Aspek Ibadah

1. Aspek Ibadah

Manusia hadir di pentas dunia ini adalah disetting untuk memanggul dua peran sekaligus, yaitu sebagai hamba yang diciptakan untuk beribadah kepada Allah swt, dan

sebagai khalîfah yang berdimensi sosial untuk mengelola dan memakmurkan bumi. 57 . Sebagai hamba yang mempunyai kewajiban untuk beribadah kepada Tuhan Semesta Alam,

maka dibutuhkan pengetahuan dan cara yang benar dalam peribadatannya. Maka seorang hamba membutuhkan pengetahuan yang tepat tentang obyek sesembahan, sehingga tidak keliru dan salah arah dalam peribadatan dan pengabdiannya. Aspek ibadah di sini yang

dimaksudkan penulis adalah ibadah mahdhah. 58 Salah satunya dia harus menemukan konsep yang tepat mengenai akidah ( aqîdah ), karena akidah yang benar bisa menjadi pijakan dan

langkah awal untuk merealisasikan nilai-nilai al-hikmah pada aspek-aspek yang lain. 59

57 Lihat Q.S adz-Dzâriyât ; 56 " Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku ", dan lihat juga Q.S. al-Baqarah ; 30 : " Dan ingatlah ketika Tuhanmua berkata kepada para Malaikat : '

Sesungguhnya Aku akan jadikan di muka bumi, khalfah ' ".

58 Dalam literature Agama Islam dikenal istilah ibadah mahdlah dan ibadah ghair mahdlah, untuk membedakan antara ibadah murni ( habl min Allah ; ta'abbudiyy ) seperti shalat misalnya dan juga ibadah yang

terkait dengan orang lain ( habl min an-nâs ; ta'aqquly ) seperti mu'âmalah.

59 Dalam al-Qur'an tidak ditemukan lafal aqîdah secara spesifik, tetapi lafad yang seakar dengannya ditemukan dalam bebarapa bentuk, di antaranya kata 'aqadtum, 'uqdah, 'uqad dan 'uqûd. 'Aqd ( akad ) adalah

mengikat sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga tidak terpisah dengannya. Dari sini kemudian lahir kata 'aqîdah (akidah tauhid-pen ) yang merupakan kontrak ( ikatan ) antara hamba dan Tuhannya, sehingga terjalin hubungan antara keduanya yang tidak terpisahkan satu sama lain. ( Lihat Q.S. al-Mâ'idah ; 1 ).

Sebagai sebuah pijakan, aspek akidah ini penulis masukkan dalam pembahasan, untuk mendasari aktifitas manusia dalam hubungan sosial kemasyarakatannya, sekaligus sebagai pembeda dengan penganut faham yang menanggalkan Tuhan dalam peran keduniaanya. Apabila seseorang telah menganut akidah ( yang penulis maksudkan di sini adalah akidah tauhîd ) dalam pengertian yang benar, maka akan lahir dari dirinya berbagai aktifitas yang kesemuanya merupakan perwujudan ibadah kepada Allah, baik dalam tataran ibadah mahdhah maupun ibadah yang lebih luas. Ini disebabkan karena akidah tauhîd merupakan suatu prinsip lengkap yang menembus semua dimensi dan amaliah manusia.

Akidah tauhîd bukan saja merupakan hakekat kebenaran yang harus diakui karena diperlukan oleh jiwa manusia, tetapi juga merupakan kebutuhan akal 60 , demi

kemajuan dan kesejahteraan manusia. Akidah tauhîd adalah fitrah setiap umat manusia ( Q.S. ar-Rûm : 30 ) Sejarah ketuhanan telah membuktikan bahwa manusia adalah makhluk yang percaya adanya kekauatan di luar dirinya, dimulai dari keyakinan politeisme ( banyak tuhan ), kemudian tiga tuhan, dua tuhan, lalu satu tuhan dengan tiga unsur, disusul dengan kepercayaan adanya satu tuhan, dan berahir dengan tauhîd murni ( keesaan mutlak ) yang

dianut oleh umat Islam 61 . Al-Qur'an memberikan penjelasan tentang fitrah kebertuhanan manusia. Kehadiran

dan eksistensi Tuhan sebenarnya sudah ada dalam jiwa setiap manusia, karena hal itu merupakan sifat bawaan sejak asal kejadiaanya. Sejak berada di alam ruh manusia sudah melakukan perjanjian dengan Tuhannya, yang dikenal dengan perjanjian primordial. Allah

berfirman 62 :

60 Lihat Q.S. ath-Thûr ; 25. " Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun, ataukah mereka yang menciptakan ( diri mereka sendiri ) ? . Ini adalah pertanyaan 'aqliyyah, yang menuntut jawaban secara logis

rasional.

