Aspek Ekonomi

c. Aspek Ekonomi

Bahwa umat Islam pernah memimpin peradaban dunia selama kurang lebih enam ratus tahun, adalah suatu fakta sejarah yang diakui oleh dunia internasional. Tapi kemudian, khususnya setelah Baghdad, pusat peradaban Islam waktu itu, dibumihanguskan oleh Hulagu pada pertengahan abad 13 M, dunia Islam mulai menurun pamornya dan meluncur terus, akhirnya betul-betul mundur, sehingga di abad modern ini, ia masuk kelompok negara- negara dunia ketiga yang miskin dan jauh tertinggal dibelakang negara-negara barat yang

sekarang menduduki tempat teratas dan memimpin peradaban dunia. 132 Dalam bidang ekonomi, paling tidak ada tiga sistem yang popular, yaitu kapitalisme,

Marxisme, (sosialisme), Islamisme. Masing-masing mempunyai filsafat dan landasan tempat berpijak yang berbeda-beda. Pada hakikatnya kedua filsafat ekonomi yang non islami itu mengacu pada materialisme yang menganggap menusia hanya sebagai binatang ekonomi ( homo economicus ) akibat dari pandangan semacam itu, kedua filsafat ekonomi tersebut menghasilkan ilmu ekonomi yang disamping tidak secara tuntas memecahkan masalah ekonomi, ia juga tidak mampu

menanggulangi masalah manusianya 133 . Hal itu disebabkan oleh ilmu ekonomi itu sendiri yang hanya mempelajari usaha

manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan tidak membicarakan manusia serta hal-hal yang mempengaruhinya, sebagaimana ia juga tidak berbicara tentang tujuan hidup manusia didunia ini, bahkan mereka hanya diperhitungkan tak lebih dari sebagai tenaga kerja. Tenaga kerja ini diperjualbelikan di pasar dengan sistem upah yang tunduk pada hukum jual beli, yakni penawaran dan permintaan. Begitulah konsep filsafat ekonomi kapitalis yang berdiri di atas konsep kekuasaan tersamar, dimana kebebasan individu diberikan sepenuhnya guna

Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhu'i, Solusi Qur'ani atas Masalah Sosial Komtemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, h. 89.

A.M. Saefuddin, Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam, Jakarta, CV. Samudra, 1984, h. 17

mengeruk keuntungan sebesar-besarnya bagi diri dan kelompoknya. Filsafat ini walaupun mengakui Tuhan ada, namun Ia dianggap tidak ikut campur dalam urusan bisnis manusia.

Keyakinan serupa ini membawa manusia kepada sikap agnotis dan materialistis 134 . Sistem ekonomi islam berasaskan pada konsep tauhid, yaitu suatu doktrin yang mengajarkan

bahwa :

1. Jagat raya ini adalah ciptaan Allah dan Dia memiliki dan menguasainya beserta semua isinya ( kekayaan alam dan sumber-sumber ekonomi ). 135 Prinsip ini

menunjukkan kepada kita bahwa sistem ekonomi Islam tidak mengenal pemilikan mutlak (tanpa batas), sebagaimana pemilikan mutlak oleh individu pada sistem

ekonomi kapitalisme dan oleh kaum proletar pada sistem sosialisme.

2. Manusia diciptakan Tuhan dari substansinya ( jenis ) yang sama. Oleh karena itu mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama pula sebagai mahluk Tuhan yang diserahi mengelola dan mengatur alam ( sumber-sumber ekonomi ) di muka bumi ini agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan umat manusia sebagai sumber ekonomi. Tuhan memang menciptakan manusia sama kedudukannya di sisi-Nya: tak ada kelebihan yang satu dari yang lainnya, baik secara berkelompok, maupun individual, kecuali karena mutu taqwa yang

dimilikinya dan amal saleh yang dikerjakannya. 136 Prinsip ini merupakan anti tesis terhadap perbedaan kelas yang ditimbulkan oleh

sistem kapitalisme. Dengan diterapkannya prinsip Islam ini dalam kehidupan bermasyarakat, maka perpecahan dan persengketaan di kalangan umat manusia, kalau tak akan hilang sama sekali, setidak- tidaknya akan dapat dibendung dan

Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhu'i, Solusi Qur'ani atas Masalah Sosial Komtemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, h. 92

135 Lihat Q.S az-Zukhruf : 85 , Q.S. al-Baqarah : 107: al-Mâ'idah .

Q.S. an-Nisâ' : 1, ath-Thâriq :5-7, (Q.S al-Baqarah : 29: an-Nahl : 10-16)., (Q.S :al-Hujurât :13)

ditekan ke level yang serendah-rendahnya. Hal ini akan memperkokoh tali persaudaraan di antara satu individu dengan yang lain, atau satu kelompok dengan kelompok lain, dan seterusnya.

