. Dari situ bisa dipahami bahwa akhlah bermula dari prinsip umum yang digali dari jati diri manusia. Karena manusia adalah ciptaan Allah, maka tolok ukur yang harus digunakan adalah patron manusia yang dikehendaki-Nya, yang tercermin dalam keteladanan para Utusan-Nya.Rasulullah saw sebagai utusan memberikan pendidikan kepada manusia agar berakhlak dengan akhlak ( sifat-sifat ) Allah swt. ﷲا قﻼﺧﺄﺑ اﻮﻘﻠﺨﺗ ." Teladanilah akhlak Allah ".

Salah satu kesalahan strategi pendidikan selama ini di Indonesia adalah memisahkan antara dimensi jasadiyyah dan ruhaniyyah-nya sehingga terlahir manusia – manusia yang mempunyai kepribadian ganda ( split personality ). Banyak lembaga pendidikan hanya mengajarkan ilmu, ini dibuktikan adanya pengajaran yang obyeknya bersifat imiah saja tanpa didasari dan diwarnai oleh pendidikan moral pada setiap materinya. Pendidikan moral hanya sebatas pengajaran di salah satu jam kelas, tidak menjadi ruh pada setiap bidang studi. Kalaupun ada lembaga pendidikan yang berupaya mengaplikasikan sistem pendidikan secara terpadu dan utuh yang melibatkan dua dimensi tadi, sering kali sarana pendidikan lainnya ( misalnya lingkungan masyarakat ) tidak mendukung, bahkan ada yang menghambatnya atau melakukan pementahan kembali ( reduksi ). Peserta didik ( masyarakat ) sering dihadapkan pada dua kran yang saling bertolak belakang. Tidak sedikit kita lihat banyak orang yang berkunjung ke tempat-tempat ibadah, khusyu' berzikir, bahkan menangis saat mendengarkan petuah-petuah keagamaan serta bertekad melaksanakannya, tetapi begitu keluar dari majlis, semua yang didengar dan

dipelajari hilang begitu saja dengan adanya suguhan-suguhan ( ajaran ) yang bertentangan dengan nilai-nilai jati diri dan akhlâq karîmah di luar majlis ilmu. Di masjid orang sering mendengar ajakan agar menjunjung tinggi moral kemanusiaan, tetapi melalui media baik elektronik maupun cetak disuguhkan tontonan sebaliknya. Bahkan tontonan yang terkadang terbawa di dalam masjid, yang ditandai dengan adanya rebutan " wilayah kekuasan " tempat ibadah, ironisnya semuanya mengatasnamakan " hendak memakmurkan masjid ".

Problem yang dihadapi dalam bidang pendidikan menjadi berganda, di samping ego individunya agar bisa dikendalikan dan diarahkan menuju jati diri

bangsa, yakni nilai-nilai luhur yang dianut masyarakat, problem kedua adalah menghadapi masyarakat yang tidak sinkron ( tidak matching ) antara das sain dan das solen -nya. Padahal agama mengajarkan agar kebertuhanan dilakukan secara konsisten dan kontinyu tidak mengenal ruang dan waktu. Kalau di dalam masjid mengakui dan mengucapkan " rabbunallah ", maka seharusnya di lain tempat, di pasar, kantor, jalan, tempat kerja, tempat bermain juga sama dalam keyakinan dan ucapannya. Padahal Allah menjanjikan surga bagi orang yang istiqâmah dalam kebertuhanannya, dalam arti menapaki jalan yang lurus dengan tidak condong ke kiri dan ke kanan dan teguh dalam memegang prinsip yang diejawantahkan dalam perkataan dan

perbuatan. 131 Pengejawantahan nilai-nilai tersebut di samping harus diupayakan oleh masyarakat

sendiri, dibutuhkan juga peran dari pemimpin formal dan non formal untuk bahu membahu mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Muhammad Husain ath-Thaba'thabâ'i, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Teheran, 1379 H Jilid 17, h. 389