61 M. Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur'an, h. 38.

Dan ( ingatlah ) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka. Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka ( seraya berkata ) : " Bukankah Aku ini Tuhanmu ?Mereka menjawab : " Betul, ( Engkau Tuhan kami ), kami menyaksikan ".

Dalam perjalanan hidupnya, manusia mesti pernah diliputi oleh perasaan cemas, gelisah, hawatir dan takut pada dirinya sendiri maupun kepada pihak lain. Manusia sadar bahwa dia tidak bisa hidup sendirian atau menolak ketergantungan kepada faktor

eksternalnya. : ٍﻕـﹶﻠﻋ ﻥِﻤ ﻥﺎﺴﻨِﺈﹾﻟﺍ ﹶﻕﹶﻠﹶﺨ ( Allah ) menciptakan manusia dari segumpal darah (

sesuatu yang bergantung di dinding rahim ) ". ( Q.S. al-'Alaq : 2 ) Disamping mempunyai arti klasik, bahwa manusia diciptakan Allah dari segumpal darah (

dan mutajammid ) 63 , ayat ini bisa dipahami dari perspektif sosial kemasyarakatan, bahwa manusia adalah mahluk sosial ( homo homini socius-pen ) yang tidak dapat hidup sendiri

tetapi selalu bergantung pada orang lain dan lingkungannya 64 . Bahkan sebagian manusia sangat menggantungkan hidupnya pada orang lain, seperti seorang hamba yang sangat

bergantung kepada tuannya. Sifat ketergantungan pada pihak lain tersebut terkadang termanifestasikan dalam bentuk yang berlebihan yaitu kesanggupan memenuhi dan melaksanakan apa saja yang diminta oleh pihak yang membantu menyelesaikan problemnya.

Masyarakat Arab pada awal kenabian Muhammad saw, pada dasarnya adalah masyarakat yang bertuhan. Hanya bertuhan pada obyek yang keliru dan dengan cara

62 Lihat Q.S. al-A'râf ; 172, dan Q.S.ar-Rûm : 30 : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama ( Allah ), ( tetaplah atas ) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tersebut. Tidak

ada perubahan pada fitrah Allah. ( Itulah ) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

63 Muhammad Husain ath-Thaba'thabâ'i, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Teheran, 1379 H Jlid 20, h. 324

64 M. Quraisy Syihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 15, h. 397

peribadatan yang keliru pula. Ketika mereka ditanya tentang " Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?" Maka mereka menjawab :" Allah ". Sebagaimana yang digambarkan oleh firman Allah swt:

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : " Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan ?", tentu mereka akan menjawab : " Allah ".Maka betapakah mereka ( dapat ) dipalingkan ( dari jalan yang benar ) ? ( Q.S. al-'Ankabût ; 61 )

Kemudian mengapa mereka berpaling dari Allah swt, beralih ke penyembahan

berhala-berhala ?. Karena menurut at-Thaba'thabâ'iyy, penyembahan mereka kepada berhala karena pengaturan alam setelah diciptakan Allah diserahkan kepada berhala-berhala tersebut

yang merupakan representasi dari Tuhan yang bisa mendekatkan mereka kepada Allah. 65 Pada prinsipnya, manusia adalah makhluk bertuhan. Persoalannya adalah konsep tentang

ketuhanan itu yang harus didudukkkan dan dikoreksi. Kalau Karl Mark pernah menyerukan bahwa " tuhan telah mati ", itu sebenarnya dilandasi ingin menciptakan tuhan yang baru yaitu dirinya sendiri, dengan maksud melanggengkan kekuasaannya. Atau kalau dia sudah berkata demikian, apakah dengan sendirinya dia mampu menghilangkan dominasi tuhan ( kekuatan

lain ) dalam dirinya ?. 66 Ketika kota Pyongyang ( korea Utara ) dihiasi dengan patung Kim II Sung, tokoh yang disangat digandrungi dan dikagumi oleh rakyat Korsel. Patung tersebut

dibuat sedemikian rupa hingga seolah-olah tangan Kim ingin menggapai langit, atau seperti sikap ingin " memberkati " ibukota Korea Utara. Salah satu pemandangan harian adalah rombongan demi rombongan anak sekolah Korut datang menziarahi patung tersebut. Kemudian secara bersama-sama memanjatkan doa secara khusyu'. Paham ateis mereka hanya