3. Percaya kepada hari kiamat; dimana akan dibalasi semua amal perbuatannya, yang baik dibalasi dengan yang baik, dan yang buruk dibalasi dengan yang

buruk. 137 Iman kepada hari pembalasan ini adalah asas ketiga yang cukup penting dalam perekonomian Islam, sebab ia memberikan pengaruh yang tidak kecil

terhadap tingkah laku atau perilaku manusia dalam berekonomi di dunia ini. Asas-asas tersebut dapat berfungsi secara efektif dalam mengawasi kegiatan

perekonomian umat manusia (economic control). Sebab seorang yang percaya bahwa ia kelak akan dibangkitkan pada hari kiamat dan disana ia akan mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan selama hidupnya di dunia, niscaya ia akan sangat berhati-hati dalam berbuat sesuatu; ia tak kan mau berlaku curang, atau tindakan-tindakan lain yang dapat merugikan pihak lain, baik individu, masyarakat atau lingkungan.

Dari paparan di atas tampak dengan jelas, bahwa Islam dengan prinsip ekonominya itu, tidak hanya menginginkan kesejahteraan umat manusia di dunia saja, tapi lebih dari itu, ia ingin memberikan kebahagiaan yang abadi kelak di surga, atau dengan ungkapan lain, Islam menginginkan umat manusia itu sejahtera dan bahagia dunia akhirat. Tujuan

inilah yang memberikan makna kepada etika dan nilai ekonomi Islam 138 . Jika diperhatikan dengan seksama, maka akan terlihat dengan jelas bahwa

ajaran Islam bersifat progresif-dinamis, bukan ekspresif-statis. Bukti progresifitas ajaran Islam itu ialah keberhasilan umat Islam dalam menguasai peradaban dunia selama kurang lebih enam ratus tahun dari abad ke 7 sampai dengan abad ke-13 M. pada masa itu, umat

Lihat Q.S Fushshilat : 46

Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhu'i, Solusi Qur'ani atas Masalah Sosial Komtemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, h. 94

Islam boleh disebut sebagai bangsa termaju dan terkaya di dunia; mereka hidup dalam kemakmuran dan keadilan. Tapi sekarang, mengapa mereka miskin, mundur dan jauh tertinggal di belakang dunia barat yang maju? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini karena selain merupakan pertanyaan filosofis, faktor penyebabnya pun sangat komplek, namun sebagaimana telah disinggung di depan, masalah yang terpokok di sini ialah masalah sikap mental, sikap inilah yang jadi inti permasalahan. Apabila umat Islam tetap mempertahankan mental ekonomi (economic minded) yang mapan seperti yang dimilikinya pada masa kejayaannya tempo dulu, tentu mereka takkan mundur dan tercecer dibelakang. Bahkan tak mustahil mereka akan lebih maju dan lebih berkembang dari dunia barat di abad modern ini. Sebab di masa silam, di kala peralatan untuk memproduksi barang kebutuhan masih sangat sederhana, mereka telah berhasil memproduksi barang-barang yang indah dan mengagumkan, baik pakaian, peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Maupun perlengkapan prang seperti kapal perang, senjata, dan lain-lain. Jadi seharusnya di abad modern yang dipenuhi oleh penemuan peralatan teknologi yang canggih seperti dewasa ini, mereka akan lebih maju, tapi ternyata mereka jauh tertinggal dibelakang negara-negara barat yang dulunya keadaan perekonomian

mereka lebih buruk dari umat Islam sekarang. 139 Walaupun masalah mental bukanlah satu-satunya yang membuat perekonomian menjadi maju, namun sejarah telah

membuktikan kepada kita, bahwa tanpa adanya mental ekonomi yang mantap, teramat sulit untuk mencapai kemajuan ekonomi yang berarti, contoh yang paling dekat dengan hal ini ialah Asia Tenggara, golongan Cina dalam banyak hal tak melebihi kaum bumi putera, bahkan kedudukan mereka dalam bidang politik, pendidikan, hak-hak tanah, kepegawaian, dan lain-lain, jauh lebih lemah dari pribumi. Tetapi mereka mempunyai

Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhu'I, Solusi Qur'ani atas Masalah Sosial Komtemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, h. 95

kekuatan dan kedudukan ekonomi yang amat menentukan. Mengapa mereka dapat mencapai kedudukan yang demikian kokoh? Jawabnya adalah karena mereka memiliki mental ekonomi yang mantap. Mental ekonomi itulah yang menciptakan etos ekonomi di kalangan mereka yakni: berpikir ekonomi berasio, bekerja keras, dan hemat.

Bukanlah sesuatu yang aneh, jika umat Islam di masa lampau mempunyai mental ekonomi yang kokoh, supaya mereka dapat mencapai. Dengan adanya mental ekonomi seperti itulah, maka mereka berhasil membangun suatu bangunan ekonomi yang tangguh sehingga tak tergoyahkan oleh arus inflasi, kebangkrutan dan lain-lain. Tapi kemudian, generasi yang datang belakangan meninggalkan ajaran Islam , keyakinannya akan Islam semakin lama makin terkikis, dan pada akhirnya dapat sirna dan lenyap, sebagaimana akan kita bahas di bagian terakhir bab ini.

Di antara ayat-ayat Al-Qur'an yang mendorong tumbuhnya mental ekonomi ialah:

a. " Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagian) kampung akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan ) duniawi, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu; dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi. Sesungguhnya

Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan". 140

b. " Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia ( rizki hasil perniagaan ) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah berzikirlah kepada Allah

di al-Masy'ar al-Haram ( bukit Quzah di Muzdalifah 141 )…"

c. " apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu

beruntung". 142

140 Lihat Q.S. al-Qashash ; 77

Yaitu mencari kemanfaatan dari hasil perdagangan di musim haji atau selainnya, misalnya melakukan transaksi jual beli di pasar 'Ukkâdz, Majinnah dan Dzi al-Majâz. ( Lihat Q.S. al-Baqarah ; 198 ; penjelasan dari Al-Biqâ'i, Burhân ad-Dîn Abi al-hasan Ibrâhîm ibn 'Umara al-Biqâ'i, Nazhm ad-Durar fî Tanâsu al- Ă yât wa as-Suwar, Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1995, juz 1, h. 376 )

Lihat Q.S. al-Jumu'ah ; 10

d. Orang-orang yang makan ( mengambil ) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang-orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan karena mereka berkata ( berpendapat ) 'sesungguhnya jual-beli sama dengan riba', padahal Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah datang kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu langsung berhenti ( dari mengambil riba ), maka baginya apa yang telah diambilnya dulu (sebelum datang larangan), dan urusannya ( terserah ) kepada Allah. Orang-orang yang mengulangi ( mengambil

riba ) maka orang itu adalah penghuni penghuni neraka dan kekal di dalamnya. 143

Di samping al-Qur'an, hadis pun banyak menganjurkan agar kaum muslimin dan manusia umumnya mempunyai mental ekonomi; antara lain terlihat dalam sabda Rasulullah saw

144 berdoa : " Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan fitnah dari kefakiran." Prinsip ini setelah Nabi wafat, dilanjutkan dan dikembangkan oleh para sahabat. 'Umar ibn

Khaththâb misalnya pernah berkata kepada seseorang yang suka bermalas-malas." Tuhan tidak menghujankan emas dan perak dari langit ".

Pancaran sinar ayat-ayat Al Qur'an dan hadis Nabi itu demikian kuatnya, sehingga dalam kurun waktu yang relatif singkat, 23 tahun, sikap mental bangsa Arab yang keras menjadi lembut; dari sikap menantang dan kufur, berubah menjadi tunduk, patuh dan beriman; dari sikap boros yang tergambar dalam upacara persembahan saji-sajian kepada berhala Lata dan 'Uzza, berubah ke sikap ekonomis dan hidup sederhana serta meninggalkan menyembah dan mempersembahkan saji-sajian kepada berhala itu.