65 Muhammad Husain ath-Thaba'thabâ'iyy, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Teheran, 1379 H Jlid 14, h. 266-267. Lihat juga surat al-Qur'an, az-Zumar ; 3

66 A. Husnul Hakim, Bertuhan, Masih Relevankah ? , eL-SiQ ( Lingkar Studi al-Qur'an ), Pondok Cabe Tangerang, 2006. h.13.

secara teoriritis belaka, pemandangan di atas jelas menunjukkan gejala keberagamaan. Atau lebih tepat dikatakan sebagai gejala pemujaan ( simbol kepercayaan kepada tuhan ). ' Pemujaan ' itu bukan hanya dilakukan oleh anak-anak kecil, tetapi sudah menjadi gejala masyarakat Korut. Hingga seorang tukang pos bahkan tidak berani memberi stempel pada prangko yang bergambar Kim II Sung. Ia seperti takut " kualat " ( kena bala dan sial ), jika

berani menyetempel perangko bergambar Kim tersebut. 67 Ayat-ayat al-Qur'an dan fenomena yang sudah diuraikan di atas menunjukkan

sekaligus membuktikan bahwa kehadiran tuhan merupakan fitrah manusia dan merupakan kebutuhan hidupnya. Memang kebutuhan manusia bertingkat-tingkat, ada yang harus

dipenuhi segera seperti kebutuhan akan udara, ada yang dapat ditangguhkan sesat seperti makan dan minum. Kebutuhan pemenuhan seksual lebih lama bisa ditangguhkan dari pada kebutuhan akan makan dan minum. Dan kebutuhan yang paling lama bisa ditangguhkan

adalah kebutuhan tentang keyakinan akan adanya Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa. 68 Lebih jauh sebelumnya Ibrâhîm as. pun pernah melakukan pengembaraan spiritual

dalam mencari Tuhannya. Pada mulanya dia mempunyai persepsi bintang sebagai tuhannya. Kemudian dia beralih kepada rembulan, ketika cahaya bintang dikalahkan oleh sinar rembulan yang lebih terang dalam pandangan mata di bumi. Ibrâhîm lalu berkata : " Inilah Tuhanku ". Tetapi tidak lama kemudian sinar rembulan itu semakin redup disebabkan karena hadirnya siang dengan terbitnya matahari yang lebih besar dan lebih terang cahayanya. Kemudian Ibrâhîm pun beralih kepada matahari. Lalu ia berkata : " Inilah Tuhanku dan ini yang paling besar ". Namun ketika pada sore hari sang mentari itu mulai tenggelam di ufuk barat, Ibrâhîm tidak mempercayainya sebagai tuhan. Kemudian ia meyakini adanya Dzat

67 Ahmad Husnul Hakim, Bertuhan, Masih Relevankah ?, h. 14

68 M. Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur'an, Mizan, Bandung, cet.XVI, 2005, h. 18

yang telah menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan. 69

Bukti yang Ibrahim sampaikan adalah bukti 'aqliyyah, sebagaimana terungkap pada penjelasan di atas. Ini sekaligus membuktikan bahwa peran akal bisa mengantarkan manusia untuk menemukan Tuhannya sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim as. Tentunya ketika

akal itu dilakukan aktivasi ( akal fa'âl ) dan berkah hidayah-Nya tentunya 70 . Al-Qur'an juga menjelaskan pihak-pihak yang dipertuhankan, di antaranya adalah

Fir'aun yang hidup pada masa kenabian Mûsâ as. 71 Dia mengaku dirinya sebagai tuhan, dengan cara memperbudak kaumnya dan Bani Israel. Akan tetapi kekuasaannya dibatasi oleh

ruang dan waktu. Walaupun dia mampu menjadikan lemah sebagian kaumnya, membunuh dan membiarkan hidup siapa yang dia inginkan 72 dan juga memenjarakan yang yang tidak

mematuhinya 73 . Ia tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Musa as, ketika terjadi perdebatan di antara keduanya, " Siapa tuhan semesta alam ?" Tanya

Fir'aun : " Tuhan yang mengatur langit dan bumi dan yang berada di antara keduanya, jika kalian meyakininya ", jawab Mûsâ as. Kemudian Fir'aun mengalihkan perhatian terhadap substansi dialog. Dia meminta dukungan dari bala tentaranya ; " Apakah kalian mendengarkan ? ", kata Fir'aun kepada kanan kirinya. Kemudian Mûsâ melanjutkan penjelasan tentang konsep Tuhan yang semestinya disembah : " Yaitu Tuhan kamu sekalian dan Tuhan nenek moyang kalian yang dahulu "

69 Lihat Q.S. al-An'âm ; 74-80 , lihat pula Q.S. al-Anbiyâ' ; 56

70 Lihat Q.S. al-An'âm ; 80

71 Demikian juga sesembahan Namrudz pada zaman Ibrâhîm as. Lihat Q.S.al-Anbiyâ' : 6

72 Q.S. al-Qashash ; 4

73 Q.S. asy-Syu'arâ' : 29

Ada juga sementara manusia yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, bahkan Tuhan sebenarnya ( Allah swt ) mereka tanggalkan di tempat-tempat ibadah. Keberadaan Tuhan tidak lebih bersifat seremonial belaka. Pada lingkungan tertentu Tuhan hanya dijadikan sebagai pemantas ( pajangan ) terhadap hari-hari besar keagamaan. Di luar itu Tuhan tidak mempunyai arti penting. Tuhan sudah mereka gantikan dengan hawa nafsunya, harta, jabatan, bahkan pimpinan mereka sendiri : Al-Qur'an menyindirnya : " Jelaskanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya… ?" Tuhan hanya diperlukan ketika bisnis dan usaha manusia sedang mengalami kesulitan atau keadan terpuruk, sementara ketika kondisi berubah menjadi kejayaan, merasa tidak relevan

lagi untuk bertuhan, seakan-akan Tuhan tidak mengawasinya. 74 Berhala, bintang-bintang, gunung-gunung, manusia dan hawa nafsu bukanlah tuhan

sebenarnya. Mereka adalah tuhan gadungan yang menggelincirkan umat manusia dari jalan kebenaran. Kalau begitu siapakah Tuhan yang sesungguhnya ?

Pada prinsipnya al-Qur'an menjelaskan tentang bukti keesaan Allah swt, melalui beberapa media, di antaranya : Pertama, melalui wujud tampak ( Inderawi ), dengan

melakukan observasi pada alam semesta, begitu indah, serasi , seimbang 75 , teratur, dan tidak ada cacat. Hal itu tidaklah mungkin bisa wujud tanpa adanya Musabbib al-wujûd yaitu Allah

swt.:

" Tidakkah mereka melihat ke langit di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun " ( Q.S.Qâf : 6 ).

74 Q.S. al-Furqân : 43 , Yûnus 22-23

75 Q.S. al-Mulk ; 3-4 : " ( Allah ) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sama sekali tidak melihat ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih sesuatu yang tidak seimbang ….".

Kedua , melalui media mata hati. Apabila manusia mau mengasahnya dan melatih mata hatinya maka kehadiran Tuhan akan bisa dirasakan, sehinnga Dia begitu dekat bahkan lebih dekat dari pada urat leher. Allah menjelaskan dalam al-Qur'an :

" Dan sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya ". ( Q.S. Qâf ; 16 )