Dari paparan di atas jelas kelihatan kepada kita bahwa sikap mental yang tersembunyi dalam diri manusia, mempunyai peranan yang amat besar dalam memberikan bentuk, arah dan pola perilaku kebudayaan umat manusia. Sikap mental selalu memberikan motif dan arah kepada pemikiran dan perbuatan sehari-hari.

Lihat Q.S. al-Baqarah ; 275

144 HR al-Bukhâriyy, urutan hadist no.5891. Hadist Shahîh Marfû'. CD. Al-Kutub at-Tis'ah.

Jadi mental yang telah diisi ajaran al-Qur'an dan sunnah Nabi saw, itulah yang telah melahirkan kebudayaan dan etik ekonomi Islam yakni penggunaan sumber daya alam di sekitarnya yang dilakukan eksplorasi secara proporsional demi kepentingan dan kebahagiaan hidup manusia dalam upaya mencari ridha Allah. Etika ekonomi Islam itu, telah menganugerahkan kepada umat Islam di masa lampau, suatu kedudukan yang tinggi dan terhormat di mata dunia Internasional. Paling tidak ada empat hal yang diajarkan oleh Islam dalam mengentaskan kemiskinan, menuju ekonomi yang berkeadilan dan menyejahterakan, di antaranya adalah sebagai

148 berikut: pendidikan , pemberdayaan ekonomi , kerja keras , kerja rajin dan tekun ,

serta hemat 150 dan sederhana .

Ayat al-Qur'an yang pertama kali turun adalah perintah membaca dan meneliti ( Q.S. al-'Alaq ; 1 ). Lihat konsep pendidikan pada sub bab sebelumnya.

146 Lihat Q.S. al-Hasyr : " Apa saja harta rampasan ( fai' ) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang

miskin, dan ibnu sabil, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. ."

147 Lihat Q.S. al-Insyirh ; 7 : " Maka apabila kamu telah usai ( dari sesuatu urusan ), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh ( urusan ) yang lain ". Lihat juga surah at-Taubah ; 105 " Dan katakanlah : "

Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada ( Allah ) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan- Nya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan ". Dengan kerja keras dan ibadah kepada Allah swt. Maka hikmah tidak mustahil bisa diraih dan didapatkan.

Lihat Q.S. al-Ashr. Dalam surat ini, Allah dengan gamblang menegaskan bahwa manusia itu akan tetap dalam kerugian selama mereka tidak mau beriman dan bekerja dengan baik (beramal saleh). Kalau kita periksa ayat demi ayat dalam al-Qur'an, niscaya kita akan menemukan kata "amal saleh" selalu dengan berdampingan dengan kata "iman". Ini menunjukkan kepada kita bahwa kebahagiaan manusia tak cukup hanya mengandalkan iman tanpa kerja, tapi iman harus sekaligus dibarengi dengan perbuatan nyata. Atau dengan lain ungkapan ; iman saja tanpa kerja, ibarat sebatang pohon yang rindang tanpa buah. Jadi amal adalah buah dari iman. Nah buah inilah yang berguna bagi kehidupan umat manusia, baik secara individual atau bermasyarakat. Buah itu pulalah yang terwujud di tengah masyarakat dalam bentuk kebudayaan

Salah satu bentuk syirik dalam bidang ekonomi yang masyhur di kalangan Arab Jahiliyah, ialah mengundi nasib. Kepercayaan ini telah mentradiri di kalangan mereka secara turun menurun. Caranya ialah dengan mengambil tiga anak panah., dua di antaranya mereka tulis masing-masing dengan "lakukanlah" dan "jangan lakukan"' dan yang satu lagi tidak tertulis apa-apa. Kemudian tiga anak panah itu disimpan dalam Ka'bah. Kapan mereka ingin berbuat sesuatu, misalnya berniaga, maka juru kunci ka'bah diminta mengambilkan salah satu di antara anak panah yang tiga itu; lalu mereka berbuatlah sesuai dengan perintah yang termaktub pada anak panah yang diambil; Tuhan memerintahkan atau melarang berbuat, tapi jika kebetulan anak panah yang terambil itu kosong (tanpa) tulisan, maka diulang mengambilnya sampai diperoleh yang ada tulisannya.

Seandainya negara-negara Islam senantiasa mengamalkan ajaran agamanya yang termaktub di dalam al-Qur'an dan hadis nabi, tentu mereka tidak akan ketinggalan. Itulah sebabnya Al-Qur'an dan hadis mengecam keras sifat pemalas, tak mau bekarja, dan sebaliknya memuji mereka yang suka bekerja dan berinisiatif untuk meraih kebahagiaan dunia akhirat. Cukup banyak catatan sejarah yang mendorong umat Islam supaya bekerja keras, baik yang berasal dari nabi, maupun dari para sahabat dan penerusnya, di antara

hadis nabi yang menyangkut kerja keras itu ialah 151

a. " Demi Tuhan yang menguasai diriku, sesungguhnya orang yang mencari nafkah dengan mencari kayu api, kemudian ia ikut, lalu dipikul dan terus dibawa ke pasar untuk dijual, lebih baik baginya dari pada meminta-minta kepada orang lain, sebab meminta-minta itu adakalanya diberi, adakalanya tidak."

b. " Ada tiga perkara yang membuat Allah benci kepadamu, yaitu: suka ribut (qîla wa qâla), menyia-nyiakan harta, dan suka meminta (tak mau bekerja)."

c. "…Tangan yang memberi ( di atas ) lebih baik dari tangan yang menerima ( di bawah )…"

Kalau menilik kehidupan Raulullah saw. dan para sahabat, banyak ditemukan sikap kerja keras dan melakukan ikhtiar ( usaha ) walaupun dalam hal yang kecil. Nabi sendiri sejak kecil telah terbiasa bekerja keras, mulai sebagai penggembala kambing, pedagang dan setelah jadi Nabi dan Rasul, beliau bertindak sebagai kepala negara, panglima perang dan sebagainya. Prinsip kerja keras ini tetap mendominasi jiwa raganya; ini terbukti ketika membangun masjid Madinah, beliau tidak memerintahkan para sahabat, tapi ia ikut serta mengangkat batu di pundaknya bersama para sahabatnya. Selain

Tradisi itu dikenal dengan istilah al-Azlâm adalah mengundi nasib dengan anak panah. ( Lihat Q.S. al-Mâ'idah ; 90 )

150 Q.S. al-Isrâ' : 29 : " Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya… ( artinya bersikap moderat/sederhana berada antara dua sifat boros

dan kikir )

Ketiga hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhâriyy dalam kitab sahihnya. Poin a. hadist ke 1377, poin b. hadist ke 1383 poin c. hadist ke 1338

Nabi, para sahabatnya banyak terkenal sebagai pedagang, seperti Abu Bakar dan Umar, sudah barang tentu berdagang memeras tenaga dan pikiran yang tidak sedikit, supaya

memperoleh keuntungan yang berlipat ganda 152 . Apa yang dilakukan oleh Umar itu, ialah suatu tindakan yang amat bijaksana,

karena sesuai benar dengan jiwa ayat Al-Qur'an yang menyuruh umat bertawakal kepada Allah " Apabila telah bulat tekadmu, maka bertawakkalah kepada Allah…" 153 . Kebulatan

tekad baru tercapai jika kita telah memenuhi persyaratan. Itu berarti kita dituntut agar bekerja keras semaksimal tenaga. Setelah itu barulah menyerahkannya kepada Allah.

Kalau kita perhatikan gejala yang terjadi di tengah masyarakat, misalnya masyarakat Indonesia , maka kita akan menjumpai kebalikan dari prinsip yang ditanamkan oleh Islam

itu, yakni mereka lebih suka membuang-buang waktu, boros tenaga dan biaya. Hal ini terlihat pada semua lapisan masyarakat, mulai dari lapisan atas sampai ke tingkat terbawah. Pemborosan itu terjadi, di antaranya disebabkan oleh perencanaan pembangunan yang kurang matang. dan ada pula yang disebabkan oleh kepercayaan animisme yang masih mendominir perilaku kebudayaan bangsa kita. Salain pemborosan seperti yang digambarkan itu, ketika memulai pekerjaan pun telah diboroskan oleh dana secara percuma seperti ditanamkannya di bawah pondasi bangunan tersebut tumbal

berupa tanduk rusa, kepala kerbau dan naga 154 . Semakna dengan membuang waktu dan menghamburkan biaya secara percuma ialah pelaksanaan upacara-upacara ( seremonial )

yang tak ada urgensinya sama sekali dalam perekonomian seperti peresmian waduk, jalan raya, jembatan, pemakaian gedung baru dan sebagainya..