Yang buta bukan mata kepalanya ( untuk menggapai kebenaran akan eksistensi Tuhan ), tetapi yang tidak melihat adalah mata hatinya 76 Dengan demikian maka pendekatan nurani

lebih tepat untuk menggapai hakekat wujud Tuhan dari pada pendekatan inderawi. Ketiga adalah dengan dalil-dalil logika. Al-Qur'an menggambarkan bagaimana rusaknya alam semesta ini seandainya ada dua pencipta langit dan bumi. Jika yang satu menghendaki matahari terbit dari barat dan lain menghendaki sebaliknya, maka akan terjadi tabrakan yang

luar biasa dan menghancurkan alam semesta ini 77 Untuk selanjutnya Tuhan yang wajib disembah adalah Allah yang mempunyai nama-

nama yang paling bagus : ﺎ ﻬﺑ هﻮﻋدﺎ ﻓ ﻰﻨﺴ ﺤﻟا ءﺎﻤ ﺳﻷا ﷲو : " Allah mempunyai nama-nama yang paling baik maka berdoalah kalian dengannya ". ( al-A'râf ; 180 ). Nama-nama tersebut sekaligus menjadi sifat-sifat yang melekat pada-Nya. Sebagian besar Ulama berpendapat bahwa jumlah asmâ' husnâ ada sembilan puluh sembilan, sebagaimana yang lazim kita dengar. Tetapi menurut ath-Thaba'thabâ'iyy , asmâ' husnâ berjumlah 127 ( seratus dua puluh

tujuh ) nama atau sifat Allah yang ditemukannya dalam al-Qur'an. 78

76 Q.S. al-Anbiyâ' : 22 ' Seandainya pada keduanya ( langit dan bumi ) ada dua tuhan selain Allah,

maka pastilah keduanya binasa

77 Q.S. al-Anbiyâ' : 22 " Seandainya pada keduanya ( langit dan bumi ) ada dua tuhan selain Allah, maka pastilah keduanya binasa"

78 Lihat penjelasannya tentang al-Asmâ' al-Husnâ, pada surat al-A'râf : 180 ( Muhammad Husain ath- Thaba'thabâ'iyy, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Teheran, 1379 H ).

Seandainya seseorang harus taat kepada banyak orang yang kebetulan memilikinya, tetapi para pemilik itu saling berselisih dan buruk perangainya, alangkah bingungnya orang ( budak ) tersebut. Perintah dari para pemiliknya tidak seragam, sehingga pada ahirnya orang tersebut mengalami goncangan jiwa. Berbeda dengan budak yang hanya dimiliki satu orang. Instruksi dari majikannya tidak kontradiksi sehingga ia tidak mengalami kebingungan :

" Allah membuat perumpamaan ( yaitu ) seorang laki-laki ( budak ) yang dimilki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling berselisih ( karena buruk perangainya ), dengan orang menjadi milik dari seorang saja adakah keduanya sama halnya ? ". ( Q.S. az-Zumar :

29 ) Kalau kita tarik benang merah dari gambaran ayat di atas, terbukti ada kebenarannya

dalam realitas kehidupan orang-orang yang lemah iman, atau memiliki keyakinan ( akan Tuhan ) yang saling kontradiksi satu sama lain. Kadang ia taat kepada Tuhan, kali yang lain dia taat kepada setan. Pagi ke majlis ilmu, malam keluyuran di tempat prostitusi. Orang semacam ini dikuasai atau menjadi budak sekian tuhan yang saling berselisih dan berahlak jahat, sehingga pada ahirnya ia mengidap split personality.

Sekian banyak al-Qur'an mengajarkan manusia agar bersikap istiqâmah dalam bertuhan, di antaranya :

Sesungguhnya orang-orang yang brkata : " Tuhan kami adalah Allah ". kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka ( jalad ), maka malaikat akan turun kepada mereka ( dengan mengatakan ) : " Janganlah kamu merasa takut dan bersedih hati, dan bergembiralah kamu dengan ( memperoleh ) surga yang telah dijanjikan Allah " ( kepadamu ). ( Q.S.Fushshilat ; 30 )

Istiqâmah artinya konsisten berada pada jalan yang tengah, tanpa condong ke arah kanan atau ke arah kiri serta tidak plin plan atas apa yang telah diucapkan. 79 " Tetaplah ( pada agama

lurus ) sebagaimana yang sudah diperintahkan kepadamu ". 80 Juga diperkuat oleh hadist Nabi saw : ﻢﻘﺘﺳا ﻢﺛ ﷲﺎﺑ ﺖﻨﻣأ ﻞﻗ " Katakan : ' Aku beriman kepada